HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT II (37C)

Karya RD. Kedum

Ah! Mataku terpejam. Tubuhku masih utuh berbentuk harimau. Aku tak mampu membaca mantra untuk kembali mejadi manusia. Aku pasrah. Aku jadi ingat Bapak, Ibu, kakek Haji Majani, kakek Haji Yasir, Nek Kam, Kumbang, kakek Andun. Kakek Njajau, Nenek Ceiriwis, puyang-puyangku, Puyang Pekik Nyaring. Mualim guru ngajiku, kawan-kawanku, guruku, dan lain-lain. Wajah-wajah orang yang kukenal ramai melintas di hadapanku. Tiba-tiba aku sangat merindukan mereka. Aku ingin mereka semua hadir di sini. Aku merasakan sangat jauh dari mereka. Aku seperti hidup di alam yang bukan dunia. Atau aku sudah mati? Tapi aku masih mendengar detak jantungku meski pelan.

Tawa kakek putih menggelegar menambah sakit dan sesak dadaku. Tenaga dalamnya tak mampu kutolak. Aku tak berdaya! Makin lama pandanganku makin gelap. Tubuhku terkulai seperti tangkai bunga layu. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali membaca akhir nasib yang sudah digariskan. Tuhan hanya memberikan batas usiaku di sini. Tiba-tiba aku merasa hidup sendiri. Dan terasa sangat sepi. Sepi dan gelap! Oh.

“Istighfar Cucuku…istighfar…” Antara terdengar dan tidak ada suara lembut membimbingku. Kuikuti dalam hati. Antara sadar dan tidak kucoba terus istighfar. Aku tidak bisa membuka mata. Yang terbayang beberapa detik lagi serangan kakek putih pasti akan sampai menghantamku. Lalu akan sampai pada Ibu dan Bapak, Dede gadis kecilnya meninggal di dalam rimba. Jenazahnya hancur! Selamat tinggal semuanya. Maafkan salahku. Aku terus bertakbir dalam hati. Aku siap mati. Jiwaku bahagia karena meski tidak berhasil sepenuhnya menghalagi para dukun jahat itu namun aku telah berusaha membela kebenaran. Membela saudara-saudaraku yang terancam punah. “Huf…huf..huf!! Hiiiiaaat” Tiba-tiba aku merasakan pukulan keras tepat di dadaku. Dadaku terasa remuk. Aku pasrah sembari tetap takbir sebisanya menahan rasa sakit yang sangat. Aku merasakan sepasang telapak tangan menepel di dadaku. Ada energi yang disalurkan terasa hangat menjalar cepat ke seluruh tubuh. Aku merasa semakin lama semakin hangat dan seperti mendapatkan kehidupan baru. Pelan-pelan tenagaku kembali pulih. Aku sudah bisa mengerakan kaki, tangan, membuka mata. Oh! Aku masih hidup. Aku masih bisa melihat bintang. Masih bisa melihat pohon yang tinggi. Masih bisa mencium lembab hutan. Kuangkat tangan. Benar, ini tanganku!! Tangan Putri Selasih dalam bentuk harimau putih.

Merasa sudah pulih aku mencoba baca mantra agar kembali menjadi manusia. Mantra kurapal. Seketika aku berubah wujud. Aku mencoba bangkit dan duduk. Ketika duduk, oh! Betapa terkejutnya aku. Rupanya kakek Andun ada di hadapanku diikuti orang-orang-orang yang kucintai. Ada Kumbang, Nek Kam, nenek Ceriwis, kakek Bujang Kuning, kakek Njajau, dan masih bayak lagi. Ada yang kukenal ada juga yang tidak. Mereka berdiri semuanya seperti pagar. Aku berpelukan erat dengan kakek Andun. Sungguh tidak menyangka, dalam keadaan genting beliau datang.

Aku disuruhnya duduk sambil memejamkan mata. Lalu lewat punggungku ditranfernya kembali energi. Kali ini aku merasakan tulang-tulangku seperti mendapatkan asupan makanan yang segar. Aku merasakan jauh lebih baik. Bahkan seperti tidak terjadi apa-apa. Kakek Andunlah rupanya yang mengobati aku. Aku tersentak ketika mendengar benturan keras seperti ratusan geledek beradu. Rupanya Kakek putih masih bertarung. Kali ini lawannya adalah puyang Pekik Nyaring. Melihat sosok puyang Pekik Nyaring, serasa ingin melompat saking bahagianya. Aku berdoa agar puyang Pekik Nyaring tidak cidera. Tapi aku yakin, beliau pasti bisa menaklukan adik durhakanya itu. Kadang aku melihat mereka seperti titik putih yang berkelebat cepat sekali.

Pertempuran dua saudara seperguruan itu sementara waktu masih tampak seimbang. Ilmu-ilmu andalan mereka satu persatu ke luar. Mereka para sepuh yang hebat. Bedanya, Puyang Pekik Nyaring bawaannya tenang, berwibawa. Sementara kakek putih emosional dan bernafsu. Meski sudah sepuh, gerakan-gerakan mereka cepat dan dasyat. Mereka terus bertempur. Kadang di darat, kadang di udara. Di seberang kakek Adil juga tengah bertarung melawan petapa-petapa kawan kakek putih. Ada beberapa orang berjubah membantu kakek Adil. Hanya beberapa menit saja aku tidak berdaya, ternyata telah terjadi perubahan luar biasa.

Di dimensi para dukun, segerombolan pemburu tengah dihantam oleh sekawanan nenek gunung. Dalam waktu singkat mereka tewas seketika. Senjata-senjata mereka sudah kubengkokan tidak berfungsi sama sekali. Mereka nyaris tidak ada yang melindungi. Aku terkesima melihat nenek gunung dengan mudahnya menangkapi rombongan pemburu dan dukun. Mereka patahkan lehernya dengan cara menekuk leher belakang. Setelah itu, mereka cakar wajah dan tubuh manusia itu sehingga tak satupun mereka memiliki wajah yang utuh. Tubuh mereka pun dicabik-cabik. Hebatnya tidak satupun di antara nenek gunung yang mencabik lawannya dengan menggigit. Semua tewas karena cakarannya. Dalam waktu singkat, aku melihat tiga dukun dan pemburu persis kain buruk yang tertumpuk di semak-semak. Kaki, tangan, kepala, dan anggota tubuh lainnya lepas semua. Usus mereka terburai. Hanya pakaian mereka yang cabik dan menempel sedikit di sisa tubuh saja sebagai penanda identitas. Selebihnya tidak ada yang bisa dikenali. Meski ada rasa ngeri melihatnya, tapi kala ingat kekejaman mereka memperlakukan saudara-saudaraku para nenek gunung, aku bersyukur. Hukuman seperti ini patut mereka terima.

Di ujung hutan, aku melihat bala tentara jin datang seperti gelombang. Mereka berada di dimensi para dukun. Bukan di dimensi para petapa. Sepertinya mereka sengaja didatangkan untuk membantu para dukun yang sudah keburu mati. Sementara bangsa jin yang kukurung masih asyik makan dan tertidur. “Paman raksasa, keluarlah. Kini saatnya Paman menghadang pasukan jin yang baru datang itu” Ujarku. “Baik anakku. Paman akan hadang mereka” Ujar paman raksasa. Tanpa menunggu lagi beliau segera pergi melesat melebihi kecepatan busur panah. Kakek Andun tertegun sejenak. Matanya menatapku tidak percaya. “Persahabatan yang indah dengan raksasa, Selasih? Dia raksasa sakti yang disyahadatkan itu bukan?” Tanya kakek Andun sambil memegang lenganku. Aku mengangguk segera. Kuceritakan sekilas bagaimana paman Raksasa bisa kutakhlukan bahkan disyahadatkan. Kakek Andun mengeleng-geleng kagum. Mulutnya berdecak-decak. “Kamu hebat sekali, Cung! Wajar kalau kamu dilepas sendiri oleh Puyang Pekik Nyaring.” ujar Kakek Andun.

“Mengapa Kekek dan rombongan datang kemari? Apakah karena mendengar aumanku?” ujarku. “Sejak awal kamu selalu dalam pengawasan kami dari jauh. Beberapa kali nenek kakek dan puyangmu membantu memberikan energi dari jauh. Melihat kamu tidak berdaya kena ajian peremuk tulang, rupanya tanpa dikomando, kami semua serentak hadir di sini. Nyaris tiba di sini bersamaan.” Lanjut kakek Andun.

Aku bangga bukan main. Sungguh perhatian dan kasih sayang kakek dan nenekku yang iklas kurasakan sangat murni. Aku bahagia memiliki mereka. “Bagaimana sudah pulih kan semuanya? Kamu tidak merasakan terluka lagi bukan? Sekarang mari kita perhatikan pertarungan puyangmu” Ujarnya memutar badan. Tiba-tiba aku melihat macan Kumbang melompat ke arena pertempuran melawan para petapa. Di antara mereka ada yang berkali-kali kena tebas oleh senjata kakek Adil. Namun tiga kali pula tubuhnya menyatu. Aku sempat terbengong-bengong melihat keajaiban itu. Ilmu apa pula ini? Macan kumbang berbisik dengan kakek Adil agar kembali menebasnya. Kakek Adil siap-siap menyerangnya kembali. Merasa tidak ada yang mampu membunuhnya, petapa itu berjalan santai memberikan tubuhnya untuk dicacah oleh kakek adil. Kali ini kakek Adil menyambar tubuh petapa. Diangkatnya tinggi ke angkasa, lalu Crass! Crass! Crass!! Tebasan pedang kakek Adil memotong kembali tubuh petapa menjadi tiga bagian. Bagian leher yang terpisah dengan kepala, lalu bagian pinggang, terakhir kedua pahanya. Potongan-potongan tubuh itu siap meluncur jatuh ke tanah. Rupanya Macan Kumbang langsung menyambar potongan tubuh itu sebelum sampai ke tanah dengan jaring, mengikatnya, lalu digantungkannya di atas pohon yang tinggi. Sejenak potongan tubuh itu selonjotan. Tak lama kemudian diam. Tak setetes darah pun yang jatuh menyentuh tanah. Macan kumbang membungkus jaring dengan ajian gaibnya. Akhirnya petapa itu tewas.

Tubuhnya tidak bisa menyatu kembali. Sekarang tinggal beberapa petapa lagi yang masih bertahan. Pertempuran makin seru saat mereka mengeluarkan ilmu-ilmu andalan mereka. Petapa-petapa ini nampak sekali licik. Ada satu orang bekali-kali mengeluarkan halimun racun dengan maksud hendak melarikan diri. Kakek Adil dan teman-temannya sudah memahami ini. Mereka tidak memberi ruang kosong pada mereka. Di ujung, paman Raksasa bertempur dengan pasukan jin. Meski paman Raksasa berilmu tinggi namun mendapatkan lawan ratusan jumlahnya cukup membuat paman Raksasa kewalahan. Melihat itu kupanggil belahan wujudku. Seketika enam wujudku bertempur membantu paman Raksasa. Para jin mereka hancurkan setelah energi mereka disedot terlebih dahulu. Jin-jin itu bingung melihat ada enam wujud yang sama. Mirip dan gerakannya lincah. Dalam sekejap, pasukan jin tinggal beberapa. Paman Raksasa ternyata sangat ganas. Sekali pukul, puluhan jin dia hancurkan. Senjatanya berupa tongkat akar bahar berkelebat ke sana ke mari. Meski para jin itu banyak yang sakti, namun tetap tak bisa mengelak melawan raksasa yang marah.

Aku bingung kemana lagi harus kuarahkan pandangan. Setiap sudut menjadi medan laga. Akhirnya aku menatap kakek putih dan puyang Pekik Nyaring. “Sudahlah Rangas Debu, sejak dulu memang hatimu jahat. Engkau pengecut! Setiap waktu kamu datangi Puyang Guru untuk meminta ilmu anginnya. Karena tidak dapat kamu tega membunuh Puyang Guru. Hari ini, kau harus dapatkan ganjarannya.” Kata Kakek Pekik Nyaring sambil tetap melakukan peyerangan. “Ganjaran apa, Pekik Nyaring? Aku tidak percaya dengan hukum karma. Aku tidak ingin kamu menghalang-halangi aku. Urusan dulu biarlah berlalu. Aku bersyukur bertemu denganmu. Bagaimanapun sebagai adik, aku rindu.” Ujar kakek Ranggas Debu yang kusebut-sebut kakek Putih karena perawakannya memang putih. “Buang saja rindumu. Jangan membual. Pada guru, orang tua kita saja kamu tega menghabisinya. Apalagi pada orang lain!’ Ujar Puyang Pekik Nyaring sambil tetap melakukan serangan-serangan maut.

Kakek Putih sudah berubah bentuk menjadi manusia. Kaki dan tanganku gatal ingin terjun ke medan pertempuran. Kubisiki Puyang Pekik Nyaring agar aku diizinkan untuk menggantikannya melawan kakek putih. “Puyang, izinkan aku bertarung dengan kakek durhaka ini” Ujarku yang dijawab Puyang Pekik Nyaring dengan jawaban setuju. “Baik Cung, masuklah ke arena!” Ujarnya. Aku minta izin pula dengan kakek Andun yang mengangguk sambil tersenyum.

Hiaaaat!!! Huf! Aku melompat berdiri tepat di hadapan kakek Rengas Debu. “Ulat nangka lagi! Sudah tak sanggup melawan aku dirimu Pekik Nyaring sehingga tega menyuruh bayi ulat nangka ini melawan aku?” Kakek Rengas Debu sesumbar. Pakaian putihnya yang akibat kena racun ujung keris yang kusabetkan tadi tidak lagi berwarna hitam. Tapi ungu. Aku heran mengapa bisa jadi begitu. “Lawanlah cucuku, Rengas Debu! Dialah yang akan menghabisimu. Siap-siap sajalah.” Ujar Puyang Pekik nyaring.

Aku mundur selangkah, selanjutnya dengan cepat aku berputar seperti gasing sehingga wujudku tidak terlihat lagi. Lalu kukombinasikan dengan lompatan angin, aku berada di beberapa posisi dengan cepat. Sambil terus berputar aku pancing seolah-olah di hadapannya, kadang di sampingnya, di belakangnya, di atasnya. Kakek Rengas Debu alias kakek putih cukup kerepotan melakukan penyerangan balasan. Beberapa kali pukulan mematikan yang dimilikinya menghantam ruang kosong. Dan beberapa kali pula aku berhasil memukulnya. Kakek tua ini cukup alot juga rupanya. Meski mendapatkan pukulan keras dan berisi dariku, namun tetap saja sepertinya tidak berpengaruh sama sekali. Aku lawan ilmu peremuk tulangnya dengan sapuan badai menempur gunung. Aku tidak mau celaka dua kali. Hasilnya sungguh dasyat. Benturannya selalu memercikan api hingga belantara yang gelap terang benderang.

“Pantas kau hebat sekali ulat nangka, ternyata kau murid Pekik Nyaring. Sudah kuduga sejak awal” Ujar kakek putih. “Aku bukan muridnya, kakek jahat. Tapi aku cucunya. Ingat! Puyang guru yang telah kau bunuh, adalah kakek buyutku. Terimalah ini!! Hiaaaat!!!!!” Aku hantam kakek Putih dengan selendang pemberian Puyang Bukit Selepah. Ujung selendang menyambar-nyambar ke arah kakek Putih. Beberapa kali percikan apinya mengenai kakek Putih. Berulang kali pula kakek putih berusaha menyambar selendangku. Saat tertentu, kakinya mampu kuikat. Tapi entah ilmu apa yang dipakainya, ikatan ujung selendangku bisa di lepasnya. Aku memutar selendang diiringi dengan kekuatan badai. Tapi sekali lagi kakek putih mampu menangkisnya. Aku nyaris kehilangan akal. Semua seranganku mampu dielakannya. Selendang kutarik kembali. Aku hantam kakek putih dengan pukulan badai dan halilintar sekaligus. Seketika bumi berguncang seperti gempa. Bunyi berderak-derak seakan membuat semua tumbang. Aku arahkan tanganku ke bumi, lalu membelah dan mengirimkan halilintar kembali. Tubuh kakek putih melesat jatuh ke tanah yang menganga. Kudorong tubuhnya dengan badai, kuputar dan kugulung dengan kedua tanganku. Kekuatan yang berlapis tak mampu beliau lawan. Belum sempat ilmu samuderanya mendorong kekuatanku, badai panasku menggulungnya kembali. Kutambahkan pukulan halilintar. Hasilnya api membumbung dan mengeluarkan hawa panas luar biasa. Aku melihat kakek putih dibungkus air laut. Air laut berusaha membantu melindunginya dari api yang berkobar. Kembali aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, lalu kulemparkan bola api warisan Kakek Pekik Nyaring. Dalam sekejap lautan Kakek Putih mendidih. Kakek Putih selonjotan seperti telur rebus dalam panci yang mendidih. Selanjutnya kuhantamkan kembali pukulan panasku untuk menutup tanah yang mengaga. Secepat kilat tanah kembali rapat. Namun api masih berkobar di atasnya. Kugerakan kembali tanganku ke atas, aku menarik nafas panjang. Kali ini aku keluarkan bola esku untuk memadamkan api yang berkobar. Aku kasihan melihat beberapa nenek gunung tunggang langgang menghindari hawa panas. Bussssss!!!! Seketika api berubah beku. Lingkungan belantara berubah menjadi sangat dingin. Beberapa nenek gunung menggigil. Hanya nenek Kam, Kakek Andun, kakek Njajau dan beberapa nenek gunung saja yang tetap tenang berdiri. Semua tengah mengerahkan tenaga dalam untuk menghindari benturan api dan dingin silih berganti. Nyaris tanpa jeda.

Tiba-tiba, tanah yang semula kututup menyemburkan sesuatu yang sulit dilihat oleh mata biasa. Petir berulang kali menyambar bumi. Langit yang semua gelap tiba-tiba menjadi terang benderang. Aku ikut terlempar ke sana ke mari. Demikian juga kakek dan nenekku. Meski berusaha bertahan namun tetap saja mereka terbanting-banting. Aku berusaha bangkit dan siap-siap dengan pukulan baru jika kakek putih itu ke luar dam hidup lagi. Tapi sejenak kutunggu aku hanya melihat beberapa gumpalan asap gelap meluncur ke langit seperti busur panah yang lepas. Ketika hening bumi seperti tidak terjadi apa-apa. Angin berhenti pelan. Hanya suara satwa malam saja terdengar dari jauh. Aku saling pandang dengan kakek dan nenekku. Aku tidak tahu apakah pertempuran malam ini sudah selesai apa belum.

“Apa itu Puyang?” Tanyaku pada Puyang Pekik Nyaring. “Itu ilmu-ilmu hitam Randu Debu yang ke luar dari jasadnya. Ilmu itu kembali ke alam sesuai dengan asalnya. Kita doakan semoga tidak lahir lagi randu debu-randu debu yang lain. Semoga kehidupan nenek gunung kembali aman.” sambung Puyang Pekik Nyaring yang disambut dengan ucapan “Aamiin” bersama-sama. Peran para petapa inilah yang telah membuat para nenek gunung tunduk. Tanah yang menyembur menyisakan lubang besar. Tanah perbukitan semula datar dan sebagian berguduk berubah mejadi jurang-jurang kecil. Aku langsung duduk bersedekap dengan kekuatan batin kurapatkan kembali tanah yang menganga. Aku takut jurang yang tiba-tiba muncul ini justru mencelakakan para nenek gunung.

Bum! Bum!!! Langkah raksasa mendekat padaku. “Selasih! Tugas sudah selesai. Para jin jahat sudah binasa. Sebagian ada yang menyerah dan ingin ikut denganku. Bolehkah, anakku?” Suara paman Raksasa berat. Aku tersenyum menatap paman Raksasa. Belahan diriku semuanya digendong paman Raksasa. Lalu setelah dekat pelan-pelan diturunkannya satu-satu. Aku kembali membaca mantera. Satu-satu belahanku menyatu kembali padaku. “Terimakasih Paman. Paman hebat sekali. Silakan jadikanlah para jin itu pengikut paman. Ajaklah mereka bersyahadat seperti paman” Ujarku penuh hormat. Paman Raksasa mengangguk-angguk setuju. “Paman, tugas dan misi kita di perbatasan ini sudah selesai. Para pemburu sudah tewas. Sesepuh yang membantu mereka selama ini pun sudah tewas semua. Sekarang, Paman mau tinggal dimana dan ikut siapa?” Tanyaku.

Tiba-tiba Paman Raksasa menjatuhkan diri dan sujud padaku. “Paman tidak mau kemana-mana. Paman mau ikut denganmu Selasih. Paman tidak mau pulang ke lereng Lawu. Paman sudah bulatkan hati, ingin berubah, ingin mengabdi padamu.” Ujarnya setengah menangis. “Paman, bangun paman. Bangun! Jangan sujud padaku. Aku bahagia paman mau berubah. Tapi tidak selamanya paman bisa ikut denganku. Maafkan paman. Aku tidak mau menganggap Paman anak buahku atau apa pun sebutannya.” Ujarku sedikit bertenaga agar di dengarnya. “Tapi izinkan aku ikut denganmu, Selasih. Aku seperti mendapatkan kehidupan baru, karenamu, Nak.” Ujar paman Raksasa kembali. Mendengar itu aku jadi terharu. Ingin sekali memeluk makhluk yang berbadan besar ini. Tapi apa daya, aku hanya sebesar lengannya. Akhirnya aku hanya duduk di hadapannya sembari menunduk dan menitikan air mata. Paman raksasa pun menundukan kepala. “Izinkan paman kembali ke betismu, Selasih. Paman akan mejagamu.” Ujarnya lagi. Aku tidak bisa berkata-kata. Semua terasa tercekat di tenggorokan.

“Raksasa, jika Putri Selasih membutuhkanmu, ingin bertemu denganmu, kapan saja bisa. Kamu tidak usah takut Selasih tidak akan menjauh atau membiarkanmu. Kamu ikut saya ke lereng gunung Dempu. Memperdalam agamamu. Belajar bersama saudara-saudaramu di sana.” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Paman Raksasa memandang padaku. Tatapannya seperti menunggu jawabanku. Puyang Pekik Nyaring langsung mendekatiku. Mencium kepalaku sembari berkata. “Raksasa tengah menunggu jawabanmu, Cung” ujarnya. Aku menarik nafas lega. Bagaimana pun aku sangat menghargai kesetiaan makhluk gaib satu ini. Aku tidak ingin hidupnya sia-sia. “Paman, aku menyayangi paman. Aku bahagia jika paman dekat denganku. Tapi, aku tidak bisa memberikan pengetahuan yang lebih seperti yang disampaikan Puyang. Paman ikutlah Puyang ke lereng Dempu. Kapan dan dimana saja, kita bisa berjumpa. Jika ada sesuatu aku akan panggil paman” ujarku.

Mendengar perkataanku, paman Raksasa kembali sujud. Aku tak mampu menghalangi sikap berlebihannya. “Terimakasih..Puyang, terimakasih Selasih. Aku bahagia sekali. Izinkan aku membawa kawan-kawanku Puyang.” Ujarnya kembali. “Tentu saja, engkau dan kawan-kawanmu boleh ikut aku” kembali Puyang Pekik Nyaring membantuku memberikan solusi.

“Selasih…Putri Selasih…tolong aku…” Aku mendengar suara sangat halus. Kembali kutajamkan pancainderaku. Benar suara itu memanggilku. Aku menatap nek Kam yang dari tadi hanya diam. Begitu juga Macan Kumbang sepertinya ikut mendengar suara lirih tersebut. “Siapa kamu, dimana kamu?” Batinku berusaha berinteraksi pada pemilik suara itu. “Aku Gundak, aku ada sisi jurang Selatan. Aku terjebak perangkap ketika sedang mengintai pertempuran tadi. Padahal aku ingin membantumu. Maafkan aku merepotkan, Selasih” ujarnya. Aku kaget bukan main. Ternyata nenek gunung dari Bukit Patah ini benar datang di perbatasan. Kasihan sekali dia terjebak. Aku memandang kakek, puyang, nenek satu-satu. Sebenarnya aku ingin minta pendapat, apa yang harus aku lakukan demi menolong Gundak. Wajah Puyang Bukit Patah nampak biasa-biasa saja. Padahal Gundak adalah cicit tunggalnya. Atau beliau marah karena Gundak tidak pernah patuh nasehatnya?

“Paman Raksasa, tolong ambil, bawa kemari kawanku di sisi jurang Selatan itu. Dia terluka, Paman” Ujarku tanpa minta persetujuan para sesepuhku lagi. Paman raksasa langsung bergerak dan menghilang. Beberapa detik kemudian dia sudah dihadapanku kembali membawa Gundak yang terluka.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *