Harimau Sumatera Hewan Beradat IV (66B)

Karya RD. Kedum

Aku memang belum bercerita banyak dengan Putri Bulan bagaimana perjalananku malam itu hingga akhirnya Darang Kuning kutawan dan dibawa paman Raksasa. Yang jelas Putri Bulan seperti lepas dari cengkraman serigala lapar. Wajahnya telah berubah ceria. Aku menghampiri Mak dan sujud padanya. Ketika berpelukan dengan Mak, ternyata beliau lebih terharu lagi. Saking bahagia atau mungkin dorongan rasa syukurnya, si Mak malah balik sujud padaku. Aku kaget bukan main. Kuangkat tubuhnya lalu kupeluk beliau erat-erat. “Terimakasih Selasih. Tanpa campur tanganmu, tak mungkin Bulan selamat dari kehancuran. Temenggung Sonang Alam telah bercerita semuanya pada Mak dan Bak” Ujar Mak menatapku.

Aku jadi terharu dengan sikap Mak yang berlebihan. “Mak, apa yang aku lakukan karena Sang Khalik yang menggerakkan. Aku sayang dengan Putri Bulan. Semula aku hanya ingin bertanya langsung dengan Darang Kuning tentang kebenaran perjodohan itu. Dan aku akan minta Darang Kuning membatalkannya. Tapi ternyata justru beralih menawannya setelah tahu siapa Darang Kuning sebenarnya. Aku seperti dituntun harus bertemu dengan orang-orang hebat, Mak,” ujarku. Mak semakin erat memelukku. Sambil sedikit terisak. Kembali beliau mengatakan, beruntung sekali Putri Bulan mempunyai sahabat sepertiku. Ah Mak tidak tahu jika aku pernah diselamatkan Putri Bulan dari cengkraman pasukan Banyuwangi. “Aku ingin melihat Putri Bulan bahagia. Mak. Apa yang kulakukan hanyalah sebuah ikhtiar.” Ujarku masih memeluk Mak. “Sekali lagi terimakasih Selasih, kamu telah menyelamatkan anakku Putri Bulan. Aku tahu Putri Bulan tidak suka perjodohan itu. Dan Mak juga tidak setuju. Mak ingin memberi kebebasan Putri Bulan untuk memilih,” sambung Mak menyusut air mata seolah-olah menyuarakan isi hatinya. Beberapa perempuan yang hadir kulihat iku terharu tanpa tahu persoalan sebenarnya. Apalagi perempuan sepuh yang duduk di sebelah Putri Bulan. Baru saja aku hendak meletakkan pantat untuk duduk, tiba-tiba aku mendengar salam dari bawah rumah. Sepertinya aku mengenal suara berat itu. Lalu serentak yang mendengar di dalam rumah menjawabnya. Aku ikut menongolkan kepala. Ternyata Temenggung Sonang Alam bersama rombongan datang. Aku tanya pada Putri Bulan, dalam rangka apa mereka ramai-ramai ke rumahnya malam ini? Rupanya malam ini ada acara tolak balak dan tepung tawar. Tolak balak bersyukur karena Putri Bulan batal dilamar Darang Kuning. Rupanya, Setelah mendengar penuturan langsung Temenggung Sonang Alam siapa Darang Kuning, telah membuka pikiran Riu Sapura. Beliau merasa seperti luput dari maut. Hampir saja dia menjerumuskan anaknya sendiri dalam mulut buaya. Atas dasar itulah, maka malam ini beliau menggelar tolak-balak. Selanjutnya karena di awal Temenggung Sonang Alam meski sepupunya sendiri secara tersirat dianggap berniat jahat, tidak terbuka dan bercerita dari awal, siapa dan bagaimana anaknya Darang Kuning, dianggap Temenggung Sonang Alam sengaja menyembunyikan sesuatu dan itu kesalahan besar. Untuk itulah beliau kembali datang secara adat, minta maaf dan mengakui kesalahannya. Untuk menetralisir hubungan kekeluargaan, agar tidak muncul rasa dendam, maka diadakanlah tepung tawar sebagai lambang berdamai. Setelah Temenggung Sonang Alam duduk di tempat khusus berdekatan dengan Riu Sapura ayah Putri Bulan, akhirnya tetua adat angkat bicara. Beliau menyampaikan tujuan pertemuan malam ini dengan bahasa daerah.

Aku memperhatikan apa yang disampaikan dengan seksama. Intinya seperti yang diceritakan Putri Bulan. Selanjutnya dilakukan doa tolak balak dipimpin oleh salah satu tokoh agama. Pada acara tepung tawar yang dipimpin oleh tetua adat. Tetua adat menyampaikan beberapa petuah tujuan tepung tawar dan nasihat untuk dua keluarga besar kedua belah pihak. Selanjutnya Riu Sapura dan Temenggung Sonang Alam disuruh duduk berhadapan. Tepung tawar yang terbuat dari beras tumbuk ditambahkan air lalu dengan daun sedingin yang sudah disiapkan, Temenggung Sonang Alam menyapukan cairan tepung tawar ke lengan kanan Riu Alam lalu dibalutkannya sampai rata, kemudian dilanjutkan lengan kiri, sama persisis seperti yang dilakukan di tangan kanan. Selanjutnya gantian Temenggung Sonang Alam membalur lengan kanan lalu lengan kiri Riu Sapura. Usai saling balur keduanya bersalaman dan berpelukan. Aku tertegun dibuatnya. Sebuah tradisi damai di tanah Sumatera yang patut dipelihara. “Andung, apa maksud tepung tawar dan daun sedingin itu?” Tanyaku ingin tahu pada Andung yang kuanggap sesepuh di antara perempuan yang hadir. “Tepung beras bermakna putih simbol suci, artinya bersih, kembali ke titik nol. Apa pun masalah yang pernah terjadi dihapus, makanya dikembalikan dengan warna putih beras. Mengapa harus beras? Bagaimana jika diganti dengan tepung gandum misalnya. Untuk di daerah kita, karena beras adalah sumber makanan pokok masyarakat Sumatera, sifat kental tepung kanji yg dihasilkan beras dianggap sebagai pengikat antara satu dengan lainnya.” Urai Andung meyakinkan aku. Ketika kutanya mengapa harus ditambahkan air? Selanjutnya beliau jelaskan karena air sebagai sumber kehidupan, juga mengambil sifat alam pada air, yaitu menyejukkan. Di tambah dengan daun sedingin, sesuai dengan sifatnya daun sedingin itu lunak, tebal dan dingin, sebagai simbol kedamaian agar suasana kembali adem, tidak ada marah-marahan, tidak ada lagi saling upat, saling mencurigai, dan lain sebagainya. Wah! Aku menjadi makin paham. Ternyata apa yang kulihat di dimensi ini tidak jauh berbeda dengan tradisi di alam manusia. Di sukuku ada juga tradisi tolak balak, ada juga acara tepung tawar untuk berbagai macam kasus. Usai doa selamat, dan acara ditutup, ternyata orang tua Putri Bulan menyediakan makan untuk para tetamu. Para tamu tetap duduk di tepat masing-masing. Lalu dari ruang tengah diulurkan dengan cara estafet nasi yang sudah dimasukkan di tiap pinggan. Masing-masing tamu meletakkan sepinggan nasi di hadapan mereka masing-masing. Selanjutnya menyusul lauk. Pun di muat dalam piring-piring kecil. Lauk-lauk itu diberikan pada tamu secara estafet. Agak berbeda dengan di Besemah. Kalau di kampungku makan bersama dengan membuat hidangan bulat, tiap hidangan diisi untuk sepuluh orang tapi di sini aku melihat lauk dan nasi berserak tak tertata. Aku melihat-lihat sejenak bagaimanan cara makan. Di hadapanku ada sepiring nasi, ada pendap khas Bengkulu semacam pepes ikan selengek ditambah bumbu dapur yang digiling halus ditambah dengan parutan kelapa muda. Ada lauk ikan dan lema bersantan kental. Lema itu rebung yang dipotong dadu hasil fermentasi. Aroma dan rasanya sedikit asam. Melihat warna dan mencium aromanya yang khas mengundang banjir liurku. Belum mencicipinya saja tapi rasa nikmatnya telah memancing selera. Ada sambal petai goreng dengan ikan teri, ada lalap timun dan daun kemangi. “Ciciplah ini, Selasih. Andung yang masak.” Ujar andung menyodorkan sepiring gulai bersantan di hadapanku. Kuamati, lauk apa ini. Ternyata umbut rotan yang dipotong-potong agak panjang, sepanjang ibu jari. Kucicip sedikit, ternyata lunak dan guri. Semua masakan khas Bengkulu ini cocok di lidahku. Ada daging yang dimasak malbi tidak kusentuh sama sekali. Aku lebih memilih pendap, umbut, lema dan sambal petai campur ikan teri. Aroma pandan nasi yang masih hangat memancing selera makan ingin nambah. Sambil makan, mataku mencari-cari Eyang Kuda. Kemana beliau? Mengapa tidak ada di antara orang yang makan? Sambil menyuap-nyuap aku mencari-cari beliau. Padahal tamu yang lain ada semua. “Mencari Eyang?” Tanya Putri Bulan. Aku mengangguk sembari butuh jawaban. “Eyang di sudut beranda itu. Di sana disediakan makanan untuk beliau dan tamu yang tidak makan nasi dan lauk seperti kita.” Ujar Putri Bulan. “Lalu Eyang makan apa?” Tanyaku sedikit heran. Putri Bulan menjelaskan jika Eyang dan beberapa tamu yang hadir ada yang makan kembang dan kemenyan. Aku baru paham. Selama ini aku tidak pernah berpikir tentang makanan Eyang Kuda. Kupikir beliau sama makanannya dengan makhluk asral yang lain sebangsa manusia harimau. Ternyata berbeda.

“Aku mendengar kau berkelahi seru melawan Darang Kuning, Putri Selasih. Bagaimana kau mengetahui kalau Darang Kuning gemar kawin cerai, gemar berjudi sampai kau hancurkan sarang mereka?” Tanya Mak setelah para tamu sudah banyak pulang. Selintas kuceritakan apa adanya. Termasuk jika aku tidak bekerja sendiri. Ada nenek Siti Abdillah, paman Ubai Satra dan paman Muning Kriya yang membantuku. Mata Mak berbinar-binar cerah. “Mak tidak bisa bayangkan bila punya menantu seperti Darang Kuning. Mendengar Putri Bulan dijodohkan saja, dunia Mak serasa kiamat.” Ujar Mak. Aku tersenyum mendegarnya. Terasa sangat kasih sayang seorang ibu. Kuakui, insting seorang ibu sangat tajam. Usai berbincang-bincang dengan keluarga Putri Bulan, aku dan eyang Kuda berniat hendak izin pulang. Tapi dihalangi Putri Bulan alasannya ingin mengajakku dan eyang Kuda keliling kampungnya. Aku menatap eyang Kuda. Beliau mengangguk setuju.

Akhirnya kami bertiga turun dari rumah panggung Putri Bulan. Kain dan tengkuluk sudah kulepas. Kuberikan pada Putri Bulan. Pakaian adat ini semacam koleksi keluarga. Beberapa orang menegur kami bertiga yang berjalan pelan menyisir jalan yang menghubungkan ke lapangan hijau yang luas. Kukira lapangan bola kaki seperti di alam manusia. Rupanya lapangan yang tidak jauh dari rumah Putri Bulan ini semacam alun-alun tempat berkumpul dan menjadi pusat kegiatan adat. Jauh di seberang lapangan aku melihat menara masjid dari jauh. Ada beberapa masjid yang menaranya sangat indahnya. Ada yang tetap bertahan seperti bubungan lima, ada juga seperti kuba masjid pada umumnya. “Itu masjid-masjid pekampungan sekitar sini. Masjid agungnya tidak jauh dengan istana. Luas masjid agung dua kali lipat dari lapangan ini.” Ujar Putri Bulan menjelaskan. Aku berdecak kagum. Suatu saat aku ingin salat di dalamnya. Tanpa kuminta, Putri Bulan menjelaskan kalau hendak ke istana Datuk Ratu Agung, turun sedikit di belakang masjid pertama, selanjutnya naik ke atas bukit, di sana istana berdiri. “Jika kita berada di sudut gunung sebelah selatan, maka kita bisa melihat sedikit bagian istana dari sana.” Ujar Putri Bulan. Iya, aku jadi ingat ketika aku hendak pulang ke tanah Besemah bersama Macan Kembang, aku dan Macam Kumbang singgah sejenak kemari setelah dipanggil Putri Bulan. Bubungan Istana terlihat dari sudut jalan hendak pulang. Istana yang agung berwarna emas.Kali ini kami bertiga membelok ke kiri. Beberapa anak kecil kulihat berlari-lari saling kejar antara mereka. Canda tawa kanak-kanak membuat aku berhenti sejenak menikmati keceriaan mereka. Selebihnya aku dan eyang Kuda menikmati rumah-rumah panggung yang berdiri di bawah pohon-pohon besar, mirip lukisan. Ketika sampai di ujung jalan, aku melihat rumah panggung sebelah kiri ada perempuan-perempuan berkumpul tengah menenun. Melihat aku mereka tersenyum ramah. Menurut Putri Bulan mereka tahu jika aku bukan dari bangsa mereka. Hampir sama dengan di Besemah, mereka menyebutku manusia damai. Artinya golongan manusia yang memiliki ikatan batin dengan alam mereka. Aku mengangguk-angguk memahami. Sebenarnya ingin sekali melihat dengan dekat perempuan penenun itu. Tapi aku lebih tertarik dengan bangunan kecil yang ada di pojok kampung. “Bangunan apa itu Putri Bulan?” Tanyaku ingin tahu. Lalu Putri Bulan menjelaskan bangunan mirip sebuah ruang itu sebenaranya adalah pintu yang menghubungkan kampungnya ke istana kerajaan gunung Bungkuk dan kerajaan-kerajaan kecil ke arah barat daya, kerajaan-kerajaan kecil putra-putri Datuk Ratu Agung. Oh! Ternyata ini adalah jalan pintas. Dari Putri Bulan juga kuketahui tempat sepertinya ini bukan satu-satunya. Tapi ada di beberapa kampung. Yang boleh lewat sini hanya orang-orang tertentu saja. Selain raja dan penggawanya, juga harus soleh dan soleha, bersih lahir batinnya, dan tingkat kedekatannya pada sang Maha tak bisa diragukan. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan di salah satu sudut masjid agung dekat istana, ada lorong yang kerap dilalui Datuk Ratu Agung dan beberapa resi gunung dan oramg soleh soleha untuk melakukan perjalanan ke Makkah. Salat Jumat, atau salat wajib berjamaah pada waktu-waktu tertentu.

Mendengar penjelasan itu, Aku makin terpukau dibuatnya. Sulit sekali untuk kutafsirkan dan diterima dengan akal lahiria. Puyang dan kakek-kakekku juga konon kerap salat ke Makka. Hanya saja aku belum pernah melihat pintu seperti ini untuk menuju tanah suci itu. “Eyang Kuda juga konon sering ikut para pahlawan nasional itu salat di tanah suci kan?” Tanyaku sambil menarik tangan Eyang. Beliau senyum simpul. “Banyak sekali tokoh-tokoh di negeri kita ini yang tingkat kedekatannya pada sang khalik tidak bisa diragukan lagi, Selasih. Bahkan raja-raja yang moksa, orang-orang pilihan yang dulu semasa hidupmu malang melintang berjuang membela agama Din, dan negeri kesatuan ini, tidak sedikit qorim mereka melakukan salat berjamaah tidak hanya salat Jumat saja, namun salat lima waktu.” Ujar Eyang Kuda. Lagi-lagi aku terpukau. Akhirnya kami bertiga duduk di taman sisi dusun. Di sana ada kursi jati berukir rapat menghadap ke lembah. Ternyata itu adalah lembah nyata di huni oleh manusia. Kami mengasoh sebentar sambil terus bercerita menurutku tentang keajaiban-keajaiban alam gaib.

Masih asyik bercerita, tiba-tiba aku mencium bau anyir dan uap hitam membumbung tidak jauh dari taman. Asalnya dari lembah. Padahal sebelumnya wangi bau bunga menyegarkan sejak aku masuk kampung ini. “Darimana bau anyir dan asap hitam itu, Bulan?” Tanyaku heran. “Paling bangsa manusia yang tengah memberikan sesembahan di lembah, di kaki tempat kita berpijak ini. Mereka membuat semacam sedekahan.” Jelas Putri Bulan. “Sedekahan? Maksudnya?” Tanyaku penasaran. “Ya bangsa manusia mungkin juga punya hajat, bernazar, tapi bukan minta pada Allah SWT. Mereka meyakini tempat itu tempat keramat. Bisa mengabulkan apa saja yang mereka minta. Padahal yang membantu mereka adalah bangsa dedemit, setan, jin, iblis yang memanfaatkan kebodohan mereka. Padahal mereka mengakunya beragama. Tapi bukan minta pada Tuhan mereka.” Papar Putri Bulan. Dari beliau juga aku tahu, ketika kutanya mengapa tidak dihalangi, lagi-lagi Putri Bulan menjelaskan mereka memiliki keterbatasan yang tidak sama dengan alam manusia. Untuk langsung menghalangi atau menghancurkan, sama saja dengan menunjukan sikap arogan yang bisa mengakibatkan perang. Seperti kehidupan alam manusia, makhluk-makhluk asral yang di lembah itu semacam makhluk yang nakal, tak kenal agama, dan pemalas. Pekerjaannya menyesatkan manusia. Saat ini mereka Tengah pesta-pora menikmati sedekahan yang disembahkan oleh manusia. Bisa jadi ada yang akan bermalam di sana. Semedi, dengan tujuan tertentu. Tanpa minta persetujuan eyang Kuda dan Putri Bulan aku melompat turun melintasi tebing batu curam yang licin sisi gunung Bungkuk. Benar saja, setelah sampai di lembah aku melihat ratusan mahkluk asral tengah berpesta. Rupanya aroma busuk berasal dari tubuh-tubuh mereka. Selanjutnya asap hitam yang membumbung berasal dari kemenyan yang mereka bakar di atas pedupaan. Sementara kulihat dua sosok manusia duduk sambil melakukan posisi menyembah menghadap ke sisi batu gunung Bungkuk yang agak menjorok ke dalam mirip gua.

Di antara makhluk asral itu aku melihat ada yang agak berbeda penampilannya. Memakai mahkota, bertaring, ada tanduk satu di keningnya. Tubuhnya besar tinggi, rambutnya panjang dan kasar seperti ijuk. Sambil mengangkat kaki dia sedang menikmati santapan yang dipersembahkan manusia. Melihat itu aku jijik sekali. Sementara dua manusia itu bergumam entah apa yang diucapkannya. Makhluk asral tertawa puas sambil terus menyemangati pasukannya yang sedang makan sepuasnya. Mereka tidak menyadari kehadiranku. Tanpa bertanya lagi kuhantam raja dan pasukannya. Kugempur mereka dengan pukulan-pukulan halilintar lalu kuhempaskan tangan ke bumi mengunci semuanya. Dalam sekejap aku melihat pemandangan yang mengerikan. Tubuh parajurit raja batu itu banyak yang terpotong-potong. Sebagian mereka tewas, gosong! Hanya beberapa sosok kulihat masih berdiri tegak termasuk sang raja yang kaget menerima seranganku. “Siapa kamu kutu babi! Berani sekali menghancurkan sarangku dan membunuh pasukanku!” Sang Raja langsung naik pitam. Kakinya yang besar melangkah seperti menghantam-hantam bumi. Bumi terasa bergetar. “Aku Putri Selasih. Ingat Putri Selasih! Agar jika kau mati tidak mati penasaran iblis!” Ujarku tak kalah geram. Tanpa bicara lagi kami langsung saling serang mengirimkan pukulan-pukulan mematikan. Aku yang sedikit emosi melihatnya tak kuberi kesempatan untuknya bisa mendekat. Hantaman demi hantaman yang kuselingi dengan api sekaligus menghancurkan singgasana yang dia duduki. Mendengar gaduh, dari lorong batu-batu yang sempit itu aku melihat ratusan sosok ke luar. Mereka adalah pengawal-pengawal kerajaan makhluk ini nampaknya. Mereka serentak menyerangku. Aku tak ingin berlama-lama, kusapukan selendangku sekaligus menyedot energi mereka. Mereka terkapar serentak. Sang Raja kembali marah. “Kurang ajar, kau sudah membunuh ribuan pasukanku. Kau harus mati!” ujarnya sambil mengirimkan hantaman yang maha dasyat lagi. Aku menghindar. Terkena anginnya saja aku terjerengkang. Hiiiiaaaat!!! Hap! Hap!! Tiga gerakan silang kulakukan. Kakiku masih menancap di bumi. Kulihat raja batu siap-siap pula dengan pukulan mautnya. Pukulan kami beradu dan saling dorong, kuhadang dengan ajian gunung. Kudorong hingga si raja mundur beberapa langkah. Kuhentamkan kakiku. Seranganku kena telak menghantam tubuhnya. Beberapa kali tubuhnya terhempas mengenai rumah batunya. Bukan raja jin namanya kalau mudah kalah. Sang raja kembali bangkit. Dia mengeluarkan ajian barunya. Aku melihat seluruh tubuhnya seperti berbalur api. Mirip robot berjalan ke arahku. Dengan sigap kupanggil bai hujan, kubaca ajian badai. Dua kekuatan itu kuhantamkan berbarengan. Tubuh sang raja sempoyongan. Api tubuhnya mati seketika. Namun kekuatan apinya seperti menyedot tenagaku.

Nafasku jadi engos-engosan. Aku terkesima ketika sang raja mengangkat tangannya tiba-tiba langit berubah gelap. Angin kencang seakan menumbangkan semuanya. Tiba-tiba sang Raja mengeluarkan senjata mirip tongkat dengan ujungnya berkepala tengkorak manusia. Sekali ayun aku merasakan serangan anginnya. Nyaris aku tak sempat membaca mantra karena menahan dorongan anginnya yang sangat kencang ke luar dari kepala tengkorak yang di arahkannya padaku. Aku kembali membaca ajian badai, kuhentakan dengan ujung selendangku. Ujung selendang dan ujung tongkat sang Raja berbenturan. Tiba-tiba bumi bergoyang seperti gempa. Kuputar selendangku hingga melilit tengkorak tongkat sang Raja. Energi kami berdua lewat senjata masing-masing. Aku tidak lewatkan kesempatan, kuisap energi sang Raja. Mengetahui aku menghisap energinya, sang Raja berusaha melepaskan diri. Akibatnya terjadi ledakan-ledakan seperti petir namun tak mengeluarkan api. Ach!! Brakkk!! Satu pukulan sang Raja telak mengenai perutku. Aku terhempas menimpa pohon-pohon di belakangku. Beberapa pohon besar tumbang saking dasyatnya.”Kutu air! Siapa kau sebenarnya? Darimana kau dapatkan ilmu pelebur sukma dan penarik ilmu lawan?” Nampaknya sang Raja kaget. Sambil menyeringai matanya bersinar liar. Aku melihat ada rasa takut yang disembunyikannya. “Untuk apa kau tahu Raja jahat. Aku tidak sudi memberitahumu.” Jawabku. Selendangku kembali mengembang. Kali ini kubiarkan seperti kipas dengan kekuatan matahari. Sang Raja makin kaget. Dia mundur cukup jauh ke belakang. “Apa hubungannya dirimu dengan Pekik Nyaring, kutu air!” Teriaknya. Melihat seperti agak takut aku terbahak. “Jangan kabur hei Raja jahat! Pekik Nyaring adalah Puyangku. Mengapa? Kau takut?” Ujarku. Mimiknya yang serem memang tidak bisa disembunyikan. Mendengar nama Pekik Nyaring sang Raja memang nampak takut. Secepat kilat sang Raja berputar lalu menghilang. Tinggalkan asap seperti kabut lalu lenyap juga di tiup angin.

Aku serasa ingin tertawa. Sebab di alam gaib, aku menemukan makhluk yang hilang lenyap ke alam gaib juga. Persis seperti yang pernah kualami, di dalam mimpi aku bermimpi. “Sudah jangan dikejar!” Eyang Kuda mengingatkan. Aku memang tidak berniat mengejarnya. Yang jadi pertanyaan mengapa dia seperti takut ketika melihat kekuatan yang kukeluarkan dan mendengar nama puyang Pekik Nyaring? Kali ini, mataku tertuju dengan dua orang manusia yang masih duduk khusuk mencari wangsit. Dia tidak tahu kalau jin yang mereka sembah telah kabur. Termasuk pasukannya yang tersisa. Rongga batu ini kosong. Kuhancurkan semua sedekahan yang terdapat di sini. Lalu kubuang jauh-jauh. Dua sosok manusia yang tengah semedi kutendang ke arah rawa kebun kopi penduduk di lembah. Paling mereka ketakutan syukur-syukur otaknya jadi agak miring. Batinku. “Ayo naik lagi!” Eyang Kuda menarik tanganku diiringi Putri Bulan. “Makin lama kamu kayak preman! Melakukan apa-apa main tinggal saja. Tidak ada pamit-pamitnya lagi. Sebelumnya sudah bertarung dengan raja api. Seakan lupa tujuan utama memenuhi undangan Putri Bulan. Barusan juga sama tanpa pamit dah memporak-porandakan kerajaan orang. Iiihh…ayooo belajar sabar. Apa guna hatimu yang selalu berzikir itu.” Eyang Kuda sedikit marah. Aku menyambutnya dengan senyum. Beliau tidak tahu kalau aku ingin semua pekerjaan cepat tuntas. Dan tidak mau membiarkan bangsaku kembali ke zaman jahiliyah.

Langit kembali terang. Kabut tebal berasal dari kemenyan, lenyap seketika. Yang ada harum bunga yang ke luar dari tubuh Putri Bulan. Menyegarkan. Suara mengaji terdengar dari menara masjid-masjid di gunung Bungkuk. Aku dan Eyang Kuda mohon pamit segera. Tidak terasa, sebentar lagi langit gelap akan berubah menjadi terang, menyibak fajar, menumbuhkan matahari.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *