HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (99A)

Karya RD. Kedum

Langit nampak gelap. Bahkan sangat pekat. Hanya satwa malam yang terdengar bernyanyi mengisi hening belantara. Aku baru saja melintas menembus belantara, lalu tertarik berhenti di sini. Sebuah sisi bukit yang menghadap ke Selatan dan tersembunyi.

Kehidupan gaib di atas bukit ini cukup ramai. Para penghuninya sibuk dengan aktivitas yang bermacam-macam. Umumnya mereka punya ladang layaknya seperti kehidupan manusia. Informasi ini kudapatkan dari Nenek Kam. Makanya aku sengaja melalui hutan satu ini untuk membuktikannya sebelum menuju bukit Pailan Ayam, Muare Cawang atau Marcawang, demi memenuhi undangan Puyang Bukit Selepah.

Beberapa sosok berusaha mendekat dan tersenyum menatapku. Mereka menyapaku seperti sudah kenal lama.
“Selamat datang di dusun kami cucung Puyang Kedum Tengah Laman. Terimakasih sudah berkenan singgah di dusun kami.” Sosok kakek – kakek menyapaku ramah. Keramahannya murni. Aku melihat cahaya bening di wajahnya. Aku segera mendekat dan memberi hormat pada beliau. Kain sarung yang dipakainya, mirip kain Kakek Haji Yasir. Warna hijau daun sedikit lusuh. Pinggirnya sedikit bergulung. Aku menerka-nerka bahan baju yang beliau pakai. Apakah sama dengan bahan deril seperti di alam manusia?

“Ratusan tahun lamanya tak satu pun cucu Puyang Kedum Tengah Laman menginjakan kaki kembali ke dusun kami. Meski untuk sekadar berburu rusa atau mengambil hasil hutan sebagai tali penyambung silaturahmi. Berbeda dengan hutan bagian utara dan selatan, saat ini sudah penuh dengam kebun dan kehidupan bangsamu.” Ujarnya. Aku sedikit terkesima melihat keramahtamahannya. Mereka makhluk astral yang berbudaya. Lain kelasnya dengan makhluk astral yang kutemukan sepanjang jalan menuju ke mari.

“Jadi zaman dulu, ada manusia yang menginjakkan kaki ke mari? Apakah hanya sekadar berburu dan mencari hasil hutan saja, Puyang?” Tanyaku. Sebab melihat wilayah yang sedikit tersembuyi ini apalagi zaman dulu rasanya memang tidak mungkin ada bangsa manusia yang ke mari secara fisik. Untuk tembus ke belantaranya tidak mudah. Gelap, semak, berpohon besar-besar dan tinggi di alam nyata. Kulihat-lihat untuk bisa sampai ke mari tidaklah muda. Medannya memang sangat sulit. Wajar saja bangsa manusia jarang ke mari. Dan aku justru bersyukur hutan di huluam dusunku ini tidak rusak seperti punggung bukit lainnya. Biarlah bangsa ini hidup tentram damai tanpa ada yang mengusik meski beliau berharap ada anak cucu Puyang Kedum Tengah Laman bisa sampai ke mari.

“Dusun ini ramai sejak ribuan tahun lalu, sebelum ada perkampungan manusia di lembah, namun Puyang-puyangmu telah dekat dengan kehidupan kami sejak dulu. Hubungan kami sangat baik. Tak jarang kami membantu Puyangmu, begitu juga sebaliknya. Tapi sekarang berbeda nilai hubungan silaturahmi manusia dengan bangsa kami. Banyak sekali bangsa kami dan bangsa manusia memanfaatkan hubungan mereka untuk kepentingan dan kebutuhan pribadi.” Ujarnya cerita tanpa kuminta. Beliau sosok seorang laki-laki dengan pakaian kampung yang sederhana. Kumis tipis yang telah beruban dan kerut di keningnya menapakkan jika beliau sudah sepuh. Apalagi melihat tongkat akar di tangannya untuk penompang tubuhnya yang sudah bungkuk ketika berjalan kurasakan energinya sangat kuat.

Mendengar penjelasan beliau, wajar jika Beliau langsung tahu siapa leluhurku. Lalu beliau juga melanjutkan ceritanya tentang orang-orang di dusunku yang dipercaya menjadi perpajangan tangan mereka untuk mengamalkan kebaikan, terutama pengobatan. Lalu diberilah mereka pusaka-pusaka berupa tombak, keris, siwar, kapak, batu akik, dan benda-benda unik lainnya sebagai media pengobatat. Selanjutnya mereka diberi juga seperti alat-alat rumah tangga, ada mangkok keramik disebut mangkok belantan, piring keramik, guren atau guci, nampan, dan lain-lain.
“Namun sayang, benda-benda itu tidak terawat dengan baik. Generasi sekarang banyak tidak menghargai leluhurnya. Benda-benda pusaka itu sebagian besar mereka jual sebagai barang antik” lanjut beliau. Mendengar cerita beliau aku jadi ingat dengan satu keluarga yang gila semua. Akibatnya satu dusun itu mencekam, sehingga penduduk dusun banyak yang pergi meninggalkan dusun itu pindah ke dusun lain. Akhirnya dusun itu hanya diisi oleh keluarga gila. Hingga kini keturunan mereka tetap banyak yang gila.

“Maafkan ketidaktahuan bangsa kami, Puyang. Bangsa kami memang sangat mudah tergiur dengan harta. Keinginan untuk kaya mendadak, tidak sanggup menerima kemiskinan dan rata-rata kurang bersyukur.” Jawabku. Setahuku Nenek Kam-lah yang telah membantu memutuskan ikatan nasab-nya. Bangsa jin yang menuntut tanggungjawab dan tidak terima pindah tangan, mereka protes sehingga menyakiti keluarga itu.
“Yang jelas karena bangsamu banyak yang tidak beriman.” Ujarnya lagi.

Akhirnya kakek- kakek bangsa astral dihadapanku ini mengajakku berjalan menyisir jalan kecil ke arah Barat. Aku mengikuti, berjalan di sampingnya. Bajunya yang tidak berkancing, melambai-lambai ketika beliau berjalan
Tubuhnya sudah bongkok. Tongkat yang dipegangnya menjadi penyanggah yang cukup efektif. Meski sudah sepuh tapi jalannya nampak ringan.
“Usia Puyang berapa tahun. Oh, maaf aku harus panggil Puyang apa? Nama Puyang siapa? Bagaimana aku akan bercerita dengan Puyang, Nenek dan Kakekku jika tidak tahu nama Puyang ?” Ujarku panjang lebar setelah menyadari jika aku belum tahu namanya. Beliau tertawa terkekek-kekek.
“Kau sangat dekat dengan Kakek Njajau, bukan?” Tanyanya.
“Iya, beliau adalah kakekku, guruku. Puyang kenal dengan beliau?” Tanyaku lagi. Beliau kembali tertawa sambil menyekah jenggotnya yang tipis.
“Kakekmu itu, anak tunggal Puyang. Puyang dikenal oleh bangsa kami Puyang Telapak Abang. Usia Puyang mendekati dua ribu tahun, Cung” Jawabnya. Mendengar nama Kakek Njajau disebut, apalagi anak tunggalnya, aku kaget bukan main. Perasaanku menjadi terbang ke mana-mana. Sungguh aku tidak menyangka jika Kakek Njajau masih mempunyai ayah. Masya Allah, sungguh indah takdir hari ini. Aku sungguh tidak menyangka, kakek Njajau masih punya ayah. Puyang Tapak Abang yang baru kukenal malam ini. Aku masih mengimbangi langkahnya yang menurutku masih sangat normal meski tubuhnya bongkok. Usianya mendekati dua ribu tahun. Aku mereka-reka apakah Puyang Tapak Abang penguasa bukit ini?

Makin lama jalan yang kami lalui makin lebar. Aku tak tahu, Puyang Tapak Abang mau mengajakku ke mana. Aku patuh saja ketika beliau mengajakku berjalan masuk ke dusun. Yang jelas, aku juga tertarik dengan dusun yang tersembunyi ini. Semoga aku tidak terlambat untuk berjumpa Puyang Bukit Ulu Selepah. Kampung yang kulalui ini membuatku sangat tertarik.

Aku seperti melihat lukisan ketika menatap semua rumah yang bersusun bentuknya sama. Rumah baghi yang puncak atapnya seperti tanduk kerbau dengan dinding berukir dan beratap ijuk. Tangga-tangganya yang lebar dan berpapan tebal menampakkan kekokohan rumah-rumah baghi di sini. Nyaris setiap rumah di belakangnya ada paok layaknya rumah di perkampungan Besemah. Sebuah perkampungan yang asri. Namun sejauh berjalan aku tidak melihat penghuni rumah-rumah baghi itu. Kemana mereka aku membatin.
“Penunggu dusun pergi ke sawah, tengah ngetam padi” kata Puyang Tapak Abang menjawab batinku. Aku mengangguk-angguk. Jika di alam nyata padi masih hijau, di sini lain lagi.

Beberapa nenek gunung dari kejauhan terlihat melintas. Meski aram temaram, pencahayaannya kurang, namun semuanya tampak jelas. Bahkan tiap rumah ada kilangan pun terlihat dari jalan. Tidak dapat kubanyangkan jika lagi musim kopi. Pasti tiap rumah akan mengeluarkan suara berderit-derit karena setiap penghuni rumah sibuk mengisar buah kopi yang sudah masak. Lalu di halaman akan terbentang tikar-tikar menghampar, berisi buah kopi yang telah diisar.
“Itu bukan isaran kopi seperti di alammu, Cung. Isaran itu untuk menghancurkan pepadi. Kadang isaran tidak terpakai, cukup menggunakan berik di tiap belakang tengkiang. Di belakang itu ada sungai. Cuma adat kita, selain di bawah rumah wajib ada lesung, ada juga isaran” Puyang Tapak Abang mengarahkan telunjuknya ke beberapa rumah. Dalam hati aku mengakui kehebatan orang tua ini. Aku tidak perlu berucap, cukup dalam hati saja beliau sudah tahu.

“Puyang! Puyang!” Seorang anak lelaki kira-kira berumur enam tahun, berlari menuruni anak tangga menyongsong kami. Kami berhenti sejenak. Aku menatap lelaki kecil yang berjalan makin dekat. Matanya yang coklat berkilat-kilat. Aku gemes sekali melihat rambutnya yang ikal berwarna emas.

Setelah dekat dia langsung memeluk Puyang Tapak Abang. Nampak sekali anak kecil ini akrab dan manja dengan Puyang Tapak Abang. Apakah dia cucu kandung Kakek Njajau aku membatin. Tapi wajahnya tidak mirip. Anak ini terlihat sedikit kalem. Apalagi ketika kupegang kedua bahunya, lalu kutatap wajahnya, dia menunduk malu. Kalau kakek Njajau, sudah tak terhitung mengisengiku. Ketika aku kecil cara beliau mengajariku selalu dengan gaya isengnya. Bahkan mengajak aku bertarung sungguhan dan beberapa kali aku nyaris celaka.
“Kamu ganteng sekali sayang. Kalau sudah dewasa, jadilah pemuda yang gagah, jujur, dan hebat ya. Tebarkan kebaikan-kebaikan agar alam ini jadi seimbang” Ucapku menatap matanya tajam-tajam.
“Kamu akan menjadi pemimpin. Jadilah pemimpin yang bijak. Siapa namamu anak ganteng” Lanjutku setelah melihat keningnya makin dalam. Ada cahaya kepemimpinan di dalamnya. Anak ini cerdas, hatinya bersih dan jujur.
“Namaku Manggal Tuangsa. Ibungan mau kemana?” Jawabnya merdu. Dia memanggilku Ibung panggilan khas Besemah untuk perempuan yang dianggapnya lebih muda dari orang tuanya. Bukan dengan sapaan bibi. Sopan sekali anak ini.
“Panggilanmu siapa? Namamu bagus sekali. Kenalkan nama Ibung Putri Selasih” Ujarku senang.
“Tuang” Jawabnya singkat. Oh! Nama yang unik “Tuang”. Aku kembali merangkulnya. Diam-diam kusalurkan energi positif melalui pundaknya. Matanya makin bersinar. Dia tahu apa yang kulakukan. Ketika kutiup ubun-ubunnya, kususupkan sedikit kekuatan dari merapi gunung Dempu. Tuang malah tersenyum ketika keningnya selintas seperti bara.
“Terimakasih Ibungan, bahagia sekali kenal dengan Ibung.” Ujarnya lagi. Anak ini lebih dewasa dari usianya. Tuturnya sopan sekali. Aku mengangguk bahagia.
“Sama-sama calon pemimpin yang hebat. Bolehkah Ibung memeluk dan menciummu?” Tanyaku langsung dijawabnya dengan anggukkan. Aku langsung memeluk dan menciumnya, lalu kuangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Tuang tertawa bahagia. Begitu juga Puyang Tapak Abang.
“Sifatmu sama persis dengan Puyang Kedum Tengah Laman. Beliau sangat senang dengan anak-anak, dan selalu memberi tanpa diminta. Peka dengan lingkungan. Bedanya, beliau sangat penyabar dan pengalah seperti Waknya, Puyang Rie Tabing. Sementara dirimu tegas, dan tidak mau kalah” Ujar Puyang Tapak Abang. Aku tersenyum mendengarnya. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Bahkan kerap kali aku tidak sabar, dalam situasi tertentu bisa bertindak kejam.

Setelah selintas berbincang-bincang, aku dan Puyang Talang Abang kembali berjalan. Tuang melambaikan tangan berkali-kali.
“Ibungan, kutunggu kehadiran Ibungan kembali kemari” Teriaknya dari beranda rumahnya. Aku mengangguk sambil ikut membalas lambaian tangannya. Puyang Tapak Abang hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua. Aku juga merasa pertemuan kami sangat singkat. Aku tahu Tuang ingin bermain-main denganku. Namun waktu tak memungkinkan aku berlama-lama. Sebab setelah ini aku harus segera ke Muara Cawang menemui sesepuhku yang sudah menunggu di sana.

“Sedikit lagi kita akan sampai, Cung” Ujar Puyang Tapak Abang.
“Kita ke mana Puyang?” Ujarku setelah melalui dusun dan melihat jalan curam berbatu.
“Sebagai bagian dari leluhurmu, Puyang wajib mengajakmu menginjakkan kaki ke mari. Tempat ini pertamakali kau singgahi bukan? Kalau Nenek Kam tidak bercerita tempat ini, mungkin kau enggan sampai ke mari” Ujarnya.

Selanjutnya beliau bercerita jika budaya di dusun bunian ini banyak berubah. Semula mereka animisme. Bahkan tidak percaya sama sekali dengan Tuhan. Ketika Islam masuk ke Basemah ini, mereka hijrah memeluk agama Islam. Meninggalkan kepercayaan warisan leluhur mereka. Siapa yang menyebarkan agama itu? Tiada lain Puyang Kedum Tengah Laman. Beliau seorang pengelana yang gagah berani, jago di alam manusia dan di alam gaib. Makanya beliau bergelar Tengah Laman, karena beliau seperti ayam jago menjadi pendekar dan pelindung kelompoknya. Beliau mengenalkan agama pada manusia dan kami. Masjid yang ada di dalam perut bukit Marcawang itu, adalah bukit tertua yang pernah ada di sini. Tempat kami pertamakali menimba ilmu agama.” Lajut Puyang Tapak Abang menjelaskan. Usia Puyang Tapak Abang saja sudah ribuan, artinya di alam manusia, masjid itu usianya sudah ratusan tahun. Artinya pula, manusia di seberang Endikat ini mengenal agama sudah ratusan tahun juga.

“Tak tanggung-tanggung, Puyangmu memberi peluang pada semua makhluk untuk memperdalam ilmu agama, belajar ke Mekkah dan Aceh. Kakekmu Njajau juga pernah memperdalam ilmu agama di Aceh dan Yaman. Lalu belajar lagi ke Makkah sebelum dia pulang menjadi penjaga Endikat dari huluan sampai hilir” Lanjut Puyang Tapak Abang lagi. Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Puyang Tapak Abang. Baru tahu aku jika Kakek Njajau pernah belajar agama sampai ke Aceh bahkan ke negara Arab. Pantas beliau begitu taat, ternyata sudah belajar agama ke mana-mana.

Aku terkagum-kagum melihat batu-batu yang menonjol seperti bongkahan emas. Bahkan bergelimpangan ke sana ke mari besar dan kecil. Demikian juga pasirnya adalah butiran-butiran emas yang terhampar
“Puyang, ini batu dan pasir dari emas semua. Emas murni?” Tanyaku kaget.
“Iya, kau tidak tahu kan kalau dusunmu ini mengandung emas murni. Tak sedikit yang mengincar bukit ini. Mereka adalah bangsamu” Mendengar itu aku berhenti sejenak. Lama aku mengamati batu emas yang berundak-undak lalu di bawahnya butiran emas berserak begitu saja. Puyang Tapak Abang benar, sebelumnya aku pernah mendengar dari Ibu tentang pancuran emas dan Puyang Kedum Tengah Laman. Ibu hanya bercerita sebatas itu. Tidak ada kelanjutannya. Hari terjawab sudah ada hubungan Puyang Kedum Tengah Laman dengan bukit yang berbatu dan pasir emas ini.

Di tengah terpukauku, aku merasakan bukit ini sengaja disilamkan. Selintas aku bersyukur bukit ini disilamkan. Jika tidak, aku yakin bumi tidak akan aman tentram seperti saat ini.
“Tunggu Puyang!” Ujarku sambil mengayunkan tangan ke atas. Aku segera membaca mantra, menguatkan agar bukit ini tidak terlihat terutama oleh bangsaku. Aku tahu, bangsaku adalah bangsa yang serakah. Aku khawatir akan terjadi perpecahan, perang saudara di Seberang Endikat ini jika mereka tahu di sini ada bukit emas. Membayangkannya saja aku ngeri. Aku tidak mau itu terjadi.

Puyang Tapak Abang menatapku diam. Beliau berdiri di batu datar selebar ambal kecil dan tebalny kurang lebih satu meter. Dan itu emas murni semua. Jantungku berdebar-debar melihat keajaiban ini. Belum lagi batu di belakang Puyang, dua kali tinggi orang dewasa. Jadi teringat dengan masjid di bawah bukit Marcawang, enteriorny kuning emas. Bisa jadi emas murni dari bukit ini. Masya Allah, batinku tak henti berucap kagum.

Huf!! Huf! Huf!
Aku mulai bekerja menyelimuti bukit emas ini. Bukit ini kusilamkan sama persis ketika aku menyilamkan istana kerajaan Timur Laut Banyuwangi dari pandangan batin manusia dan makhluk astral. Puyang Tapak Abang benar, huluan Endikat ini perlu diselamatan. Karena sumber air di sini banyak membantu kehidupan di lembah.

Aku tak ingin orang-orang di lembah berubah haluan menjadi pemburu emas ke mari. Bisa dipastikan, jika di sini jadi tambang emas, maka alam akan rusak. Penambang-penambang emas emas liar akan berdatangan dari mana-mana. Bukit dan sungai akan rusak seperti di bukit pedalaman Muratara yang pernah kudatangi dulu. Akibat penambang liar berapa bukit habis menjadi parit-parit curam, lalu muncul danau-danau kecil dan tanah gersang. Di lembah, air sungai yang tercemar air raksa dikonsumsi oleh penduduk dusun yang tidak mengerti apa-apa. Masa depan generasi mudanya terancam. Berapa tahun lagi penyakit gatal-gatal akan muncul. Salah satu efeksnya janin ibu hamil dan balita akan terhambat pertumbuhannya jika mengkonsumsi air yang telah tercemar tersebut.

Setelah semuanya aman, aku kembali ikut berjalan di belakang Puyang Tapak Abang menyisir tebing yang semakin lama semakin dalam. Dari dasar tebing aku mendengar suara gemericik air pancuran. Semakin ke bawah semakin jelas suaranya. Benar saja, si dasar tebing ini ada pancuran emas, air yang jatuh pun seperti emas cair menimpa batu ceper dari emas juga.
“Putri Selasih, duduklah kau di bawah pancuran emas itu. Biarkan air pancuran itu tumpah persis menimpa ubun-ubunmu.” Puyang Tapak Abang menyuruhku duduk persis di bawah pancuran. Apa maksudnya aku belum paham. Aku patuh saja menututi perintah Puyang Tapak Abang.

Melihat sekelilingku emas murni semua, Masya Allah aku berusaha menenangkan dadaku. Bagaimana pun sebagai manusia aku takjub melihat bukit emas di hadapanku. Sementara di tubuhku hanya ada satu gram emas yang menempel di telinga menjadi subang kecil, hanya sebesar debu di sini. Itupun tidak murni seratus persen emas. Warnanya makin lama makin buram. Menghitam!

Aku mulai melangkah menuju pancuran air emas. Kukira batu emas yang basah tertimpa air yang menyilaukan ini licin. Ternyata tidak. Aku seperti menginjak pualam saja. Dingin meresap.
Bissmillahi rahmanir rahiim. Aku mulai berjalan menuju pancuran. Puyang Tapak Abang mengikutiku dari belakang. Saking takjubnya, aku mengelus-ngelus dinding sambil menuju pancuran.

Dasar tebing ini sebenarnya sunyi. Hanya percikkan air saja mengisi ruang dasar tebing. Instingku mengatakan tidak sembarangan bisa mandi di pancuran emas ini. Mereka ke mari adalah makhluk-makhluk pilihan yang dianggap pantas oleh Puyang Tapak Abang.

Sebelum duduk aku membaca doa terlebih dahulu. Cahaya berwarna ungu muncul menyelubungi area pancuran. Puyang Tapak Abang memilih duduk di sisi selatan batu yang tertimpa air. Jarak kami sekitar empat meter.

Pertama kali air seperti tumpahan emas
yang berwarna kuning kubiarkan menimpa kakiku. Terasa hangat!
“Assalamualaikum air emas, izinkan aku menyentuhmu. Sebagai sesama makhluk, aku mengagumimu. Cahayamu yang kemilau membuat dadaku sedikit bergetar. Karena aku tidak pernah melihat bukit emas sebelumnya, dan air yang berwarna emas pula” Ujarku sambil menyentuh air dengan membuka telapak tangan terlebih dahulu. Masya Allah, air emas ini tetap mengucur menembus telapak tanganku. Persis sama ketika ia jatuh seperti biasa di batu.
“Air emas! Kau semakin membuatku takjub. Allahu Akbar!” Aku sedikit berteriak. Dan kembali menadahkan kedua belah tapak tanganku. Aku tidak bisa menampungnya dengan telapak tangan untuk sekadar memastikan warna cairannya. Aku menoleh segera pada Puyang Tapak Abang. Beliau tersenyum melihat tingkahku yang rada aneh.

Bersambung…

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *