HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (95B)

Karya RD. Kedum

Aku didudukkan Datuk Raden Samangga di atas dipan yang terbuat dari rotan manau. Putri Kerinci menahan tubuh dari samping. Macan Kumbang dan Alif duduk tidak jauh dari hadapanku.
“Hup!” Datuk Raden Samangga membaca doa dan mantra sembari menempelkan kedua telapak tangannya ke punggungku. Aku pasrah saja. Biarlah Datuk Raden Samangga berusaha mengobatiku, meski sebenarnya aku sendiri bisa mengobati diriku sendiri. Di telapak tanganku ada juga racun ular dan penangkalnya pemberian Ratu Ular dari Dusun Tinggi Sebakas. Termasuk juga pengobatan warisan dari Banyuwangi dan Puyang Purwataka.

Semula aku bermaksud menahan racun itu dulu. Setelah ada waktu yang pas akan aku keluarkan sendiri. Tapi takdir berkata lain. Datuk Raden Samangga harus turun tangan untuk kepulihanku. Sebuah skenario yang tidak pernah kuduga. Pertemuan yang harus diawali dengan merepotkan beliau terlebih dulu.

Aku pasrah ketika hawa hangat mengalir pelan ke bagian dada dan punggungku yang nyeri. Tak lama, energi hangat itu seakan mengumpul turun ke lambung lalu didorong tenaga dalam Datuk Raden Samangga menghentak punggungku dan aku memuntahkan gumpalan hitam seperti darah beku. Anehnya, gumpalan seperti darah beku itu bergerak-gerak dan mengeluarkan cahaya kemerlap-kemerlip seperti miang bambu saat tertimpa sinar matahari. Datuk Raden Samangga meletakkan telapak tangannya di atas gumpalan yang bercahaya itu. Tak lama gumpalan racun itu lebur di tangan Datuk Raden Samangga.
“Alhamdulilah…Selanjutnya Selasih bisa memulihkan diri sendiri. Lakukan Dis” Lanjut Datuk Raden Samangga. Putri Kerinci menyodorkan secangkir air seduan dedauan yang masih hangat untuk kuminum. Aku segera meminumnya. Lalu kulanjutkan duduk diam seperti semedi. Dalam waktu singkat, kusapu semua. racun yang ada dalam tubuhku. Lalu pelan-pelan kudorong ke bumi. Aku menguburnya, menyatu kembali dengan tanah.

Aku membuka mata pelan-pelan dan menatap Datuk Rasden Samangga.
“Terimakasih Datuk, Putri Kerinci, telah menolongku, menolong kami” Aku sujud pada Datuk Raden Samangga. Beliau tertawa kecil mendengar aku mewakili Macan Kumbang dan Alif.
“Sebenarnya kamu bisa mengobati diri sendiri. Cuma racun dari para makhluk gelap itu cukup ganas. Berbeda dengan racun ular pada umumnya.” Ujar Datuk Raden Samangga. Aku tahu, ilmu kuno dari gunung Kerinci ini terkenal di tanah Sumatera . Pada umumnya, baik bangsa makhluk tak kasat mata, mau pun bangsa manusia memiliki ilmu gaib dan kanuragan yang tinggi. Bukan rahasia, banyak makhluk astral mau pun bangsa manusia terkenal kekuatannya. Memang, setiap daerah memiliki kelebihan masing-masing.

Baru saja kami hedak duduk melingkar, tiba-tiba ada lelaki masuk sambil menunduk menyampaikan ada tamu datang dari jauh.
“Suruh mereka masuk, Kalun. Mereka adalah saudaraku dari tanah Besemah, dan Timur Laut Banyuwangi” Ujar Datuk Raden Samangga. Aku tekesiap, siapa yang datang? Dari Besemah dan Timur Laut Banyuwangi?

Nyaris aku melompat ketika mengetahui yang datang Puyang Pekik Nyaring dan Nenek Ceriwis, bersama Nyi Ratih dan salah satu ponggawa kerajaan. Aku segera menyongsong mereka. Dalam hati aku yakin mereka ke mari pasti ada hubungannya dengan keracunan yang kualami.
“Kami melihat Putri Selasih dalam keadaan terluka. Terimakasih adikku Raden Samangga, dan anakku Putri Kerinci telah menolong cucuku Putri Selasih” Puyang Pekik Nyaring menyampaikan maksud Kedatangannya.
“Kami juga mengucapkan terimakasih, Datuk dan Putri Kerinci, telah membantu Kanjeng Ratu kami” Nyai Ratih sujud penuh hikmat.

Datuk Raden Samangga dan Putri Selasih tersenyum ramah. Mereka tidak menyangka begitu besar perhatian leluhur dari Besemah. Bahkan tamu dari seberang lautan pun datang demi memastikan kesehatan Putri Selasih. Aku juga kaget, jika mereka begitu perhatian padaku.
“Inilah hikma peristiwa itu, Kandaku dan Nyi Ratih. Jika bukan karena kecelakaan itu, Putri Selasih, Macan Kumbang dan Alif tindak akan singgah kemari. Termasuk juga kalian, tidak mungkin akan kemari jika Putri Selasih tidak terluka. Allah memang penuh rencana tentang hidup kita. Hal yang tidak pernah kita duga, ternyata pertemuan hari ini sungguh indah. Mohon maaf, jika penyambutan kami kurang sopan, apa adanya kandaku, dan Nyai Ratih” Lanjut Datuk Raden Samangga lembut. Sungguh beliau tidak menampakkan keagungannya sebagai pemimpin. Sikap rendah hati dan kesederhanaannya membuatku makin kagum. Inilah pembelajaran yang tidak kudapatkan di bangku sekolah secara langsung. Kebersahajaan seseorang bukan karena tampilan yang mewah, atau dengan membusung dada agar terlihat gagah lalu semua orang mengagumi dan tunduk menghormati. Tapi sikap sederhana, rendah hati, adalah kekuatan magnit yang mampu melumpuhkan keegoan manusia. Datuk Raden Saminggu adalah contoh itu. Bayak sekali aku menemui makhluk-makhluk sakti namun rendah hati di tanah Sumatera ini. Kalau pun ada golongan putih yang sombong biasanya aku malas mengenalnya lebih jauh.

Kekagumanku pun ikut mengarah pada Puyang Pekik Nyaring dan Nenek Ceriwis, ditambah Nyi Ratih bersama ponggawa. Mereka adalah sosok-sosok yang menyayangiku. Akhirnya, malam ini menjadi malam reuni di puncak gunung Kerinci. Datuk RadenSamangga sangat memuliakan Puyang Pekik Nyaring. Sikap santun yang diperhatikan beliau, diikuti oleh Putri Kerinci dan penduduknya.

Obrolan kembali ke permasalahan-permasalah internal, tentang raibnya beberapa nenek gunung, rusaknya perkampungan para cindaku, manusia banyak tidak menghargai kehidupan bangsa tak kasat mata penguasa gunung Merapi Kerinci ini lagi. Makin banyak manusia yang tersesat dan disesatkan. Termasuk juga kehidupan para Suku Anak Dalam atau Orang Rimba yang semula sangat menghormati, menjaga hutan dan merawatnya, menjadikan hutan tempat mereka berlindung, sumber kehidupannya. Sekarang mereka sama seperti para cindaku, kehilangan belantara untuk menggantungkan hidup. Terusir dari rumahnya sendiri.

Aku diam ketika semua mata menatapku dan Macan Kumbang. Mereka seperti menggantungkan harapan pada kami berdua. Terutama Datuk Raden Samangga dan Puyang Pekik Nyaring. Aku dan Macan Kumbang balik saling tatap.
“Apa yang bisa kami bantu, Datuk?” Tanyaku setengah pelan. Sepertinya ada hal yang sangat penting yang harus kami bantu selesaikan. Dalam batin aku sudah menduga, pasti ada kaitannya dengan kehidupan manusia.
“Di seberang bukit itu, jauh di belantara kecil yang sudah terjepit, ada kelompok Suku Anak Dalam. Hadirnya golongan manusia kota, dan mereka berkenalan, sebagian besar telah mengubah pola pikir mereka. Beberapa Suku Anak Dalam ini telah diperalat oleh orang datangan, oleh masyarakat kota dan kampung, untuk menakhlukkan bangsa cindaku. Dengan kemampuan mereka yang rata-rata tinggi, mereka dengan mudah menakhlukan para Cindaku” Lanjut Datuk Raden Samangga.

“Apa yang bisa kau bantu, Cung?” Puyang Pekik Nyaring menatapku setelah semua diam asyik dengan pikiran masing-masing. Aku sudah menduga Puyang pasti akan bertanya perihal apa yang bisa kulakukan untuk menolong saudara-saudaraku bangsa nenek gunung di sepanjang Bukit dan gunung Kerinci. Mirip pula sebuah kasus yang pernah kulakukan di bukit dan gunung Bengkulu. Sebelum menjawab aku berpikir sejenak. Membaca peristiwa-peristiwa yang telah terjadi selama ini. Apa yang disampaikan Datuk Raden Samangga benar adanya. Beberapa suku Anak Dalam atau Orang Rimba di sini ada yang mulai nakal, berkhianat pada sukunya sejak kenal dengan masyarakat luar. Mereka sudah tergoda dan tergiur dengan tawa-tawaran yang dilakukan oleh masyarakat luar rimba.

Masalah cukup rumit sebenarnya. Mengingat Suku Anak Dalam pada dasarnya sangat kental menjunjung tradisi dan budayanya. Mereka dikenal sebagai orang rimba, yang nota bene sangat mencintai alam sebagai warisan leluhurnya. Tapi dengan adanya yang melanggar adat dan tradisi pedalaman, telah membuat keseimbangan alam menjadi goya.
“Baiklah, Puyang, Datuk, kita buat penghalang agar bangsa manusia dari luar rimba tidak bisa masuk ke area hutan lindung tempat para cindaku berdiam, dan para orang rimba atau Suku Anak Dalam berada.” Ujarku.
“Aku akan bantu menawar perangkap dan ucap-ucap anak Rimba yang diniatkan pada para cindaku, tanpa mereka sadari. Akan kubalik mantra mereka. Saat mereka memanggil para cindaku, maka para cindaku bukan mendekat, malah sebaliknya dia akan menjauh. Sementara orang luar rimba, akan kubuat untuk tidak bisa masuk hutan yang kita pagari. Jika mereka masih nekat juga maka tumbuhan dan akar akan menyilamkan pandangan mereka. Mereka tetap akan berada di tempat” Lanjutku lagi.

Tanpa berpikir panjang, Datuk Raden Samangga dan Puyang Pekik Nyaring langsung menjawab setuju. Sebenarnya mereka bukan tidak bisa melakukan hal ini. Namun campur tangan manusia sepertiku memang sangat dibutuhkan untuk menengahi masalah dengan manusia pula. Jika mereka yang melakukannya, khawatir akan terjadi polemik besar bagi semuanya. Aku memandang Alif dan Macan Kumbang untuk membantuku. Nyo Ratih yang semula hanya diam selanjutnya menyatakan diri siap turun tangan membatuku. Aku tersenyum menatap Nyi Ratih. Perempuan cantik yang tertutup semua auratnya ini, memang tipe makhluk yang sangat setia dan sangat pandai memposisikan diri. Untuk sementara aku melarangnya campur tangan.

“Kemari Alif, izinkan Datuk menitipkan sesuatu padamu” Datuk Samangga meraih tangan Alif. Beliau sangat paham mengukur kemampuan Alif. Tanpa ragu-ragu, Alif duduk menghadap Datuk Raden Samangga dengan senyum dikulum. Aku melihat keberuntungan selalu berpihak pada Alif. Entah sudah berapa tokoh yang datang sendiri menjadikan dia muridnya. Menitipkan beberapa kemampuan dan mengamalkan sesuatu. Hingga kini, dia masih dalam gemblengan Eyang Kuda.

Datuk memerintahkan Alif duduk bersila dengan mata terpejam. Selanjutnya disuruhnya bersyalawat sekian kali, lajut membaca ayat pendek, lalu berzikir dengan hitungan tertentu pula. Sementara kami yang berada di sekelilingnya diminta membantu dengan zikir saja. Alif langsung melakukan itu. Nenek ceriwis duduk bersila pula di samping Nyi Ratih dan Putri Kerinci. Mata mereka terpejam sembari memusatkan pikiran agar khusuk.

Tak lama aku merasakan seputar ruangan istana Datuk Raden Samangga yang mirip rumah panggung ini sedikit bergetar. Datuk tengah memindahkan ilmunya pada Alif. Kulihat tubuh Alif seperti kaca bening. Sehingga apa saja yang terletak di samping, atas, bawah, depan dan belakangnya, bisa tembus pandang. Sebuah ilmu langka. Setahuku hanya dimiliki oleh saudara leluhurku di gunung Kerinci saja. Bahkan Puyang Pekik Nyaring saudaranya, tidak memiliki ilmu seperti ini. Jika ilmu ini diamalkan, maka tubuh yang punya akan lebih ringan dari angin. Selanjutnya, jika terkena senjata, selain tidak akan mengeluarkan darah, walau tembus sekali pun tidak pula akan terasa sakit dan luka. Beruntung sekali Alif mendapatkan warisan ilmu dari Datuk Raden Samangga. Mereka memang berjodoh. Aku sendiri tidak mendapatkan apa-apa dari Datuk.

Setelah ruang tengah istana panggung Datuk terasa bergoyang, sekarang hening kembali. Aku bersama Puyang Pekik Nyaring, Nenek Ceriwis, dan Macan Kumbang menghentikan zikir pelan-pelan.
“Bagaimana Kandaku, apakah sudah cukup bekal untuk Alif, Macan Kumbang dan Selasih?” tanya Datuk Raden Samangga sembari menghisap rokok daun yang nyaris mati.
“Sudah adikku. Putri Selasih dibantu Macan Kumbang dan Alif, Insya Allah sudah cukup. Kita bantu mereka dengan doa. Kita awasi mereka dari jauh saja” Jawab Puyang Pekik Nyaring sambil mengusap dagu. Dari pandangan matanya beliau sangat yakin semua akan selesai. Ekspresi optimisme Puyang Pekik Nyaring selalu meyakinkan dan menyemangatiku.

Aku mengalihkan perhatian pada Alif. Ada cahaya terang benderang ke luar dari tubuhnya. Beberapa waktu ini kulihat banyak sekali kemajuan Alif. Bimbingan Eyang Kuda diterimanya nyaris sempurna. Alif berbeda dengan yang kukenal awal dulu. Dulu Alif berperawakan lugu, hanya cahaya orang soleh saja sangat dominan mengitarinya . Kini ditambah dengan cahaya keilmuannya, membuat sinar rautnya berlapis-lapis.

Puyang Pekik Nyaring dan Datuk Raden Samangga kembali melanjutkan obrolan. Aku bangkit bersama Putri Kerinci untuk melihat-lihat ke luar. Kami menuju beranda yang menghadap ke lembah. Di lembah kerlap-kerlip lampu dari kampung dari di rumah -rumah di kota berhamburan seperti bintang. Indah sekali. Menurut Putri Kerinci, beberapa titik-titik cahaya itu baru. Dulu bagian itu adalah hutan dan perkebunan masyarakat. Namun kini sudah berubah menjadi perumahan yang dihuni oleh bangsa manusia. Para pemilik modal dengan mudah menyulap belantara menjadi gedung dan pemukiman. Satu hal yang aneh, ketika terjadi gesekan dengan penghuni hutan, mereka justru menyalahkan makhluk-makhluk hutan lalu berniat melenyapkannya dengan alasan membela diri dari marabahaya. Kehidupan para cindaku sudah terancam sejak lama. Padahal makhluk-makhluk hutan ini tidak akan mengusik bangsa manusia jika kehidupan mereka tidak diusik.

Namun aku merasa lega, ketika Putri Kerinci mengatakan beberapa masyarakat adat di seputaran gunung dan bukit ini masih ada dusunnya yang menjunjung adat dan tradisi. Misalnya, ketika hajatan entah itu pernikahan, atau hajatan lainnya, lalu mereka memotong kerbau atau sapi, maka biasanya Temenggung akan membawa beberapa potong daging lalu diletakkannya di pinggir dusun. Daging-daging itu mereka berikan untuk para cindaku sebagai tanda berbagi dan kebersamaan. Mengapa harus ke pinggir dusun? Agar kehadiran mereka tidak terlihat oleh masyarakat. Mereka tidak ingin masyarakat dusun takut. Sekaligus bentuk penghargaan mereka sebagai makhluk hidup untuk saling mendukung dan melindungi. Oleh karena itu, beberapa dusun tidak pernah didatangi oleh para cindaku secara nyata. Kalau pun para cindaku melintas mereka tidak saling mengganggu dan menakutkan. Biasa-biasa saja. Masyarakat dilarang keras membunuh cindaku. Demikian juga para cindaku dilarang keras menakuti atau mengancam para manusia.

Aku mendengarkan pernyataan Putri Kerinci sembari menikmati angin gunung yang semilir. Aroma daun dan lembab hutan sangat terasa. Kunang-kunang terbang bebas ke sana ke mari, kerlap-kerlip lalu menghilang. Andai sepanjang Bukit Barisan dan gunung yang berjajar ini masyarakat adatnya berperilaku seperti cerita Putri Kerinci, alangkah indahnya. Namun ketika aku kembali berpikir yang menyebabkan semua ini terjadi karena ulah manusia, dan sebagian besar manusia sudah tidak amanah. Darahku jadi mendidih. Ingin rasanya memberontak, tapi pada siapa?

“Suuur tar tankarup hitam diwo angen, diwo tanah, diwo langet, diwo ayo, kembang setaman dorang-dorang, paku tiang paku alas, tanah abang tanah barR Tok Atok kemarilah tunduk sujud padaku” Dari kejauhan aku mendengar suara orang tengah membaca mantra. Kembali aku tajamkan telinga untuk memastikan apakah suara mantra itu dari bangsa manusia atau bangsa cindaku. Kulihat Putri Kerinci pun melakukan hal yang sama. Mencermati mantra yang terdengar samar-samar.
“Apa yang kau dengar Putri Selasih?” Tanya Putri Kerinci mendekat. Aku langsung menjawab, ada yang tengah mengucapkan mantra penakhluk para cindaku.
“Siapa mereka Putri Kerinci?” Tanyaku balik dan penasaran.
“Mereka orang rimba yang diperbudak oleh orang-orang kampung itu. Nampaknya mereka tengah memanggil para cindaku” Suara Putri Kerinci sedikit bergetar. Mendengar itu aku langsung masuk memanggil Alif dan Macan Kumbang untuk ikut padaku.

Setelah pamit dengan Datuk Raden Samangga dan Puyang Pekik Nyaring aku segera meluncur ke tanah. Sejenak aku diam, fokus mencari arah suara mantra tadi. Alif dan Macan Kumbang berdiri di belakangku. Tak lama kupanggil angin, kami segera naik dan meluncur jauh ke sisi barat gunung Kerinci. Sesampainya di sana, aku melihat beberapa sosok nenek gunung gemerusuk ke luar dari semak-semak. Ada beberapa ekor seperti tergesah-gosah menuju sumber mantra. Di antara nenek gunung dari semak-semak itu kulihat ada yang sudah sangat tua. Meski penampilannya masih gagah, namun gerakkannya aku yakin tidak lincah lagi. Sejenak aku diam menatap mereka. Alif berkedap-kedip melihat sosok nenek gunung di depan hidung. Meski tidak takut seperti sebelumnya, namun nampak sekali Alif kaget dan kagum.

Aku mulai melangkah mengikuti para nenek gunung yang berjalan kaku. Nampak sekali jika makhluk ini seperti manusia kena kemat. Linglung dan lupa. Mereka berjalan tanpa menoleh, lurus menatap ke depan.
“Mengapa mereka seperti bengong, Kanjeng” Alif berbisik. Aku mengangguk dan menyuruhnya diam dan memberi kode agar ikut padaku. Aku kembali mendorong angin untuk membawa kami cepat menuju tepi hutan.

Tidak berapa lama, sampai di sisi hutan lindung. Benar saja, di sana kulihat seorang lelaki tua dengan cawat dan ikat kepala duduk bersila. Di hadapannya ada sesembahan berupa ayam hitam, lalu ada sayak berisi cairan darah. Asap mengepul, tongkat berkepala ular diletakkannya di sampingnya. Beberapa kembang teraebar dinhadpannya. Beberapa pusaka yang terbungkus dengan kain hitam dibelakang di hadapannya. Aku mengira-ngira siapa beliau. Seorang temenggung atau rakyat biasa. Lalu dari suku mana? Sambil membakar kemenyan, mulutnya masih komat-kamit memanggil nenek gunung atai cindak, hendak menakhlukan mereka.

Di sisi hutan, beberapa orang di luar rimba duduk di atas pohon sembari meningkatkan kewaspadaan. Jumlah mereka tidak kurang dari lima orang. Semuanya berpakaian lengkap dengan senjata api laras panjang dan pendek, di tambah parang dengan besi putih mengkilap. Berada-benda itu seperti meminta darah. Melihat gelagat mereka, jiwaku kembali marah. Aku kembali terkenang beberapa kejadian yang sama seperti ini.Tidak sedikit memang pemburu-pemburu nenek gunung melibatkan para dukun untuk menakhlukkan raja rimba itu.

Aku segera mengambil tindakan. Sebelum para nenek gunung itu sampai ke tempat ritual, jalan mereka kuhalangi, dan kulepaskan mereka dari mantra-matra temenggung sekaligus dukun itu. Tak berapa lama mereka berputar arah. Selanjutnya kuajak Alif dan Macan Kumbang menyatukan kekuatan untuk memperkuat mantraku agar semua yg berniat jahat pada nenek gunung atau cindaku tidak tembus. Selanjutnya, kami bertiga memagari area hutan larangan dari niat jahat siapa pun. Kutabur mantra agar bangsa manusia yang berniat di hutan ini, menjadi batal dengan niat jahatnya. Macan Kumbang dan Alif kuajak untuk menyatukan energinya.

Rupanya apa yang kami lakukan diketahui oleh Temenggung. Beliau marah karena kami campur tangan. Beberapa balatentara yang mendampinginya menyerang kami. Mantra-mantra yang beliau rapalkan sengaja menyerang kami. Muncullah sosok-sosok yang selama ini membantu beliau. Aku mengingatkan Alif dan Macan Kumbang agar tidak balik menyerang mereka.
Hiiiat!
Sosok-sosok itu kutangkap dan kukurung dengan selendangku. Mereka memberontak sambil mengancam. Sang Temenggung kembali membaca mantranya. Ribuan pasukannya kebali menyerang. Aku kembali menangkapi mereka.
“Kumbang, para nenek gunung itu baiknya giring jauh ke dalam” Bisikku pada Macan Kumbang yang dari tadi ikut membersihkan nenek gunung dari mantra-mantra yang mempengaruhinya. Benar saja, Macan Kumbang menggiring para nenek gunung masuk lebih jauh ke dalam sambil berpesan pada mereka agar selalu hati-hati. Aku menarik nafas lega.

“Kurang ajar, siapa kalian? Berani sekali kalian campur tangan dengan urusan kami. Kalian kira aku tidak tahu keberadaan kalian?” Tiba-tiba Temenggung sudah berada di hadapanku. Perawakannya tidak terlalu tegap. Namun jika melihat batinnya, nyaris semua tubuhnya dijaga oleh makhluk-makhluk berkepandaian tinggi. Mereka menyatu ditubuh Temenggung. Bahkan lidah Temenggung kulihat adalah bagian tubuhnya yang paling berpengaruh. Kekuatannya berkumpul di sana. Aku mencoba memahami apa yang beliau sampaikan dengan bahasa mereka.
“Maaf Temenggung, terimalah hormat saya. Kenalkan nama saya Putri Selasih dari tanah Besemah. Aku kemari, sengaja untuk menghalangi niat Temenggung hendak menakhlukkan para cindaku penghuni hutan ini. Temenggung, sebagai pemimpin harusnya tetap pada warisan leluhur menjaga hutan dan penghuninya, menjaga keseimbangan alam sebagai warisan seperti selama ini. Tapi mengapa jadi berubah? Justru Temenggung yang menjadi perusak? Tahukah Temenggung, semua penguasa di gunung Kerinci ini marah pada Temenggung. Sebelum terlambat, mari Temenggung, jangan berkhianat pada tradisi leluhur” Ujarku panjang lebar.

Mendengar ucapanku, Temenggung diam. Matanya tajam menatapku. Beliau hendak menyampaikan sesuatu namun tidak terucap.
“Jangan dikira orang-orang di luar sana itu baik semua. Mereka tengah memanfaatkan kemampuan Temenggung untuk merusak kestabilan, keharmonisan alam kita. Baiknya Temenggung ikut merawat alam, mengajak rakyat Temenggung untuk terus menjaga rimba ini. Bukan ikut merusaknya. Temenggung sadar tidak, jika hutan kita makin sempit. Kelak anak cucu kita kehilangan sumber makanan. Saat ini tidak sama dengan cerita orang tua kita dulu, Temenggung. Tiap kali kita ke pinggir sungai, ikan akan berkumpul, lalu kita tinggal menangkapnya. Kita ambil secukupnya untuk makan, memenuhi kebutuhan keluarga. Di hutan pun demikian, babi, monyet, kijang, rusa, ayam hutan, dan lain-lain berkeliaran. Mereka hidyp dan berkembangbiak dengan aman. Kita tinggal menangkapnya menjadi sumber makanan. Gadung, buah hutan, nyaris tidak pernah kehabisan. Sadarkah Temenggung jika saat ini kehidupan para hewan itu selalu teracam. Akhirnya mereka menyerang manusia” Ujarku lagi. Aku menatapnya dengan perasaan lelah. Nampaknya Temenggung sudah bisa kupengruhi. Dia sudah mulai berpikir dengan apa yang kuucapkan. Diam-diam kubantu agar pikiranmu tidakbterkontamisani oleh hasutan makhluk astral yang mendampinginya.
“Siapo kau gadis? Anak siapo kau” Nadanya masih tidak suka. Aku berusaha mendekat dan duduk di hadapannya.
“Namaku Putri Selasih, Temenggung. Aku tinggal jauh dari sini. Aku dari Gunung Dempu, tanah Besemah. Aku ke mari, kebetulan lewat dan dihadang oleh pasukan gelap dari hutan larangan sisi gunung Kerinci, Temenggung” Lanjutku lagi. Keningnya berkerut menatapku. Melihat emosinya sedikit turun, ribuan makhluk pengawalnya turut diam. Mereka seperti jinak dan tinduk.
“Hmm jauh sekali. Tanah Besemah, tanah betuah. Salah satu tanah larangan leluhur kami. Tanah yang tidak pernah menerima pelarian dari sini. Dari suku rimba. Sebab menurut leluhurku, ada perjanjian semacam sumpah tanah, membuat anak rimba tak anak sampai ke sana” Suara Temenggung berat. Mendengar penjelasan, aku mulai tertarik. Beliau tidak lagi terlihat seram seperti tadi.
“Lepaskan pasukanku, Gadis. Aku menghormati leluhur tanah Besemah. Leluhur Kerinci ada kaitan kekerabatan pada leluhurmu” Lanjutnya lagi.
“Maafkan aku Temenggung. Aku telah lancang. Izinkan aku bersama saudaraku Macan Kumbang dan Alif, mengamankan wilayah ini sesuai amanah Datuk Rade Samangga” Ujarku lagi. Selanjutnya kuangkat tanganku tinggi-tinggi lalu selendang yang melilit ribuan sosok pasukan Temenggung orang rimba kulepas semua.

Mendengar nama Datuk Raden Samangga, Temenggung langsung mengatup tangannya ke atas. Mulutnya komat-kamit . Beliau tengah berkomunikasi batin dengan Datuk Raden Samangga. Hal yang tidak pernah beliau lakukan selama ini, berdialog dengan penguasa hutan lindung, hutan larangan, dan penguasa gunung merapi Kerinci.

Ketika beliau membuka matanya dan menatapku, mata beliau berair. Ternyata Datuk Raden Samangga langsung menegurnya mengatakan sebagai kepala suku, beliau tidak amanah. Dia tidak bertanggujawab pada keturunannya. Padahal, apa yang dilakukannya hari akan terekam oleh anak cucu. Selanjutnya Datuk mengingatkan, apa yang akan beliau wariskan pada mereka jika segala macam adat telah kita rusak sendiri. Ke depan, setelah kita tidak ada, maka anak cucu rimba akan kehilangan pijakan. Mereka tidak bisa menetukan nasibnya sendiri. Mendengar nasihat Datuk Raden Samangga, makin terbuka pikiran Temenggung. Beliau seperti baru menyadari jika langkah yang beliau lakukan selama ini salah. Selama ini beliau telah membuka jalan untuk menghancurkan sukunya sendiri.

“Bagaimana Temenggung, apakah yang saya lakukan salah?” Ujarku bertanya. Pertanyaan yang tidak terlalu penting sebenarnya. Karena suku rimba ini rata-rata tidak bisa diajak diskusi dan bertukar pendapat jika isinya menyalahkan mereka. Mereka bangsa manusia yang lugu dan polos. Selalu menerima, dan selalu berprasangka baik terhadap setiap orang. Mereka akan terlihat liar ketika mereka mencurigai orang baru, pada dasarnya mereka takut berjumpa dengan manusia luar. Takut dicelakakan, takut berkomunikasi karena memang tidak paham bahasa yang dipakai pada umumnya.

“Aku menyesal, telah salah jalan” Suara Temenggung berubah berat. Aku segera menimpalinya agar dirinya tidak merasa bersalah.
“Semua karena Temenggung belum tahu. Sekarang, Temenggung sudah tahu akibatnya sungguh besar, bukan? Belum terlambat, Temenggung. Mari kita jaga hutan kita yang sudah semakin kecil ini, lalu membiarkan makhluk yang ada di dalamnya hidup damai bersama kita” Lanjutku meyakinkan. Temenggung mengangguk-angguk paham sambil mengemasi pusaka dan benda ritualnya.
Aku bersyukur tidak ada korban dalam kejadian ini.
“Harus aku apakan orang luar di pinggir hutan itu? Aku bisa membunuh mereka dengan halus!” Ujarnya. Ada nada marah meletup-letup di irama bicaranya. Aku mencoba meredakan emosinya. Kuingingatkan agar dia tidak berhubungan lagi dengan orang-orang itu. Selanjutnya kuajak beliau menemui mereka. Sementara Alif dan Macan Kumbang masih menggiring beberapa cindaku yang enggan masuk ke hutan lebih dalam.

Bersambung….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *