HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (92A)

Karya RD. Jedum

Aku baru saja duduk di teras rumah menghadap pohon mangga yang sedang berbunga. Neti dan Akhirul teman sekelasku baru saja pulang. Mereka bertandang sejak pukul lima dilanjutkan magrib di rumahku. Seperti biasa mereka mengajakku membahas persiapan perpisahan usai Ujian Nasional nanti. Rencana kawan-kawan sekelas hendak jalan-jalan ke pantai Tais. Akhirnya kami sepakat, akan jalan-jalan sehari setelah Ujian Nasional. Kedua sahabatku ini bertugas mengumpulkan patungan dan mengurus segala macam yang kami butuhkan di sana nanti. Kulihat Neti sangat antusias. Karena menurutnya pantai Tais berada di kampung Hasan kakak kelas kami yang pernah ingin dekat padaku. Mungkin maksudnya aku akan berubah pikiran dan membuka hati untuk Hasan. Apalagi konon Hasan sudah bekerja di salah satu perusahan pabrik karet di Bengkulu Utara.

Berkali-kali Neti menyebut pantai Tadi lalu melompat girang. Sampai-sampai aku menegurnya melihat tingkahnya yang aneh. “Hasan itu suka padaku, atau kamu yang suka padang, Net?” Godaku. Ternyata kata-kata singkatku membuat Neti tersedak.Aku memilih duduk di teras sepeninggal Khairul dan Neti. Ayuk Beso tetangga belakang rumah yang kebetulan lewat kusapa setelah kulihat ada dua sosok mengiring di belakangnya. Beliau sejenak kuajak singgah alasanku ingin bertanya sambil kusentil makhluk astralnya. Dua tubuhnya makhluk astral terbanting jauh. Tatapannya yang tajam pertanda marah padaku. Aku tahu makhluk itu hanya iseng saja. Kebetulan melihat Ayuk Beso lewat, langsung saja ikut. Maksudnya jelas ingin mendapatkan sesuatu di tubuh Ayuk Beso. Paling tidak membuat sarang di tubuh Ayuk Besok. Kurasakan tubuh Ayuk Beso memang memungkinkan makhluk astral mudah bersarang. Energi yang dimilikinya senergi dengan makhluk-makhluk astral. Makanya makhluk astral banyak yang mendekat padanya. Padahal Ayuk Beso tidak tahu-menahu hal-hal tak kasat mata. “Ayuk, jangan biasakan jalan-jalan waktu magrib. Kalau mau ke luar rumah, sesudah magrib atau jauh sebelum magrib. Nanti ayuk ada yang ngikutin loh” Ujarku dengan nada bercanda. Maksudnya agar beliau tidak takut. Padahal apa yang kusampaikan serius. “Aduh, Dek. Jangan nakutin-nakuti Ayuk. Bisa pipis di celana nanti” Sahutnya bercanda balik. Beliau kukawal dengan tatapanku sampai ke simpang rumahnya. Aku tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi pada tetanggaku satu itu. Setelah bayangan Ayuk Beso hilang, aku duduk kembali. Waktu belum terlalu malam. Bapak baru saja menuntaskan bacaan Al qurannya lalu ikut duduk bersamaku menunggu azan isya. Kalau sudah berdua seperti ini, pasti Bapak banyak bahan cerita. “Kau tahu rumah di pengkolan Merpati 12 itu punya orang mana, Dek?” Bapak menanyakan salah satu rumah di gang masuk menuju rumah kami. Rumah itu berdiri di atas rawa-rawa yang ditimbun. Warna rumah seperti rumah tua. Bahkan terkesan kusam dan kotor. Padahal ada penghuninya tapi terlihat gelap bahkan kadang seakan tidak ada rumah. “Itu rumah milik orang Rejang, Pak. Masih saudara Madi sahabatku. Bahkan dapur rumah mereka hanya batas dinding. Ada apa dengan rumah itu, Pak?” Tanyaku. Rupanya Bapak selama ini memperhatikan rumah yang kadang nampak kadang tidak itu. “Setiap lewat sana, Bapak merinding. Entah mengapa. Ada perasaan tidak nyaman” Ujar Bapak. Aku tersenyum dalam hati. Ternyata Bapak ikut peka juga. “Itu pertanda energi Bapak bergesekan dengan energi yang ada di sana, menandakan ada makhluk astralnya pak. Bisa jadi ketika Bapak lewat, dia mendekat, ingin ikut atau mengganggu Bapak” Ujarku sambil memainkan jari kaki. “Aiiiss….ada-ada aja, kamu. Usir dong kalau suka mengganggu” Kata Bapak lagi. “Tentu saja kalau dia mengganggu akan kuusir. Apalagi mengganggu Bapak. Akan kukurung dia” Ujarku menguatkan hati Bapak. Akhirnya Bapak tersenyum. Padahal, di seberang parit kecil depan rumah kami ada sosok besar hitam menatap padaku dan Bapak. Dia tidak bisa mendekat karena lingkungan rumah sudah kupagar. Akhirnya dia hanya berdiri. Aku tidak mengacuhkannya. Karena lebih dari itu sudah sering aku melihatnya. Mungkin dia kira aku akan menjerit, takut dan lari melihat sosoknya yang hitam berbulu itu. Beberapa kali tatapan kami beradu hingga akhirnya dia pergi perlahan membawa rasa takut.

“Di dekat rumah kita banyak ya Dek?” Tanya Bapak. Aku mendengar nada penasaran pada suara Bapak. Rasa ingin tahunya tinggi, tapi ada juga rasa takutnya terbaca olehku. “Sekitaran rumah kita ini rawa-rawa, Pak. Tempat yang berair dan selalu lembab adalah rumah yang nyaman bagi makhluk astral. Tentu saja mereka ada dalam berbagai macam bentuk dan jenis” Ujarku menjelaskan. “Tadinya Bapak ingin melihat. Tapi kalau berbagai macam jenis dan bentuk, Bapak tidak mau ah. Bapak kira seperti nenek gunung. Kalau seperti itu Bapak tidak takut. Baik dalam bentuk asli nenek gunung, maupun dalam bentuk manusia harimau” Lanjut Bapak lagi. Aku sangat paham perasaannya. Sebab di seputaran Besemah, jarang sekali masyarakat membicarakan makhluk astral lainnya kecuali dalam bentuk kuntilanak, pocong, genderowo, maksumai (hantu wewe) dan manusia harimau. Dari sekian banyak makhluk astral itu, yang lebih familier bagi masyarakat adalah nenek gunung dan maksumai. “Di sekitaran kita ada makhluk astral dalam bentuk hewan, berupa ular besar tapi kepalanya manusia. Bapak mau lihat tidak?” Ujarku memancingnya. “Berbentuk ular berkepala manusia? Sebesar apa tubuh ularnya?” Bapak penasaran. “Dua kali lipat pohon kelapa itu, dan panjangnya dua kali lingkaran rumah kita” Ujarku. Mendengar itu Bapak kaget. Matanya agak membelalak. Pasalnya panjang rumah kami tiga puluh meter. “Bapak pernah melihat empedak, bahkan menginjak tubuhnya. Tubuh empedak itu sebesar pelukan tangan orang dewasa. Entah sudah berapa lama empedak itu bertapa di hutan rimba hingga tubuhnya berlumut seperti kayu lapuk. Waktu itu Bapak dan rombongan tentara Indonesia masuk hutan untuk bersembunyi dari kejaran Belanda. Padahal, Bapak dan kawan-kawan duduk-duduk di atasnya. Tiba-tiba dia bergerak. Kami tidak tahu arah kepala dan ekornya” Ujar Bapak menceritakan kisahnya ketika beliau masih aktif menjadi tentara menjelang kemerdekaan. Epedak adalah sebutan untuk ular yang berukuran besar, konon tidurnya setahun lamanya. Karena lama tidur setahun itu pulalah mereka menyebut bertapa, hingga tubuhnya berlumut dan ditumbuhi rumput. “Bapak yakin, empedak atau ular besar itu, ular benaran yang sedang bertapa. Kepalanya tidak seperti manusia. Kalau manusia kepala ular, pasti mengerikan ya. Bapak tidak mau lihat ah, nanti mimpi buruk. Bapak tidak seberani dan nekat ketika masih muda dulu” Ujar Bapak mengurungkan niatnya. Kami tertawa bersama. Ternyata ada masanya seseorang hilang ketangguhannya. Buktinya Bapak. Dulu beliau terkenal pemberani, bahkan kerbau jalang (liar) saja Bapak sanggup menangkapnya hanya dengan seutas tali. Mendengar derai tawa kami berdua ibu langsung ke luar dan berdiri di tengah pintu. “Ada apa kalian tertawa kencang sekali. Kayak dunia milik kalian berdua saja” Ujar Ibu penasaran. “Ini Bu, Dedek sedang ngobrol masalah alam tak kasat mata. Sini Bu, duduk sini” Ujar Bapak sambil bergeser tempat duduk menyilakan Ibu di sampingnya. Mendengar alam tak kasat mata, Ibu langsung memutar badan masuk kembali. Sambil berjalan, terdengar suara ibu sedikit ngedumel. Aku dan Bapak kembali tidak bisa menahan tawa. Selanjutnya aku melanjutkan penjelasan pada Bapak tentang tingkat kehidupan bangsa tak kasat mata, hingga membicarakan aktivitas kehidupan nenek gunung di gunung Dempu, sampai rencanaku untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi.Ketika suara azan berkumandang dari masjid Akbar ujung jalan, Bapak segera bangkit dan masuk. Tinggallah aku sendiri di teras memperhatikan beberapa kendaraan yang lewat di depan rumah. Pikiranku terbang jauh ke Timur Laut Banyuwangi, ke gunung Dieng melihat sosok nyata Eyang Sahida yang setengah gila, ke gunung Slamet melihat Puyang Purwataka dengan penyamarannya sebagai petani biasa. Lalu bayangan Nini Ratu yang takkan kutemui kembali. Hingga keinginanku kelak ingin seperti Eyang Putih atau seperti Puyang Purwataka menyamar menjadi sosok lain. Aku berpikir-pikir hendak jadi seperti apa. Tapi menjadi sosok setengah waras seperti Eyang Putih rasanya tidak mungkin. Karena aku senang bersosialisasi. Menjadi petani pun juga tidak mungkin seratus persen meski aku suka bercocok tanam dan ke luar masuk hutan. Sampai akhirnya aku bertekat suatu saat aku harus punya rumah atau pondok jauh dari keramaian kota, ada sawah, sebidang kebun, berbukit atau berhutan. Jika memungkinkan akan kubangun padepokan gaib untuk makhluk astral di sekitarnya agar bisa belajar agama bersama-sama. Tiba-tiba aku tercekat sendiri. Mengapa harus makhluk astral? Hayalanku terhenti ketika tiba-tiba ada tamu sudah berdiri di sisi pagar.

“Assalamualaikum, maaf Kak, apakah ini rumah Putri Selasih?” Dua orang lelaki bertanya padaku. Aku sedikit kaget karena tidak kenal keduanya. Keduanya sosok manusia. Mengapa mereka mencari Putri Selasih? Aku menjawab salamnya buru-buru lalu berjalan menghampiri keduanya. “O bukan, Bang. Ini rumah Dedek” Jawabku sembari menyelidiki keduanya. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa mereka. Mengapa mereka tahu Putri Selasih. Lalu mengapa pula mereka mencari Putri Selasih di dunia nyata? “Kalian dari mana?” Tanyaku masih penasaran. Wajah mereka kuawasi satu-satu di bawah cahaya lampu yang agak redup. “Saya dari Solo, Kak. Kebetulan saya ditugaskan Abah Yai survei lokasi pondok pesantren ke Bengkulu Selatan. Abah Yai Hakim menyuruhku menemui Putri Selasih. Dari petunjuk Abah Yai, di sinilah rumah Putri Selasih” Lanjutnya lagi. Melihat wajah mereka yang jujur dan polos akhirnya aku tersenyum. Aku yakin yang mereka maksud Abah Yai Hakim adalah salah satu Kyai yang ikut telibat Pembangunan istana Timur Laut Banyuwangi. Rupanya beliau memahami kehidupanku sebagai sosok manusia biasa. “Kalau Putri Selasih, ada di alam gaib, Bang. Jika di alam nyata, Dedek” Lanjutku sambil membuka pintu pagar. Keduanya tersenyum simpul.

Akhirnya kami ngobrol perihal kehidupanku sebenarnya. Mereka Fauzi dan Ali sejak kecil hidup di lingkungan pesantren dan baru dua tahun lulus dari salah satu perguruan Tinggi di Yaman. Keduanya hanya silaturahmi karena jauh-jauh datang dari Solo, mencoba mencari orang-orang yang mungkin mereka kenal. “Kata Abah Yai, mbak Dedek punya kerajaan di alam gaib? Bagaimana itu bisa terjadi, Mbak?” Fauzi penasaran. “Wah, panjang sekali ceritanya kalau mau diceritakan. Sebenarnya hanya orang-orang tertentu saja yang tahu tentang Putri Selasih dan Timur Laut Banyuwangi.” Ujarku lagi. Kusampaikan sebenarnya aku khawatir jika banyak manusia yang tahu. Akhirnya mereka berdua kutawarkan untuk berkenalan dengan Alif. Sebab Alif orang Bengkulu, siapa tahu Alif banyak waktu, bisa menemani mereka berdua selama di Bengkulu. Keduanya sepakat. Tepat pukul sembilan malam keduanya mohon diri untuk kembali ke penginapan.Usai solat Isya, aku berzikir sejenak. Sejak awal aku merasakan ada energi yang berusaha menghubungiku. Rupanya Nyai Ratih menyampaikan akan ada peringatan Maulid Nabi di masjid istana. Beliau minta izin untuk mengundang beberapa Kyai dan santri dari bangsa manusia. Dan terakhir mengharapkan aku hadir tentunya. Aku memberikan sedikit intruksi agar mengundang salah satu syech untuk tausia di acara itu. Belum sempat aku bangkit hendak melipat mukena, tiba-tiba kembali angin mendesing lagi. Aku menunggu sejenak ingin tahu. Rupanya Alif mengajak dialog batin padaku. Meski tidak bertatap muka, namun jantungku sempat berdegup kencang ketika mendengar salamnya. Aku cepat-cepa mengendalikan diri. Selanjutnya kusampaikan jika ada Fauzi dan Ali berasal dari Solo hendak survei ke Bengkulu Selatan terkait pembangunan pondok pesantren. Kuceritakan jika keduanya santri Kyai Hakim yang turut serta membantu pembangunan istana Timur Laut Banyuwangi. Ternyata Alif bersedia menemani Hakim dan Ali. Dan esok Alif akan menemui mereka dipenginapan tempat keduanya menginap. Selebihnya Alif bertanya kapan aku akan ke Timur Laut Banyuwangi lagi. Lalu meminta izin untuk ikut ke istana bersamaku. Terakhir dia bertanya perihal Ujian Nasional dan aku akan melanjutkan pendidikan ke mana. Dari obrolan sepanjang soal pendidikan, kuketahui rupanya Alif akan melanjutkan pendidikan S2-nya ke Yaman. Beliau akan berangkat beberapa bulan lagi. Aku baru tahu kalau beliau sarjana. Melihat penampilan yang lembut, Alif masih sangat pantas seperti anak SMA seusiaku. Aku mengira-ngira dimana negara Yaman itu. Apa kelebihan negeri itu sehingga banyak sekali santri yang melanjutkan pendidikan ke sana termasuk Fauzi dan Ali pun alumni sana. Aku jadi penasaran lalu membuka peta dunia. Ada terbersit rasa sedih jika kami akan berpisah jauh, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Malam itu terasa sangat berbeda. Aku menjadi sulit tidur. Rencana hendak membaca-baca bank soal, jadi buyar. Aku sulit sekali untuk fokus. “Nggak usah risau, kalau mau baca soal UN sekarang aja kita bisa, kok” Putri Selasih mulai memancing batinku untuk berbuat curang. Aku diam saja tak peduli. Kemudian dia ulang lagi niatnya mengajakku. Kembali aku tak peduli hingga akhirnya dia menggerutu karena tidak kutanggapi. “Kau pikir hebat bisa membaca soal UN sebelum diujikan? Kita bisa lolos dari pandangan kasat mata. Tapi di alam gaib, apa kata makhluk-makhluk itu, Putri Selasih Ratu Timur Laut Banyuwangi berbuat curang. Dan kau lupa, ada yang Maha melihat, yang tak pernah luput memperhatikan ruang gerak kita” Ujarku lagi. Akhirnya suasana hening. Banyak sekali ternyata cobaan dalam hidup ini. Terutama aku yang separuh hidup ada di alam nyata, separuh lagi di alam gaib. Banyak hal dikehidupan nyata harus kuselesikan dengan kemampuan tak kasat mata. Membagi kehidupan yang tak lazim butuh kecermatan sejak dulu. Apalagi aku tidak ingin apa yang ada pada diriku diketahui banyak orang. Aku lebih suka bekerja tanpa diketahui siapa-siapa. Hal inilah yang sejak dulu diajarkan nenek Kam dan sesepuhku dari gunung Dempu. “Jika engkau memberi dengan tangan kanan, usahakan jangan tangan kirimu tahu” Pesan Puyang Pekik Nyaring yang selalu terngiang-ngiang ketika beliau mengantarkan aku ke tempat bertapa di perut gunung Dempu dulu.

Aku tidur miring menghadap ke tembok ketika tiba-tiba di luar ada yang memanggilku. Masih sambil tidur aku mercoba menyelidiki. Tiga sosok khodam berdiri tegak tepat di seberang pagar gaibku. Aku hanya menatap ketiganya terlebih dahulu. Malam tepat pukul dua belas. Artinya, saatnya ritual para dukun bekerja. Sosok khodam ini kiriman para dukun santet berasal dari utara. Entah apa maksudnya mengirimkan makhluk ini aku tidak tahu. Beberapa kali ketiganya terpental karena hendak membuka pagar gaibku. Berbagai jurus dan senjata mereka lakukan. Ditambah lagi dorongan energi yang dikirim para dukun ikut membantu kekuatan mereka. Sebenarnya aku bisa saja membekuk langsung ketiga makhluk itu. Tapi aku ingin melihat dulu apa dan mengapa mereka begitu ‘ngebet’ ingin masuk ke rumahku. Akhirnya aku tidak tahan melihat aktivitas mereka. Aku ke luar menemui keduanya. Tampak sekali mereka kegirangan setelah melihat aku ke luar dari pagar. “Ada apa kalian datang ke mari? Untuk apa tuan kalian mengutus kalian? Mengapa kalian nekat hendak menjebol pagar rumahku” Ujarku berdiri tepat di hadapannya. “GhhhRR…kami sengaja datang ke mari. Tuan kami mengharapkan bisa bekerjasama denganmu, wahai manusia harimau dari gunung Dempu” Ujarnya tanpa absa basi. Mendengar kata kerjasama keningku jadi berkerut. Bekerjasama dalam hal apa maksudnya? Ada juga golongan manusia berani mengajakku bekerjasama? “Siapa Tuan kalian? Mau mengajakku bekerjasama dalam hal apa? Mengapa memilih saya” Tanyaku sedikit menyelidik. “Tuan kami Raden Saka Dirgo. Mengajak kamu untuk menarik harta karun yang banyak tersimpan di tanah Rafflesia ini” Ujarnya. Pahamlah aku, Tuan tiga makhluk ini selain dukun santet juga pemburu harta karun. Berani sekali dia memintaku untuk bekerjasama dalam pekerjaan ‘maling’ itu. Akhirnya dengan sigap kutarik pemimpin mereka ke hadapanku. “Ini Tuan kalian bukan?” Ujarku memperlihatkan sosok yang kutarik di hadapan tiga makhluk astral utusan itu. “Iya, dia Tuan kami. Lepaskan! Mengapa kau mengambilnya?” Ujar salah satu makhluk astral kaget. “Aku akan katakan langsung pada Tuanmu ini, jangan berani-berani lagi ke mari terus mengajakku bekerjasama untuk mengambil harta karun dan benda pusaka lainnya yang tersimpan di kota ini. Aku bukan makhluk dungu seperti Tuan kalian” Ujarku keras.

Melihat sukma Tuannya kugenggam, tiga makhluk astral mulai panik dan siap-siap menyerangku. Aku baru tahu kalau di bumi Raflesia ini banyak harta karun menjadi incaran manusia tamak. Mereka bekerja sama dengan para jin fasik. “Aku ingin tahu, Pak. Apa alasan Bapak mengutus tiga makhluk astral ini padaku?” Ujarku menekan amarah. “Karena aku tahu kemampuanmu. Aku juga tahu siapa kamu. Kamu manusia sepertiku, mustahil kamu tidak mau kaya, berlimpa harta” Ujarnya bersemangat. “Harta apa yang kau incar, Bapak dukun” Lanjutku kembali. “Oh, banyak sekali anak manis. Emas batangan, uang emas, pedang, keris, dan sebagainya. Mustahil kau tidak mau. Apalagi jumlahnya banyak sekali. Untuk itu kita harus bersatu guna mengalahkan makhluk astral yang menjaga harta karun tersebut. Kau berkenan kan anak manis?” Lanjutnya lagi merayuku. Dia lupa kalau dirinya dalam genggamanku.”Kau dukun hebat bukan? Tapi dirimu tak sanggup menolak bahkan tidak tahu jika sukmamu di tanganku” Lanjutku lagi. Wajahnya tercengangBeliau baru menyadari jika sukmanya bisa kusandera. Aku tersenyum melihat wajah dungunya. Beliau berusaha menyimpan perasaan cemasnya. Dalam suasana cemas tersebut dia sempat menghubungi anak buahnya dan pengikutnya untuk minta tolong dan bersiap-siap mengirimkan serangan jarak jauh padaku. Ternyata itu alasannya beliau sangat getol untuk mengajakku. Alasan selanjutnya karena aku beliau anggap layak dan dianggapnya hidup belum mapan. Masih butuh biaya banyak untuk hidup. Dengan gampangnya beliau menghitung-hitung berapa persen untuk beliau, berapa persen jatah untukku berapa pun hari karun yang di dapat kelak. Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa titik harta karun peninggalan perang tersebut yang tersebar di beberapa tempat baik di kota Bengkulu mau pun di luar kota.

Setelah selesai mendengarkan ocehannya yang tidak jelas itu, aku berusaha menenangkan hati. “Terimakasih tawaran Pak Dukun. Sayang sekali, saya bukan tipe manusia tamak seperti Bapak. Saya tidak butuh harta karun-harta karun itu” Ujarku melepaskan cengkramannku. “Silakan Bapak pulang” Usirku. Beliau kulempar kembali ke jasadnya. Tiga makhluk astral anak buahnya ikut melesat pulang. Aku masuk kembali ke kamar melanjutkan niat tidurku. Belum sempat merebahkan badan, kembali salah satu makhluk astral berteriak-teriak di luar rumah memanggilku. Aku buru-buru ke luar untuk mengetahui maksud kedatangannya. “Ada apa lagi?” Tanyaku. “Tuanku tak bisa kembali masuk ke jasadnya. Tolong kembalikan dia” Ujarnya setengah membentakku. Kutatap wajahnya dengan sinis. Memang makhluk astral ini tidak punya sopan-santun “Bukankah tuan kalian dukun hebat? Mengapa sekadar kembali ke jasadnya tidak bisa? Artinya tuanmu tidak punya kemampuan apa-apa. Tidak punya kemampuan kok kalian anggap Tuan? Bodoh!” Ujarku mengejeknya. Makhluk astral itu menghentakkan kaki menahan marah. “Coba kalian pikir, kalau Tuanmu hebat, maka dia tidak akan memintaku bekerja sama padanya. Orang seperti itu kok kalian anggap Tuan” Ejekku lagi. “Tapi beliau yang memberi kami makan selama ini” Jawabnya lagi. Selanjutnya makhluk ini terus kusudutkan hingga dia marah dan hendak menyerangku. Dengan santai dia kubodoh-bodohkan. Terakhir dia balik mengejekku, Mengatakan bangsa manusialah yang bodoh mau bersekutu dengan mereka. “Manusia banyak yang bodoh mau kami perdaya. Mereka kelak akan menjadi teman kami, budak kami” Lanjutnya lagi dengan bangga. “Iya, itu bagi manusia yang tidak beriman. Jika manusia beriman jangankan menggoda, mendekat saja kalian tidak bisa. Kalian kepanasan! Sekarang pulanglah. Bukankah kamu juga hebat. Berilmu tinggi. Bantulah Tuan kalian untuk kembali ke jasadnya.” Pancingku. “Tidak bisa!! Tuan kami tidak bisa kembali sendiri ke jasadnya. Kau yang harus bertanggunjawab karena kau yang mengambilnya tadi!” Makhluk astral di hadapanku mulai kehilangan kesabaran. Dalam hati aku senyum-senyum setelah puas mempermainkannya. Dia tidak berani menyerangku. Rupanya dia takut aku tidak menolong Tuannya. Huf! Huf!Aku menggerakkan kembali tanganku ke atas. Sukma Sang dukun kukembalikan. Ternyata jasad beliau dikelilingi lebih dua puluh lima orang yang sedang mengerahkan kemampuan menarik sukma Sang dukun. Meski mereka sudah mengerahkan kemampuan masing-masing, mereka tidak bisa menembus alam gaib untuk mengambil sukma Sang Dukun. Hal ini karena sejak awal memang sudah kuhalangi. Melihat dua puluh lima lebih sosok mengelilingi Sang dukun, aku geleng-geleng kepala. Mereka adalah pasukan pemuja setan dari berbagai daerah. Melihat berbagai macam sajen di hadapan mereka, meyakinkan aku jika mereka adalah orang-orang sesat. Boneka-boneka pocong, anyir darah, berbagai macam kembang, dupa, kendi berisi air, kelapa hijau, dan lain-lain ternyata di apit dua lilin.

Para dukun, sebagian berambut panjang dan brewok. Ada juga bertampang mulus dan bersih mirip orang soleh. Mereka supranatural muda dan tua, berkumpul untuk melaksanakan suatu misi menarik harta karun dan pusaka. Mereka tahu, harta karun-harta karun itu dijaga oleh makhluk-makhluk astral. Umumnya makhluk-makhluk astral tersebut sakti-sakti, untuk itulah mereka bergabung, membuat sebuah paguyuban. Sebenarnya, makhluk-makhluk astral itu menjaga harta karun dan pusaka, sebagian ditugaskan oleh tuannya agar tidak jatuh di tangan orang terntentu. Ada juga sebagian di tempati oleh bangsa gaib karena mereka betah. Benda pusaka dan harta karun itu dijadikan rumah hunian mereka. Oleh sebab itu ketika ada orang yang memaksa hendak mengambilnya, mereka akan melakukan perlawanan. Menurutku apa bedanya bangsa manusia yang menarik paksa harta karun dan benda pusaka itu dengan perampok? Mereka harus menakhlukan makhluk-makhluk astral penjaga harta karum dan pusaka lebih dulu baru bisa memilikinya. Kecuali mereka memang dengan sengaja memberikan pada manusia, lain ceritanya. Akhirnya aku mengingatkan sang dukun agar jangan berani-berani lagi menemui aku, apalagi mengajak pada hal-hal yang menurutku tidak ada manfaatnya. Meski kulihat wajahnya kecewa, namun aku dapat mengetahui mentalnya. Secara batin dia sudah merasa takut padaku. Guru para dukun ini hanya bisa menunduk patuh. Demikian juga tiga makhluk astral yang menemui aku sebelumnya. Pelan-pelan mereka berjalan mundur. Dua puluh lima orang yang bergabung di sini pun hanya bisa diam mendengar peringatanku. Akhirnya aku kembali pulang.

Di depan rumah kutemui Eyang Kuda berdiri seperti menungguku. Beliau tersenyum dari jauh menatapku. “Bertemu paguyuban dukun ilmu hitam rupanya. Kukira dirimu akan menggempur mereka, terutama jutaan anak buahnya itu” Ujar Eyang Kuda. “Inginnya seperti itu. Melihat sukma ketuanya tidak bisa masuk ke jasadnya sudah membuat mereka ciut, Eyang. Biarlah. Selagi dia tidak mencelakakan orang tak apalah. Aku akan awasi mereka” Ujarku. “Hmm…hati-hati Nduk, mereka akan jadi musuhmu di dunia nyata dan menyerangmu di dunia gaib, karena dia tahu dirimu pasti menentang misi mereka. Mereka memang jangan diberi hati. Sekali diberi, bakal minta lagi” Lanjut Eyang Kuda mengingatkan. Aku tersenyum mendengar nasehat beliau. Eyang Kuda ternyata sangat awas dalam hal seperti ini.Akhirnya aku mengajak Eyang masuk ke dalam rumah. Tapi beliau memilih duduk di teras. “Kau tahu yang bergabung di paguyuban itu darimana saja Putri Selasih?” Eyang memicingkan mata menatapku tajam, cahayanya mengingatkan keras padaku untuk hati-hati. “Mereka ada yang dari Kalimantan, dari Banyuwangi, dari Kerinci Jambi, dari Kepulauan Riau, dari Wonogiri, Sragen, Palembang, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Bengkulu kota, Eyang” Lanjutku lagi. Sengaja kusebutkan nama-nama asal daerah mereka agar Eyang Kuda yakin jika aku cukup waspada dan memahami karakter mereka. Kulihat Eyang mengangguk-angguk. Tak lama Eyang Kuda pamit pulang.Sepeninggal Eyang Kuda, aku kembali menuju tempat tidur. Kali ini rasa kantukku benar-benar tak dapat kutolak. Tubuhku segera kuhempaskan ke tempat tidur. Baru kali ini tubuhku menagih segera minta istirahat. Kudengar dari kejauhan ayam telah berkokok sekali. Aku malas melihat jam. Aku sudah tahu saat ini sudah dini hari. Kubuang segera segala macam yang mengganggu pikiran. Sedikit samar, suara pericikkan air wudu Bapak dari kamar mandi mengantarkan lelapku dan bermimpi.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *