HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (53A)
Semua buku sudah kubongkar, tapi buku yang kucari belum juga kutemui. Seisi rumah sudah kutanya satu-satu ada tidak yang melihat buku saku tebal milikku itu. Tidak ada yang mengaku.
Lama aku berpikir. Tidak mungkin buku itu hilang. Memang seberapa besar rumah kontrakan ini. Empat kamar tidur, satu ruang tamu, ruang keluarga merangkap ruang makan, lalu dapur dan kamar mandi. Itu pun ukurannya sedang-sedang saja. Rumah sederhana ini juga tidak punya rak atau lemari buku. Lama aku berpikir kapan terakhir membuka buku itu. Buku itu berisi puluhan puisi, catatan lagu plus kunci yang biasa kupakai ketika belajar main gitar. Makanya buku itu sebenarnya sangat berarti bagiku. Akhirnya aku lelah sendiri. Aku memilih rebahan sembari bersabar. Mudah-mudahan dengan sabar buku itu muncul sendiri.
“Plak!” aku menepuk jidatku sendiri. Aku baru sadar. Selanjutnya aku duduk diam menelusuri kapan terakhir aku membuka buku itu. Rasa penasaran membuatku mencarinya hingga dimensi lain.
“…
Tahukah engkau?
Telah kutulis di tiap lembar daun
Nyayian angin yang membawa rinduku padamu
Setelah segala hikayat telah tercurah
Menjadi tembang-tembang membawa kenang…..
Dan air mata
Turut menggenang mengiring kepergian Lembah Dempo 1995″
Aku kaget! Seorang anak lelaki kira-kira berusia delapan tahun berdiri memegang bukuku, membaca puisi penuh penghayatan. Ada beberapa puisi yang dibacakannya dengan tuntas. Aku menatapnya kagum. Vokalnya lantang, nada dan iramanya pas, artikulasinya jelas, interprestasinya pun juga tepat. Siapa dia? Melihat fisik dan rautnya yang putih, bermata cipit, berbibir merah, rambutnya lurus dipotong pendek, anak kecil ini keturunan Tionghoa. Usai dia membacakan puisi ke tiga, kuberi dia hadiah tepuk tangan. Dia kaget dan langsung pucat menatapku. Buku yang dipegangnya nyaris jatuh. Aku tersenyum menatapnya.
“Siapa namamu adik ganteng. Baca puisimu bagus. Kamu pinter!” Ujarku sembari menghampirinya. Setelah dekat dan kuamati, baru terlihat betapa mata itu kosong meski tetap bersinar. Aku memegang tangannya yang dingin.
“Siapa namamu sayang. Vokalmu bagus. Kenalan yuk, ” aku menjulurkan tangan sedikit menunduk. Dengan ragu-ragu diulurkannya tangan.
“Namaku A Fung. Maafkan aku kak, mengambil buku kakak tanpa izin. Aku sering melihat kakak baca puisi di acara ulang tahun Xaverius, Natalan di sekolah, dan acara-acara penting lainnya.” Ujarnya.
“Waktu aku di SD Xaverius maksudmu?” Tanyaku. Disambutnya dengan anggukan pelan. Selanjutnya aku bertanya dia tinggal dimana? Mengapa selama sekolah di SD itu aku tidak pernah melihatnya. Akhirnya A Fung bercerita jika dirinya tinggal di dalam gereja. Padahal dia tidak katolik, katanya dia terlahir dari Bapak dan Ibu berkeyakinan Advent. Selanjutnya dia bercerita jika dia meninggal tahun 1955, saat Bapak dan Ibunya berdagang pakaian di Pagaralam, lalu di dalam perjalanan mereka dirampok oleh sekawanan penjahat, membuat dirinya, dua kakak, dan bapak ibunya meninggal akibat insiden itu. Meraka dibunuh satu keluarga. Oh! Aku tercekat. Rasa perih menyayat-nyatat dadaku. Membayangkan satu keluarga dibantai kawanan perampok. Jahat sekali mereka.
Melihat rautnya yang polos, muncul rasa kasihanku padanya. Namun ketika tahu tahun kelahirannya, otakku jadi error. Aku tidak bisa menghitung berapa usianya kini jika dia masih hidup. Lahir tahun 1955. Kalau di alam nyata dah bongkok. Tapi dia tetap kelihatan imut, tidak menua.
“Bacalah kembali puisinya A Fung, kakak suka mendengarnya.” Ujarku lagi.
“Tidak kak. Lain kali saja. Terimakasih kakak sudah berkenan menjadi sahabatku. Izinkan aku sering-sering bermain ke sini ya Kak. Nanti aku pinjam lagi bukunya” Ujarnya manja. Aku memengangguk setuju sambil menyambar buku dari tangannya. Anak ini sopan sekali. Lalu dia pergi, pelan-pelan lenyap dari pandanganku.
Lama aku berdiri sambil memegang buku yang kucari-cari. Tidak kusangka ada juga makhluk lain yang minat dengan Isinya. Aku berharap suatu saat bisa jumpa lagi dengannya. Akan kutulis puisi Balada tentangnya. Aku senyum-senyum sendiri. Baru kali ini aku melihat jin korim membaca puisi. Mungkinkah semasa dia hidup pun pernah menikmati sastra? Sepertinya suatu saat aku akan bertanya dengan A Fung, sahabat baruku ini. Dan berharap segera jumpa lagi
Angin berdesir pelan, pasti ada sesuatu yang akan datang. Makin lama makin dingin.
“Dek, pulanglah sebentar.” Suara nenek Kam. Oh, Nenek Kam memanggilku.
“Pulang kemana, Nek? Ke seberang Endikat?” Tanyaku sembari memejamkan mata. Aku butuh konsentrasi penuh untuk dapat mendengarkan suara nenek Kam karena jarak aku dan nek Kam sangat jauh.
“Ke Seberang Endikat, sekarang juga!” Jawabnya.
Aku segera meletakkan buku yang baru kutemukan ke atas tempat tidur. Celana pendek kutukar dengan celana panjang, pakai switter dan topi koplo pemberian Maisi sahabatku.
Aku segera baring kembali. Memecah diri, lalu kusuruh jaga di rumah, bersama jasadku. Aku segera memanggil angin. Tak berselang lama tubuhku sudah melayang cepat sekali.
Ini kali ketiga aku pulang ke Seberang Endikat. Terakhir ketika bersama kakek Njajau mengamankan nenek gunung yang hutannya terancam punah. Dalam hati bertanya-tanya, ada apa gerangan nenek memanggilku langsung. Biasanya cukup dengan kontak batin saja. Atau nek Kam masih ada sisa pelajaran yang ingin dlbeliau ajarkan? Aku terus membatin.
Tak lama berselang, aku sudah sampai di halaman pondok nenek Kam. Dari luar kulihat kelap-kelip cahaya lampu cubok. Aku langsung masuk dan duduk di hadapan nek Kam setelah mencium dan bersalaman dengannya. Tangan nek Kam masih asyik menumbuk sirih sambil tersenyum manis padaku. “Rasanya seperti sudah bertahan-tahun nenek tidak melihatmu. Tiba-tiba kamu sudah kelihatan dewasa saja. Sudah ada belum calon bunting (suami)?” Nenek Kam menggodaku. Aku tertawa lepas. Pola pikir nenekku masih saja seperti orang zaman dulu. Kalau bujang dan gadis sudah terlihat baligh dianggapnya sudah dewasa dan siap untuk dinikahkan.
“Nenek..Nenek…sabarlah ya..Nek, tunggu tahun depan terus tahun depannya lagi terus tahun depannya lagi.” Ujarku. Nenek tertawa sampai matanya semakin kecil. Kami ngobrol sejenak.
Aku lihat nenek Kam bangkit lagsung pakai celana silat dan tengkuluk diikat erat ke kepala. Dalam hati aku memperkirakan nenek pasti mengajakku pergi malam ini. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, nenek Kam tidak pernah berbicara dari awal akan pergi kemana, tujuannya apa. Setiap langkah nenek Kam sarat pembelajaran untukku. Nenek Kam itu guru yang sukses menurutku. Beliau mengajarkan berbagai macam hal padaku dengan cara praktik langsung. Tanpa banyak bicara. Aku disuruhnya berpikir sekritis mungkin sendiri, menyelesaikan masalah sendiri, menghadapi masalah pun di suruh sendiri. Paling aku diingatkan beliau agar meningkatkan insting dan kepekaan.
Tanpa banyak bertanya, aku ngekor si belakang nenek Kam. Kalau beliau sudah bawa kampek pughun biasanya perjalanan agak jauh. Seperti biasa, tanpa alas kaki nenek menuruni anak tangga langsung berjalan merunduk-runduk di bawah pohon kopi. Dalam situasi seperti ini, maka aku membaca gerak-gerik nenek Kam terlebih dahulu. Cepat atau lamban berjalan biasanya mencirikan penting atau tidaknya perjalanan. Kali ini kulihat langkahnya santai-santai saja.
Uf! Aku melihat beberapa nenek gunung di hadapan kami, tengah duduk rapi. Mereka seolah-olah bebaris seperti menyambut seseorang. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa mereka berkumpul di sini seolah-olah ada acara resmi. Aku mengucapkan salam pada mereka. Mereka menyambut serentak.
“Mereka nenek gunung darimana, Nek?” Tanyaku ingin tahu.
“Dari Bukit Seblat.” Ujar nenek Kam pendek. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa mereka dari jauh-jauh, ramai-ramai datang kemari? Pasti ada sesuatu yang penting. Karena aku tidak paham persoalan mereka maka aku diam saja.
Nenek Kam duduk bersila di hadapan para nenek gunung. Melihat beliau duduk aku juga buru-buru ikut duduk. Tak lama di antara mereka menyampaikan sesuatu dengan bahasa khas nenek gunung. Aku mendengarkan dengan saksama. Rupanya dari obrolan ini, nenek gunung Bukit Seblat sengaja datang ke mari untuk menemui nenek Kam. Beliau disuruh panglima Malim. Panglima Malim salah satu penguasa wilayah bukit Seblat.
“Kami datang kemari atas perintah Panglima Malim, nek Kam. Beliau minta tolong campur tangan nenek Kam untuk menghimpun kembali saudara-saudara kami yang terancam karena pembukaan lahan perkebunan sawit besar-besaran. Pekerja-pekerja itu memanfaatkan kemampuan dukun untuk menakhlukan saudara-saudara kami. Bukan hanya merampas hutan kami tapi juga jiwa kami.” Ujar salah satu nenek gunung yang cukup sepuh. Mendengar kata ‘dukun’ darahku kembali terasa mendidih. Jadi ingat pertarunganku melawan tiga dukun dari Jawa penakhluk nenek gunung di perbatasan lampung.
Setelah mendengarkan penuturan mereka, nenek Kam menatapku. Tatapan itu aku paham. Nenek Kam menyuruhku untuk turun tangan dalam masalah ini. Secara batin aku setuju bahkan sangat ingin memusnakan dukun itu.
“Kau degar sendiri Selasih, persoalan nenek gunung sedulurmu dari Bukit Seblat, bukan? Mereka butuh bantuan kita. Untuk menyelesaikan urusan yang ada kaitannya dengan manusia maka tidak bisa tidak harus melibatkan bangsa kita juga.” Ujar nenek Kam menatapku. Sebenarnya nek Kam tahu jika aku tidak akan bisa menolak atau yang pastinya tidak akan menolak. Alasan itulah maka nenek Kam jauh-jauh memanggilku.
“Nek, bukankah dukun itu harus dilawan sesama fisik? Sementara aku belum bisa bertarung dengan fisik. Kakiku belum terlalu pulih.” Ujarku.
“Bagian fisik itu urusan nenek, kamu menangani yang berkaitan dengan gaibnya saja.” Ujar nenek Kam akhirnya aku sepakat. Sebenarnya di bukit Seblat bukan tidak ada orang yang bisa diandalkan yang memiliki kemampuan lebih seperti nenek Kam. Banyak. Bahkan setahuku di seputaran Kerinci adalah sumber segala energi gaib terbesar di sepanjang bukit Barisan. Namun begitulah kerendahan hati mereka. Mereka tidak mau sombong seakan mereka saja yang mempunyai kemampuan dan tidak butuh orang lain.
Tidak lama kemudian kami berangkat. Kembali aku berpikir, bagaimana jika aku tidak tinggal di Pagaralam lagi? Apakah mungkin aku masih diajak untuk turut serta dalam menyelesaikan masalah seperti ini? Para nenek gunung itu berjalan lebih dulu, aku dan nenek Kam di belakang mareka. Gerakan para nenek gunung nampak lincah dan gagah. Kami melintas di atas bukit dan sungai.
Dari atas aku merasa ingin menitikkan air mata ketika melintas di wilayah Kabupaten Musirawas sepanjang perjalanan yang kulihat kebun sawit. Selanjutnya ada kebun karet. Hutan belantaranya kemana? Sungguh tidak seimbang dengan luas area. Sungai-sungai nampak seperti tubuh telanjang meliuk-liuk polos karena sisi kiri kanan tidak dihalangi pohon-pohon tinggi dan cadas. Berbeda dengan tanah Besemah, kebanyakan belantaranya berubah menjadi kebun kopi. Meski tumbuhan tahunan itu hijau dan kuat mencengkram tanah, tetap saja jika hutannya hilang akan membuat bumi gersang. Alam tidak lagi seimbang menampung curah hujan yang rata-rata tinggi.
Tak lama berselang sampailah kami di wilayah hutan datar bergambut. Aku mencium aroma kemenyan dimana-mana, dan makhluk-makhluk hutan gambut sedang berpesta pora. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah makhluk asral itu balatentara para dukun apa bukan. Aku diam sejenak. Hmm…ada tiga nenek gunung yang sudah dibantai oleh para dukun. Sengaja nenek gunung mereka mantrai untuk mendekat, lalu dijerat, dan tembak. Kucing-kucing raksasa itu dimanfaakan para pekerja yang memiliki ilmu untuk menakhlukan binatang buas. Yang membuat aku geram, para pekerja merangkap dukun ini berasal dari Jawa.
Lalu kembali aku memusatkan pikiran mengarah pada beberapa orang yang kulihat berusaha menjaga area perkembunan sawit yang luasnya berpuluh ribu hektar. Berbagai macam mantera mereka sapukan untuk sekadar mengusir agar tidak diganggu oleh makhluk asral. Selanjutnya di area hutan yang sedang dibuka aku melihat banyak sekali satwa-satwa hutan menggigil ketakutan melihat alat berat yang tiap hari menggigir bumi, menebang pohon-pohon besar, mengangkutnya entah kemana, dengan alat berat pula semua akar diangkat lalu disingkirkan. Tanah bukit yang berudak dan dataran hingga lembah dan rawa seperti tidak ada jarak.
Kali ini aku bersama nenek Kam dan lainnya masuk ke wilayah tanah tandus yang baru saja diratakan. Aku mulai bekerja dibantu oleh yang lainnya. Aku berusaha mengumpulkan para nenek gunung untuk menjauh dari area lahan yang baru dibuka. Pelan-pelan kami giring ke area bukit kecil konon disebut hutan lindung, namun sebagian besar dijadikan penduduk yang bandel menjadi kebun karet dan kopi.
Aku mencoba memahami bagian yang kuanggap penting dan aman. Kulihat beberapa orang damai pun mirip kerjanya denganku. Meski kami belum kenal satu sama lain, ada yang di utara, ada yang di selatan, berusaha menyamakan persepsi untuk menggiring makhluk rimba itu ke area yang sama. Selanjutnya mereka pun memagari perbatasan dengan kehidupan manusia. Pekerjaan mereka rapi sekali.
Jika kulihat dengan batinku, karena luasnya area yang dibuka membuat para nenek gunung rata-rata tidak kenal lagi area habitatnya seperti dulu. Mereka stress dan bingung tidak tahu hendak lari kemana. Kepanikan mereka inilah dijadikan alasan oleh para pekerja yang merangkap dukun itu untuk mencari keuntungan.
Dari kejauhan aku melihat nenek Kam tengah bertarung dengan para dukun. Rupanya nenek Kam sengaja mendatangi barak-barak sementara para pekerja di hutan belantara yang baru dibuka itu. Lalu nenek Kam menyeret para dukun itu ke luar. Dan terjadilah pertarungan secara fisik. Sekilas aku melihat beberapa orang yang diperkirakan dukun dadakan itu bukan petarung. Tapi mereka hanya bisa membaca mantra-mantra dan mengandalkan sejata api. Mana yang katanya dukun andalan itu?
“Hhhiiiiaaat” Aku melihat nenek Kam meluncur dengan kaki ke depan.
“Duk! Duk Haaak!!!” Pekerja merangkap dukun itu muntah darah ketika dada mereka ditendang nenek Kam satu-satu. Mata mereka serentak berkunang-kunang. Mereka mungkin tidak menyangka sama sekali akan diserang oleh seorang perempuan tua terlihat lemah ternyata ganas seperti harimau. Aku terkagum-kagum menatap nenek Kam. Sebab baru kali ini aku melihat langsung beliau menggunakan kemampuan kutau dan kebatinannya sekaligus. Nenekku ternyata perempuan hebat!!
Bersambung…