HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (96A)

Karya RD. Kedum

Halimun gunung Kerinci, turun sangat tebal. Namun tak mengurangi semangat kami untuk kembali ke puncak, menemui Datuk Raden Samangga. Aramba, nenek gunung kecil asyik menjelaskan beberapa tempat padaku. Termasuk nama sungai, air terjun ajaib yang ke luar dari dinding cadas.

Aku, Macan Kumbang dan Alif diajak Aramba melalui kampungnya. Katanya kampungnya tidak jauh dengan istana Datuk Raden Samangga. Melihat ekspresinya sangat berharap kami singgah, akhirnya kami sepakat ikut Aramba terlebih dahulu. Padahal kami hendak menemui Datuk Raden Samangga untuk melapor tugas sudah selesai sekaligus pamit pulang.

Aramba, nenek gunung kecil berjalan tidak mau jauh denganku. Sesekali wajahnya tengadah menatapku sambil tersenyum. Anak kecil ini mengemaskan memang. Meski wajahnya kekanak-kanakkan, namun sikapnya lebih santun dan dewasa.
“Aku akan kenalkan kalian semua pada Bapo dan Umakku” Ujarnya semangat. Aku tersenyum menyambutnya. Keinginan mengenalkan kami dengan kedua orang tuanya, sepertinya jadi prioritas utama baginya. Sesekali aku bertanya tentang tempat-tempat tertentu pada Aramba. Aramba menjelaskan dengan senang hati.

Dari kejauhan aku melihat ada lentera kelap-keliling antara pohon-pohon tinggi yang lebat.
“Siapa mereka Aramba?” Tanyaku. Sebab aku bisa pastikan lentera itu bukan dari perkampungan orang rimba atau cindaku.
“Itu anak manusia yang sedang istirahat. Mereka para pendaki” Ujar Aramba. Aku tercekat dibuatnya. Baru aku sadar, gunung Kerinci memang salah satu tujuan para pendaki. Sejenak aku berhenti, menatap mereka dari jauh. Aku hanya ingin memastikan apakah benar mereka para pendaki? Ternyata benar, mereka para pendaki senior meski masih tergolong muda. Aku bahagia sekali melihat mereka. Mereka para mahasiswa. Darah pencinta alamku langsung bangkit.

Waktu sudah dini hari. Sebagian besar para pecinta alam masih meringkuk kedinginan. Ada satu di antara mereka kulihat duduk timpuh di sela-sela temannya yang masih pulas. Dia lelaki muda, usai menunaikan solat malam. Meski sambil duduk karena tenda mereka memang tidak memungkinkan untuk membentangkan sajadah. Pendaki itu masih berzikir. Tubuhnya bergoyang-goyang seirama gerakan jemarinya menghitung jumlah. Cahaya kekuningan yang memancar dari tubuhnya menembus kabut gunung yang tebal. Sinar zikir yang dilantunkannya seperti menaungi area kemah di sela-sela pohon besar yang ada di area. Entahlah aku sangat bersimpati pada mereka.

Kuhitung ada delapan tenda yang tertutup rapat. Tiap tenda berisi empat orang. Sangat sempit memang. Beberapa makhluk astral hanya memandang dari jauh. Mereka tidak berani mendekat. Apalagi ada suara zikir membuat telinga mereka rasa terbakar. Dari kejauhan banyak juga bangsa nenek gunung melintas. Tapi para nenek gunung berjalan pelan sangat hati-hati sekali seperti berjinjit. Mereka khawatir gerakkan mereka diketahui para pendaki sehingga membuat mereka takut. Para nenek gunung sangat pandai menghargai para pendaki. Insting mereka sangat tajam. Mereka tahu hati yang ikhlas atau hati yang culas.

Aku mengayunkan tangan ke atas, diikuti Macan Kumbang. Kutabur energi agar mereka sehat dan tetap waspada. Esok mereka pasti akan melanjutkan perjalanan kembali. Apalagi medan ke gunung Kerinci ini luar biasa sulitnya. Mereka akan lebih banyak menemui jalan setapak lembab dan licin. Apalagi curah hujan beberapa hari ini cukup tinggi. Meski banyak akar yang menonjol, bagian dari medan yang harus dilalui, namun jika tidak hati-hati bisa tergelincir. Belum lagi jika bersua dengan babi hutan, atau harimau yang berkeliaran. Mendaki gunung Kerinci tidak saja harus sehat, namun juga harus bermental ekstra.

Ketika kami melanjutkan perjalanan, Aramba bertanya padaku. Mengapa aku menaburkan energi pada para pendaki? Mengapa aku begitu perhatian pada mereka? Aku hanya menjawab jika mereka juga manusia, bangsaku. Mereka murni pendaki yang ikut melestarikan alam ini. Mereka para pecinta alam yang datang dari berbagai daerah. Jika kita bisa membantunya mengapa tidak?” Ujarku. Selanjutnya sambil berjalan Aramba bercerita, tentang pendaki yang nakal. Hal itu dia dapat dari cerita Umaknya. Para pendaki yang datang ke mari pernah disesatkan gegara berbuat tidak sopan, melanggar adat. Ketika Aramba bercerita, benakku langsung menuju orang yang dia ceritakan. Benar sekali apa yang dikatakannya. Mereka pendaki amatiran yang sengaja bersenang-senang. Mereka menganggap hutan belantara ini tidak ada makhluk lain kecuali mereka. Mereka adalah remaja putra dan putri, mendaki sekadar untuk jalan-jalan. Sepanjang jalan teriak-teriak, cekakak-cekikik, berpelukan, kadang berciuman sambil berjalan. Karena mereka memang pacaran, sepasang-pasangan. Akhirnya salah satu mereka diambil oleh penguasa gunung Kerinci, selebihnya tersesat di belantara, ditemukan dalam keadaan linglung semua. Sukma mereka di tahan di pegunungan. “Nauzubillah, Astaghfirullah adziim” Aku membatin. Akhirnya kutepis bayangan itu. Aku engan memikirkannya. Untuk menolongnya juga percuma, karena jasad anak-anak itu, sebagian sudah lebur jadi tanah, karena sudah mati.

Setelah melewati sungai kecil, dalam dan jernih, tak lama kami sampai di sebuah perkampungan kecil. Kami tidak melihat sosok bangsa apa pun berkeliaran di kampung ini. Di hadapan kami ada rumah panjang persis kulihat seperti ketika kami baru datang bersama Putri Kerinci. Rumah panggung, bertiang bulat berdiri kokoh dengan kayu-kayu berkualitas. Bentuknya yang unik mirip gerbong kereta api, sambung menyambung antara satu dengan lainnya membuat rumah panjang ini bernilai lebih. Rupanya setiap sambungan berupa jembatan.

Di bawah rumah panjang itu ada beberapa tempat duduk dan juga tempat bermain anak-anak. Selain itu ada kayu-kayu bakar tersusun rapi di tiap bawah rumah panggung. Aku jadi berpikir, dimana dapurnya? Apakah setiap ruang punya dapur masing-masing? Aku sangat penasaran dibuatnya. Tidak terlihat aktivitas memasak seperti di perkampungan gunung Dempu. Di sana aku melihat aktivitas nenek gunung, mereka bersawah, menumbuk padi, punya kolam-kolam ikan layaknya hidup bangsa manusia.

Sekarang kami berempat memasuki sebuah halaman yang luas. Nampaknya halaman ini sering digunakan. Entah untuk apa. Semuanya terlihat terawat. Beberapa benda yang kuanggap kuno tertatah rapi di sudut-sudut. Di sisi tempat terbuka ini kulihat alu berjajar rapi. Di bawahnya ada lesung berupa kayu balok panjang yang berlubang-lubang. Persis seperti rumah Panggung, lesungnya pun panjang. Aku berdecak kagum melihat semuanya.

Sampai di pangkal tangga, Aramba mengubah dirinya seperti manusia. Alif terpekik pelan. Matanya terbelalak melihat keajaiban depan mata. Kutepuk tangannya sambil mengingatkan “biasa saja tidak usah kaget” Aku tahu dalam hatinya ingin bertanya mengapa Aramba, Macan Kumbang, dan aku bisa berubah?

Aramba mengajak kami naik melalui tangga terbuat dari kayu bulat tanpa pegangan sisi kiri kanan. Dalam hati aku mengagumi bangsa ini. Mereka turun naik tangga biasa saja. Melihat warna tangga yang licin nampak sekali tangga ini sering digunakan untuk hilir mudik para penghuni rumah. Herannya, berpuluh rumah bergandengan mengapa tangganya hanya satu ini? Mengapa tidak membuat tangga masing-masing atau ada tangga alternatif lainnya? Setelah di atas, kami disambut sebuah selasar yang cukup luas. Lagi-lagi aku menduga selasar ini satu-satunya tempat mereka berkumpul. Nampaknya para tetamu diterima di sini. Rumah-rumah panjang ini seumpama kamar-kamar pribadi, yang posisinya berhadap-hadapan.

Ada lorong panjang dan jembatan tempat semua penghuni berjalan menuju rumah atau kamar mereka masing-masing. Ukuran lorongnyanya cukup luas. Lebih dari cukup untuk duduk-duduk bercekrama di sana. Di dekat pintu masing-masing, tergantung alat tradisional seperti panah, bubu bulat, jaring, dan lain-lain. Melihat itu aku berpikir kehidupan di sini tidak jauh dengan keluarga besarku dari gunung Dempu.

Nyaris semua pintu kuperkirakan semua terutup. Siapa saja yang menghuni kamar-kamar itu aku tidak tahu. Apakah tiap kamar dihuni oleh satu keluarga? Apakah yang tinggal di sini ada hubungan kekerabatan atau tidak? Aku juga belum paham. Kami disilakan Aramba duduk di lantai beralas rotan. Dia minta izin memanggil orang tuanya sambil berlari kecil. Suara hentakan kakinya membuat rumah panggung sedikit berayun. Baru kasadari, semua sudut balok rumah panggung dipasak dan diikat dengan tali enau.

“Bapo, aku datang bersama Ayuk Putri Selasih” Aramba mendorong pintu rumah pertama. Oh, jadi keluarga Aramba tinggal di kamar nomor satu itu? Sementara di hadapan rumahnya pintunya tertutup rapat. Aku tidak mendengar suara menandakan ada kehidupan. Keherananku membuat keingintahuanku lebih dalam. Kehidupan seperti ini sungguh unik menurutku. Mereka pasti punya alasan mengapa bentuk rumah mereka panjang seperti ini. Dan yang lebih penting lagi adalah kemana semua penghuni kamar-kamar itu?

Aku, Macan Kumbang, dan Alif duduk diam menunggu kehadiran orang tua Aramba. Langkah halusnya terdengar pelan. Derit pintu berbunyi. Kami serentak menoleh. Aku berdiri menyambut sosok lelaki muda sembari menundukkan kepala. Lelaki ini kulihat yang berjalan dengan Aramba beberapa jam lalu. Perawakannya sedang. Senyum ramahnya meneduhkan. Tak lama muncul ibunya. Perempuan ayu berbaju kurung warna salem. Sangat padu dengan tengkulok dan kain yang membalut tubuhnya.
“Maafkan kedatangan kami mengganggu, Sanak. Kami senang berkenan dengan Aramba. Anak kecil yang cerdas dan berani” Ujarku jujur.
“Terimakasih Putri Selasih, Macan Kumbang, dan Alif. Maafkan anak kami. Dia terlalu berani. Terimakasih sudah berkenan singgah di pondok kami. Kenalkan namaku Daman, dan ini istriku Putri Baisya” Ujarnya memperkenalkan diri. Beliau tahu nama kami bertiga. Padahal kami belum berkenalan. Tapi aku memakluminya. Mereka dengan cepat bisa mencari tahu siapa kami. Makanya terlihat akrab dan tidak ada canggungnya.

Kami disilakan duduk kembali. Putri Baisya, yang dipanggil Umak oleh Aramba, duduk bersebelahan denganku. Selintas sepasang orang tua yang masih muda ini bercerita tentang Aramba. Aramba suka berkelana sendiri. Dia anak yang tidak betah main di dalam rumah. Selalu ingin bersahabat dengan orang yang lebih dewasa. Dia jarang sekali bermain dengan anak sebayanya. Aramba Termasuk anak pemberani. Karena keberaniannya kerap kali membuat kedua orang tuanya khawatir.

Tidak berapa lama, setelah berbincang seperlunya, kami mohon diri. Orang tua Aramba berusaha menahan kami agar berdiam agak lama. Setelah dijelaskan baru beliau menerima.
“Jarang sekali kami mendapat tamu dari luar, Putri Selasih. Merupakan kebanggan tersendiri bagi kami bisa berkenalan dengan kalian Macan Kumbang, Putri Selasih, dan Alif. Singgahlah kalian ke mari kapan saja” Ujar Daman, Bapak Aramba. Kami mengangguk berbarengan.

Melihat kami hendak bangkit, Aramba berniat hendak ikut. Tentu saja dia langsung dihalangi Bapo dan Umaknya.
“Putri Selasih masih banyak tugas, Aramba. Nanti kapan-kapan Putri Selasih kita ajak lagi ke mari. Biar Bapo dan Umak yang menjemputnya. Untuk saat ini, izinkanlah beliau menghadap Datuk dulu” Ujar Daman menatap Aramba. Meski dengan ekspresi berat, Aramba menggangguk sambil bersembunyi di balik gaun ibunya.

Akhirnya kami pamit melanjutkan perjalanan. Dalam hati aku berjanji suatu saat aku akan ke mari untuk bertemu Aramba, mengajaknya berkelana menyisir gunung dan bukit Sumatera.

Kami bertiga kaget ketika baru masuk pintu gerbang istana Datuk Raden Samangga ditabur beras kunyit dan percikan air tepung tawar. Beberapa sesepuh sembari bergumam mengucapkan mantra, seperti melakukan gerakan tari berkeliling-keliling di hadapan kami. Aku bingung harus melakukan apa? Apakah harus ikut menari, berhenti berjalan atau terus berjalan tak peduli? Aku menoleh ke kanan ke kiri berharap ada yang mberi petunjuk apa yang harus kami lakukan.

Gerakan tari mereka patah-patah seperti elang terbang dengan tangan terbentang, kadang miring ke kiri kadang ke kanan. Yang menari lelaki, namun gerakkannya sangat lincah. Aku jadi bingung menerka hitungan setiap gerakkannya. Mirip seperti gerakan kuntau, indah, lembut namun mematikan. Mulutnya yang merah karena makan sirih, terus menyenandungkan irama mantra-mantra. Matanya sedikit terpenjam. Nampaknya penari ritual ini sangat menghayati setiap gerakannnya.
“Apa yang harus kita lakukan, Kumbang” Aku membatin pada Macan Kumbang. Dia juga nampak bingung harus melakukan apa. Sementara Alif sesekali mengikuti gerakan penari sambil tersenyum ke sana kemari. Aku senyum-senyum menatapnya.

Untung tidak terlalu lama, penari seakan memberikan ruang untuk kami melanjutkan perjalanan menuju pelataran tempat Datuk Raden Samangga, Putri Kerinci dan yang lainnya menunggu. Rupanya ini adalah sebuah ritual sambutan kepada mereka yang dianggap pahlawan.
“Masya Allah, kita dianggap pahlawan, Selasih” Ujar Macan Kumbang antusias.
“Wew..jangan sombong, siapa yang dianggap pahlawan? Macan Kumbang? Jangan salah perasaan yey” Aku sengaja mengejeknya. Hasilnya punggungku kena cubit. Sambil menahan perih aku terus berjalan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Apa yang dikatakan Macan Kumbang sebenarnya benar. Kami dianggap pahlawan. Ritual ini adalah penyambutan istimewa. Sebuah penghormatan yang luar biasa menurutku. Seakan-akan apa yang sudah kami lakukan sebuah perjuangan besar dan sangat berjasa.

Rupanya tidak cukup sampai di situ saja, setelah dekat pelataran, kami disuruh berhenti. Tak lama Datuk Raden Samangga turun. Di tangannya membawa sebuah mangkuk kecil berisi air bening. Setelah dekat, beliau merunduk, jongkok, lalu mengusap kedua belah kaki kami. Aku merasakan sesuatu yang berlebihan. Namun karena ini adalah tradisi, akhirnya aku memilih diam dan pasrah.
“Terimakasih, Putri Selasih. Kau telah menyelesaikan masalah besar negeri ini. Sudah lama kami menyimpan gelisah atas musibah yang menimpa para cindaku semoga untuk selanjutnya tidak terjadi lagi. Meski wilayah hutan lindung makin kecil, namun tidak terjadi gesekan kembali dengan bangsa manusia” Ucap Datuk Raden Samangga diaminkan Puyang Pekik Nyaring dan lainnya. Setelah itu, kami baru dibimbing masuk ruangan. Kembali aku terkagum-kagum. Ternyata penyambutan kami belum selesai. Datuk Raden Marangga, baru melakukan pembersihan seperti membasuh kaki kami bertiga. Sampai di ruangan kami disambut ambk tebal dan diapit oleh perempuan-perempuan separuh baya dengan pakaian adat, baju kurung dan kain batik, beserta bertengkuluk tinggi. Di pinggang kanannya mereka bertengger semacam bakul yang ditutup kain beludru biru tua. Entah apa isinya aku tidak tahu. Lalu kami disuruh duduk, bakul-bakul yang tertutup di letakkan di hadapan kami masing-masing. Batinku segera ingin tahu apa isi bakul cantik itu. Rupanya ‘ramuan’ sirih lengkap. Ada sirih, buah pinang, gambir, kapur sirih, lilin lebah untuk pelembab bibir. Di tata sedemikian rupa.

Aku melirik pada perempuan-perempuan cantik yang menyuguhkan minum di cangkir warna keemasan. Semuanya mengenakan pakaian adat. Baju kurung berkain sarung batik, satu setel dengan tengkuluknya yang diikat mengembang. Mereka berjalan sopan di hadapan kami.
Lagi-lagi aku ngobrol dengan Macan Kumbang melalui batin.
“Aku bingung, acara apa ini. Mengapa kita disambut dan diperlakukan seperti raja” Ujarku.
“Iyalah, kamu kan Ratu. Makanya disambut seperti ini. Masak tidak sadar si kalau kamu itu Ratu? Sepantasnya memang demikian” Jawab Macan Kumbang. Aku terdiam mendengar pernyataannya. Meski dalam hati aku ingin protes. Aku tidak suka diperlakukan berlebih-lebihan seperti ini.

Nenek Ceriwis dan Nyi Ratih asyik ngobrol. Kadang-kadang mata mereka menatap padaku. Lalu menatap pada Alif. Aku pura-pura tidak memperhatikannya. Yang jelas semua mata tertuju pada kami bertiga. Entah apa yang mereka obrolkan

Ketika aku sedang asyik menikmati suasana dan membaca-baca rangkaian acara, tiba-tiba dari sebelah kanan ruangan masuk dua orang hulubalang. Di tengahnya ada Putri Kerinci membawa sesuatu. Di belakangnya gadis pengiring berjalan santai dengan wajah tersenyum. Lain daerah lain pula tradisi budayanya. Aku melihat di puncak Kerinci ini memiliki budaya yang tinggi. Desain mahkota yang dikenakan Putri Kerinci, kecil namun memiliki nilai tinggi. Aku menyebutnya sunting. Entah kalau di sini apa namanya. Namun pernak-pernik yang menghiasianya semua mengadung filosofi. Cermin alam gunung Kerinci.

Sejenak kuperhatikan mirip-mirip sunting Minang, namun pernak-perniknya mirip sunting Palembang. Dua kebudayaan berbaur menjadi satu saling mengisi dan menguatkan. Senyum Putri Kerinci mengembang. Cantik sekali. Seseorang menyuruh kami berdiri dan turun dari tempat duduk yang memang tempatnya agak tinggi. Kami bertiga turun. Aku di suruh berdiri paling depan. Di belakang kiri kananku Macan Kumbang dan Alif.
“Hari ini, kita kedatangan tamu dari jauh. Beliau Putri Selasih, Ratu dari kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Beliau adalah cucu kandaku Pekik Nyaring dari Merapi Gunung Dempu. Di sampingnya ada Macan Kumbang, cucu Kandaku Pekik Nyaring dari bangsa cindaku, dan satu lagi Alif, santri dari tanah seberang, telah kuangkat menjadi muridku. Mereka bertiga telah membantu menyelamatkan bangsa kita dari tangan-tangan bangsa manusia yang tidak bertanggujawab. Beliau telah menyadarkan saudara kita Orang Rimba, untuk kembali menjaga sisa rimba kita yang makin sempit. Untuk itu, sepatutnya secara adat kita ucapkan terimakasih pada mereka bertiga, terutama pada Putri Selasih yang telah memimpin misi ini dengan mulus, tanpa memunculkan pertikaian dan permusuhan” ucap Datuk Raden Samangga. Selanjutnya beliau dibantu beberapa orang tokoh adat, mengambil apa yang dibawa Putri Kerinci. Rupanya pakaian adat. Sekali gerak, aku telah mengenakan pakaian baru tanpa harus melepas pakaian sebelumnya. Demikian juga Macan Kumbang dan Alif. Alif menjerit tertahan saking kagumnya.

Selanjutnya salah satu tokoh adat menyoletkan air berwarna kuning mirip kunyit ke kening kami sebelum dipakaikan tengkolok dan ikat kepala. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana warna wajahku saat ini. Semuanya seperti mimpi tiba-tiba serasa diangkat menjadi Ratu baru. Sebuah penghargaan yang luar biasa dari sebuah kerajaan di atas awan, puncak Kerinci yang terkenal penuh misteri.

Kami bertiga diajak berjalan menuju sebuah panggung yang tidak seberapa tinggi. Di sana telah menunggu beberapa orang, sesepuh adat. Mereka tersenyum menunggu kami yang berjalan pelan. Iringan musik tradisional mirip tabuhan syalawat Melayu, domimanan suara gendang. Setelah sampai, kami ikut berhenti bejalan dan tetap beridiri di tempat. Kami diambil dengan wewangian berupa asap yang dikelilingkan seseorang ke arah kami. Tak lama salah satu sesepuh adat mendekati kami bertiga, sembari menyerahkan sesuatu. Aku terima pemberiannya sembari menundukkan badan. Rupanya, semacam lencana lambang kerajaan. Lencana ini sebagai pengenal keluarga besar kerajaan. Artinya siapa pun yang memakainya, maka dianggap keluarga kerajaan. Lencana ini tidak sembarangan diberikan. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh penerima di antaranya harus berhati bersih, paling berjasa, dan siap untuk melaksanakan amanah, yaitu menjaga nama baik kerajaan.

Usai mengikuti rangkaian rirual, kami bertiga dijamu untuk menikmati berbagai macam hidangan khas Kerinci. Aku segera mencicipi padi pulut yang dibungkus dengan daun kecil-kecil, mirip daun waru. Rasanya khas sekali. Ketan dan santan kental, beraroma daun.

Di sudut panggung, sekelompok penghibur menyanyikan lagu-lagu daerah bernuansa religi dan syalawat. Suasana sungguh hangat dan gembira.
“Nyi, sepantasnya kita pun melakukan hal yang sama untuk mereka yang telah berjasa dengan kerajaan. Kita bangkitkan kembali seni tradisional kita, kemas menjadi seni yang berbungkus religi. Kita harus punya lembaga adat yang menanggapi hal seperti ini” Ujarku. Nyi Ratih yang duduk di belakangku langsung mengangguk. Dia berjanji akan mewujudkan keinginanku. Kami melanjutkan kembali meminum minuman hangat beraroma kayu manis dan madu. Perpaduan minuman yang baru kali ini pula kutemui. Ada juga aroma air kopi dihidangkan di atas meja yang mereka sebut ‘air kawo’. Kuliner malam ini semakin nikmat ketika putri Kerinci menyodorkan gelamai kentang pada kami yang dibungkus daun sebesar jempol sama besar dan panjang.

Bersambung…

Satu tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (96A)

  • 9 April 2021 pada 18 h 23 min
    Permalink

    Masyaa Allah, dak bisa nk bayangin, semua ke indahan bangsa nenek gunung, adat, sopan santun, semuanya.
    Hanya hati ikhlas dan bersih, bisa berjumpa, dengan mereka.
    Di tunggu ya min,kelanjutan kisah nya.
    semoga sehat selalu

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *