HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (43A)
Aku baru saja menjejakkan kaki di pintu gerbang sekolah. Pagi masih berkabut. Rumput kecil sepanjang jalan menuju pintu gerbang masih basah. Begitu juga daun dan bunga sepatu, masih kuncup. Sekolah masih sepi. Aku piket hari ini, maka datang lebih awal. Aku harus membersihkan kelas bersama kawanku Eta, Susi, Boy Kasman, dan Sutikno. Tapi mereka tidak bisa diandalkan. Mereka selalu datang terlambat.
“Selasih…Selasih…” Aku mendengar ada suara memanggilku. Sejenak aku berhenti. Apakah benar ada suara memanggilku-manggilku? Suara siapa itu? Lama aku menunggu, panggilan itu tidak berulang lagi. Baru saja hendak melangkah, kembali panggilan halus itu terdengar. Aku mencari-cari. Tidak jauh dari tempatku berdiri. Oh! Di atas akasia belakang Perpustakaan, dua perempuan cantik menatapku dan melambaikan tangan. Keduanya memakai pakaian adat jawa. Aku tidak paham pakaian adat dari Jawa mana. Yang jelas keduanya sangat cantik. Mirip putri seorang raja. Mereka bangsa peri. Senyum yang ditaburnya sungguh menghipnotis. Aku sadar. Aku ada disekolah. Akhirnya aku buru-buru naik tangga. Dua peri cantik itu kuabaikan.
Dadaku berdegup karena dari bawah aku melihat ada Bapak Syapawi kepala sekolahku bediri dekat kelas mengawasi anak-anak yang piket. Beliau memang kepala sekolah terbaik. Selalu hadir lebih dulu dari yang lain, baik siswa, maupun guru dan TU. Memakai baju safari, rambutnya selalu tertata rapi, klimis, karena selalu pakai minyak rambut. Sekencang apapun angin menerpa rambutnya, tetap rapi. Sepatunya selalu mengkilap. Sesekali beliau batuk-batuk ringan.
Area sekolah masih berkabut tebal. Beberapa gedung tidak nampak karena kabut. Tapi beliau sudah keliling-keliling dari lembah sekolah sampai ke kelas-kelas paling atas. Maklum sekolahku berbukit-bukit. Beliau mengawasi tiap kelas. Memerhatikan kebersihan, kerapian, kelengkapan, taman kelas, pohon-pohon dan taman sekolah, parit, bahkan pagar sekolah yang merenggang tempat siswa biasa kabur, tidak luput dari perhatian beliau. Aku segera menyongsong beliau terlebih dahulu. Mencium tangannya, lalu minta izin melaksanakan tugasku, piket.
Benar saja, baru aku sendiri yang datang. Belum ada tanda-tanda kawanku datang lebih dulu. Aku melepas sepatu lalu meletakkannya di rak yang sudah di sediakan. Pelan-pelan aku membuka pintu kelasku. Alangkah terkejutnya aku, kelasku sudah bersih dan rapi. Aku mencari-cari siapa yang sudah datang lebih dulu? Lantai sudah bersih, meja rapi, sampah-sampah tidak ada lagi di kotaknya. Jendela sudah terbuka semua. Gordennya juga dirapikan. Meja guru sudah ditutup dengan taplak meja. Vas bunga juga sudah diisi. Aku melongok ke luar, di teras kelas biasa tempat kami duduk sambil bercerita juga bersih. Bahkan lantainya nampak seperti sudah di pel. Aku mengambil ember kecil yang belum berisi air untuk guru atau kami mencuci tangan. Hanya ember ini saja yang belum diisi. Yang lainnya sudah beres semua. Aku malas menggunakan kemampuanku untuk melacak mencari tahu siapa yang terbaik hati.
Sejenak aku menunggu sembari berpikir, siapa yang merapikan kelasku. Kaca jendela nampak bekas di lap. Kapur tulis di kotaknya sudah ada. Bahkan debu bekas kapur juga bersih. Absen kelas sudah ada di atas meja. Meja teman-temanku pun bersih. Tak lama ada Maisi kawan sebangkuku datang.
“Wah, kamu piket sendiri, Dek?” Tanyanya melihat kelas bersih dan aku duduk sambil menatap jalan ke gunung dari balik jendela.
“Iya baru aku sendiri yang datang.” Jawabku mengambang. Aku menyembunyikan keherananku. Lalu kuambil ember, kuajak Maisi menemaniku mengambil air di pancuran dekat kolam sekolah. Lumayan jauh. Kami berjalan sambil berbincang-bincang perihal guru bahasa Inggris kami yang diganti. Persoalan siapa yang membersihkan kelas kuabaikan dulu. Nanti akan kupecahkan sendiri. Yang jadi masalah, beberapa minggu ini aku dan kawan-kawanku risau. Pasalnya guru bahasa Inggris kami diganti. Sebelumnya yang mengajar kami Bapak Adenan, tiba-tiba diganti oleh Bapak Simbolon yang sebelumnya mengajar keterampilan elektro. Bukan soal tidak nyambungnya, tapi beliau tidak punya kemampuan untuk mengajar bahasa Inggris. Kawan-kawan banyak protes. Sebab sudah berapa bulan pelajaran bahasa Inggris kami tidak pernah bergeser dari percakapan. Itu pun sambil membaca buku. Percakapannya itu-itu saja. Dan percakapan itu terus di praktikan di depan kelas. Tidak juga dijelaskan apa artinya atau bagaimana mengucapannya yang benar. Aku dan kawan-kawan sampai hafal dialog itu.
Akhirnya selesai belajar waktu istirahat, kawan-kawanku tidak kuizinkan ke luar kelas. Kebetulan aku ketua kelas. Bersyukur, kawan-kawanku banyak yang patuh. Kututup pintu kelas lalu aku berbicara di depan mereka.
“Kalian harus jujur. Ini menyangkut masa depan kita. Kalian jauh-jauh datang ke sekolah di kaki gunung Dempu ini tentu tidak ingin sia-sia bukan? Aku mau tanya, siapa selama beberapa bulan ini mendapatkan ilmu yang diberikan Bapak Simbolon? Sebutkan apa yang kalian peroleh selama belajar dengan beliau?” Ujarku. Nyaris kawan sekelas berteriak serentak “tidak ada!” Lalu aku lanjutkan lagi, jika tidak mendapatkan apa-apa, kira-kira langkah apa yang harus kita lakukan? Apakah diam saja? Menerima apa adanya?Akhirnya kawan-kawan ada yang menyarankan supaya ada perwakilan kelas menghadap kepala atau wakil kepala sekolah menyampaikan hal ini. Lalu ada yang menyarankan buat surat pernyataan menolak diajar Bapak Simbolon. Sejenak kelas menjadi riuh.
Aku membiarkan kawan-kawan berbicara sesuai dengan inspirasi mereka. Mereka tengah belajar mengemukakan pendapat. Kadang sambil ngotot di antara mereka, seperti hendak berantem. Pro dan kontra berseleweran. Ada yang menyatakan cukup menghadap kepala sekolah saja. Ada yang menyarankan buat surat kaleng saja. Ada yang menyarankan buat surat pernyataan. Akhirnya kutengahi mereka. Hari ini aku merasa paling dewasa di antara kawan-kawanku. Dalam hati aku berkata, mungkin inilah yang dikatakan demokrasi itu. Iya atau bukan tapi terasa jika hari ini berbeda. Ternyata kawan-kawanku bisa diajak berpikir.
“Baik kawan-kawan, saya siap mewakili kawan-kawan menyampaikan inspirasi kita. Kita buat surat pernyataan saja lalu di bawahnya kita tandatangan bersama. Semua wajib tanda tangan. Ingat jangan sampai ada yang jadi penghianat. Kita harus satu suara. Terlepas dari kamu masih saudaranya kepala sekolah, atau saudara guru, keponakannya dan lain-lain, jangan pernah mengatakan bahwa kamu sekadar ikut-ikutan. Apalagi mengatakan karena di paksa olehku. Tapi katakan ini kesepakatan kita bersama. Jika ada yang berani menyampaikan tidak ada kesepakatan kita bersama, maka aku akan buat perhitungan dengan kalian. Siapapun kalian. Ingat itu,” kataku sambil menekan mereka sedikit mengancam. Sebab aku tahu, di antara kawan sekelas ini ada yang tinggal di rumah kepala sekolah. Bisa jadi mulutnya akan membocorkan rencana ini atau dia berbicara lain.
Akhirnya, aku tulis surat pernyataan, lalu kami tandatangani bersama. Selesai itu aku bersama Yenni dan Muin, wakil ketua kelas, dan sekretaris, menghadap kepala sekolah. Menyampaikan perihal keberatan kami diajar bahasa Inggris oleh Bapak Simbolon, dan minta diganti. Sebagai penegasan penolakan itu kami sertakan surat pernyataan yang ditandatangani kawan-kawan satu kelas. Aku menyerahkannya pada Pak Syapawi. Beliau menerimanya dengan wajah tenang.
Ternyata surat pernyataan yang kami buat berentet panjang. Aku dianggap propokator oleh Bapak Biarul, wakil kepala sekolah, sekaligus guru Biologiku yang terkenal killer. Beliau membentak-bentakku, sambil berkata “Memangnya sekolah ini punya nenek moyangmu ikut ngatur-ngatur guru. Kamu itu masih siswa. Ilmu yang kamu miliki masih cetek. Belum ada apa-apanya. Baru jadi ketua kelas, sudah pandai mengatur kawan-kawan untuk protes.” Suaranya menggelegar dengan mata melotot. Dua temanku sudah menangis. Usai beliau berbicara, aku mengangkat tangan untuk minta izin apakah aku boleh bicara. Belum sempat aku berbicara menyampaikan maksudku, kembali suara beliau menggelegar.
“Mau bilang apa? Ha!!! Mau bilang kalau kamu bukan propokator. Udah jelas kamu propokatornya masih juga mau bela diri. Kamu tahu! Surat pernyataan ini bisa saya polisikan! Biar masuk penjara saja kalian” sambungnya lagi.
Mendengar kata penjara, Yenni dan Muin makin mengkeret. Mereka menunduk dalam-dalam sambil sesegukan berurai air mata. Aku juga menunduk menunggu kesempatan untuk berbicara. Tapi aku tidak menangis. Nampaknya beliau sengaja mendiamkan kami. Beliau kular-kilir di hadapan kami. Aku sudah siap-siap bertahan jika beliau memukul atau menamparku. Malah langkahnya makin dibuatnya rada-rada serem. Beliau berjalan dengan bahu sedikit diangkat. Dagu agak maju, lalu dada agak dibusungkan, enggan tersenyum, wajahnya serius. Urat-urat di wajahnya tegang. Matanya tajam menyeramkan.
Pernah suatu kali beliau marah dengan kakak kelasku yang datang terlambat. Beliau tidak mau tahu soal rumah jauh. Padahal kendaraan ke sekolah tidak lancar hanya ada satu angkot itupun mirip gerobak sapi. Niat hati pak Biarul mau menendang. Tidak tahunya sepatunya lepas, terlempar jauh ke semak-semak taman sekolah. Terpaksa kakak kelasku yang mencari-cari sepatunya. Aku yang melihat kejadian itu ingin tertawa, tapi takut beliau marah.
Melihat didiamkan lama, tanpa diberi kesempatan berbicara aku tidak sabar. Berulang kali aku ingin bicara, namun tidak jadi. Suasana beliau buat tegang. Udara dingin jadi terasa panas. Timbul ide isengku. Kusuruh Selasih menggeser-geser kursinya. Pertama digeser, bapak Biarul belum sadar. Lalu kulihat kursi digeser agak menyentuh tubuhnya. Baru pak Biarul kaget. Tubuhnya terlonjak. Ditatapnya kursi dengan mata membelalak. Lalu kursi menjauh darinya. Mata beliau makin bulat dengan mulut terbuka. Beliau tidak bisa berkata-kata. Wajahnya berubah pucat. Sayang Yenni dan Muin tidak melihat perubahan pak Biarul. Sementara aku, sebenarnya ingin tertawa tapi kutahan. Selanjutnya Putri Selasih memutar kursi. Pertama pelan lalu makin kencang. Kali ini pak Biarul tidak bisa membohongi rasa takutnya. Melihat kursi berputar beliau menjerit membuat Yenni dan Muin mengangkat kepala. Beliau tersandar di pintu lemari dengan wajah tegang.
“Mengapa Pak? Bapak sakit?” Tanyaku pura-pura, yang dijawabnya dengan gelengan berulang kali dengan wajah cemas. Beliau tak mampu berkata-kata. Ternyata Putri Selasih belum selesai dengan aksinya. Kaki pak Biarul yang gemetar ditariknya. Sepatu beliau dilepasnya satu.
“Iiihhh…toloooong….” Bapak Biarul melompat dengan satu sepatu berlari meninggalkan kami yang masih berdiri di sisi mejanya. Melihat Bapak Biarul kabur , Yenni dan Muin terkejut dan ikutan berlari ketakutan tidak jelas. Aku menutup mulutku agar suara tertawaku tidak terdengar. Putri Selasih melompat -lompat sambil tertawa. Dua telapak tangan kami beradu sehingga menimbulkan bunyi tepukan yang kencang. Lalu kembali Putri Selasih tertawa riang.
“Ternyata, guru yang paling killer itu penakut juga ya..mentalnya kerdil! Gayanya aja yang sok gagah. Ekspresinya tegang terus, jalannya saja ketiak diangkat, persis seperti dihalangi kelapa. Padahal nggak berkepak tuh. Nggak gagah-gagah amat!” Ujar Putri Selasa.
“Sssstt…nggak boleh ngata-ngatain beliau. Beliau itu guruku. Walau begitu, otaknya pinter. Aku suka belajar dengan beliau.” Ujarku.
“Hallah…guru kok nggak pakai analisa lagi terus ngomongin kamu propokator, trus ngancam mau memperkarakan. Memenjarakan!” Nada Selasih sedikit berang. Aku tersenyum mendengarnya.
“Tak mungkinlah beliau hendak memenjarakan aku, Selasih. Itu hanya cara beliau menakut-nakuti anak SMP, Anak baru gede yang mentalnya masih labil. Beliau justru menunjukkan keprofesionalannya. Meski pak Simbolon kami sudutkan, tapi beliau tidak lantas menerima inspirasi aku dan teman-teman. Pak Simbolon masih dibelanya, bukan? Memang harus seperti itu. Guru harus kompak dan saling menjaga kewibawaan bersama-sama.” Jawabku panjang lebar. Akhirnya aku ke luar dari ruangan Pak Biarul. Aku mencari-cari beliau. Dua kawanku sudah kabur masuk kelas.
“Kenapa di sini? Mengapa tidak masuk kelas, belajar sana!” Tiba-tiba Bapak kepala Sekolah ke luar dari kantor.
“Saya di panggil Pak Biarul perihal surat pernyataan kelas kami tadi, Pak. Tapi tiba-tiba beliau lari ketakutan. Sekarang beliau ke mana saya tidak tahu.” Jawabku. Pak Syapawi langsung menuju tuang TU menanyakan keberadaan Bapak Biarul. Rupanya beliau lari ke rumah Dinas Kepala Sekolah. Duduk lesu di sana masih menyimpan rasa cemas. Aku kembali ke kelas. Teman-teman menatapku dengan wajah penuh tanya. Mereka ingin tahu apa hasilnya. Selanjutnya kami disuruh belajar Bahasa Inggris sendiri. Pak Simbolon tidak diizinkan masuk kelas. Satu kelas seperti anak TK tertawa riang. Senang tidak belajar!
Seperti biasa, aku tidak bisa pulang cepat hari ini. Sebagai wakil ketua OSIS ada beberapa hal organisasi yang harus aku selesaikan dengan kawan-kawan. Belum lagi persiapan berbagai lomba, aku diminta mewakili sekolah dan menyeleksi teman-temanku yang akan dilibatkan. Sementara perutku terasa sakit. Memang aku belum makan sejak pagi. Mau beli mie atau nasi pecel, uangku tidak cukup. Akhirnya aku pergi ke warung seberang sekolah membeli dua potong pisang goreng. Beruntung sekali kenal dengan yang punya warung yang baik hati, aku dibuatkannya teh hangat. Padahal aku merasa cukup dengan meminta air putih saja.
“Dek, kalau haus atau lapar kamu pulang ke sini saja. Apa lagi sekolah sampai sore. Kamu nggak bawa bekal kan?” Tanya bibi penjual gorengan yang minta dipanggil Emak.
Aku hanya mengangguk sembari mengucapkan terimakasih. Bagaimana aku harus membawa bekal? Siapa yang akan memasakan menjelang subuh? Ibu masih di dusun Seberang Endikat. Sementara sebelum subuh aku menyempatkan diri untuk membuka-buka buku pelajaran hari ini terlebih dahulu, lalu bersiap-siap berangkat sekolah. Jalan kaki. Bukan tidak mau sarapan. Tapi memang sering tidak ada yang bisa dimasak untuk sarapan.
Beberapa minggu ini aktivitas di sekolah makin pesat. Kadang-kadang aku membantu guru bahasa Indonesiaku, Bapak Tarzan, memberikan materi tertentu di kelas les Bahasa Indonesia. Sering juga aku mengeluh karena banyak teman-temanku yang tidak paham-paham meski sudah dijelaskan detil. “Tidak apa-apa. Sekalian melatih kesabaran. Sahabat-sahabatmu itu kebanyakan orang kampung yang tidak punya waktu banyak untuk membuka buku dan mereka memang kurang biasa membaca. Bisa jadi mereka tidak punya buku sehingga minat itu tidak tumbuh.” Ujar pak Tarzan suatu hari menanggapi keluhanku. Padahal aku kurang lebih sama dengan kawan-kawanku. Aku juga tidak mampu membeli buku. Oleh sebab itu aku sering mencuri-curi ketika buku guruku diletakan di atas meja, dan beliau tidak ada, aku akan baca dengan buru-buru. Atau ketika habis pelajaran, aku buru-buru membereskan buku guruku, lalu membantu mengantarkannya ke ruang guru. Di ruang guru inilah aku minta izin sejenak membaca bukunya. Kadang aku lari ke perpustakaan membaca-baca koleksi buku. Rata-rata tidak menarik dan itu-itu saja. Yang paling banyak buku penunjang pelajaran yang jarang digunakan. Konon tidak sesuai dengan kurikulum.
Sabtu siang itu pak Tarzan memanggilku. Kukira beliau memintaku untuk mempersiapkan diri mengikuti lomba lagi. Rupanya beliau menawarkan buku-buku beliau untuk kupelajari, karena beliau akan penataran minggu depan, jadi beliau menugaskan aku mengajari teman sekelasku. Biasanya kalau kelas lain mereka disuruh mencatat saja selama guru bersangkutan tidak ada. Tapi di kelasku beliau minta tidak hanya mencatat, tapi aku diminta menjelaskan dengan teman-teman. Dengan senang hati aku menerima amanah itu. Aku fokus pada materi yang beliau sebutkan.
Apa yang disampaikan pak Tarzan jika kawan-kawanku tidak sempat membaca ada benarnya juga. Tidak semua kawanku ini tinggal di kota Pagaralam. Mereka banyak berasal dari desa-desa. Bahkan ada yang tinggal di kebun-kebun, sekitar sekolah. Bagi yang dusunnya jauh, mereka kos di rumah-rumah penduduk di Bangun Rejo. Sebagian lagi pulang sekolah mereka membantu kedua orang tua mereka di kebun atau di ladang. Seperti Muin misalnya, lebih banyak tidak aktif di sekolah. Padahal dia ketua OSIS. Alasannya setiap pulang sekolah dia ditugaskan mengambil rumput untuk kambing-kambingnya. Akhirnya beberapa hal organisasi akulah yang membantu menyelesaikannya.
Jam sudah menujukkan pukul lima sore. Sudah dipastikan aku akan sampai di rumah pas magrib atau mungkin juga setelah magrib. Jalan gunung yang akan kulalui sepi. Kiri kanan jalan kebun kopi. Rumah penduduk masih jarang-jarang. Kali ini aku pulang sendiri. Yang lain sudah pulang lebih dulu. Sebagian besar kawan-kawanku tinggal di Bangun Rejo. Hanya aku sendiri rupanya yang tinggal agak ke kota. Melihat hari sudah petang, dan aku pulang berjalan sendiri, Bapak gorengan memanggilku dan menyarankan agar aku tidak usah pulang, tapi nginap di rumahnya saja. Dengan alasan tidak siap, tawaran itu kutolak. Akhirnya beliau bersikeras mengantarkan aku batas kuburan saja. Lewat dari sana baru beliau lepaskan aku sendiri. Memang untuk sampai ke sekolah, kami melewati area kuburan yang cukup panjang. Suasana tikungannya cukup menyeramkan. Banyak sekali makhluk asral berkeliaran di sana. Oleh sebab itulah tidak sekali dua kali Bapak mengantarku sampai batas kuburan. Mungkin beliau kira aku akan takut. Hampir setiap aku pulang kesorean beliau memaksakan diri mengantar sampai lewat kuburan. Aku senang-senang saja karena punya Bapak yang cukup perhatian padaku.
Rasanya baru beberapa langkah aku berpisah sama Bapak gorengan. Tiba-tiba aku masuk ke dalam dimensi lain. Aku melihat dua peri yang menyapaku tadi pagi sedang bertarung hebat dengan seorang perempuan. Sejenak aku memerhatikan pertarungan dasyat itu. Perempuan itu, meski dikeroyok, tapi dia mampu melawan kedua peri. Benturan senjata andalan mereka mengeluarkan cahaya. Tubuh mereka berkelebat seperti angin. Aku tidak sempat untuk benar-benar awas dengan wajah perempuan yang dikeroyok itu. Gerakkannya sangat gesit. Aku terpukau! Sekilas perempuan itu menggunakan jurus-jurus yang mirip denganku. Dasar kutau harimau, dan angin. Aku mulai tertarik memerhatikannya. Mengapa mereka bertarung aku tidak tahu. Yang jelas melihat gerakan mereka, mereka sama-sama berilmu tinggi. Jadi aku tidak bisa memihak di antara mereka.
Dua peri itu sangat kompak. Kadang mereka melakukan gerakan seperti menari. Kadang seperti ular meliuk-liuk ke kiri dan kanan. Hebatnya mereka menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Sepasang peri menggunakan senjata pendek mirip suling, sedangkan yang perempuan satu lagi menggunakan tongkat kecil yang bentuknya seperti akar berpilin. Menggunakan baju yang ringkas, tengkuluk warna kuning terikat rapi di kepalanya.
Ah! Aku sadar, Aku harus pulang. Sebentar lagi malam. Akhirnya pertempuran itu kuabaikan. Aku tidak mau tahu mengapa mereka bertarung. Itu urusan mereka. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Aku berjalan cepat. Udara petang sudah terasa dingin. Kabut sudah mulai turun. Aku bergegas ke luar dari dimensi itu. Aku masih enggan untuk lama-lama berinteraksi dengan mereka.
Bersambung…