HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (30)

Karya RD. Kedum

“Huuuuuu!!!” aku menguhu, berdiri di atas got yang membelah kebun kakek Haji Yasir. Menguhu adalah cara yang diajarkan kakek guna memanggil orang atau memberi petanda  ada orang. Terutama  jika kita masuk kebun atau hutan. Menguhu  maksudnya  memanggil dari jarak jauh sebagai isyarat  ada manusia.

Lama menunggu  belum ada jawaban. Aku ulangi   kembali. Kali ini lebih kencang.
“Huuuuuuuuuuu! Huuuuuuu!” kuarahkan mulutku ke tengah kebun. Berharap jika kakek Haji Yasir ada di kebun beliau mendengar suaraku. Lalu mejawabnya pula dengan menguhu. Kakek Haji Majani ikut menyimak kalau-kalau kuhuanku dijawab. Hening! Tidak ada jawaban.

“Ya sudah kita langsung ke pondoknya saja. Siapa tahu kak Haji sedang ke pancuran atau sedang solat” Kata kakek Haji Majani. Akhirnya kami bertiga memutuskan untuk langsung ke pondok kakek Haji Yasir. Kami berjalan lagi  ke hulu beberapa ratus meter untuk sampai ke jarau, pintu masuk yang sengaja dibuat tangga setinggi pagar dengan hanya sebatang kayu basia.  

Gemericik air yang jatuh dari sawah seberang jalan seperti berlomba menyisir siring kecil di tengah-tengah kebun kopi kakekku. Bunga kopi sudah mulai layu di antara buah yang sudah masak. Namun semerbak aromanya masih juga terasa segar bahkan sedikit menyengat. Beberapa kembang basia, kayu pelindung sekaligus pagar hidup sepanjang sisi kebun nampak sedang berbunga. Bunga ungu bercampur putih yang gugur seperti sengaja menabur  tanah. Indah sekali. Aku seperti melihat hamparan kembang di antara rumput-rumput kecil dan jarang.

Akhirnya kami sampai di jarau. Aku disuruh melangkah lebih dahulu. Aku   melangkah sedikit hati-hati. Sebab tergelincir sedikit alamat akan jatuh dan terjepit di sisi pagar. Lalu ibuku, perempuan satu ini meski bawaannya berat  dengan tali kinjagh  terkait di kepala namun tidak menghalanginya untuk naik dan melangkah di tangga darurat dari sebatang kayu. Apalagi beliau pakai kain dan kebaya. Luar biasa.

Aku berlari di antara pohon kopi menyisir setapak menuju pondok kakek Haji Yasir. Di halaman pondok jemuran kopi seperti baru saja di gerai. Artinya kakek baru saja melakukan aktivitas di sini. Kulihat pintu pondok terkunci. Tapi bekas asap perapian di dapurnya masih sedikit menyebar. Aku langsung naik ke garang, melihat ada getuk (kentongan) yang terbuat dari kayu nangka. Aku langsung memukulnya dengan irama tertentu sebagai isyarat jika di pondok ada orang datang atau tamu.  Akhirnya, kami bertiga mengasoh, melepas lelah di garang.
“Kalau beberapa hari ini turun hujan, insya allah cap (bunga) kopi ini akan jadi buah” Gumam kakek Haji Majani. Matanya melepas pandang ke hilir. Hamparan kebun kopi kakek  yang rindang nampak  seperti permadani hijau bermotif bunga putih-putih. Indah sekali.  Kali ini aku berinisiatif mencari kakek ke pancuran. Aku kembali  berlari di jalan setapak yang meliuk-liuk mengikuti  barisan pohon kopi. Sesekali aku menunduk demi memerhatikan siapa tahu terlihat kaki kakek yang berjalan. Sampai di pancuran, benar saja. Kakek Haji Yasir sedang mandi. Aku sengaja menunggumu agak jauh. Ingin mengagetkannya tapi takut beliau terburu-buru malah mandinya tidak bersih.

Dalam hati aku ingin sekali membuat kejutan pada kakek. Sejenak aku berpikir, bagaimana caranya. Sebenarnya aku ingin memeluknya, menciumnya, lalu minum kopi secangkir berdua, menyuguhkan roti kesukaannya. Belum selesai aku berpikir mencari ide, kakek Haji Majani muncul. Beliau langsung teriak memanggil kakek Haji Yasir. Ah kacau. Keduanya melepas rindu di pancuran. Berpelukan berulang kali sambil tertawa. Aku hanya bengong saja melihat dua kakek bersaudara ini dengan perasaan haru. Sudah sepuh seperti ini keduanya tetap saling merindukan dan selalu menjaga silaturahmi. Aku seperti melihat dua kakek kembar yang sagat berbahagia mengulangi  masa kecil mereka. Usai berpelukan, masih  sambil tertawa keduanya main siram-siraman. Kakek haji Majani basah kuyup ketika dengan sengaja ditarik kakek Haji Yasir menadahkan tubuhnya di pancuran. Kini giliran aku yang tertawa. Aku terpingkal-pingkal melihat kelakuan dua kakekku. Ingin rasanya ikut bergabung basah kuyup berbaju lengkap seperti kakek Haji Majani. Tapi niat itu kuurungkan kala ingat ibu. Beliau pasti ngomel  dengan alasan bawa pakaian cuma sedikit.

“Kakeeek” jeritku menghentikan canda mereka. Aku membentangkan tangan dari jauh seolah-oleh hendak memeluk kakek Haji Yasir. Kakek Haji Yasir terperanjat. Beliau baru menyadari jika aku juga pulang dusun. Beliau langsung naik lalu memeluk dan menggendongku. Kupegang leher kakekku erat-erat. Aku tidak berani memberontak ketika beliau  memandikan aku sekalian dengan pakaianku. Kami  bertiga tertawa lepas. Untung pancuran ini sepi, tidak ada orang yang lewat. Tidak dapat dibayangkan jika mereka melihat aku dan kakek haji Majani basah kuyup.

Benar saja, mulut Ibu merepet kayak terompet ketika  melihat aku pulang. Sambil membongkar tas pakaianku beliau ngomel menyuruhku mencuci sendiri. Tapi demi melihat kakek Haji Majani juga basah kuyup mulut Ibu berhenti ngomel.
“Loh, kok basah kuyup juga?  Kalau mau mandi kenapa tidak bawa perlengkapan pakaian Kek?” Ujar Ibu.
“Ah, biasa. Ini kerjaan Bapakmu. Melepas rindu  tapi  kami berdua dipaksa mandi lengkap dengan baju.”  Jawab kakek Haji Majani. Akhirnya Ibu hanya bisa tersenyum sumbang. Kuceritakan bagaimana ketika dua kakekku bertemu. Mereka persis anak kecil teriak-teriak sambil siram-siraman.
“Iyalah, belum lepas rindu kakek kalau tidak memandikan kalian berdua” Sahut kakek Haji Yasir sembari membuka pintu pondok. Rupanya kunci pondok  hanya beliau  tarok di atas getuk (kentongan).

Ibu langsung menanak nasi di tungku perapian.  Sementara lauknya beliau bawa dari rumah. Rasa lapar sudah mulai merambah perut. Beberapa roti ternyata tidak terlalu berhasil mengganjal perutku yang lapar. Aku nyaris tidak sabar menunggu nasi matang. Kedua kakekku terlibat obrolan. Kadang keduanya tertawa berbarengan. Entah apa obrolan  yang membuat mereka seperti lucu sekali. Cangkir kopi keduanya sudah nampak kosong. Asap rokok daun nipah yang mereka isap berdua nampak menari-nari seolah-olah ikut merayakan kebahagiaan keduanya.

Tak lama berselang, ibu menghidangkan makan siang Yang agak terlambat ini. Kami pun makan sembari terus mendengarkan obrolan kedua kakekku yang tak ada habisnya.
“Kumbang!” Aku terperanjat melihat kehadiran Macan Kumbang di beranda. Aku langsung bangkit menemuinya sambil membawa piring berisi nasi.
“Dedek kemana, habiskan dulu nasimu”  Perintah Ibu yang kujawab iya tanpa menoleh. Mereka tidak ada yang melihat kehadiran Macan Kumbang di sini.
“Mana  nenek Kam”  tanyaku tidak sabar pada Macan Kumbang.  
“Ada di kebunnya. Aku datang kemari memberitahuanmu malam nanti beliau akan kemari” Ujarnya pelan. Demi mendengar itu aku sangat gembira. Padahal habis makan rencanaku akan ke dusun  menemui nenek Kam.
“Nenek Kam akan kemari?” Aku sudah tak sabar  sebenarnya menunggu waktu malam.  Tapi  demi mendengar kebun nek Kam jauh dari sini akhirnya aku mencoba untuk sabar.

Malam ini kami menginap di kebun.  Besok baru ke dusun Singepure. Sebab rumah yang ditinggal berbulan-bulan itu pasti sangat kotor. Harus dibersihkan terlebih dahulu. Dan membersihkan rumah panjang itu tidaklah mudah.  

Usai makan, aku minta izin kakek untuk ke hilir. Di tengah  kebun kakek ada pohon ghukam.  Aku ingin melihat pohonnya apakah sudah berbuah apa  belum. Aku turun pondok bersama Macan Kumbang. Kami berjalan bersama. Kupegang punggungnya yang berulu tebal. Sambil berjalan kuceritakan padanya tentang perjalananku bertemu dengan  nenek gunung di Tebing Sekip,  di Endikat, dan di pangkal dusun Danau. Macan kumbang hanya tersenyum lalu menjawab bahwa semua itu adalah sesepuhnya. Ketika kutanya perihal raksasa di Liku Semen, apakah beliau juga sesepuhnya, Macam Kumbang tertawa lebar.
“Mana ada nenek gunung sesepuhan dengan raksasa, Selasih. Pertanyaan nggak mutu” Ujarnya.  Mendengar itu aku langsung mencubit punggungnya. Bisa juga Macan Kumbang bilang nggak mutu. Belajar darimana dia.

Beberapa ekor kera panik melompat sampai ke seberang jalan ketika melihat kehadiranku. Rupanya sebelumnya mereka asyik makan ghukam yang sudah mulai merah. Hanya tinggal anaknya yang masih asyik memakan buah satu-satu. Sepertinya diantaranya peduli dengan kehadiranku. Indukya yang sudah di seberang teriak-teriak panik.
“Tenang induk kera, anakmu tidak akan saya apa-apakan. Jangan berisik”  Ujarku. Si induk kera masih mengeluarkan suara peringatan dan ancaman. Sesekali memperlihatkan  gigi dan taringnya pertanda mengancam. Akhirnya aku cuek saja. Aku ikut mengambil buah ghukam yang menguntai di ranting atas siring kecil. Lalu menggigitnya.
“Huaaaeeekh”  meski sudah merah ternyata masih kelat dan asam. Aku megercingkan mata menahan asam yang sangat. Seketika air liur serasa banjir.
“Asam sekali!”  Ujarku sambil meludah. Macan Kumbang tertawa  lebar melihat mataku terpejam.
“Masih asam dan kelat” ujarku masih menahan air liur yang terus banjir. Macan Kumbang  biasa-biasa saja mengunyah ghukam yang masih hijau dan setengah merah. Melihat dia begitu lahap, kupetikan beberapa  tangkai lalu memberikannya pada Kumbang.
“Berapa hari lagi aku baru bisa memetik ghukam ini  agar terasa manis, Kumbang?” Tanyaku.
“Paling dua atau tiga hari lagi kamu bisa makan sepuasnya di atas pohon” Ujarnya. Berarti tidak lama.  Aku mencoba  memetik buah yang warna merahnya  paling tua. Aku mercoba menggigitnya. Masih kelat dan asam. Akhirnya aku mengalihkan pandanganku ke lain pohon.

Di hadapanku  pohon cengkeh sedang berbunga. Aroma khasnya menyengat hingga ke rongga dada. Rupanya kakek belum sempat menyuruh orang untuk memetiknya. Padahal bunganya sudah layak dipanen. Aku mengira-ngira tingggi pohon. Sampai ke puncak kurang lebih dua puluh meter. Tapi dari bawah sampai ke ujung penuh bunga.
“Mau dipetik?”  Ujar Macan Kumbang. Aku menggeleng. Tidak ada tangga dan gala untuk memetiknya.
“Bersihkanlah bawah pohonnya. Aku akan memetiknya” Ujar Macan Kumbang serius. Tanpa bertanya lagi aku langsung mengambil ranting kopi kering lalu mulailah menyingkirkan daun dan ranting di bawah pohon cengkeh hingga bersih.
“Sudah!” Ujarku singkat. Dalam waktu sekejap Macan Kumbang sudah berada di atas pohon cengkeh. Bunga-bunga cengkeh sudah mulai berjatuhan. Aku tertunduk-tunduk memungut cengkeh yang berserak lalu mengumpulkannya di tanah yang baru saja kubersihkan.

Dalam waktu sekejap, bunga cengkeh yang terkumpul sudah  setinggi dada. Aku melegahkan pinggang. Terasa pegal juga memunguti bunga cengkeh yang berserak. Nyaris tak sempat mendongakkan kepala lagi.
“Kumbang, aku capek!” Keluhku sambil duduk di atas daun-daun kering.
“Istirahat dulu” Ujarnya.
Macan Kumbang luar biasa. Tubuhnya yang besar itu naik pohon cengkeh sampai ke ujung-ujung ranting. Kakinya megijak dahan yang hanya sebesar kelingking. Namun tak sedikitpun ranting itu bergoyang apalagi melengkung. Tubuhnya seperti menempel saja di dahan-dahan. Aku berdecak kagum dibuatnya

Ketika hendak bergerak mengumpulkan bunga cengkeh kembali. Seekor pacet merangkak lapar menghampiriku. Tubuhnya menjalar-jalar mecari tempat menempel untuk menghisap darah. Akhirnya kuulurkan tangan. Pacet langsung menempel. Rupanya penciuamannya sangat tajam. Sang pacet memilih diam di sela jemariku. Dia mulai bekerja menghisap darah
Dalam waktu singkat tubuhnya yang semula hanya sebesar lidi, berubah gendut seperti ibu jari. Sambil mengumpulkan bunga cengkeh, kulihat pacet masih terus menempel. Kasihan, pacet ini sangat lapar rupanya.

Tak lama berselang dia melepaskan diri dari jemariku. Tubuh bulatnya langsung jatuh ke tanah. Demikianlah cara pacet. Kalau sudah kenyang maka dia akan melepaskan diri. Tinggallah jemariku yang berdarah tak henti. Aku langsung mengambil rumput amis-amis yang tumbuh di semak-semak. Perdu satu ini diyakini nenek moyangku dapat menghentikan darah bekas luka.
“Maaf amis-amis, izinkan aku mengambil daunmu” bisikku. Kuambil beberapa lembar. Lalu kuremas hingga mengeluarkan air. Aku tempelkan di bagian  luka gigitan pacet. Darah yang mengalir berhenti seketika.
“Di tekan Dek biar racun pacetnya ke luar” Ujar Macan Kumbang dari atas pohon. Akhirnya kulakukan. Aku menekan-nekannya hingga terasa sakit.
“Preettt” Aku kaget mendengar suara Selasih seperti mengejek. Macan Kumbang tertawa mendengar suara mirip kentut terjepit itu.
“Kenapa?” Tanyaku heran.
“Masak pacet saja dikasih makan? Kurang kerjaan” Ujarnya.
“Loh, kamu tidak lihat pacet tadi tubuhnya sangat kurus karena tidak dapat makan?” Tanyaku lagi.
“Kan dia bisa menggigit babi, kancil, kera, atau apalah yang lewat sini. Bukan sepertimu sengaja minta disantap pacet” gerutunya lagi. Aku senyum-senyum mendengar Selasih. Hari ini lengkap sudah Selasih menentangku. Sepertinya bawaan letih membuatnya  tidak sinkron denganku. Macan Kumbang makin  tertawa lucu.
“Baru kali ini aku melihat satu tubuh berantem, bertentangan, kadang sinkron kadang tidak. Putri Selasih…Putri Selasih. Makanya banyak yang menyayangimu. Karena kamu unik. Biasanya kalau sudah satu tidak ada bertentangan seperti ini. Tapi dirimu…lucu!” Macan Kumbang terkeh-kekeh dari atas. Aku hanya tersenyum sembari melanjutkan memungut bunga cengkeh yang berserak.

Hari sudah mulai petang. Sebentar lagi matahari tergelincir. Memetik bunga cengkeh belum juga selesai. Entah darimana datangnya beberapa nenek gunung membantuku mengumpulkan cengkeh ke tumpukannya. Dalam waktu singkat, satu pohon besar bersih dipetik. Aku menarik nafas lega. Belum sempat mengucapkan terimakasih pada nenek gunung-nenek gunung yang membantuku, mereka sudah pergi  raib entah kemana.

Dalam hati aku yakin, mereka pasti sahabat-sahabat Macan Kumbang.
“Mereka akan jadi sahabatmu juga, Selasih” Ujar Macan Kumbang membaca pikiranku. Aku mengangguk kecil. Saatnya aku pulang ke pondok sebelum kakek mencariku.  Akhirnya kembali aku berjalan di sela-sela pohon kopi. Aku akan melaporkan saja pada kakek kalau cengkeh sudah dipetik. Paling besok pagi akan diangkut ke pondok. Malam ini biarlah kawan Macan Kumbang yang menjaganya agar tidak dicuri orang. Macan Kumbang pamit setelah mengantarku hingga pangkal tangga.

Hari belum terlalu  gelap. Di lengkung  langit, cahaya jingga bergetar-getar. Kata ibuku cahaya bergetar itu disebut gajah ngesai bulu. Entah apa dasarnya sehingga cahaya yang bergetar-getar itu disebut gajah ngesai bulu. Mataku tidak hanya tertuju di sana. Kelelawar berukuran besar yang melintas  di langit seperti berlomba pergi ke hulu. Dari arah timur ke barat. Selalu begitu setiap jelang petang. Mereka berduyun-duyun mengepakkan sayap seperti tarian anak dara, lembut dan gemulai.

Sebuah pemandangan  yang hanya  aku temui di dusun dan jelang petang di kota kecilku  Pagaralam. Terutama ketika rumah kami di Talang Jeruk. Rumah-rumah masih berdiri rendah. Belum ada gedung-gedung yang menjulang seperti sekarang. Maka aku akan melihat gajah ngesai bulu dan kelelawar besar terbang rendah ke hulu, ke gunung Dempu.

Sesekali suara burung taktarau kadang dekat kadang seperti menjauh, seolah-olah mengingatkan pada seisi alam untuk berkemas-kemas menyambut malam. Pelan tapi pasti satwa malam sudah mulai bernyanyi. Jangkrik mengerik tiada henti dengan warna vokal yang berbeda-beda. Mereka seperti olah vokal seakan memamerkan suara merekalah yang paling merdu. Dari belakang pondok, suara kodok seolah-olah memanggil hujan. Makhluk satu itu pasti tengah berendam di dalam lumpang bambu yang berair, tempat kakek Haji Yasir mengasah garuk, sengkuit atau pisau.

Kunikmati suara alam ini sepuasnya. Di dalam pondok, suara kakek Haji Majani bersalawat pelan sembari menunggu waktu maghrib tiba. Berkali-kali kakek Haji Yasir memanggil aku agar masuk dan menutup pintu. Aku hanya mengiyakan sembari masih menikmati suara satwa dan gajah ngesai bulu. Baru saja aku hendak memutar belakang, tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh cukup ramai. Tak lama berselang aku melihat gerombolan nenek gunung berlari cepat ke hulu. Saking banyak dan cepatnya, aku tak sempat menghitung berapa jumlah mereka. Mau kemana mereka?

Akhirnya aku segera masuk dan menutup pintu.  Ibu menyalahkan lampu badai dan beberapa lampu cubuk (lampu minyak) dan meletakkannya  di tengah-tengah pondok agar semua ruang mendapat cahaya. Nyala api menari-nari kala angin berhembus dari sela-selah dinding pelupuh. Di luar sudah gelap. Padahal waktu magrib belum tiba. Beberapa kali kakek Haji Majani memperhatikan jam.
“Jam berapa waktu maghrib, kak Haji?” Tanya kakek Haji Majani ke pada kakek Haji Yasir.
“Entahlah, aku tidak pernah memperhatikan jam. Pedomanku hanya pada suara burung taktaraw. Jika dia sudah berhenti berbunyi,  maka waktu magrib tiba.” Ujar kakek Haji Yasir. Lalu keduanya diam seakan-akan memusatkan panca indera untuk memastikan apakah burung taktaraw sudah berhenti mengingatkan semesta alam?

Setelah pasti burung  taktaraw berhenti, kakek Haji Majani  azan. Kakek Haji Yasir berdiri di sajadah imam. Ibu segera mengamit aku agar ikut salat berjamaah. Aku segera wudu di garang dekat dapur. Lalu buru-buru menyarung mukena menjadi makmum. Suara khas kakek haji Yasir terdengar syahdu meski rada kecil. Tapi untuk berjamaah di pondok kecil ini cukup terdengar.

Rakaat pertama selesai. Aku kembali khusuk melanjutkan rakaat ke dua sembari mengikuti tiap ayat yang diucapkan kakek Haji Yasir. Dalam remang cahaya lampu cubuk yang bergoyang-goyang, aku melihat bayangan lain berdiri di sebelah kakek Haji Majani. Meski aku berusaha untuk khusuk tetap saja bayangan itu menarik perhatianku.  Siapa dia? Ternyata dia ikut salat. Oh, tidak hanya seorang, tapi beberapa orang. Ini terlihat ketika semua sujud. Aku sengaja berlambat-lambat agar dapat melihat bayangan aneh tersebut. Nyaris aku menoleh, ketika menyadari jika di samping ibu juga ada perempuan yang ikut salat. Mereka mengenakan mukena berwarna putih semua. Perasanku makin menjadi. Siapakah mereka ini?

Akhirnya selesai juga tiga rakaat itu. Kakek Haji Yasir langsung melanjutkan dengan zikir diikuti kakek Haji Majani. Aku belum bangkit dari sajadah. Aku masih asyik mendengar zikir yang  dilafaskan kakek.
Selesai berdoa aku segera mencium tangan ibu dan kedua kakekku. Aku mencari-cari mana yang telah ikut berjamaah tadi? Mengapa menghilang? Aku kembali duduk dan diam mencoba masuk ke dimensi lain. Oh! Masya Allah, mereka adalah  nenek gunung yang melintas di depan pondok kakek Haji Yasir. Ketika mendengar azan yang dilantunkan kakek Haji Majani, mereka berhenti dan ikut salat berjamaah. Kedua kakek dan Ibuku tidak satupun menyadari kehadiran mereka. Memang mereka kasat mata. Dua orang lelaki paruh baya, satu sudah sepuh, dan dua perempuan sudah sepuh pula.
“Terimakasih Selasih. Sudah diizinkan salat berjamaah di pondok kakekmu” Ujar lelaki yang sudah sepuh.
“Sama-sama Kek. Akan melanjutkan perjalanan kemanakah? Mengapa dari tadi saya melihat semua seperti terburu-buru ke hulu. Ada apakah gerangan?” Tanyaku tanpa bertanya siapa nama mereka. Lalu salah satu dari mereka menjawab, mereka hendak menghadiri  pesta salah satu kerabat mereka di lereng belakang gunung Dempu.
“Malam ini bagok’an, makanya kami semua hendak pulang. Kebetulan calon pengantin yang diambek (diambil) gadis dari dusun hilir”  Ujar lelaki yang sudah sepuh yang kupanggil kakek. Aku mengangguk mengerti. Pantas mereka berduyur-duyun. Rupanya memang hendak ke pesta.

Akhirnya semuanya pamit setelah bersalam-salaman denganku. Aku melambaikan tangan tersenyum pada mereka.
“Hei! Melambaikan tangan pada siapa? Ayo bantu Ibu siapkan hidangan makan malam kita” Ibu mencolek punggungku. Aku kaget dan membuka mata. Lalu kulipat mukena dan sajadahku. Sementara kedua kakekku masih lanjut dengan salat sunahnya.

Aku menelan ludah kala ibu mengeluarkan paisan tighau kukuran (jamur gerigit). Kubuka bungukusan daun pisang separuh. Liurku berkumpul dari sisi kiri kanan lidah. Aku menelannya. Serasa lidah telah mencicipi jamur langka yang hanya tumbuh kala musim hujan ini. Lalu ibu menyodorkan rebusan sayur lumai, sepiring sambal picak dan ikan asin sepat. Aku menoleh pada kedua kakekku. Berharap mereka tidak berlama-lama lagi berdoa. Aku ingin segera makan.

Hidangan sudah siap. Aku duduk sambil memegang piring kaleng di hadapanku. Ibu masih sibuk menuangkan air hangat di cangkir-cangkir kaleng pula. Aku memilih cangkir berwarna hijau lumut. Seragam dengan piringku. Hijau berbunga-bunga. Entahlah aku suka sekali makan dengan piring kaleng dan cangkir kaleng ini. Piring dan cangkir yang hanya aku temui jika berada di dusun.
“Alhamdulilah, ini makanan istimewa. Paling istimewa, paisan daging batang ini membuat makan pasti nambah” Ujar kakek Haji Yasir menyebut tighau kukuran dengan sebutan daging batang.

Baru hendak menyuap, tiba-tiba terdengar bunyi kaki orang mengijak lantai garang. Lalu terdengar salam. Aku melompat sembari menjawab salamnya. Nenek Kam! Aku segera membuka pintu. Dan benar! Nenek Kam tersenyum sembari membentangkan kedua belah tangan. Aku langsung menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. Nenek Kam seperti paham perasaanku. Beliau pun memelukku erat sembari berulang kali menciumku. Kedua kakek dan Ibuku sibuk menawarkan agar nenek Kam langsung bergabung ikut  makan. Akhirnya setelah puas berpelukan dan dicium, terakhir nenek Kam berbisik.
“Nanti cepat tidur ya. Nenek mau mengajakmu ke hulu” Aku hanya asal mengangguk tanpa berpikir lagi. Di suruh tidur tapi diajak ke hulu.  Aku patuh  saja sembari menyilakan nenek Kam untuk makan bersama.
“Kapan kita panen sali, mucung kemang, mucung bacang” Ujarku setengah berbisik.
“Itu gampang, kapan saja kau mau” Sambungnya. Kami pun ikut duduk menghadap hidangan yang terhampar di atas tikar purun khusus untuk menghidangkan makanan.
“Nah, dapat darimana bunga rumput ambung-ambung ini Nek” Ujar ibu membersihkan  bunga rumput yang menempel di baju nenek Kam. Bunga rumput itu hanya akan ditemukan jika kita melalui semak belukar atau padang rumput. Sementara Nenek Kam, jika lewat jalan umum, jalan yang sering dilalui manusia tidak akan ditempeli bunga rumput ambung-ambung ini.
“Ah, biasa, pinggir jalan banyak rumput ambung-ambung. Maklum sudah tua, jadi tidak begitu awas melihat jalan” Alasannya. Padahal aku tahu, nenek Kam diantar Macan Kumbang. Nenek Kam tidak berjalan tapi menunggang Macan Kumbang.

Ternyata nenek Kam tahu pikiranku. Digamitnya kakiku sebagai isyarat agar aku diam. Jangan banyak tanya dan cerita. Akhirnya aku  menyuap nasi yang dibubuhkan Ibu. Sejumput paisan tighau kukuran masuk dalam mulutku. Hmmm nikmat sekali. Ibuku memang jago masak masakan tradisional. Semua bumbu sangat pas takarannya. Tanpa penyedap, namun masakannya terasa  guri. Apalagi ada rasa-rasa ikan terinya. Justru membuat aroma pepesan tighau kukuran menjadi lebih sedap.

Sayur lumai rebus kucolet dengan sambal picak. Aroma cungkedire dan cabai keriting  segar sekali. Kulihat kedua kakekku seperti berlomba. Mereka makan banyak sekali. Bahkan dua kali nambah, membubuhkan nasi ke piring mereka. Sementara nenek Kam sebaliknya. Makan beliau sedikit sekali, yang banyak justru makan rebusan lumai dan sambal picak. Nasi seperti menu tambahan saja dibuatnya.

Usai makan malam  semua duduk di ruang tengah pondok. Lampu cubok di letakkan ibu di tengah-tengah. Wajah kedua kakek dan nenek Kam nampak jelas. Tak lama berselang aku mendengar ada suara orang ngobrol dari arah jarau. Di sela-sela di dinding pondok aku melihat cahaya senter mereka berayun-ayun. Tak lama mereka teriak mengucapkan salam
ternyata yang datang Mang Deran dan Mang Pandi.

Suatu kebiasaan di kampungku memang, meski tinggal di kebun jauh terpisah dengan pondok lainnya namun ketika mendengar ada yang datang, apalagi jarang bertemu maka mereka berkunjung  untuk menjaga silaturahmi. Biasanya mereka akan bercerita ngalur ngidul sambil menikmati kopi hingga larut malam. Ada saja topik yang mereka bicarakan. Mulai dari masalah pertanian sampai ke masalah sosial. Tak jarang di antara mereka sambil bercerita dengan mata terkantuk-kantuk.

Seperti pesan nenek Kam, agar aku tidur segera, aku melakukannya. Apalagi semakin malam udara semakin gigil. Aku mulai berbaring. Nenek Kam juga berbaring  di sampingku sembari terus bercerita dengan ibu.   Sebenarnya aku belum bisa tidur. Apalagi mendengar cerita mang Deran dan Mang Pandi yang terkadang terdengar lucu. Akhirnya di tengah cahaya remang-remang aku mengintip di bawah selimut yang tebal.

Aku kaget ketika kakiku ada yang mengamit. Kulihat nenek Kam berdiri di ujung kakiku mengajakku untuk bangun. Aku menoleh ke samping, di sebelahku ada nenek Kam yang rada-rada mengantuk mendengarkan ibuku bercerita. Ketika aku hendak bangun, tubuhku terasa si tahan.
“Tutup matamu, dan fokuskan pikiranmu ikut Nenek” Suara nenek Kam persis di telingaku. Aku segera menelentang lalu berusaha ke luar dari jasadku. Dalam waktu singkat aku telah berdiri di samping nenek Kam.
“Kita akan kemana, Nek?”  tanyaku gembira. Aku bahagia sekali. Pasti nenek Kam akan membawaku berpetualang  malam ini.  
“Nenek akan mengajakmu ke suatu tempat. Kita pergi menghadiri pesta anak kepala suku dari Ayek Panas ulu  Keghinjing. Aku tidak sempat bertanya di mana tempat itu dan seberapa jauh dari sini. Aku serasa dibimbing Nek Kam ke luar pondok. Di luar Macan Kumbang dan beberapa kawannya sudah menunggu.

Nenek Kam langsung naik di punggung Macan Kumbang. Sementara aku disuruh nenek Kam naik ke punggung nenek gunung yang sedikit berwarna abu. Semula aku ragu. Apalagi aku belum kenal sama sekali.
“Naiklah Selasih. Aku dengan Macam Kumbang sama saja, adik nenekmu. Namaku Ali Kedar. Aku berdomisili di bukit Serelo gunung Jempol ulu Lematang.  Suatu saat kamu harus berkunjung ke sana.” Ujarnya. Mendengar suaranya yang lembut ramah, membuatku tanpa ragu. Aku langsung memeluk lehernya.

Kalau dilihat dari usia, nampaknya Ali Kedar lebih muda dari Macan Kumbang.  Sekali lompat tubuh Ali Kedar meluncur ke depan cepat sekali. Macan Kumbang dan beberapa nenek gunung  berada persis di belakangku. Mereka juga melompat cepat namun tetap menjaga jarak.

Sesekali kupejamkan mata karena terasa perih tertiup angin. Meski gelap, namun aku dapat melihat sekelilingku dengan jelas. Kami melompat kadang berlari melintasi hutan dan semak belukar. Kadang melompati jurang yang dalam. Tidak sedikitpun rasa khawatir akan tergelincir atau jatuh dari tunggangan. Ali Kedar terus berlari dan melompat menembus bukit yang berkabut.

Beberapa menit kemudian, aku merasakan langkah Ali Kedar mulai pelan. Bisa jadi kami akan sampai di tempat tujuan.
Benar saja, dari jarak yang tidak seberapa  jauh aku melihat tenda berdiri gagah. Besar dan mewah. Dalam hati aku berkata, yang pesta pasti orang kaya. Tapi siapa yang akan dipestakan? Jadi, aku diajak kemari untuk ikut atau menyaksikan pesta?

Aku turun dari punggung Ali Kedar bersamaan dengan dengan nenek Kam yg juga turun dari punggung Macan Kumbang. Seketika nenek gunung-nenek gunung ini berubah wujud seperti manusia. Mataku terpana melihat Ali Kedar. Ternyata sama gagah dan gantengnya dengan macan kumbang. Bedanya kulitnya lebih putih kemerah-merahan. Aku langsung dibimbing Macan Kumbang memasuki gerbang tenda.

“Nek, ini pesta pernikahan?” Tanyaku. Dari dalam  tenda yang mewah itu aku mendengar ulunan petikan gitar tunggal  batang hari sembilan mendayu-dayu. Sejenak perasaanku ganau  demi mendengar alunannya. Dalam hati alangkah lihainya yang memainkannya.
“Iya, pernikahan anak kepala Suku” Ujar Nenek Kam.

“Tapi, masak ke pesta kita memakai pakaian ini?” Ujarku. Sebab aku merasa tak layak di tempat pesta memakai pakaian tidur. Nenek Kam tersenyum lebar.
“Kamu tidak sadar kalau yang kamu pakai adalah pakaian nenek gunung, Dek. Kamu adalah Putri Selasih gadis kecil yang cantik dan lucu. Lihatlah mata para tetamu memperhatikanmu. Nenek tahu, mereka tengah mengamati keistimewaanmu. Mereka adalah para nenek gunung,  harimau jejadian” Penjelasan nenek Kam agak pelan. Aku hanya mengangguk kagum.

Makin ke dalam makin ramai. Banyak sekali tamu yang datang.
“Apakah yang hadir di sini nenek gunung, harimau jejadian semua, Nek?  Kita kan bukan harimau jejadian? Kita kan manusia?” kataku lagi.
“Sebagian besar adalah harimau jejadian. Ada juga yang menyebutnya manusia harimau. Tapi sebagian lagi adalah manusia seperti kita yang sering disebut manusia damai. Karena kita manusia yang dekat dengan kehidupan para nenek gunung ini.” Sambung nenek Kam lagi.

“Selasih, kamu perhatikan dan tajamkan penciumanmu. Itu yang memetik gitar tunggal batang hari sembilan, bukan manusia jejadian. Bukan pula manusia damai. Tetapi dia asli manusia yang sengaja  diundang  untuk mengisi acara di sini. Tapi dia tidak sadar jika dirinya ada di perkampungan manusia harimau. Usai acara dia akan di antar. Perasaannya mungkin naik kendaraan motor atau mobil. Padahal dia diantar jemput oleh nenek gunung”. Aku tersenyum mendengar penjelasan nenek Kam.

Ternyata kedatangan nenek Kam, Macan Kumbang, dan Ali Kedar disambut sopan oleh seorang lelaki dan perempuan berpakaian adat dengan  tanjak di kepala, berbaju telo belango dan kain tanjung melilit pendek dipinggang. Yang perempuan, bersanggul dan bersunting di kepala memakai kebaya beludru kurung dan kain tanjung juga. Keduanya sangat  serasi. Senyum mereka lembut dan  ramah. Kami pun mematuhi arahannya duduk di kursi yang sudah disediakan.

Belum sempat kami duduk, beberapa orang menghampiri kami. Betapa aku terkejut, ternyata yang berpakaian gamis, bersorban melilit di kepala adalah kakek Andun,  kakek Bujang Kuning,  Kakek Njajau, dan beberapa orang yang belum kukenal. Melihat aku, kakek Andun langsung tersenyum lebar, menyalamiku dan langsung megggedongku.
“Cantik sekali cucuku satu ini. Bujang Kuning, Njajau,  kalian sudah mengenal anak kecil ini bukan? Dia cucu nenek Kam. Muridku yang lucu” Sambung Kakek Andun. Aku merasa bersyukur dan bangga. Aroma harum kakek Andun menyegarkan hingga kerongga dada. Masih di gendongan kakek Andun aku besalaman dengan kakek Bujang Kuning, dan kakek Njajau.

Akhirnya aku diturunkan kakek Andun dan duduk di kursi  samping nenek Kam. Di hadapan kami terhidang makanan kecil kue basah dan buah-buahan.  Aku jadi teringat tetanggaku dulu hilang di bawa makhluk ghaib maksumai, mereka diberi makan kotoran ayam.
“Ini semua makanan halal. Makanlah. Jangan samakan dengan maksumai. Lihatlah, bagok’an yang diadakan di sini tidak beda dengan bagok’an  di dusun kita bukan? Harimau jejadian juga makhluk beradat, Cung. Kehidupan mereka banyak kesamaannya dengan kita. Bedanya mereka bisa berubah wujud menjadi harimau dan bisa juga berwujud   manusia. Namun di alam yang berbeda. Hanya manusia tertentu saja yang bisa melihat wujud mereka” Jelas nenek Kam lagi.  Aku semakin paham. Meski sebelumnya nenek Kam sudah pernah menjelaskan hal ini.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *