HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (75A)

Karya RD. Kedum

Aku baru saja pulang dari pancuran, lalu keliling kebun melihat buah kopi yang masih hijau dan bunga cengkeh yang masih putik. Jaket dan celana panjangku basah kuyup terkena daun yang berembun. Matahari belum muncul sama sekali.

Aku berdiri di tangga pondok memandang ke lembah. Hamparan kebun kopi seperti berselimut kain putih yang tipis tipis yang panjang sedikit bergelombang. Tampuk beberapa bunga kopi semilir dari lembah menabur aroma menerpa wajahku. Cicit burung belum terdengar ramai. Sesekali saja anak pipit dan burung berebah mencicit lapar atau mungkin kedinginan. Alam memang selalu menyajikan sesuatu yang berbeda membuat kita selalu kagum.

Asap mengembang dari atap dapur pondok. Nampaknya ibu sudah sibuk membuat sarapan. Di tengah cahaya lampu kecil dari dapur, kulihat sosok Kekek masih masih asyik berzikir sejak subuh. Beliau belum bangkit dari sajadahnya. Sementara Bapak mendengkur lagi. Nenek Kam sudah duduk di beranda menumbuk sirih sambil komat-kamit bercerita dengan Macan Kumbang. Kulihat Macan Kumbang sangat santai tidur-tiduran di latai. Akhirnya aku ikut duduk dekat mereka.
“Sana-sana ganti baju dulu. Ngapain pagi-pagi sudah keliling masuk-masuk kebun basah semua tuh.” Macan Kumbang mengusirku, menyuruh aku ganti baju, karena memang aku basah semua. Akhirnya aku masuk pondok, ganti pakaian dan kembali mendekati nenek Kam dan Macan Kumbang.

Braaak!!
Aku kaget ketika tiba-tiba ibu melemparkan seikat buah rotan dekat kakiku.
“Nah, darimana buah rotan ini. Nampaknya masih sangat baru, masih segar, baru dipetik. Buah ini hanya ada di “utan ijang”, Nek. Siapa pula bawa ini tiba-tiba ada di dapur? Sengaja mau nakuti aku ya?” Ujar Ibu. ‘Utan ijagh” kata lain hutan belantara. Buah rotan memang hanya bisa ditemukan di hutan yang lebat.
“Ibu, pagi-pagi sudah marah-marah. Santai, Bu,” ujarku menghampirinya dan mengambil buah rotan yang masih ada di tangannya.
“Nah, melihat buah rotan saja marah. Gimana kalau aku lihatkan Macan Kumbang dan yang lainnya jelas-jelas ke hadapanmu, Luhai? Lokak mati tegak kabah.” Ujar Nenek Kam masih menumbuk sirih. Mendengar kata nenek Kam Ibu langsung melompat dekat nek Kam.
“Jangan-jangan, Nek. Bisa mati berdiri aku!” Ibu memegang-megang lengan nek Kam. Nek Kam tersenyum lebar. Apalagi melihat ibu menggoyang-goyang tangannya padahal Macan Kumbang ada tidur-tiduran di sampingnya.
“Buah rotan itu, bawaan kawan anak gadismu itu” Ujar Nek Kam sengaja menunjuk padaku. Mata ibu seperti hendak ke luar kaget menatapku.
“Tu kan, Ibu pasti kata ibu horor lagi” Ujarku melihat pada Ibu yang melotot.
“Iya, tapi ibu tidak mau kalau diperlihatkan hal aneh-aneh kayak gini” Ujar Ibu lagi sambil kembali melemparkan buah rotan ke lantai. Aku dan nek Kam tertawa serentak melihat ibu persis anak kecil.

Sreeeg!! Kretaaak!
“Aoowww!” Ibu menjerit memepetkan tubuhnya ke badan nenek Kam.
“Suara apa itu, Nek?” Kepala ibu mencari-cari sumber suara ketika mendengar ada yang menginjak-nginjak ranting dan daun kering di kebun kopi tidak seberapa jauh dari pondok. Padahal suara itu berasal dari anjing yang melintas dan kencing dekat pohon kopi. Tapi Ibu ketakutan dibuatnya.
“Itu suara anjing lewat, Ibu.” Ujarku tersenyum. Akhirnya demi menghilangkan cemas yang berlebihan, diam-diam kubantu Ibu agar rasa cemas dan ketakutan Ibu sedikit berkurang. Kukuatkan jantungnya. Ibu memang pernah punya kasus lemah jantung gara-gara setiap kali sakit kepala selalu makan obat warung melebihi dosis. Melihat aku melakukan sesuatu pada Ibu, Nek Kam tersenyum.
“Bagaimana, Luhai? Masih berdegup kencang jantungmu? Masih cemas dan gemetaran tidak?” Tanya nek Kam memandang wajah Ibu. Ibu tersenyum sambil menggeleng. Memang jantungnya lebih kuat dari sebelumnya. Nafasnya sudah mulai teratur tidak terlihat turun naik dan sesak seperti tadi.

“Nek, nanti malam nenek dari Uluan akan datang kemari. Apa tidak sebaiknya kita ke kebun nenek saja biar semua lebih aman?” Tanyaku pada nek Kam.
“Memang malam ini nenek mau mengajakmu ke kebun nenek. Kita tidur di sana. Kalau di sini, bakal dicerewetin sama Ibumu. Berbuih lagi nanti mulutnya.” Kata nek Kam sambil melirik Ibu.

Aku membantu Bapak dan Kakek membuka terpal penutup kopi yang masih basah. Uap panas seperti asap mengepul dadi tumpukan buah kopi yang hendak dijemur. Matahari belum juga muncul. Masih tertutup kabut. Tapi kata Kakek, hari ini akan terik. Tunggulah sebentar lagi. Buah kopi yang sengaja dibuat gundukan belum diratakan selayaknya menjemur kopi. Tanah halaman tempat menjempur pun masih basah. Jadi perlu menunggu waktu sedikit lagi agar tidak terlalu basah.

Hari ini rencananya aku di kebun kakek saja. Nenek Kam katanya di pondok saja bersama Ibu melanjutkan menganyam tikar purun Ibu yang lama terbengkalai. Petang nanti rencananya aku dan nenek Kam akan menginap ke kebunnya. Sementara Macan Kumbang pulang ke Uluan sebentar. Katanya ada urusan.

Aku mengambil kinjagh dan pisau berukuran agak kecil, memakai sepatu dan kaos berlengan panjang. Tidak lupa mengenakan topi rimba yang sengaja kubawa dari Bengkulu. Rencananya aku mau ke ujung kebun di hilir. Tadi selintas aku melihat banyak sekali pakis yang tumbuh di semak-semak. Aku ingin memetiknya. Sekaligus mengenang masa kecilku bersama Mang Arsun ketika Bapak dan Ibu menggarap sawah di hulu dusun Bangke. Ketika pertama kali aku melihat para nenek gunung teman nenek Kam membantu menanam padi di sawah Bapak yang luas. Jika dulu aku bersama Mang Arsun, kali ini aku sendiri. Aku sedang berpikir, siapa yang akan kuajak untuk keliling kebun Kakek.

Aku mulai menyisir kebun kopi kakek. Beberapa tunas kopi yang tumbuh subur kubuang beberapa agar tidak mengganggu buah yang mulai putik. Beberapa tampuk bunga kopi masih menyebarkan wangi . Rupanya kebun kakek sudah mulai bersemak. Aku mulai sulit masuk-masuk ke dalam kebun yang berumput tinggi. Rumput bambang sudah menjalar sampai ke batam kopi.
“Kumbang, bantu aku dong” Aku membatin.
“Bantu apa cerewet?” Jawab Macan Kumbang.
“Ah, tidak jadi, mau panggil paman saja” Jawabku. Tiba-tiba Macan Kumbang sudah ada di hadapanku.
“Mau minta tolong apa Tuan Putri?” Ujar Macan Kumbang. Aku kaget. Macan Kumbang mengucek-ngucek mata.
“Kebun kakek udah semak, mau minta bantu membersihkan rumput dan tunas kopi” Jawabku.
“Ah, gampang itu. Besok kamu sudah lihat kebun kakek bersih.” Ujar Macan Kumbang lagi. Aku berkerut, aku bukan ingin melihat besok. Tapi aku ingin melihat kabun kakek bersih hari ini. Rupanya kata Macan Kumbang, nanti malam dia akan mengerahkan pasukan untuk membersihkan kebun kakek. Aku setuju. Soal Kakek, Bapak, dan Ibu itu urusan belakang. Biar nenek Kam saja yang menjelaskan. Mereka pasti akan kaget.

“Kamu mau ke mana Selasih?” Tanya Macan Kumbang melihat aku jadi anak kebun. Kuceritakan saja jika aku mau nyari tunas paku. Macan Kumbang tersenyum lebar. Katanya waktu Selasih kecil sering diikutinya tiap kali pergi ke pinggir hutan sendiri. Suatu kali pernah ada Maksumai, perempuan yang suka marirupa orang-orang yang dekat dengan kita, kadang mirip sahabat kita, orang tua, kakak, nenek, kakek dan lain sebagainya. Mungkin maksud Maksimal ingin mengelabui aku. Sebab Maksumai memang paling suka menyembunyikan anak kecil. Karena ada Macan Kumbang, akhirnya dia tidak berani mendekat, malah diusir oleh Macan Kumbang.
“Yok, aku temani. Siapa tahu ada Maksumai yang mengintaimu. Nanti aku tangkapkan untukmu kalau dia muncul” Ujar Macan Kumbang lagi. Aku tertawa ngakak. Dua hari ini Macan Kumbang memperlakukan aku seperti anak kecil. Setelah kuingat-ingat aku memang sudah lama tidak berantem dengan Macan Kumbang. Baru kemarin aku dan Macan Kumbang kembali memainkan kutau berdua, tapi justru membuat Ibu takut.
“Rindu Putri Bulan ya. Coba kalau dia ada di sini, kan asyik.” Ujarku memancingnya. Padahal aku baru saja bertemu minggu lalu dengan Putri Bulan ketika dia mengantarkan selendang untuk Putri Ular Putih yang baru bersyahadat.
“Hmmm…padahal dirimu kapan saja bisa bertemu. Sombong!” Jawab Macan Kumbang. Kali ini Macan Kumbang mencoba menyapu kakiku. Untung aku waspada. Aku segera melompat lalu berputar dan naik ke atas sisa pohon yang tumbang. Ternyata Macan Kumbang ingin mengajakku kembali bermain. Kayu yang kuinjak dihantamnya dari ujung. Luar biasa, seketika kayu yang panjang dan keras itu berubah menjadi bubuk. Aku mendarat ke tanah. Heran! Belum pernah aku melihat pukulan seperti ini tanpa suara tapi bisa menghancurkan benda keras. Aku diajarkan kakek Njajau mantra untuk menghancurkan batu dengan kekuatan petir dan matahari. Lalu meremuknya menjadi debu. Tapi yang dimiliki Macan Kumbang berbeda lagi.
“Dasyat!” Ujarku. Macan Kumbang tersenyum.
“Nanti suatu saat akan diwariskan padamu.” Ujarnya berjalan menuju semak. Aku mengikutinya dari belakang.

Ternyata Macan Kumbang lebih cekatan daripada aku. Aku baru dapat beberapa genggam tunas paku tapi Macan Kumbang tiga kali lipat dari yang kuperoleh. Setelah dimasukkan dalam kinjagh kecil yang kubawa, ternyata langsung penuh.
“Waduh, dah penuh ni. Kita bisa jualan sayur dong,” ujarku melihat pakis masih muda dan gendut-gendut mirip ular kadut. Terbayang sedapnya jika digulai bersantan kental. Ibu paling pandai membuat gulai pakis. Semakin dipanaskan akan semakin sedap. Akhirnya karena kinjagku sudah penuh, aku memutuskan untuk pulang.

Aku dan Macan Kumbang kembali melintas di kebun kekek yang sudah jadi semak. Pas di tengah kebun, aku bertemu kakek yang sedang asyik membuang tunas kopi.
“Besok kita cari orang -orang dusun untuk upahan besiang.” Ujar kakek. Aku saling pandang dengan Macan Kumbang. Padahal rencana malam nanti Macan Kumbang mau mengerjakan pasukan dari Uluan untuk membantu membersihkan rumput di kebun Kekek.
“Kek, tidak usah mencari orang untuk membersihkan rumput kebun kita, nanti malam nenek gunung akan membantu membersihkannya”
“Aiii…nian Cung? Kalau begitu, tidak perlu susah-susah kita menyari orang dusun untuk membantu kita. Kapan?” Tatapan kakek Haji Yasir berbinar-binar. Aku senang sekali melihat ekspresi kakekku. Meski usianya sudah mendekati seratus tahun tapi fisiknya tetap sehat dan gagah.
“Nanti malam, Kek” Ujarku meyakinkannya.

Usai salat asar aku dan Nek Kam pamitan sama kakek, Bapak dan Ibu. Seperti biasa, Ibu akan berpesan jangan lama-lama. Cukup satu malam saja, terus kembali lagi ke kebun Kakek. Alasannya mulai besok ada beberapa orang akan membantu memetik kopi. Jadi butuh teman untuk membantu menyiapkan segala macam untuk para pekerja. Minimal makannya.
“Tanpa Dedek juga semua akan beres. Kamu kan sudah terbiasa dari dulu segala sesuatu dikerjakan sendiri.” Ujar nenek Kam. Ibu hanya diam saja mendengar Nek Kam. Nampaknya nek Kam keberatan jika aku menginap di tempatnya hanya satu malam. Akhirnya aku dan nek Kam berangkat juga.

“Nek, Nenek duluan saja dengan Macan Kumbang. Biar aku menyusul. Aku mau jalan kaki saja.” Ujarku setelah sampai dekat jarau, pintu masuk kebun kakek. Aku tidak tega melihat beliau berjalan lamban ketika menjadi manusia biasa. Nenek Kam setuju, dalam sekejab beliau hilang dalam pandanganku. Aku melanjutkan perjalanan sendiri menyisir jalan menanjak sampai ke ke dusun Singepure.

Aku berhenti sejenak di dusun Singepure. Dusun nampak sepi. Beberapa rumah tampak terbuka jendelanya. Selebihnya tertutup rapat. Masih seperti dulu, nyaris penduduk dusun tidak bertambah. Lapangan luas berumput hijau tempatku bermain dulu sudah terbelah dengan jalan. Hanya ada tebat, tempatku menggiring kerbau milik Bapak, lalu ikut berendam di dalamnya masih terlihat tenang. Tapi sayang, karena sisi tebat sudah berubah menjadi kebun kopi, tebat mirip telaga kecil itu tidak teduh seperti dulu lagi.

“Hei!!” Macan Kumbang mengagetkanku. Kami belok kiri melalui jalan setapak. Beberapa kali aku bertemu dengan penduduk dusun pulang dari kebun, ladang mereka. Semuanya nyaris tidak kukenal. Tapi dengan ramah mereka menyapa mau kemana dan darimana. Mengapa sore sekali? Mengapa sendiri dan lain sebagainya. Tapi ketika kusebut nama Bapak dan Kakek Haji Yasir, selanjutnya nama nenek Kam, semua jadi maklum. Tidak ada kekhawatiran meski jalan sendiri di tengah hutan.
“Oo…anak Hasan, mau ke tempat nenek Kam? Ah, pasti tidak sendiri. Ada teman Nenek Kam yang mengawal kamu. Amanlah itu di jalan.” Ujarnya. Padahal di sampingku memang ada Macan Kumbang menemani. Tapi beliau asal sebut saja, beliau tidak melihat sosok Macan Kumbang.
“Kita ke telaga sebentar, yok Selasih. Siapa tahu kita ketemu kakek Njajau si sana”. Ajak Macan Kumbang setelah beberapa bidang kebun lagi sampai ke pondok nenek Kam. Aku berpikir sejenak.
“Tidak boleh, sudah sore. Cepat pulang ke pondok nenek.” Suara nek Kam melarang aku dan Macan Kumbang. Macan Kumbang akhirnya cuma bisa nyengir kuda. Nek Kam tahu saja jika kami punya niat mau ke telaga di atas bukit. Akhirnya aku dan Macan Kumbang kembali berjalan menuju kebun nek Kam.

Malam ini aku dan nek Kam makan malam sayur paku masakan Ibu. Nasi hangat dan sambal cung, berikut lalapannya ada di bawah tudung saji. Entah siapa yang mengantarkan makan malam ini. Kadang aku merasa seperti hidup di negeri dongeng seperti cerita-cerita yang kubaca di majalah Bobo, Kuncung, Ananda, dan komik-komik ketika aku kecil. Tiba-tiba ada makanan enak, padahal nenek tidak masak. Sayang, aku tidak pernah bersua dengan pangeran seperti cerita dongeng di majalah itu. Kalau bersua dengan nenek sihir, putri, dan ratu, banyak sekali di alam gaib.

“Ini petai cina, untuk lalapan Putri Selasih. Soalnya kalau di Bengkulu dia tidak pernah lalapan obat cacing kremi ini.” Kata Macan Kumbang sambil ikut duduk.
“Kita mau makan, kok ngomongin cacing kremi?” Sahutku.
“Apa salahnya bernostalgia. Waktu kecil kan kamu nangis-nangis kegatelan gegara cacingan. Terus sama kakek Haji Yasir disuruh makan petai cina banyak-banyak biar cacingnya mabok. Tenyata mujarab kan? Esok harinya tidak hanya cacing kremi yang lebur dengan e’ek. Tapi cacing gelang juga ikut mabok.” Lanjut Macan Kumbang. Aku saja tidak ingat, kok dia tahu?
“Sudah! Yang mau kita hadapi ini makanan halal, bukan makanan maksumai. Berhenti bicara soal cacing” Ujar nek Kam sambil menyuap.
“Memang makanan maksumai apa Nek?”Ujarku. Mengingat temanku dulu pernah disembunyikannya dikandang ayam yang berpintu kecil. Tidak masuk akal tubuhnya bisa masuk dan muat di pintu kandang ayam yang kecil. Tapi ya begitulah kenyataannya. Pasalnya sore-sore gelang magrib mengambil air di mata air, Ayek Gayam tidak jauh dari rumah kami.
“Maksumai itu suka ngasih makan taik ayam, cacing, pada anak-anak yang disembunyikannya. Perasaan anak-anak itu mereka makan makanan enak. Karena tai ayam disihir jadi kue serabi. Lalu cacing disihirnya jadi mie” lanjut nek Kam santai.
“Wuuueeeek. Tadi kata nenek berhenti bilang cacing, ini malah nenek ngomongin tai ayam jadi serabi, cacing jadi mie?” Sahutku. Nenek Kam dan Macan Kembang tertawa bersamaan.
“Sudah makanlah! Tidak usah jijik kan cuma cerita saja. Tidak usah dipikir. Abaikan!” Akhirnya aku berusaha menelan makanan yang disajikan.

Nasi di pingganku belum separuh kusuap, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
“Assalamualaikum…” Suara nenek Ceriwis. Aku langsung melompat sambil menjawab salamnya hendak membuka pintu. Tahu-tahu nenek Ceriwis sudah ada di dalam pondok. Tidak melalui pintu lagi.
“Uff! Bau petai!” Ujar nenek Ceriwis ketika kupeluk dan kucium. Akhirnya beliau ikut makan bersama kami. Aku heran, nasi yang tersedia cuma semangkuk kecil. Tapi meski yang makan berempat, nasinya tidak berkurang. Sementara aku tidak melihat ada yang menambahkan nasi ke dalam mangkuknya. Ketika aku nambah pun nasinya seperti masih utuh.
“Tidak usah dipikirikan makan saja.” Nenek Kam menggamit lenganku. Aku tersenyum sambil memandang heran pada beliau. Nenek Kam tahubapanyang ada dalam pikiranku.

Usai solat isya, kembali ada yang datang ke pondok nenek Kam. Kali ini nenek Sulijah. Aku langsung sujud padanya. Sahabat nenek Kam satu ini agak kocak. Beliau pernah menggantikan aku ketika aku belum diwarisi kemamluan membelah diri menjadi beberapa sosok. Bagaimana beliau mengubah dirinya menjadi Dedek kecil, lalu terasa disiksa karena tidur di antara kakek Haji Yasir dan kakek Haji Majani, tidak berani bergerak lantaran takut dipeluk salah satu kakekku. Digendong dan dicium kakek Haji Majani. Jika ingat cerita itu akubkerap tertawa sendiri.

Wajah nenek Sulijah masih seperti dulu. Periang dan berbibir merah karena selalu makan sirih.
“Apa kabar, Nek? Apakah nenek berkenan menggantikan aku kembali menemani kakek Haji Yasir dan Kakek Haji Majani?” Candaku.
“Ou tidak! Cukup sekali saja Selasih. Aku tidak ingin dipeluk dan dicium kedua haji bengkotan itu.” Jawabnya lalu disambut tawa kencang nenek Ceriwis dan Macan Kembang.
“Kalau dicium anak bujang mau?” Tanya Macan Kumbang.
“Asal anak bujangnya bukan kamu, mau” Jawab nenek Sulijah tertawa lucu. Akhirnya aku juga ikut tertawa. Aku tidak menyangka malam ini akan berkumpul dengan orang-orang tercinta ini.

Satwa malam sudah mulai bersuara menyumbangkan suara-suara merdu mereka. Sesekali aku mendengar suara burung hantu terasa sangat dekat dengan pondok. Obrolan ketiga nenek renta semakin hangat. Tak lama aku mendengar deru angin agak kencang. Lalu derap kaki dari jauh. Aku jadi ingat Gundak. Tanda-tanda seperti ini biasanya jika Gundak hendak datang. Apa kabar anak manja itu? Sudah lama aku tidak bersua. Apakah jadi dia menikah dengan saudara jauhnya apa tidak? Apa kabar pula Gali saudara sepupunya?
“Ada yang datang, Macan Kumbang ?” kataku sambil tetap menajamkan telinga.
“Iya dari bukit Selepah. Nampaknya Gundak dan pengawalnya.” Kata Macan Kumbang persis sama dengan yang ada dalam pikiranku. Benar saja, tak lama kemudian aku mendengar derap kaki berhenti di halaman depan pondok nenek Kam yang luas. Aku segera membuka pintu pondok untuk memastikan benarkah Gundak yang datang.
“Assalamualaikum Selasih” Tiba-tiba Gundak sudah berdiri di hadapanku. Dia langsung meraih tanganku dan langsung memelukku. Aku melihat Gundak jauh lebih dewasa. Dia telah menjadi pemuda yang ganteng. Rambutnya panjang ikal masih seperti dulu. Bedanya sekarang dia berkumis dan pipinya berbulu dan berjenggot.
“Wah! Gundak kamu dah kayak ‘batin’ Candaku. Batin itu untuk sebutan lelaki dewasa yang sudah berkeluarga. Mendengar candaanku Gundak malah tertawa.
“Dulu kamu selalu menasehati aku seperti anak kecil. Sekarang sebaliknya aku dikatakan kayak batin.” Sambungnya. Aku merasakan seperti berada di masa beberapa tahun lalu ketika menemui Gundak yang keras kepala, dan selalu mengkhawatirkan ke dua orang tuanya. Lalu memusuhi Gali karena dekat dengan aku. Sekarang anak kecil yang suka ngambek itu telah tumbuh dewasa dan sikapnya pun lebih wibawa. Terakhir kuketahui Gundak sudah belajar kuntau dan kebatinan, lalu sempat ikut membantu melawan pasukan Banyuwangi. Kemudian pernah datang ke Palembang saat aku dirawat di Rumah Sakit Umumnya.
“Kapan kamu ke Ulu bersua dengan Puyang Selepah?” Tanyanya.
“Kapan saja, aku juga rindu dengan Puyang.” Jawabku.

Akhirnya malam ini ada tiga kubu asyik ngobrol. Kubu tua yaitu nenek-nenek, dan kubu muda aku, Gundak dan Macan Kumbang. Sementara tiga pendamping Gundak, asyik ngobrol bertiga di beranda rumah. Banyak hal yang kami obrolkan dalam pertemuan malam ini. Sesekali bernostalgia tentang kekonyolan-kekonyolan yang pernah kami alami masa lalu.

Malam makin larut, tapi para sepuh makin malam makin seru obrolan mereka. Sesekali aku nimbrung pada mereka. Tapi tak urung sebagai manusia biasa aku ngantuk.
Huf! Huf! Macan Kumbang mengayunkan tanganmu. Aku Kembali terjaga. Kantukku hilang sama sekali. Macan Kumbang memantrai aku agar tidak ngantuk. Sebenarnya aku bisa saja menghilangkan pengaruhnya, tapi kubiarkan saja, biar dia puas.
“Musim apa sekarang?” Tanyaku pada Gundak di sela obrolan kami yang panjang. Soalnya sali dan ghukam kulihat masih berbunga. Artinya masih lama menjadi buah. Bisa sebulan lagi.
“Di hulu masih ada durian. Buah selang.” Ujarnya. Aku saling pandang dengan Macan Kumbang. Dia tahu jika aku ingin ke sana. Akhirnya kami bertiga pamit dengan nenek Kam.

“Kebun durian siapa ini, Gundak?” Tanyaku.
“Kebun wak kari.” Jawab Gundak serampangan. Maksudnya “wak kari” itu bukan nama orang atau sapaan orang. Tapi hal yang sering dipelesetkan untuk sebutan ‘tinggal ambil’ tanpa tahu punya siapa. Satu hal tradisi di kampungku sejak zaman nenek moyang, biasanya jika musim durian, ketika durian baru mateng di pohon dan jatuh satu-satu maka pemilik durian tidak akan menjaga durian jatuh di kebun mereka. Sebab, jika durian baru mateng, maka pemilik pohon durian akan mempersembahkan untuk nenek gunung terlebih dahulu. Hal itu semacam perjanjian yang tidak terikat. Namun masyarakat dan nenek gunung sepakat dan saling memahami. Sebuah hubungan yang indah dalam kehidupan nenek gunung dan manusia, meski tidak bertatap muka.

Mencari durian jatuh, atau mucung durian biasanya dilakukan pagi hari menjelang matahari muncul. Jika kebetulan manusia mucung durian bersamaan dengan nenek gunung, maka nenek gunung akan menyingkir. Dia tidak mau menampakkan diri maupun menyerang manusia yang sedang mencari durian. Sebaliknya, jika manusia tahu ketika melihat bekas nenek gunung makan durian, atau melihat tinjak kakinya, maka manusia yang akan buru-buru menghindar membatalkan mucung lalu berkata-kata “Nek silakan lanjutkan mucung duriannya, anak cucu nanti saja setelah siang.” Lalu mereka akan pulang. Tradisi itu masih berlangsung hingga kini.

Nenek gunung, adalah makhluk yang paling rapi ketika makan durian. Mereka membuka kulit durian tidak pernah putus dari tampuknya. Jika kita angkat tampuknya, maka durian akan tetap terlihat bulat. Jika durian belum masak bagus, nenek gunung belum akan mengambilnya. Selanjutnya, biji durian yang mereka makan, akan dikumpulkannya dekat kulitnya menjadi satu tumpukan. Biji durian akan terlihat bersih dan licin. Tak ada sisa sedikitpun. Mirip seperti permen yang dikulum. Rapi dan bersih. Melihat bekasnya, manusia bisa menentukan berapa jumlah nenek gunung yang makan durian. Hal itu bisa dilihat jumlah tumpukan kulit dan bijinya. Mereka tidak pernah makan berlebihan atau datang setiap malam. Jika sudah mencicipinya, maka selebihnya mereka tidak akan datang-datang ke kebun durian lagi demi tetap menjaga hubungan baik dengan manusia.

Cara makan durian bangsa manusia dan nenek gunung, sangat jauh berbeda. Umumnya manusia membuka durian kulitnya dibuang kemana-mana, lalu bijinya pun dilempar ke mana-mana. Yang matang sempurna, setengah matang, bahkan yang muda pun manusia makan. Tidak selektif seperti nenek gunung.

Aku berkeliling selintas di kebun kopi yang bersemak yang diselingi pohon durian yang sudah sangat tua. Melihat batangnya, rata-rata durian ini usianya puluhan tahun. Besar dampingi. Aroma durian yang matang di bawa angin kemana-mana. Gundak langsung naik dan memetik beberapa. Macan Kumbang langsung membukakan aku satu. Gundak dan Macan Kumbang juga mengupas durian masing-masing. Ketika kami sedang makan, tiba-tiba aku melihat cahaya senter berkelebat-kelebat di semak-semak. Ada dua orang menuju pohon durian persis di tempat kami makan.
“Mpap!!” Macan Kumbang berteriak. Lalu beliau memantahkan beberapa ranting. Mendengar suara Macan Kumbang dan ranting patah, orang tersebut berhenti. Mereka menajamkan telinga. Kembali ranting dipatahkan. Tak lama mereka memutar balik berlari kencang pulang ke rumahnya. Rencana mereka hendak mucung durian malam ini batal.
“Mereka itu, mau maling. Mau ikutan mucung di sini. Padahal bukan kebun miliknya.” Kata Macan Kumbang.
“Kok tahu?” Tanyaku.
“Selasih, pohon durian ini ditanam oleh Bapak kekek Haji Yasir. Ini kebun puyangmu. Tapi karena keserakahan adik bungsu kakek Haji Yasir, kebun ini diserobotnya dan tidak diberikannya dengan kakek Haji Yasir. Saking mengalah dan sayangnya beliau pada adiknya, banyak hak warisan kakekmu diserobot adik bungsu dan anak-anaknya.” Jelas Macan Kumbang.
“Oh, begitukah Macan Kumbang?” Ujarku nyaris tidak percaya. Macan Kumbang mengangguk pelan sembari melanjutkan makan durian. Demi mendengar itu aku minta Gundak kembali mengambil beberapa buah durian untuk di bawa pulang. Kuminta Macan Kumbang mengantarkannya ke tempat Kakek Haji Yasir empat biji, selebihnya tiga biji kami bawa pulang ke pondok nenek Kam.

“Selasih, kebun Kakek Haji Yasir sudah bersih. Besok bisa kamu lihat. Tadi beberapa kawanku dari Uluan membersihkan rumput di kebun Kakek. Tinggal besok bagaimana nenek Kam menjelaskannya pada Bapak, Ibu, dan Kakek. Mereka pasti heran mengapa tiba-tiba ada durian dan kebun tidak berumput lagi.” Ujar Macan Kumbang setelah kembali dari tempat kakek. Aku senang bukan main mendengarnya. Paling tidak, Kakek tidak akan pusing lagi melihat kebunnya yang berumput tinggi.

Ayam berkokok berkali-mali. Pertanda subuh telah tiba. Nenek Ceriwis dan Nenek Sulijah sudah lebih dulu izin pulang. Setelah itu disusul Gundak dan tiga paman pengawalnya. Mataku belum mengantuk sama sekali. Mantra Macan Kumbang benar-benar mujarab.
“Tidak ngantuk kan? Sampai seminggu dirimu tidak akan bisa tidur.” Kata Macan Kumbang.
“Preet!!” Jawabku.
“Kapan saja aku bisa menghapus mantramu. Nanti setelah aku solat subuh, aku akan hapus dan aku akan tidur” Jawabku sambil meraih sajadah dan mukena.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *