HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (73A)

Karya RD. Kedum

Aku masih duduk di bangku halaman sekolah berbincang-bincang di bawah pohon akasiah bersama kawan-kawanku. Angin berhembus pelan. Cuaca terasa terik. Serbuk sari akasia berterbangan saat ditiup angin. Jatuh di rerumputan berwarna kuning.

Beberapa temanku membicarakan nilai Kimia. Dari tiga puluh delapan orang di kelasku, hanya satu orang yang nilainya sembilan puluh, yaitu Zakariah. Selebihnya ada yang tujuh puluh lima, enam puluh, lima puluh, bahkan ada yang dapat empat puluh. Aku sendiri tidak tahu, berapa nilaiku. Nilai itu terkuak ketika salah satu kawanku yang jahil membuka buku nilai Bapak Buyung yang tergeletak di mejanya.

Mendengar nilai Kimia rata-rata kecil, sebagian kawanku ada yang ngomel-ngomel tidak puas, lalu menyalahkan Bapak Buyung guru Kimiaku. Aku senyum-senyum sendiri melihat mereka. Memang sifat manusia, saat merasa beruntung maka akan koar-koar senang, bahkan tidak segan-segan memuji seseorang setinggi langit. Namun saat tidak setuju, maka sebaliknya akan diupatnya, dan muncullah segala kejelekannya. Bahkan ke luar pula fitnah.

Aku tidak peduli nilaiku berapa. Yang penting cukup dan naik kelas. Aku sudah tidak tahan menunggu pembagian raport semester. Aku sudah berjanji akan pulang ke Seberang Endikat, tanah Besemah setelah dua tahun lebih meninggalkan kota kelahiranku. Bapak dan Ibu sudah menunggu untuk pulang bersama. Aku sudah minta izin teman-temanku di Ratu Samban Hiking Club, kalau aku tidak bisa ikut andil dalam kegiatan selama libur panjang. Kecuali jika mereka putar haluan untuk mendaki gunung Dempu, maka aku akan tunggu mereka di Pagaralam. Tapi hal ini tidak aku tawarkan pada mereka. Aku khawatir malah mengganggu kebersamaanku dengan nek Kam, kakek Haji Majani, kakek Haji Yasir, Macan Kumbang dan lain-lain.
“Aduh, nggak seru kalau ngg ada kamu, Dek.” Kata Adi ketika tahu aku akan pulang kampung selama liburan. Yang lain juga ikut tercenung, diam. Aku heran melihat ekspresi mereka.
“Kenapa wajah kalian seperti ini semua ya? Ada apa?” Tanyaku heran.
“Ya…tidak semangat aja kalau tidak ada kamu, Dek. Ada sesuatu yang kurang kalau kamu tidak ada dalam setiap kegiatan kita” Lanjut Wira. Padahal mereka adalah senior-seniorku. Toh sebelum aku bergabung dengan mereka, tidak ada masalah. Mengapa sekarang jadi masalah ya? Ah, dasar mereka saja kolokan. Minta perhatian, sok manja! Pikirku. Ina dan Desi juga ikut-ikutan bilang tidak seru kalau tidak ada aku.

Rencananya kawan-kawanku ini sesuai dengan program jangka pendek akan survei ke Bengkulu Utara, ke hutan lindungnya hingga ke Muko muko. Sementara program jangka panjang, penghijauan menanam seribu pohon di hutan-hutan gundul di Bengkulu Selatan namun belum dapat respon Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanannya. Padahal dari provinsi kami sudah mendapatkan bantuan pohon lindung yang siap tanam. Termasuk ribuan bibit buah-buahan yang akan kami bagaikan dengan penduduk desa.

Melihat ekspresi kawan-kawanku aku jadi senyum sendiri. Pasti di hati mereka ada perasaan was-was takut bertemu dengan hal-hal yang berbau mistis di hutan. Atau seperti ketika bermalam di pantai Lais tahun baru, pas tengah malam tenda mereka ada yang menarik-nariknya dari sebelah kiri dan kanan hingga tenda mereka koyak namun tidak terlihat sosok yang menariknya. Alhasil mereka tinggalkan pantai lalu bermalam di teras rumah penduduk. Ketika mereka bertanya padaku siapa yang jahil? Setelah kutelusuri, rupanya siluman harimau penguasa wilayah itu tidak menyukai kehadiran manusia. Dia anggap manusia hanya datang mengotori tempatnya saja. Mendengar penjelasanku mereka jadi takut. Sejak itu mereka tidak berani bermalam di pantai sembarangan. Selalu bertanya dulu padaku. Itu salah satu efeksnya. Makanya dari dulu sebenarnya aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tidak tahu siapa aku sebenarnya. Sekarang terkuak sedikit. Malah aku ikutan risau. Karena ada tanggugjawab sosial jika kawan-kawanku diganggu makhluk asral. Aku jadi was-was juga harus menjaga mereka.

Semalam, Melati berkunjung ke rumahku. Kami bercerita hingga dini hari. Dia bilang sudah bisa solat dan sedang belajar mengaji. Setiap hari ada ibu Nur Hasanah yang mengajarinya. Beliau datang dari masjid At Taqwa. Salah satu masjid terbesar di kota Bengkulu. Kadang Melati yang ke sana ikut pengajian dan kajian yang dilakukan oleh bangsa gaib. Aku senyum-senyum sendiri melihat Melati berkerudung putih pemberian ibu Nur Hasanah. Mahkotanya masih nampak meski ditutup dengan selendang panjang itu.
“Mengapa tidak berjilbab syar’i sekalian saja Melati?” Tanyaku sambil memandangnya. Kata Melati, pesan ibu Nur Hasanah, pelan-pelan saja. Berangsur-angsur. Jika memang sudah nyaman, dan siap, baru total pakaian muslimah. Aku mengangguk membenarkan.

Melihat sorot mata Melati, mesti tetap mata ular, namun nampaknya dia menikmati sekali penampilan barunya. Buktinya dia bertanya padaku apakah aku punya selendang seperti yang dipakainya, dia mau kalau dikasih. Sebenarnya aku punya, tapi tidak mungkin kuberikan karena itu pakaianku ketika aku hendak ke masjid di perut bukit Patah Besemah tempatku berdiam perbulan-bulan lamanya dulu.
Akhirnya aku menghubungi Putri Bulan agar hadir ke rumahku dan membawa selendang. Kuceritakan sekilas tentang Melati. Dalam sekejap, Putri Bulan hadir membawa tiga lembar selendang lebar dengan warna yang berbeda. Ada yang polos, ada juga yang bermotif bunga. Melati sangat bahagia. Apalagi bisa berkenalan dengan Putri Bulan, salah satu orang kepercayaan Datuk Ratu Agung. Sayang Putri Bulan tidak bisa lama-lama, karena ada tugas dari Datuk Ratu Agung yang harus dia selesaikan. Dia akan berkeliling di beberapa kerajaan-kerajaan kecil di bawah kedaulatannya menyampaikan amanah seputar peraturan dan perundang-undangan pemerintahan kerajaan. Akhirnya kami hanya ngobrol berdua. Berulang kali Melati mencoba tiga selendang baru dari Putri Bulan. Berulangkali pula dia minta penilaianku. Apakah sudah rapi, mana yang lebih pantas dan cantik, dan lain sebagainya. Akhirnya aku bertindak sebagai cermin Melati. Sebab jika kusuruh bercemin beneran, makhluk asral tidak mau. Umumnya mereka takut dengan pantulan cahaya dan bayangan mereka sendiri. Jika mereka bercermin maka mereka akan melihat sosok aslinya. Mereka tidak suka. Kata mereka sosoknya jelek. Makanya mereka berusaha untuk bisa mari rupa. Bisa mari rupa merupakan sebagian kemampuan yang dimiliki makhluk asral walau pun tidak semua bisa mengubah dirinya sesuai yang dikehendaki. Ibarat sekolah, ada kelas dan tingkatannya sendiri. Demikian juga dengan makhluk-makhluk asral ini. Bahkan ada kehidupan bangsa jin yang memiliki tekhnologi dan budaya yang tinggi seperti manusia. Obrolan bersama Melati berakhir, setelah menjelang fajar.

Aku bersandar di bahu Neti. Mataku terasa panas dan berat. Aku ngantuk. Melihat aku seperti tidur ayam, merem melek, Akhirudin mengambil rumput lalu mengorek hidungku. Rasa kantukku hilang seketika. Akhirudin tertawa puas melihat aku mengucek-ngucek hidung yang gatal. Melihat mataku sampai merah menahan gatal, malah Neti yang marah dengan Akhirudin. Sahabatku satu ini memang sangat setia. Dia adalah sahabat yang paling dekat denganku sejak awal masuk sekolah. Hanya saja Neti tidak memiliki hobby sepertiku, ikut teater, vokal grup, pecinta alam, dan Organisasi Intra Sekolah. Paling dia suka menemaniku misalkan akan pentas, pagelaran, dan lain sebagainya sekaligus menjadi penonton.
“Dedek saja tidak marah, kok kamu yang marah, Net?” Kata Akhirudin protes.
“Tidak suka saja lihat kamu iseng, aku paling tidak suka saat ngantuk ada yang ngerjain. Dasar Dedek aja yang sabar, kalau aku diisengin seperti itu, sudah kusambel kamu,” ujar Neti masih sewot. Akhirnya melihat Neti marah, kupeluk dia erat-erat agar bersabar.
“Hussstt…sudah jangan marah, nanti cepat tua. Biarkan saja, Akhirudin cuma main-main. Ayo senyum, aku tidak mau kalian musuhan gara-gara aku.” Bisikku. Melihat aku membujuk Neti, Akhirudin makin tertawa senang merasa dibela. Diraihnya tangan Neti lalu dipaksanya minta maaf. Neti menolak sambil cemberut.
“Ya sudah, kalau begitu maafkan aku Neti sahabatku. Aku mengaku salah. Demi langit dan bumi, aku mohon jangan putuskan persahabatan kita. Aku sungguh-sungguh, Neti. Aku sayang sama kalian. Kalian adalah sahabat sejatiku.” Aku melihat gaya Akhirudin mirip aktor India. Sambil setengah jongkok, menundukkan kepala, dan membetangkan tangan lebar-lebar. Daharman langsung memetik setangkai bunga sepatu yang tumbuh di taman sekolah, lalu diserahkannya pada Akhirudin. Akhirudin pun menerimanya lalu bergaya seperti tadi. Melihat itu aku, Daharman, dan Neti akhirnya tertawa terpingkal-pingkal. Akhirudin melanjutkan aksinya dengan berputar-putar. Tawa kami terhenti ketika melihat Kepala Sekolah berjalan melalui tempat kami duduk.


Bell berbunyi tiga kali pertanda waktunya pulang sekolah. Aku mengemas buku dan tas agak buru-buru agar bisa cepat bersalaman lebih dulu dengan Bapak Lukman guru Bahasa Arabku.
“Dek, pulang lewat belakang yok.” Ajak Akhirudin dan Daharman. Aku mengangguk setuju. Maksudnya mengajak aku pulang lewat belakang sekolah. Jalannya memang agak becek, karena rawa-rawa. Untuk melintasi rawa-rawa kami mengandalkan pohon rumbia yang tumbang. Jadi harus meniti, kadang melompat dari pohon satu ke pohon lainnya. Jalan pintas ini memang sangat dekat dengan simpang kampung Bali. Habis rawa-rawa naik sedikit langsung pemakaman simpang kampung Bali.

“Oke hari-hati sampai ketemu besok, Dek” kata Neti ketika kuberitahu kalau aku tidak lewat gerbang sekolah, tapi lewat belakang sekolah. Kami bertiga akhirnya berjalan menyisir jalan setapak bersampah. Datuk pemilik kantin buang sampah sembarangan di rawa-rawa. Akibatnya sampah-sampah ini basah dan mengeluarkan aroma tidak sedap. Aku melintas sembari menahan nafas. Aku disuruh berjalan lebih dulu oleh kedua kawanku. Aku kaget ketika baru melompat dari pohon yang tumbang, tiba-tiba aku melihat seorang kakek duduk di bawah pohon rumbiah tanpa baju. Hanya memakai celana pendek itu pun basah kuyup. separuh kakinya terendam air. Aku berhenti sejenak. Daharman dan Akhirudin ikut kaget. Hampir saja mereka terpeleset dan masuk ke rawa-rawa gara-gara aku berhenti mendadak.
“Datuk, sedang apa? Kenapa Datuk duduk di sini?” Tanyaku. Si Datuk senyum-senyum saja sambil menghisap rokok kertasnya lalu menghembuskannya.
“Ayo Tuk, ke atas, sebentar lagi gelap.” Ujarku lagi. Daharman dan Akhirudin heran. Mereka melihat padaku, lalu melihat ke pohon rumbiah arah aku berbicara. Wajah keduanya pucat dan ketakutan. Mereka mau mendahului aku tidak bisa karena kayu yang kami titi agak kecil. Tidak bisa saling mendahului kecuali mereka masuk ke dalam rawa-rawa.
“Ayo Dek, cepat jalan dulu. Nanti kita jatuh. Iiih…kakiku gemetaran.” Daharman menggigil dan berpegangan erat ke bahuku. Akhirudin juga demikian. Wajahnya sangat pucat dan sama dengan Daharman, kakinya pun menggigil. Menyadari itu aku tepuk jidat. Aku lupa jika keduanya tidak bisa melihat makhluk yang kusapa. Akhirnya aku buru-buru berjalan. Sampai di bibir rawa, Akhirudin dan Daharman melompat sambil menarik tanganku berlari di setapak yang agak menanjak. Akhirnya aku ikut berlari bersama mereka. Bahkan bukan keduanya yang menarik tanganku, justru aku yang menarik mereka karena keduanya seperti habis tenaga. Nafas mereka memburu dengan wajah seperti kehabisa darah.

“Kau bicara dengan siapa, Dedek. Bikin aku takut saja.” Ujar Daharman dengan nafas terputus-putus setelah sampai di atas tebing yang agak datar. Sementara Akhirudin masih berusaha menormalkan nafasnya yang memburu. Dia belum bisa bicara apa-apa. Keringat dingin mengucur di wajah keduanya. Aku berusaha meyakinkan mereka. Kusuruh mereka mengatur nafas terlebih dahulu. Begini rupanya ekspresi orang yang ketakutan. Sejenak aku membaca diri sendiri, membayangkan kapan aku merasa takut seperti kedua kawanku ini? Pernahkah? Aku lupa. Setahuku yang membuat aku takut adalah ketika kakek Haji Yasir bilang, mungkin kamulah yang dimaksud leluhurnya dekat dengan nenek gunung. Waktu itu aku menangis, karena bayanganku aku akan dibawa oleh nenek gunung ke gunung Dempu terpisah dengan Bapak dan Ibu. Hanya itu, selebihnya tidak. Aku diajarkan nenek Kam untuk tidak jadi penakut.
“Kamu bicara dengan siapa, Dek. Demi Allah, aku takut sekali tadi. Mana aku paling belakang, untuk sampai ke seberang masih jauh. Kamu bicara sendiri, menghadap ke semak-semak pohon rumbiah tapi tidak ada sosok orang di sana.” Ujar Akhirudin.
“Istighfar, Dek. Istighfar!!” Lanjut Daharman. Aku ceritakan kalau aku tadi berbicara dengan kakek-kakek yang sedang duduk di bawah pohon rumbiah sambil merokok. Kakek-kakeknya tidak pakai baju. Beliau pakai celana pendek, sebagian kakinya terendam air rawa.
“Di sana tidak ada orang, Dedek.” Nyaris Daharman dan Akhirudin berkata berbarengan dengan mata melotot meyakinkan.
“Tapi aku melihatnya ada.” Ujarku mengimbangi keheranan mereka.
“Berarti kamu melihat hantu, setan!” Ujar Daharman lagi sambil bergidik. Akhirnya kami kembali berjalan melintas sisi jalan raya ke simpang Kampung Bali. Keduanya masih gelisah dan hebo membayangkan sosok yang kuceritakan.
“Kalian berdua baru melihat aku, bagaimana jika kalian melihat sosoknya langsung. Pasti kalian pingsan di tempat.” Ujarku. Daharman dan Akhirudin semakin bergidik. Keduanya berjanji tidak mau jalan lewat belakang sekolah lagi. Akhirnya kami berpisah di simpang tiga kampung Bali. Daharman dan Akhirudin melanjutkan berjalan ke arah Suka Merindu. Dalam hati aku senyum-senyum sendiri melihat keduanya. Pasti sepanjang jalan mereka masih membicarakan peristiwa yang baru dialami.


Usai solat Isya, aku berniat hendak merebahkan badan. Waktu sudah pukul 22.00 wib. Bapak dan Ibu nampaknya sudah tidur. Tidak terdengar lagi suara keduanya di ruang makan. Aku memandang tas ransel dan tentengan yang agak besar tempat pakaianku. Liburan tinggal empat hari lagi. Tapi pakaian yang akan kubawa sudah kusiapkan jauh hari. Aku sudah tidak tahan hendak pulang kampung.

Baru saja hendak memejamkan mata, antara terdengar dan tidak aku mendengar suara ramai sekali. Seperti suara pertempuran. Kusimak lagi lebih tajam. Benar! Ada suara pertempuran. Aku penasaran. Ingin tahu. Tidak biasanya aku mendengar suara gaduh seperti ini kecuali serangan para santet yang tidak bisa tembus masuk ke rumahku. Tapi ini bukan santet. Pertempuran!
Aku segera diam dan fokus. Lalu keluar melihat ke adaan. Benar! Dari jarak tak seberapa jauh aku melihat ada dua kelompok besar sedang bertempur. Aku memperhatikan ke dua kelompok itu. Keduanya sama kuat dan saling menjatuhkan. Masing-masing memiliki pasukan yang banyak. Mereka tengah perang. Suara derap dan ringkik kuda seakan memberi semangat masing-masing. Dalam hati aku bertanya-tanya, siapakah mereka? Mengapa mereka berperang?

Biasanya hanya ada dua kemungkinan terjadi perang di antara mereka. Pertama menakhlukkan untuk memperluas wilayah kekuasaan, karena hukum rimba masih berlaku. Ke dua mempertahankan harga diri. Lebih baik mati dalam keadaan terhormat, daripada hidup dalam keadaan hina. Itu salah satu prinsip mereka. Mereka tidak mau jadi budak bangsanya sendiri.

“Jangan mendekat anak manusia, nanti kau kena imbasnya. Biarkan mereka melakoni skenario hidup mereka. Kita jadi penonton saja di sini.” Seorang perempuan tua tiba-tiba berdiri di sampingku. Melihat rautnya, beliau pasti seorang petapa. Rambutnya yang putih disanggulnya tinggi. Perawakannya langsing. Dalam hati aku membayangkan masa mudanya. Pasti beliau sangat cantik. Kulitnya halus putih. Bola matanya agak kebiru-biruan. Melihat gerakan matanya yang tajam, meski dibalut kulit yang mulai keriput, tetap saja memperlihatkan keindahannya. Gerakannya cepat seperti penari bali. Mirip mata nek Kam. Bedanya bola mata nek Kam hitam.

Aku tidak sempat bertanya siapa perempuan di sampingku ini. Yang aku lihat sengitnya pertempuran. Aku tidak tahu persoalan mereka, jadi tidak bisa harus berpihak ke mana. Dua kubu sama-sama tidak ada yang kukenal. Ingin kembali lagi ke alam nyata, tapi peristiwa di sini membuatku penasaran. Baru kali ini aku melihat bangsa gaib bertikai dalam jumlah besar. Bentuk bala tentaranya bermacam-macam. Ada siluman harimau, anjing, ular, serigala, kodok, burung, setengah manusia setengah hewan, ada yang seperti gondorowo, tapi ada juga seperti manusia. Yang membedakan adalah panglima mereka. Sosoknya gagah, tampan, seperti manusia. Lengkap dengan atribut perangnya. Tubuh mereka berotot. Raut mereka menampakan keteguhan masing-masing. Terlihat di tiap garis rahang mereka. Meski jika dilihat secara batin, yang satu ular naga, yang satu lagi bertubuh tinggi besar seperti boto ijo.

Aku masih berdiri. Kadang kakiku serasa ikut bergerak menendang, tanganku serasa ikut meninju, memukul, dan mengayunkan pedang. Kadang-kadang tubuhku ikut meliuk melesat ke sana-kemari. Semua di hadapanku mirip sebuah tontonan. Kadang aku menutup mulut kala ada yang kena pukulan lalu suara mereka mengerang seperti kena gorok. Kilatan api, bunga api, menghiasi langit medan pertempuran. Belum lagi suara gemuruh angin, petir, silih berganti memekakkan. Melihat kedua kubu sudah banyak yang gugur muncul rasa ibahku. Kasihan mereka, mereka adalah korban kepentingan. Saat pedang salah satu bala tentara terayun ke arah lawan aku terkesiap menahan nafas. Dan ‘crassss’ tubuh lawan terbelah dua. Pedang yang mengkilap dengan tangkai berukir naga itu seakan benda bernyawa, puas karena berlumur darah. Aku melihat benda itu seakan haus dan bernafsu hendak mencari darah kembali. Secara naluri manusia ingin sekali aku menghentikan pedang itu. Beberapa kali dorongan diriku ingin bergerak menghentikan pedang yang luar biasa itu. Tapi kembali kubatalkan karena aku tidak punya kepentingan mencampuri urusan ini.

Aku mengalihkan pandang ke nenek yang menegurku tadi. Beliau masih menatap medan pertempuran tanpa bergeming. Meski aku lama menatapnya, namun beliau sepertinya tidak peduli padaku. Aku menggeser lebih dekat padanya.
“Nek…” Sapaku pelan. Beliau hanya menjawab sapaanku sambil bergumam tanpa menoleh.
“Kenalkan aku Putri Selasih, Nek. Mengapa mereka bertempur, Nek? Siapa mereka?” Ujarku.
“Iya, aku tahu namamu Putri Selasih, dari gunung Dempu, cucu Puyang Pekik Nyaring, kesayangan Nenek Kam, kakek Andun, kekek Njajau, puyang Ulu Bukit Selepah, Macan Kumbang, Putri Bulan, Putri Kuning, dan mbah Parwiro Hadi Kusumo dan lain-lain. Kenapa? Kamu ingin membela salah satu mereka?” Tanyanya. Aku kaget beliau tahu semua orang-orang yang dekat padaku. Parwiro Hadi Kusumo, maksudnya mungkin eyang Kuda. Aku baru tahu nama panjang beliau. Tapi tak urung muncul pertanyaanku, siapa nenek ini sebenarnya? Mengapa beliau kenal semua dengan orang-orang yang kusayangi?
“Ndak usah heran, meski kita tidak pernah bertemu sebelumnya tapi aku tahu sepak terjangnya di alam kami. Kamu yang tidak kenal aku” Ujarnya lagi. Aku jadi penasaran pada beliau, tidak saja kenal dengan leluhurku namun tahu juga aktivitasku.
“Maafkan aku, Nek. Maafkan atas kelancangan dan ketidaksopananku. Maafkan jika aku tidak mengenal nenek.” Ujarku hati-hati. Aku menyesali diri mengapa minim sekali pengetahuanku untuk mengenal orang lain.
“Iya tidak apa-apa, aku maafkan.” Ujarnya singkat. Matanya masih menatap medan pertempuran. Akhirnya aku kembali menoleh ke medan laga. Begini rupanya pertarungan orang-orang sakti. Berbagai macam ajian dan kekuatan membuat aku berdecak kagum. Entah apa nama ilmu yang nereka keluarkan. Bagiku sama mengagumkan. Semua memiliki energi yang luar biasa. Kadang tangan mereka menyapu, kadang ke atas, kadang ke bawah semuanya mengambil energi-energi yang mereka kumpulkan di tangan. Benturan demi benturan bergemuruh seperti suara petir.

Keliiiikkkk…keliiiiikkkk!!! Sepasang burung elang laut terbang rendah mengitari arena peperangan. Aku menatapnya tajam. Apa yang akan mereka dilakukan? Kepakan sayapnya membentang sama lebar. Aku mengawasinya. Ketika agak dekat aku kaget, sepertinya aku mengenalnya. Mereka sepasang puyang dari dusun Tinggi Sebakas! Ada kepentingan apa beliau ke mari? Aku makin lekat mengawasinya. Rasa ingin tahuku tak luput menatap gerak-gerik keduanya. Aku semakin tertarik berada di sini. Padahal aku berniat hendak pulang.
“Kau kenal dengan sepasang Elang laut itu kan, Putri Selasih?” Ujar nenek yang hingga kini tak kenal namanya.
“Iya, beliau sepasang puyang dari dusun Tinggi Sebakas. Baru berapa minggu yang lalu aku jumpa dengan beliau.” ujarku. Selanjutnya aku bertanya pada si nenek, siapa namanya. Bagaimana aku hendak bercerita dengan nek Kam, kakek, nenek, dan puyangku jika aku bertemu dengan seorang perempuan cantik, sakti, seorang petapa, sama-sama menjadi penonton dua kubu yang sedang perang. Beliau hanya menjawab dengan senyum.
“Katakan saja Pempuan Angin Timur” Ujarnya acuh.
“Oh, jadi julukan nenek, Perempuan Angin Timur?” Ujarku lagi. Beliau mengangguk. Keren sekali julukannya. Pasti ada sejarahnya mengapa beliau diberi gelar Perempuan Angin Timur.

Aku baru saja hendak minta penjelasan nenek Perempuan Angin Timur tentang siapa yang perang dan apa motifnya. Lalu apa hubungannya dengan sepasang puyang elang laut dari dusun Tinggi Sebakas itu? Tiba-tiba dari kejauhan aku mendengar derap kaki banyak sekali. Angin berehembus makin lama makin kencang. Aku kembali fokus pada arah suara itu. Oh ada segerombolan nenek gunung entah asalnya darimana. Mereka pun sama seperti aku dan nenek Angin Timur, berdiri di sisi medan pertempuran menjadi penonton. Aku semakin bingung, jika aku berdiri di sini karena aku kaget mendengar suara ramai seperti pertempuean, kalau nenek Angin Timur dan segerombolan nenek gunung itu? Sementara elang laut dari Sebakas masih terbang kadang mendekat, kadang menjauh. Suaranya kadang melengking mengisi jagad bersamaan dengan suara senjata.

Aku berpikir sejenak, tetap di sini atau pulang? Aku tidak punya kepentingan di sini. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa? Sekadar menjadi penonton lalu tidak nelakukan apa-apa ketika melihat ada yang mati terbunuh dengan tubuh terbelah, remuk, hangus dan lain sebagainya, ada perasaan bersalah. Rasanya tidak manusiawi membiarkan kondisi seperti itu tanpa berbuat apa-apa. Sementara tidak ada yang bisa kuminta keterangan apa sebab terjadi perang antara golongan ini? Yang mana golongan yang di serang, mana yang penyerang, aku tidak tahu. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke alam nyata. Aku memilih istirahat, tidur.

“Kenapa kau tinggalkan arena perang, Selasih?” Suara nenek Angin Timur menegurku.
“Aku tidak punya kepentingan apa-apa, aku ke sana sekadar ingin tahu ketika mendengar suara gaduh, Nek. Aku juga tidak mau mencampuri urusan mereka. Tidak ada yang bisa menjelaskan padaku apa sebab mereka perang. Siapa mereka aku jugs tidak tahu” Ujarku.
“Mari ke sini, kita lihat lagi.” Ujar nenek Angin Timur. Aku kembali menolak dengan halus. Kukatakan aku tidak mau mencampuri urusan orang yang tidak jelas, kecuali jika aku diminta oleh leluhurku.

Jiwaku sedikit bergetar ketika mendengar deru perang semakin ramai. Suara gaduh itu mengganggu. Memang di alam gaib, masih terjadi hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang berkuasa. Perebutan kekuasaan masih karap terjadi. Memang ada beberapa kelompok hanya bertahan, diam, mereka tidak mau saling usik antara satu dengan yang lainnya, memiliki kerajaan-kerajaan masing-masing, bahkan ada di antara mereka yang menyembunyikan kerajaan mereka demi menghindari pertempuran. Umumnya mereka memiliki kesetiaan yang luar biasa pada raja mereka. Sulit sekali menemukan golongan bangsa halus ini berkhianat dengan raja atau pimpinannya. Jika itu terjadi, maka biasanya sang penghianat akan di kejar sampai di mana pun.

“Mari Selasih, sini.” Kembali suara nenek Angin Timur. Aku kembali menolak dengan halus. Akhirnya aku menghubungi kakek Andun dan kakek Njajau. Aku bertanya apa penyebab terjadi peperangan di bumi Rafflesia ini. Siapa yang tengah bertempur itu. Apa yang mereka permasalahkan? Mengapa aku melihat segerombolan nenek gunung datang menyaksikan peperangan, dari mana mereka? Di sana ada nenek Perempuan Angin Timur, pun menjadi penonton. Sama sepertiku. Siapa beliau. Ujarku membatin.
“Hmmm…kau bersua dengan Perempuan Angin Timur, Selasih?” Tanya kakek Andun. Aku langsung mengiyakan. Sementara kakek Njajau terkekek-kekek. Namun tertawanya kakek Njajau menurutku penuh misteri. Aku menunggu penjelasan keduanya tentang sebab terjadinya perang itu.
“Dugaanmu benar, Selasih. Ada kelompok yang hendak merebut kekuasaan, hendak menakhlukan kerajaan Raden Danang Pangkas. Beliau adalah keturunan kerajaan kecil di perbatasan. Sekarang perbatasan Bengkulu dan Sumsel. Tepatnya dengan Lubuklinggau.
“Kerajaan kecil? Kerajaan apa itu, puyang? Lalu apa hubungannya dengan Elang Laut dari Sebakas? Siapa nenek Perempuan Angin Timur? Mengapa ada segerombolan nenek gunung? Kerajaan apa di perbatasan” Ujarku tidak sabar. Mendengar pertanyaanku seperti peluru kakek Njajau menertawakan aku.
“Dasar cucu Putri Kuning, cerewet!” Lanjut kakek Njajau sambil tertawa sembari mengejek menyebutku cucu nenek Ceriwis. Aku geli sendiri mendengarnya.
“Ada yang menyebut-nyebutku. Mengganggu saja.” Tiba-tiba suara nenek Ceriwis. Aku tertawa, kakek Njajau ketahuan mengejek aku dan nenek Ceriwis.
“Memang, Selasih sepertimu. Cerewet! Makin tua makin cerewet! Masak bertanya nyerocos kayak peluru tidak bisa dikendalikan. Bertanya ya satu-satu. Ini nyelonong aja mirip trompet.” Lanjut kakek Njajau yang disambut dengan tawa kecil kakek Andun. Kakek Njajau berdebat sejenak dengan nenek Ceriwis.
“Ya sudah, kami memang kaum perempuan tulen, kalau tidak cerewet bukan perempuan namanya sekarang kapan si centil pulang? Ini sudah purnama ke lima sejak kau berjanji.” Ujar nenek Ceriwis lagi. Aku jawab beberapa hari lagi. Selanjutnya kakek Andun berdehem pertanda menyuruh diam untuk mengembalikan persoalan sebelumnya.

Suasana hening sejenak. Akhirnya kakek Andun menjelaskan, yang sedang perang itu kelompok Raden Danang Pangkas. Mereka punya kerajaan dekat pantai Sungai Hitam. Ayahnya Selupu Moneng, raja kecil di ulu Kasie. Beberapa tahun ini, kerajaan mereka diusik oleh kelompok Utah Dagondo. Utah Dagondo ini panglima kerajaan Seribeui Tonggah dari Arga Makmur Utara. Beberapa kerajaan kecil sepanjang pantai utara di bawah kekuasaannya. Raden Danang Pangkas, tidak mau kerajaannya diusik. Makanya mereka melakukan perlawanan. Selanjutnya kata kakek Andun, mengapa puyang elang Laut dari bukit Sebakas datang? Karena puyang Raden Danang Pangkas, ada hubungan erat dengan Elang Laut. Nenek gunung yang kau lihat tadi, adalah rombongan dari Tebo Imau di Rejang Lebong. Mereka adalah salah satu kelompok nenek gunung di sepanjang bukit Barisan ini dan mempunyai hubungan erat, kekerabatan dengan Selupu Moneng, ayah Raden Danang Pangkas. Urai kakek Andun panjang.

Lama aku tercenung, artinya mereka yang datang ada hubungan kekerabatan dengan Raden Danang Pangkas yang mempunyai kerajaan di pantai dekat Sungai Hitam. Besar kemungkinan mereka akan membela Raden Dana Pangkas.
“Termasuk nenek Perempuan Angin Timur, itu ya Kek?” Tanyaku. Kakek Andun menjawab “Iya” sedikit tertekan. Sementara kakek Njajau berdehem-dehem seakan batuk.
“Kenapa kek? Kakek sakit tenggorokan?” Ujarku pada kakek Njajau. Beliau malah balik tertawa.
“Tidak apa-apa, tenggorokan kakek seret saja” balasnya.
“Ceritakan saja kek, tidak perlu ada yang dirahasiakan lagi dengan Selasih. Dia kan sudah dewasa.” Lanjut nenek Ceriwis. Malah sebaliknya Kakek Andun balik bersehem-dehem. Aku menunggu penjelasan di antara mereka bertiga. Ada apa gerangan di balik sosok nenek Perempuan Angin Timur? Siapa beliau? Ada hubungan apa dengan kakek Andun atau kakek Njajau? Lama aku menunggu, tapi masih juga hening. Rahasia apa yang mereka simpan? Sayang mereka semua berjauhan, coba kalau dekat, aku bisa melihat ekspresi mereka.
“Kek…..” Aku setengah berbisik menyapa kakek Andun.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *