“Tari Rasa” Silaturahmi Visual Karya Azasi Adi

46 (+8) lukisan terpampang di dinding lantai 2 Studio Jeihan, yang terbagi 3 tema yaitu sketsa, single figure dan banyak figure. Semuanya tentang penari.

46 lukisan merupakan simbol 46 tahun dalam perjalanan mencari surga yang hilang dalam melukis. 

Kegiatan melukis sendiri dimulai ketika saya berusia 4 tahun, dilantai dengan menggunakan kapur putih. Pada usia 6 tahun mulai menggunakan krayon di atas kertas dan pernah memenangkan lomba menggambar yang diadakan majalah BOBO. Di usia 8 tahun pernah menjadi juara 2 lomba melukis menggunakan cat air di Taman Lalu Lintas Bandung pada tahun 1976. 

Azasi Adi putranya pelukis maestro Indonesia Jeihan Sukmantoro

Sampai di suatu siang setelah pulang sekolah tiba-tiba almarhum Pak Jeihan menyuruh saya untuk melukis. Tidak adanya persiapan membuat saya terpaku dan terdiam membuat beliau marah-marah. Sejak saat itu saya tidak lagi melukis. Ada yang hilang dalam diri saya.

Tahun 1986 saya mencoba melukis lagi dan berpameran bersama tetapi tetap ada yang hilang dalam diri saya. Bahkan tahun-tahun berikutnya setelah mengadakan 2 kali pameran tunggal di Galeri Kita tahun 2006 dan di Komplek Studio Jeihan tahun 2008, dan beberapa kali pameran bersama termasuk di Shinjuku Gallery, Tokyo, Jepang pada tahun 2018. 

Tahun 2022 di pertengahan bulan Mei menjelang ulang tahun ke 54 dan beberapa bulan setelah wafatnya Bapak Srihadi Soedarsono, tiba-tiba ada dorongan untuk melukis penari Bedoyo. Diambillah sebatang arang dan dicoretkannya di atas kanvas. Tidak ada keraguan sedikitpun. Jadilah beberapa sketsa penari di atas kanvas berukuran 140 cm x 140 cm.

Keesokan harinya datanglah ke Studio Jeihan, seorang sahabat yang juga mempunyai profesi sebagai pelukis dan fotografer yang bernama Kang Andi Sopiandi. 

Melihat sketsa-sketsa tersebut beliau terpana, seraya berkata “Ini lukisan benar-benar hidup, garis-garisnya spontan menggambarkan orisinalitas yang sulit untuk ditiru.” Perkataan beliau mendorong semangat saya untuk berkarya, seperti menemukan surga yang hilang. Sejak saat itu saya melukis dan melukis dan jadilah 46 lukisan penari yang kini tengah dipamerkan.

Seakan menghapus trauma yang pernah terjadi saya tersadar akan ucapan almarhum Pak Jeihan: “Seorang pendekar sejati apabila di ajak bertarung harus siap walaupun baru bangun dari tidur. Demikian juga pelukis sejati harus siap melukis kapan saja.” Bahwa peristiwa 46 tahun yang lalu almarhum Pak Jeihan sesungguhnya sudah mengajarkan saya menjadi pelukis sejati.

Pemilihan tema tari Bedoyo pada awalnya adanya aura sakral yang melingkupinya. Dengan dandanan seperti seorang pengantin wanita, Bedoyo seolah menggambarkan perkawinan antar 2 dunia, dunia atas dengan dunia bawah, dunia besar (jagat ageng) dengan dunia kecil (jagat alit), dunia rasa dengan dunia fikir. Hal ini menjadi titik tolak pengkaryaan saya, dengan mengusung semangat kemerdekaan maka Bedoyo tidak lagi menjadi sebuah tiruan belaka akan tetapi sudah menjadi alat ungkap fikir dan rasa. Sehingga lahirlah lukisan Bedoyo alap berkah, Bedoyo tabur emas, dan yang terakhir Bedoyo pitu pitu yang menjadi persembahan dalam rangka menyambut HUT Kemerdekaan RI yang ke 77.

Pameran ini didedikasikan kepada almarhum Pak Jeihan yang telah membekali spirit melukis, mama saya, saudara-saudara saya, istri dan anak @x saya, sahabat saya kang Andi Sopiandi, staff Studio Jeihan, kawan-kawan seniman, awak media, kolektor, dan terakhir kepada Nusa dan Bangsa Indonesia yang tengah merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke 77.  MERDEKA!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *