HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (49A)

Karya RD. Kedum

Langit bergemuruh seperti akan runtuh. Angin berkesiur seakan-akan menumbangkan apa saja di muka bumi. Beberapa tubuh seperti melayang. Jerit kesakitan antara terdengar dan tidak becampur baur dengan gemuruh angin. Pohon-pohon tumbang. Air laut berguncang, membentuk gelombang tinggi bergulung lalu memghempas pantai dan karang. Bumi seperti akan kiamat.

Beberapa rumah tiba-tiba rata dengan tanah. Air laut mengalir jauh masuk ke pemukiman warga. Tidak hanya sepanjang pantai namun sampai pula ke dataran-dataran tinggi di sisi timur pantai Banyuwangi.

Beberapa sosok tubuh manusia yang disambar ombak yang keruh, persis seperti daun kering hilir mudik dimainkan air. Kadang jauh dibawa ke tengah laut, kemudian didorong kembali ke pantai lalu ditarik kembali dan tenggelam.

Kapal-kapal nelayan mirip seperti mainan. Satu persatu kapal-kapal itu tumbang diseret ombak lalu dihempaskan hingga berkeping-keping. Sebagian lagi diangkat ombak jauh ke daratan. Bumi terlihat seperti lautan semua. Air laut yang naik tak bisa dihalangi.

Di bawah laut, ada palung yang sering disebut orang karang hidup, beberapa sosok manusia menumpuk tersangkut di sana. Dorongan kencang ombak, tidak memberi kesempatan tubuh-tubuh itu untuk mengapung. Dalam sekejap, sepanjang pantai rata. Beberapa makhluk laut seperti berpesta. Tubuh manusia menjadi santapan yang bisa memberi kekuatan pada mereka. Ada yang menghisap darah, mengunyah tulang belulang, memakan otak, menghisap sum-sum tulang belakang, dan lain sebagainya. Wajah-wajah bengis menyeramkan menyeringai puas. Mereka makan besar.

“Hentikan!!!!” Suara itu menggelegar membuat air laut kembali memercik tinggi. “Belum waktunya kalian berpesta pora, seperti merayakan kemenangan. Kita kalah! Kalah tahu!! Berapa ribu pasukan kita mati jadi debu. Dan lihat istana kita nyaris rata. Melihat kondisi ini kalian masih saja bergembira melihat mayat-mayat manusia bergelimpangan itu?” Nyi Ratih berdiri di atas karang dengan tongkat di tangan. Sekali bergerak tongkat itu akan mengeluarkan bunyi petir dan angin badai. Wajah cantiknya menjadi sangar melihat bala tentaranya yang asyik mengunyah daging mayat manusia.
“Nyi Rara tewas bersama bala tentara lainnya, Ki Ageng mati di tangan lelaki yang seperti resi itu. Ki Pati juga tewas. Kita tidak punya kekuatan lagi. Putri Selasih ratu kita gagal kita bawa ke mari. Kalian tahu, kita tidak punya kekuatan apa-apa. Kerajaan Banyuwangi hancur!” Suara Nyi Ratih masih menggelegar. Matanya nanar melihat pasukannya seperti binatang buas baru menemukan mangsa.

“Dalam kondisi seperti ini, kalian masih sanggup berpesta? Puluhan tahun kami melakukan tapa untuk mewujudkan kembali kerajaan kita yang nyaris roboh, namun gagal dalam waktu sekejap. Kita tidak punya kekuatan apa-apa lagi tahu! Katakan! Siapa yang masih setia dengan kerajaan ini? Jika tidak, maka aku akan usir kalian dari pulau Jawa.” Nyi Ratih mengangkat tongkatnya ke langit. Seketika langit seperti terbelah. Kilatan api menyambar-nyambar seirama amarah yang mendidih di jiwanya. Semua makhluk asral itu menghentikan aktivitasnya. Mereka duduk sambil merunduk. Laut masih bergejolak. Angin terus bergemuruh seakan-akan tindak akan berhenti. Hujan yang turun tiba-tiba membuat pandangan jadi sangat dekat. Nyaris pohon-pohon dan rumah-rumah yang roboh dan hanyut tidak terlihat. Beberapa saat semua terlihat seperti hendak kiamat.

Angin tiba-tiba reda. Air laut yang semula bergejolak tiba-tiba berhenti. Alam hening kembali. Hanya rinai masih menirai membuat jarak padang jadi terbatas. Ombak kecil sesekali berdesir. Lolongan manusia yang menjerit, karena kehilangan tempat tinggal, tempat usaha, bahkan anggota keluarga. Banyak di antara mereka mencari sambil memanggil-manggil anggota keluarga saat laut sudah mulai agak tenang. Air pasang mirip tsunami ini telah membuat kehidupan tiba-tiba berubah. Jika sebelumnya gemuruh air dan angin seperti beradu, sekarang berganti dengan jerit tangis manusia yang menyayat. Pandangan mereka jauh ke laut menyimpan harapan dengan berurai air mata, berharap laut berkenan memuntahkan sanak keluarga yang tenggelam.

Saat seperti ini, manusia baru menyadari betapa pentingnya Tuhan. Mereka serentak menyebut nama Tuhan lalu merengek-rengek meminta Tuhan mengembalikan apa yang mereka miliki. Meminta tolong sambil menangis sepenuh hati. Tapi tak tahu Tuhan yang mana mereka tangisi dan mintai tolong? Padahal kebanyakan mereka sehari-hari melupakan Tuhan? Merasa hidup ini mereka yang mengatur.

Sebenarnya sebahagian mereka tidak percaya adanya Tuhan. Buktinya warung kecil hanya sekadar menjual pecel saja memakai pesugihan. Setiap purnama mereka akan melakukan ritual. Siapa yang telah membantu memenuhi keinginan mereka? Di antaranya adalah makhluk-makhluk asral yang berdiam di laut timur Banyuwangi ini. Mereka disembah, dipuja, dan diberi makanan sesuai dengan keinginan mereka. Mereka adalah iblis yang sengaja bertugas menyesatkan alam pikiran manusia. Ketika alam mengamuk, tak satupun manusia itu memanggil mereka untuk minta tolong. Mereka berbalik meminta pada Tuhan. Aneh!

Tak berapa lama, beberapa jenazah mengapung bersama kepingan kapal, atap rumah, sampah, dan sebagainya. Masyarakat bergotong-royong mengangkat jenazah yang terdampar. Hujan tiba-tiba berhenti. Langit cerah kembali. Terik matahari terasa lebih menyengat dari biasanya. Nyai Rara masih terus memberikan ultimatum pada sisa pasukannya. Tampak sekali ekspresi kecewanya. Tidak ada lagi teman yang bisa diajaknya untuk bertukar pikiran mewujudkan kembali kerajaan junjungannya yang telah hancur. Ingin rasanya menangis. Mengamuk lagi. Tapi akhirnya dia diam, energinya terasa habis sudah. Dia bersyukur masih bisa melarikan diri dan selamat bisa kembali ke sisi timur Banyuwangi ini bersama sisa pasukannya. Kalau tidak, mungkin dia pun akan tewas seperti yang lainnya.

Tiba-tiba air laut kembali bergelombang. Namun kali ini tidak diiringi deru angin. Cahaya matahari seperti pantulan perak berpendar di atas permukaan laut. Lengkung kaki langit bergelombang kembali. Melihat air laut seperti akan naik tanpa diiringi deru angin membuat orang-orang yang menyisir pantai mencari jenazah sanak keluarga kembali berteriak cemas dan berlari kencang menjauhi pantai. Benar saja, air laut kembali naik setinggi empat meter.

BuuuuuaaaRrrr!!! Air laut seperti pecah. Tak lama berselang keluar kepala naga berwarna hijau. Sang naga meliuk-liuk membuat air di sekelililngnya kembali membuncah. Dari mulut naga menyembur api menjilat-jilat air laut. Hanya mata-mata tertentu saja yang dapat melihat makhluk mengerikan itu. Sementara air laut kembali naik ke daratan menyapu apa saja. Sepanjang pantai timur kembali seperti tsunami. Hanya saja tidak sedasyat yang pertama tadi. Di punggung ular naga ada perempuan sepuh yang memakai pakaian seperti resi. Rambutnya yang putih disanggul tinggi dan diikat dengan selendang tipis berwarna ungu. Melihat fisiknya beliau pasti sudah berusia ribuan tahun. Dengan ringan beliau melompat dari punggung ular naganya.

“Ada apa Nyi Ratih? Mengapa kau mengganggu semediku? Apa yang terjadi sehingga istana porak-poranda seperti ini. Siapa yang menghancurkan? Mana Putri Selasih titisan Ratu Banyuwangi anakku? Kalian gagal menjemputnya pulang?” Suara perempuan tua itu sedikit gemetar. Melihat kehadiran perempuan itu, Nyi Ratih diikuti yang lainnya langsung menjatuhkan badan menghaturkan sembah sujud.
“Ampunkan hamba Nini Ratu. Kami sudah berjuang untuk membawa Putri Selasih ke mari. Namun kekuatan dari tanah Sumatera begitu kuat. Putri Selasih yang sudah kami ambil, mereka rebut kembali” Ratih semakin merunduk. Perempuan yang disapa Nini Ratu hanya bisa menatap kecewa. Meski tatapannya seperti kosong namun pada dasarnya, jauh ke dalam, beliau lebih tajam membaca rahasia alam.

Tanpa diberitahu, sebenarnya beliau sudah mengetahuinya perihal kekalahan pasukanya yang dipimpin Ratih dan Rara. Beliau tahu usaha pasukannya sudah maksimal.
“Kau harus kembali melakukan tapa, Ratih. Kau harus tambah kemampuanmu. Bangunlah kekuatan baru setelah engkau mendapatkan wangsit berikutnya. Sampai kapanpun, kita tetap harus jemput Putri Selasih. Bersabarlah. Kali ini kita kalah, suatu saat, Selasih tetap akan kembali” Ujar Nini Ratu bijak sekali.
“Baik, Nini Ratu, hamba akan laksanakan. Kali ini, hamba akan melakukan tapa di kawa gunung Ijen.” Ujara Nyi Ratih. Nini Ratu mengangguk setuju.
“Pergilah, lakukan secepatnya. Sampaikan salamku pada Resi Begol Biru penjaga kawah Ijen. Semoga kau mendapatkan kekuatan sehingga dapat mengalahkan para resi tanah Sumatera itu.” Lanjut Nini Ratu lagi. Nyi Ratih mengangguk-angguk penuh hikmat.
“Entah mantra apa yang mereka pakai, Nini Ratu. Sehingga dalam sekejap, ribuan pasukanku tewas hangus terbakar. Ilmu sihir kita terkenal dimana-mana. Namun tidak ada artinya di tangan para manusia harimau itu. Para pejuang-pejuang kita gugur Nini Ratu. Sekarang tinggallah aku sendiri” Ujar Nyi Ratih dengan nada geram.
“Mereka bukan membaca mantra, Nyi Ratih. Tetapi zikir dan syalawat. Mereka pemeluk agama Islam. Agama yang dibawa oleh para gujarat melalui pesisir.” Lanjut Nini Ratu lagi. Nyi Ratih mengerutkan dahi. Agama Islam. Tentu berbeda yang disembahnya dengan yang disembah mereka.

Berbicara tentang agama Islam, Nini Ratu sedikit tercekat. Lalu diceritakannya masa lalunya yang menurutnya paling suram. Terbayang olehnya ketika dia masih muda. Nini Ratu pernah jatuh cinta dengan bangsa manusia. Dia adalah seorang pemuda dari gujarat Arab. Dia memiliki kemampuan yang luar biasa. Pemuda tampan itu bisa masuk ke alam gaib. Tidak sedikit pada waktu itu bangsa jin jatuh cinta lalu di Islamkannya. Banyak juga bangsa jin masuk Islam sekadar untuk menarik perhatiannya saja, terutama kaum perempuannya. Pemuda tersebut kerap kali bertarung dengan bangsa jin laki-laki yang iri padanya. Hanya dengan zikir semua lawan dibinasakannya. Tak sedikit para jin lebur karena zikir dan syalawatnya.

Mendengar itu Nyi Ratih menjadi terpukau. Dia baru tahu ada pemeluk Islam yang hanya dengan yang menyebut zikir bisa membinasakan bangsanya. “Nini Ratu, yang dari tanah Sumatera bertarung dengan pasukan kita adalah manusia harimau yang menghuni bukit Barisan sepanjang pulau itu. Mereka sangat kompak sekali, Nini Ratu. Nyaris semuanya menyebut-nyebut Allahu Akbar. Siapa Allahu Akbar itu Nini. Apakah beliau pemimpin manusia harimau itu? Tiap kali mereka menyebut Allahu Akbar, telinga pasukan kita seperti terbakar. Belum lagi mereka nembang dengan menyebut ‘Huu Allah…Huu Allah’. Pasukan kita jadi cerai berai. Siapa pula Huu Allah itu. Selama dalam pertempuran kami tidak berjumpa dengan Allahu Akbar maupun Huu Allah.” Lanjut Nyi Ratih sungguh-sungguh. Mendengar itu Nini Ratu tersenyum. Beliau sangat maklum, mungkin baru kali inilah Nyi Ratih mendengar sebutan Allahu Akbar. Karena kehidupan istana mereka jauh dari pemukiman muslim, baik bangsa jin maupun bangsa manusia.

“Nyi Ratih, Allahu Akbar itu bukan bangsa manusia, manusia harimau, jin, demit, setan dan sebagainya. Tapi Allah itu adalah Tuhan yang mereka sembah. Huu Allah itu zikir yang sering dilafaskan oleh Resi ujung laut, dan resi gunung sebagai puji-pujian terhadap Tuhan yang mareka sembah dalam usaha mendekatkan diri pada pencipta yang mereka yakini, ” Nini Ratu menjelaskan. Nyai Ratih semakin bingung. Ternyata Nini Ratu lebih banyak tahu tetang hal-hal yang berada di luar sana. Muncul pertanyaannya, mengapa Nini tidak memeluk agama Islam. Tetap bertahan dengan agama warisan leluhurnya? Nini Ratu memandang jauh ke laut. Ada luka menggores batinnya.
“Andai saja waktu itu pemuda gujarat berkenan menjadi suamiku satu-satunya, maka aku total memeluk Islam. Akan aku bawa semua rakyat Banyuwangi ini ke dalam Islam. Namun karena pemuda tersebut telah memiliki istri bangsa manusia. Dan dia tidak mau meninggalkan istri dan anaknya, maka aku tidak mau menikah dengannya. Hingga saat ini, rasa cinta itu tidak pernah mati. Justru semakin sepuh semakin menyala. Padahal beliau sudah lama wafat. Tapi rasa cinta pada beliau tetap kupegang sampai sekarang. Aku tidak mau menikah lagi karena cintaku padanya. Biarlah meski kami tidak bersatu, minimal aku punya cinta agung untuknya yang tetap akan kupertahankan sampai akhir hayat. Aku berharap cinta agung inilah kelak akan membawaku berjumpa kembali padanya.” Mata yang kecil itu berkaca-kaca. Ratih menjadi terharu. Sungguh tidak pernah dia tahu jika Nini Ratu mempunyai kisah memilukan.

Angin berhembus pelan. Naga tunggangan Nini Ratu seperti paham perasaan majikannya. Dia hanya diam mengapung di atas permukaan laut. Air laut tenang kembali. Orang-orang yang tinggal di sepanjang pantai kembali sibuk mencari jasad keluarga mereka. “Naga, bantu mereka, keluarkan jenazah yang ada di bawah palung. Mereka tidak bersalah. Mereka adalah korban kemarahan Nyi Ratih. Hentikan pasukan kita yang sibuk memakan para jenazah itu.” Perintah Nini Ratu.

Tidak lama kemudian, ular naga berwarna hijau itu menyelam pelan-pelan. Agaknya sengaja agar air laut tidak bergelombang. Tak lama berselang, jenazah mengapung satu-satu. Ular naga mendorong para jenazah ke pantai sehingga para manusia dengan mudah membopong setiap jenazah yang ditemukan. Jeritan tangis dan air mata kembali terdengar sepanjang pantai.
“Yaa Allah…tubuhnya masih hangat. Masih adakah harapan untuk hidup?” Seorang ibu mengusap-ngusap tubuh seorang anak perempuan berusia kira-kira enam tahun.

Nyi Ratih kembali bergetar kala mendengar kata “Yaa Allah”. Tuhan yang disembah oleh sesepuh tanah Sumatera. Tuhan Kanjeng Ratu Putri Selasih juga! Ya..masih ingat bagaimana ketika Nyi Ratih bertarung dan Kanjeng Ratu Putri Selasih dipanggulnya, lalu pelan-pelan terdengar suara berdengung yang diikuti oleh Kanjeng Ratu Putri Selasih. Dan tubuhnya merasa panas saat itu, dan meminta kanjeng Ratu Putri Selasih untuk tidak ikut mengucapkan suara mirip mantra itu. Lalu Kanjeng Ratu Putri Selasih menjawab bahwa dirinya muslim. Beragama Islam. Nyi Ratih merangkai setiap jalan pertarungan dalam pikirannya. Bagaimana ilmu gelombang api yang dia miliki selama ini belum ada tandingannya, ilmu yang dia peroleh puluhan tahun dengan melakukan tapa. Tapi dengan mudah ditepis oleh seorang laki-laki dengan satu sebutan “Allahu Akbar”. Muncul di batinnya, ingin mengetahui lebih banyak tentang Allahu Akbar itu. Tapi kemana dia harus bertanya? Mengapa begitu dasyat memusnakan pasukannya. Muncul dalam batinnya untuk memahami kata Allahu Akbar tersebut. Dengan harapan, suatu saat dia bisa membalaskan kekalahannya, dan dapat kembali memboyong Kanjeng Ratu sehingga kerjaan Banyuwangi bisa di bangun kembali. Muncul satu tekat membuat tubuh Nyi Ratu mengeluarkan asap berwarna ungu.

Ketika Nyi Ratih masih asyik berpikir, merenung tentang Islam dan Tuhannya, tiba-tiba Nini Ratu mengayunkan tangannya. Istana yang ambruk dipagarnya. Area istana yg luas pun ikut dipagarnya.
“Nyi Ratih, yang bisa membuka dan membangun istana ini kembali, hanya Putri Selasih. Selama Putri Selasih tidak bisa kalian bawa kemari maka kerajaan Banyuwangi ini tidak akan pernah ada. Jika kalian masih setia dengan kerajaan Banyuwangi ini, usahakanlah agar Kanjeng Ratu kalian bisa kembali.” Ujar Nini Ratu menutup mantranya. Nyi Ratih terkesima. Dengan dipagar sedemikian rupa, artinya sementara kerajaan Banyuwangi benar-benar tidak ada. Lalu akan kemana rakyatnya yang masih berkeliaran ini?
“Sampai kapan pun, rakyat Banyuwangi ini tetap akan tinggal di sekitar sini. Secara turun temurun mereka tetap mengakui diri mereka berasal dari kerajaan Banyuwangi. Meski istana hilang dari pandangan mereka. Sebagian besar tetap akan setia.” Ujar Nini Ratu kembali.

Nyi Ratih hanya bisa manggut-manggut. Artinya jika dia ingin kembali membangkitkan kerajaan yang dia cintai ini, dia harus berjuang. Yang jadi persoalan adalah, dia harus berjuang sendiri. Rakyatnya rata-rata tidak bisa diandalkan. Bahkan pasukan balatentaranya pun tidak bisa diajak berpikir untuk merancang sebuah rencana besar. Tahunya mereka jika perang, maka lawan harus mati. Jauh berbeda ketika ada Nyi Rara, Ki Ageng dan lain-lain mereka tidak saja berilmu tinggi. Tapi strategi kepemimpinan mereka paham. Bagaimana menegakan kerajaan kembali mereka tahu. Dan mereka adalah makhluk-makhluk setia tanpa mempunyai misi pribadi. Demi memikirkan ini, Nyi Ratih menjadi sedih. Pelan-pelan air matanya meleleh. Puluhan tahun dia tidak menangis. Hari ini dia menangis tersedan-sedan. Ilmunya yang tinggi ternyata tidak ada bandingnya dengan ilmu yang dimiliki oleh manusia harimau di Sumatera. Bahkan untuk komunikasi batin dengan Kanjeng Ratu Putri Selasih saja tidak bisa dia tembus. Terkadang muncul pertanyaan, apakah ratunya itu hidup di dimensi lain?

Langit nampak terang kembali. Jika ada warna gelap hanya pertanda mantra Nini Ratu diterima oleh para dewa. Selanjutnya Nini Ratu melanjutkan kidung dan mantra-mantranya sebagai rasa syukurnya pada dewa-dewa. Nyi Ratih hanya menunduk pilu. Selebihnya dia menunggu perintah Nini Ratu kapan dia harus berangkat dan memulai tapanya.
“Berangkat Nyi Ratih. Aku memberkati niat baikmu. Jika ada hal yang ingin ditanyakan atau menemukan kendala, temui aku. Selama nyawa di kandung badan, aku tetap akan mendampingi,” Nini Ratu mengangkat tangan kanannya. Sekuntum kabojah dia selipkan ke telinga Nyi Ratih. Dengan penuh kasih sayang, diciumnya kening Nyi Ratih, pengikutnya yang paling setia hingga kini. Akhirnya Nyi Ratih mohon diri setelah sujud dan mencium kaki Nini Ratu. Tak berapa lama, Nyi Ratih hilang dari pandangan.

Sepeninggal Nyi Ratih, Nini Ratu kembali merenung. Matanya menatap sepanjang pantai yang porak-poranda. Entah mengapa, semakin sepuh rasa belas asihnya semakin tumbuh. Jika dulu dia tidak peduli dengan kehidupan manusia, bahkan berusaha merusak kehidupan manusia, menggoda mereka agar terjerumus, menyesatkan mereka, dan lain sebagainya, kini rasa itu mulai gugur. Dirinya khusuk bertapa di dasar laut, mengasingkan diri dari keramaian, asyik berinteraksi dengan para dewa, menjalani karma, dan berusaha sempurna dalam tapa. Berharap kelak ketika kematian tiba, berharap ruhnya langsung disambut bidadari ke nirwana.

“Wahai rakyat Banyuwangi! Dengarkan! Tanah dan laut ini tetap milik kalian. Peliharalah. Jagalah hingga sampai saatnya nanti kehadiran ratu kalian Putri Selasih. Beranak pinaklah kalian, dan pegang teguh leluhur kalian. Kalian adalah rakyat dan keturunan kerjaan Banyuwangi selamanya.” Suara Nini Ratu meski gemetar namun tegas meneguhkan perasaan para kaum dan bala tentaranya. Para balatentara mengangguk dan sujud takzim.
“Ki Karyo, aku percayakan pasukan ini padamu. Bangunlah rumah-rumah di sekitar ini. Jadilah kalian rakyat sekaligus balatentara Banyuwangi sampai kapanpun. Kembangkan tradisi kita, bangun kebersamaan demi kerajaan kita tercinta.” Lanjut Nini Ratu. Demi disebut nama dan beban tugas yang diberikan, Ki Karyo langsung maju dan sujud sedalam-dalamnya.
“Terimakasih Nini Ratu. Hamba akan laksanakan perintah menjaga kesatuan rakyat Banyuwangi. Banyuwangi tetap ada apapun yang terjadi.” Ujarnya penuh kepatuhan. Selanjutnya Nini Ratu menyerahkan sebuah keris berkepala naga dengan badan keris meliuk-liuk dan bersisik seperti ular. Keris itu pertanda tampuk kepemimpinan ada pada Ki Karyo.

Nini Ratu kemudian memutar badan. Lalu memantrai sepanjang pantai agar telindung dari berbagai penyakit. Bagaimanapun bangsa manusia di sekitar sini, adalah bagian dari kehidupan mereka sejak dulu dan nyaris tidak ada batas dalam hal memberi dan diberi. Ritual yang mereka lakukan, adalah salah satu dedikasi interaksi yang tetap harus terpelihara hingga kini. Namun kala Nini Ratu ingat dengan pemuda dari gujarat kekasih hatinya dulu, maka aktivitas ritual seperti ini pasti dihancurkannya. Dia tidak suka melihat manusia memuja bangsa jin yang sudah bayak memberi. Ah! “Kekasih hati, nantikan aku.” Hati Nini Ratu kembali bergetar.

Dilambaikannya tangan memanggil naga hijaunya. Naga berenang pelan. Tidak ada hembusan nafas dan hawa api. Nini Ratu langsung melompat ke punggung naga hijau. Melihat gerakannya, Nini Ratu bukan perempuan biasa. Ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalamnya masih sangat mumpuni meski sudah sangat sepuh. Berjalannya saja terlihat lamban, namun fisiknya masih gagah. pelan-pelan ular naga raksasa itu mulai tenggelam. Meski pelan namun riak laut tak bisa dihindari. Air tetap bergelombang. Walau gelombangnya tidak ganas, tetaplah membuat orang di sekitar pantai menjerit. Kepanikan kembali terulang.

Palan-pelan laut hening kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Laut semua berwarna keruh, kini biru kembali. Beberapa anak kepiting berlari riang di atas pasir. Kembali membangun lubang-lubang kecil tempat persembunyian mereka. Di udara, camar terbang dan menukik menyambar ikan yang sedang berenang. Pertanda kehidupan masih terus bergerak, seperti kepak camar yang bercanda riang di atas ombak. Pantai timur Banyuwangi kembali menyimpan misteri bersama puing-puing istananya, entah kapan akan tegak berdiri kembali.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *