Jejak Sukarno di Masjid Biru, St. Petersburg

Oleh: M. Wahid Supriyadi

Ada yang membanggakan dari pribadi presiden pertama kita. Ketika berkunjung ke luar negeri, Presiden Sukarno selalu menempatkan diri sebagai pemimpin sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, ditambah pecinya yang khas seolah-olah menyatu dengan kepalanya.

Ketika Indonesia berhasil menyelenggarakan Konperensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955, dunia mulai melirik Indonesia sebagai satu kekuatan baru. Beruntung dari awal Indonesia memposisikan diri sebagai negara non-blok dengan politik bebas aktifnya. Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua kekuatan besar saat itu berusaha menarik perhatian negara-negara di dunia untuk menjadi satelitnya, tak terkecuali Indonesia. Hal itu sangat dipahami dengan baik oleh Presiden Sukarno.

Tahun 1956 Ketua Dewan Menteri Uni Soviet, Nikita Khrushchev, mengundag Presiden Sukarno untuk berkunjung ke negeri beruang merah itu. Untuk mengindari kesan Indonesia berada pada pengaruh blok Uni Soviet, Presiden Sukarno mensyaratkan kepada pemimpin Uni Soviet itu untuk menemukan makam Imam Buchari sebagai syarat kunjungannya. Tidak jelas dari mana Presiden Sukarno mendapat ide itu. Tentu saja Khrushchev kebingugan dan sempat menanyakan lagi ke Sukarno. Sukarno pun tetap pada pendiriannya.

Singkat cerita, Khrushchev dengan jaringan intelijennya akhirnya berhasil menemukan lokasi tempat Imam Buchari dikuburkan, di sebuah semak belukar di Samarkand, saat ini masuk wilayah Uzbekistan. Sukarno berhasil mengunjungi Imam Makam Buchari, salah seorang cendekiawan Muslim terkenal, pada kunjungan pertamanya ke Uni Soviet tahun 1956 dengan naik kereta dari Moskow selama beberapa hari.

Pada kunjungannya ke St. Petersburg (saat itu Leningrad), ketika menulusuri sungai Neva Sukarno tiba-tiba melihat dua menara dengan simbol bulan sabit dan kubah. Sukarno tahu itu pasti sebuah masjid. Sukarno pun minta untuk mampir ke masjid dan akan melakukan sholat di sana. Betapa terkejutnya Sukarno ketika menyaksikan bahwa masjid itu telah berfungsi sebagai gudang dan sangat tidak terurus. Akhirnya dia memutuskan untuk sholat di luar di halaman masjid.

Masjid Biru St. Petersbrug

Usai kunjungannya ke St. Petersburg, Sukarno kembali ke Moskow dan bertemu dengan Khrushchev. Ditanya tentang kesan-kesannya selama di St. Peterburg Sukarno menjawab bahwa dia tidak “impressed” dan melihat masjid yang tidak terurus. Akhirnya dia minta kepada pemimpin Soviet itu untuk menyerahkan kembali masjid itu ke umat Islam di kota terbesar kedua tersebut.

Cerita itu saya dapatkan dari Mufti Masjid Biru, Ravil Pancheev, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Muslim untuk wilayah St. Peterburg dan Barat Laut Rusia. Di tengah kunjungan resmi ke St. Petersbug, saya sempat bertemu dengan Mufti di kantornya (20/2/20). Dia mendapatkan cerita dari ayahnya. Mufti Pancheev bahkan menunjukkan beberapa gambar saat Presiden Sukarno berkunjung ke St. Petersburg dan bertemu dengan beberapa tokoh Muslim di Masjid Biru. Saya bertemu untuk mengklarifikasi kebenaran cerita tersebut.

Memang menurutnya, pemimpin India Jawaharal Nehru juga pernah datang juga ke St. Petersburg dan melihat Masjid Biru di waktu yang berdekatan. Tapi saya ragu apakah dia meminta Khrushchev untuk mengembalikan masjid itu ke umat Muslm mengingat Nehru tidak beragama Islam. Mufti merasa bangga dengan cerita tentang Masjid Biru ini dan Pemerintah Rusia telah menetapkannya sebagai salah satu tempat bersejarah (heritage) yang dilindungi negara.

Menurut Mufti, setiap Jum’at masjid ini menampung sekitar 10 ribu jamaah, padahal kapastasnya cuma sekiar 6 ribu, sehingga sebagian harus sholat di luar masjid. Dia merasakan bahwa Islam telah berkembang dengan pesat di Rusia dan pemerintah melindungi warga negaranya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.

Di dalam masjid, di sebelah kiri mimbar terdapat lukisan surah AL Fatihah terbuat dari kayu jati khas Indonesia. Ternyata itu adalah sumbangan dari Presiden Megawati Sukarnoputri yang berkunjung ke masjid bersejarah itu tahun 2003. Menurut Mufti, ketika Megawati berkunjungn ke Masjid mendampingi bapaknya tahun 1959, dia menunjukkan gambar Presiden Sukarno bersama dengan Mega yang ketika itu berumur sekitar 6 tahun. Ini adalah kunjungan Pesiden Sukarno yang kedua. Foto itu ada di komputer, sayangnya komputernya rusak dan belum sempat dicetak. Megawati akhirnya memenuhi janjinya dengan mengirimkan lukisan kayu berisi Surah AL Fatihah setahun kemudian.

Sayang memang tidak terdapat plakat atau pun bukti yang menunjukkan jasa Sukarno. Mufti menyetujui usul saya untuk membuat plakat yang menggambarkan jasa Sukarno sehingga pengunjung mengetahui cerita di balik Masjid yang sangat bersejarah ini.

Masjid ini sekarang banyak dikunjungi wisatwan dari luar negeri, termasuk turis dari Indonesia. Cerita tentang Sukarno tidak selesai di sini. Ketika saya mengunjungi Dagestan, salah satu negara bagian yang mayoritas penduduknya beragama Islam pada Maret tahun lalu, saya bertemu dengan dua anak umur 10 dan 12 tahun masing-masing bernama Sukarno bin Kamilovich (Kamil) dan Sukarno bin Magomedovich (Muhammad). Usut-punya usut, buyut mereka bernama Musa, seorang pengagum Sukarno.

Pada kunjungan Presiden Sukarno yang ke-3 tahun 1961, Musa, seorang aktivis Barisan Tani datang ke Moskow mengikuti acara internasional yang diselenggarakan oleh Partai Komunis Uni Soviet. Itu hari Jum’at. Di tengah acara yang masih berjalan tiba-tiba Sukarno, salah seorang Kepala Negara yang diundang, meminta waktu kepada pemimpin Soviet Nikita Khrushchev untuk keluar dan menunaikan sholat dzuhur. Khrushchev pun mengijinkan.

Musa pun terkagum-kagum pada keberanian dan kenekatan Sukarno. Akhirnya anaknya lahir tahun 1962 dan diberi nama Sukarno bin Musa. Berarti Sukarno bin Musa adalah kakek dari kedua bocah tersebut. Menurut cerita paman kedua bocah itu, Musa telah menulis surat kepada Duta Besar RI ketika itu, Adam Malik, untuk meminta ijin memberi nama Sukarno, tapi tidak pernah mendapat balasan. Saya menduga surat itu tidak pernah sampai.

Itulah kehebatan Presiden pertama kita. Generasi tua Rusia masih mengenalnya, bahkan lagu Rayuan Pulau Kelapa yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Rusia sempat sangat populer di Rusia tahun 70-an. Saya ingat ketika membuka Veteran Badminon Cup bulan Oktober 2016 di Sochi, saya diperdengarkankan lagu Rayuan Pulau Kelapa versi Bahasa Rusia sebelum lagu kebangsaan kedua negara diputar.

Ditulis oleh : Duta Besar LBBP RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *