HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (44)

Karya RD. Kedum

Ayam berkokok berkali-kali, pertanda subuh telah tiba. Aku masih bergulung di bawah selimut. Udara masih sangat dingin. Tubuhku terasa lemas. Seluruh sendiku sakit. Ah aku demam. Tenggorokanku kering. Pagi ini jam pertama pelajaran Fisika. Ada materi yang belum kupahami dan rencana akan kutanyakan hari ini dengan guruku, Bapak Ibrahim. Aku mencoba bangkit. Tiba-tiba bumi serasa berputar. Kepalaku terasa sangat sakit. Oh! Tubuhku demam. Akhirnya aku kembali baring. Ada kekhawatiran jika aku benar-benar sakit. Aku tidak bisa sekolah! Berbagai perasan cemas muncul. Pikiranku sudah mulai kemana-mana. Aku tidak boleh sakit! Aku kembali bangkit. Aku berusaha berpegangan di dinding. Kupejamkan mata sambil berdiri. Aku berusaha sampai ke kamar mandi. Gosok gigi, cuci muka. Biarlah  aku tidak mandi hari ini. Yang penting bisa sekolah.

Di jalan  ke sekolah aku terus menahan dingin. Mantel yang kupakai tidak banyak membantu. Yenni membimbingku hingga sampai ke sekolah. Sepuluh menit lagi bell sekolah akan berbunyi. Aku singgah ke warung Bapak gorengan. Sementara Yenni langsung ke kelas sambil membawa tasku. Ternyata di warung hanya ada Emak tengah menyalahkan api. Aku minta izin untuk memanaskan tubuh sejenak dekat perapian.
“Mak, aku dingin. Izin memanaskan badan sebentar.” Ujarku. Si Emak bukan mengiyakan malah balik nanya.
“Emak ambilkan makan ya. Sedikit saja untuk ganjal perut. Emak goreng nasi tadi. Rusmini sudah makan dia. Sudah berangkat ke sekolah duluan.” Ujarnya sambil mengambil piring. Aku menjawabnya dengan mengangkat tangan tanda menolak.
“Mak, lidahku terasa pahit. Aku tidak ingin makan. Aku hanya kedinginan” Jawabku sedikit terharu. Perempuan kampung ini baik sekali. Padahal hidup mereka sederhana. Tapi hati mereka benar-benar kaya. Kebaikan mereka tidak dibuat-buat, murni dari hati.

“Bapak sama Ibumu masih di dusun?” Lanjutnya lagi.  Aku mengangguk sambil mengembangkan tangan ke arah api berusaha menghangatkan seluruh badan. Tak lama aku mendengar bunyi sendok beradu dengan gelas. Emak membuatkan aku segelas susu rupanya. Di sampingnya ada lemet ubi yang dibungkus daun pisang.
“Dek, sini minum dulu..” Emak meraih tanganku. Wajah beliau kaget setelah memegang tanganku.
“Kamu sakit, Dek. Tanganmu panas sekali!” Wajah Emak agak cemas. Tangannya  sibuk memegang leher, jidat, tengkukku. Aku langsung dipaksanya minum susu buatannya dan sepotong lemet. Meski tidak ada selera sama sekali, aku paksakan  juga minum dan makan, demi menghargai perempuan surga ini.

Aku menatap wajah Emak diam-diam. Kulitnya sedikit mengkilap berkeringat. Rambutnya yang ikal, meriap-riap di tiup angin dari gunung. Meski sudah berumur tapi Emak masih kelihatan energik. Sambil terus kular -kilir beberes-beres menyiapkan jualannya, Emak terus berbicara. Emak-emak nyaris sama di mana-mana. Sambil kerja tapi mulutnya terus merepet.
“Kamu istirahat saja di sini. Tidak usah sekolah. Biar nanti  Bapak menemui guru piket dan wali kelasmu. Sakit kok maksa sekolah nduk…nduk. Sesekali tidak sekolah tidak apa-apa. Tidak akan mengurangi nilaimu. Kalau cah pinter ya tetap aja pinter. Sekarang, kamu  istirahat saja dulu di sini.” Lagi-lagi Emak memandangku. Beliau menuju bilik di samping dapur, membentangkan kasur tipis, beralas kain yang sudah kehilangan motif. Lalu  menepuk-nepuk bantal.
“Sini istirahat saja” kata Emak. Aku bingung  hendak  menolak. Aku sudah sampai di sekolah tentu ingin belajar.
“Emak, aku tidak apa-apa, Mak. Izinkan aku masuk dulu jam pertama. Nanti kalau sudah tidak kuat aku pulang ke mari.” Ujarku memohon. Emak menatapku sembari membenarkan ikatan kain sarungnya. Tatapannya penuh keraguan. Aku menatapnya dalam-dalam. Dalam hati ada perasaan haru. Allah baik sekali. Allah berikan aku sosok seorang perempuan yang berhati emas saat aku jauh dengan orang-orang terkasihku. Padahal aku bukan apa-apanya. Hanya kebetulan nama depanku sama dengan nama anaknya, tapi beliau perlakukan aku melebihi anaknya sendiri.

“Baiklah, nanti kalau bell bunyi kamu berangkat. Sementara belum bunyi baring saja dulu..” Tangan Emak lincah membuka tali sepatuku, lalu membaringkan tubuhku. Diambilnya selimut yang sudah sedikit koyak di jemuran lalu dibalutkannya padaku. Aku meringkuk tidur miring sembari mengepit kedua belah tangan ke dalam paha. Aku masih berusaha mengusir rasa dingin. Mataku terasa panas. Kepalaku kembali berdenyut-denyut. Rasanya ingin terpejam saja meski tidak tidur. Ada mutiara mengalir pelan dari kelopak mataku meresap disarung bantal. Entah apa yang membuatku ingin menangis. Apakah kondisiku, apa karena kebaikan Emak dan Bapak yang menganggap aku anaknya ini, apakah karena  jauh dengan Bapak ibuku, atau karena rindu dengan nenek gunung, nenek Kam. Segala macam hal melintas dalam pikiranku.

Aku lupa kapan terakhir aku sakit. Sekarang aku sedang berbaring di bilik warung Bapak Emak angkatku. Bapak, Ibu, kakak dan adikku tidak ada yang tahu jika aku dalam keadaan seperti ini. Tiba-tiba aku merasa sangat sentimentil. Aku menangis lagi.  Kuputar tubuhku menghadap ke dinding menyembunyikan tangisku dari tatapan Emak yang sesekali melihat padaku. Samar-samar aku mendengar suara Bapak yang baru pulang dari pasar. Emak berbisik-bisik pada Bapak, cerita kalau aku sedang  sakit dan sekarang sedang tidur. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Tapi nampaknya Bapak buru-buru ke sekolah. Pasti beliau menghadap guru piket dan wali kelasku. Akhirnya aku benar tidak sekolah.

Aku memang sudah tidak sanggup untuk bangun. Suhu tubuhku  sangat tinggi, tapi rasa dingin tubuhku benar-benar tidak bisa kutolak. Mataku masih  terpejam. Aku tidak bisa menahan ketika dari bagian pinggang ke ujung kaki menggigil. Lalu ganti bagian pinggang ke atas. Terus begitu hingga lama dan tidak bisa ditahan. Jari tangan dan kakiku terasa kaku. Gigiku gemelutuk beradu. Aku tidak berani memanggil Bapak atau Emak. Mereka berdua sedang sibuk mempersiapkan dagangan mereka. Aku berjuang sendiri melawan tubuh yang menggigil. Bagaimana pun aku tidak ingin  Emak dan Bapak cemas. Aku sudah merepotkan mereka. Tiba-tiba aku merasakan ada tangan memegang bahuku. Rupanya Bapak membawa secangkir air dan menyuruhku meminumnya.
“Bangun..bangun Nduk, minum dulu. Ayoo..ben mari,” ujarnya lembut. Aku memaksakan diri untuk bangun dalam keadaan menggigil kuteguk juga biar pahit itu.
“Kamu sakit malaria, Nduk.” Kata Bapak sambil merapikan rambutku yang menutupi sebagian wajah. Secangkir air  berwarna hijau pekat kuteguk hingga habis. Baunya angur sekali. Bau kates. Aku terpaksa meminumnya untuk menghargai Bapak yang sudah susah payah membuatkan obat untukku dari sari daun kates. Lalu aku disuruhnya tidur lagi. Beliau rapatkan selimutku. Peluhku mengucur deras. Aku merasakan seluruh tubuhku basah. Air pahit pemberian Bapak mulai bereaksi  pelan-pelan aku tidak menggigil lagi. Suhu badanku mulai turun. Tubuhku sudah merasa enak dari sebelumnya. Malah rasa kantuk terasa sangat berat. Aku terlelap.

Tiba-tiba aku merasa  berdiri  di atas gundukan tanah kuning. Tempat ini terasa sangat asing. Di sekeliling tempatku berdiri lemba dan rawa-rawa.
“Selasiiiih….Putri Selasih…kemari…” Peri itu lagi. Aku merasakan lambaian tangannya lagi-lagi seperti menyedot keinginanku untuk menghampirinya. Nyaris aku melompat hendak mendekatinya. Kalau bukan ada tangan yang menghalangiku mungkin aku sudah meluncur menghampiri dua peri yang cantik itu. Akhirnya aku hanya balas melambai dan tersenyum pada keduanya. Aku mencari-cari siapa yang menarik tanganku. Tiba-tiba aku mendengar suara bergumam. Lama-lama makin ramai. Serupa degungan lebah.

Aku mulai fokus. Aku menyimak suara apa yang bergema tersebut. Masya Allah! Suara zikir. Sudah lama sekali aku tidak mendengar zikir ini. “Huu Allah…Huu Allah..Huu Allah..” Aku terperanga. Suara ramai tengah zikir nafas. Kakek Njajau. Yaa…kakek Njajau, Puyang Bukit Ulu Selepah, Puyang Pekik Nyaring, Kakek Andun. Itu empat suara mereka. Mereka ada di empat penjuru mata angin. Tiba-tiba ada rindu mendesak dalam dadaku. Aku menangis sembari menyebut mereka satu-satu. Akhirnya aku duduk di atas gundukan tanah kuning. Dua peri cantik masih menatapku dari jauh. Tangan mereka masih melambai-lambai. Sementara gema zikir masih terus mengiang. Aku mencoba mengikuti zikir mereka seirama nafasku yang ke luar masuk. Akhirnya aku menyatu dengan zikir kakek dan puyangku. Aku berada di tengah-tengah, seperti sumbu. Zikir yang dilakukan puyang dan kakekku terus kuikuti.

Tiba-tiba tubuhku seperti terangkat. Ada daya yang mengangkat tubuhku dengan ringan. Aku pasrah saja dengan daya itu sembil  terus mengikuti aliran nafas. Pelan-pelan, tubuhku turun kembali. Tiba-tiba ada tangan menyentuh bahuku. Aku menoleh dan ah! Aku terjaga. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Aku bermimpi? Kuusap wajahku yang basah sisa menangis. Aku benar-benar berada di alam lain tadi. Mengapa kakek dan puyang tidak menggubris panggilanku ya. O iya, mereka kan sedang khusuk berzikir. Kembali aku bertanya lalu menjawabnya sendiri. Lalu mengapa ada dua peri itu. Mengapa ada yang menghalangiku mendekati dua makhluk itu? Lama aku tercenung. Aku baru sadar kalau tidur di bilik bambu warung Bapak dan Emak. Aku kembali menggusap-ngusap wajah. Atap seng yang sudah hitam berkarat gemeletak seperti merenggang terkena  panas matahari.

Cahaya matahari menyelip di antara dinding. Kulihat sosok Emak merapikan perapian. Asap menyebar kemana-mana. Maklum Emak menggoreng pakai kayu bakar. Emak  sedang mengoreng bakwan.
“Jam berapa Mak? Aku hendak pulang.” Ujarku hendak bangun. Oh Tuhan, tubuhku masih lemas meski rasa dingin dan panas tubuhku dah turun. Aku seperti tidak punya tenaga.
“Baru jam 12. Kamu makan dulu. Itu Emak buatin bubur untukmu biar ada tenaga.” Kata Emak sambil membalik-balik bakwan.
“Aduh, Mak. Emak jadi repot. Terimakasih, Mak” Ujarku. Tak habis-habis kebaikan yang kuterima dari orang tua ini. Di tengah kesibukannya masih saja menyempatkan diri memikirkan  aku.
“Siapa yang merasa direpotkan. Emak tidak repot kok. Ini di makan ya. Habisin ya Dek, Emak tidak ingin Dedek sakit lama-lama. Tadi Bapak sudah mau jemput mantri kalau panas badanmu tidak turun.” Ujar Emak lagi sembari mengupas telur ayam kampung rebus lalu meletakkannya di pinggir piring bubur.

“Alhamdulilah..aku sudah enakan Mak, habis dikasih minum sari daun kates sama Bapak. Bapak pandai juga mengobati orang sakit rupanya, ya Mak.” Ujarku berusaha menyenangkan hati perempuan sederhana ini.
“Iya, dari zaman dulu Bapak kalau sakit mana pernah ke dokter atau mantri. Pasti minta dibuatin jamu, atau racikkan daun-daunan kayak yang kamu minum tadi. Kata Bapak, kalau panasmu tidak turun dia akan cari daun tetap tunggul obat pamungkasmu.” Sambung Emak lagi. Aku tersenyum mendengar daun tetap tunggul. Daun yang biasa dimakan kambing itu memang berkasiat untuk memulihkan berbagai macam penyakit. Nenek Kam seringkali mengobati orang-orang yang berobat dengannya salah satu daun yang diambil ya tetap tunggul itu. Aku mencoba mencicipi bubur buatan Emak. Masih hangat. Tapi lidahku sungguh tidak selera sama sekali untuk makan. Melihat aku lamban sekali nyendoknya Emak mendekat.
“Sini Nduk, Emak suapin ya…” Emak mengambil alih sendokku, lalu duduk di sampingku. Aku tak mampu menolak ketika satu sendok bunju bubur disodorkan ke mulutku. Aku berusaha menelannya. Sesekali kudorong dengan air. Berharap sepiring bubur segera habis. Perutku terasa begah. Kutahan agar tidak muntah. Air mataku meleleh ketika Emak mengucapkan “Alhamdulilah” melihat piring bersih. Aku jadi teringat Bik Sum. Apa kabar perempuan itu. Beliau persis seperti Emak. Perempuan kampung yang sederhana, berhati emas. Aku menjadi terkenang bagaimana setiap hari Bik Sum memanjakan aku. Selalu memperhatikan aku. Menyuapi aku. Kini ada perempuan lain yang hatinya sama  dengan Bik Sum. Tuhan benar-benar baik!

Aku mencoba memakai sepatu sembari menyeka air mata. Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh di depan. Oh rupanya anak-anak sekolahku beli jajanan dan semua minta dilayani dengan  cepat. Beberapa orang menanyakan tentang aku. Rupanya Yenni, Rumliana, Sumiyem, Maisi, Parlan, Boy, dan Sutikno rame-rame menemui aku dari pintu belakang. Aku tersenyum melihat sabahat-sahabatku ini. Mereka adalah teman-teman terbaikku. Hampir setiap hari mereka ini selalu bersamaku.
“Nggak enak belajar nggak ada kamu, Dek.” Kata Sutikno yang bertubuh kurus. Rambutnya rapi mirip pak Syapawi. Pakai minyak rambut anti badai. Anak satu ini seringkali mendesak-desak ingin duduk sebangku denganku tiap kali belajar.
“Iya…tadi pak Ibrahim nanyain kamu, Dek. Kami bilang Dedek sakit. Terus satu kelas tidak ada yang bisa menyelesaikan soal fisika. Lagi-lagi beliau nyebut nama kamu, kalau ada Dedek, beres ni soal,” sambung Parlan lagi disambut riuh sama yang lain. Ada yang menyebut pak Ibrahim pilih kasih. Masak ingatnya sama Dedek aja, ada yang menyebut beliau pelit nilai dan lain-lain.

“Hei, wajar beliau ingat Dedek, Dedek kan masih saudaranya. Iya kan Dek?” Tanya Yenni lagi. Aku mengangguk. Kawan-kawanku ini Terkadang terlihat lucu. Tak jarang meski akrab begini tiba-tiba mereka berantem. Kalau sudah begitu aku yang repot mendamaikan mereka agar kembali akur.
“Beliau memang masih saudaraku. Nenek kami bersaudara. Tapi kayaknya beliau tidak perduli saudara atau tidak. Buktinya waktu kita terlambat praktik di labor semua kita sama dipukul pakai penggaris panjang. Malah aku yang lebih dimarahi katanya ngajak kalian maling jambu di kebun kopi tetangga.” Ujarku dengan suara masih lemas. Tapi melihat kawan-kawanku bersemangat tidak tega untuk diam saja.
“Mau makan apa, Dek” Sumiyem bertanya. Anak orang kaya satu ini kalau denganku tidak pakai perhitungan. Aku tahu dia mau membelikan makanan untukku. Kujawab dengan menggeleng, dan memegang perutku yang masih terasa begah.
“Nah..ajak Dedek ngobrol ya biar makin sehat.” Ujar Emak sambil mengangkat gorengan dari wajan.

Ketika bell berbunyi kawan-kawanku serentak teriak masuk. Mereka minta izin kembali masuk sekolah dan mengingatkan aku agar jangan pulang duluan. Mereka minta ditunggu dan mau mengantar aku sampai ke rumah. Aku tersenyum lebar melihat kawan-kawanku ini. Akhirnya aku mengangguk dan kembali baring menunggu bell pulang dan kawan-kawanku.

Aku baru saja hendak lelap. Bapak dengan Emak masih sibuk di depan. Samar-samar aku mendengar Bapak mengingatkan Emak agar menyuruhku makan. Lalu mereka terlibat lagi obrolan si anu si anu kayaknya belum bayar jajanan. Si anu sering sekali sudah mengambil gorengan lalu kabur. Aku menyimaknya dengan saksama. Berarti selama ini banyak juga anak yang nakal? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus buat perhitungan dengan mereka. Kuingat nama-nama mereka. Besok-besok mereka dalam pengawasanku kalau jajan tempat Emak. Sayang tenagaku belum ada. Kalau ada sebenarnya aku ingin menelusuri mereka. Akhirnya aku kembali berusaha untuk lelap. Berharap tenagaku pulih kembali setelah bangun nanti.

“Putri Selasih..kemari..” Lagi-lagi dua peri berpakaian adat Jawa itu memanggilku. Tapi mengapa mereka tidak mau mendekat padaku? Ini yang keempat kalinya aku melihat mereka. Ajakan mereka benar-benar menghipotisku. Dorongan hati  ingin segera mendekati mereka sangat kuat. Tapi lagi-lagi ada energi yang menghalangi aku.
“Ada apa kalian memanggilku. Kemarilah.” Ujarku tanpa tenaga.
“Kamu yang kemari Selasih cantik. Kemarilah sayang. Kami ingin memelukmu. Kami tidak bisa ke sana.” Suaranya sangat merdu.
“Aku tidak bisa ke sana.” Ujarku jujur.
Ke dua peri itu serentak melakukan gerakan yang sama seperti gerakan kuda-kuda penari kuda lumping. Aku hanya memandang takjub pada mereka. Lalu dari kedua telapak tangannya meluncur cahaya mengarah padaku. Aku kaget. Mengapa  kedua peri ini menyerangku? Mataku terpejam siap menerima hantamannya. Tubuhku terlonjak. Ternyata pukulan mereka tidak sampai padaku. Tapi seperti membentur sesuatu. Lalu keduanya lagi-lagi melakukan hantaman dari jarak jauh dan lagi-lagi pukulan itu seperti berbalik. Sadarlah aku. Ada dinding tipis namun memiliki kekuatan dasyat melindungi tubuhku. Entah siapa yang memagari, aku tidak tahu. Pantas kedua peri itu selalu melambai dari jauh. Rupanya  mereka terhalang oleh pagar yang melingkari tubuhku. Akhirnya aku hanya menyimpulkan pasti ada sesuatu sehingga aku dipagari. Lalu siapa peri itu? Apa kepentingannya selalu menemui aku? Rasa ingin tahuku sangat kecang.
Tadi aku seakan berada di tengah-tengah zikir puyang dan kakekku ketika peri itu memanggil. Sekarang peri itu lagi, ternyata aku dipagari.

Tiba-tiba aku mendengar suara menjerit tinggi sekali. Kedua peri itu
terpental jauh. Mereka seperti mendapat perlawanan. Entah  siapa yang melakukan. Aku mencoba untuk konsentrasi.
“Jangan paksakan diri, Cung. Istirahatlah. Kamu demam. Tenagamu perlu dipulihkan dulu baru aman masuk ke pintu itu.” Suara nek Kam sangat jelas.
“Nek…Nenek….” Aku memanggil nek Kam.
“Nenek selalu ada di dekatmu, Cung. Bersabarlah.” Suara nenek Kam kembali. Aku menangis. Dadaku terasa sangat sesak. Aku inginkan wujud nek Kam di sini. Aku ingin memeluknya.
“Nenek sedang berada di Uluan, Cung. Sedang bertemu dengan sesepuh kita di sini. Jaga dirimu baik-baik ya.” Mendengar penuturan Nek Kam tangisku makin menjadi. Satu persatu wajah-wajah puyang dan kakek menari di pelupuk mata. Andai aku tidak demam seperti ini, akan kususul nek Kam. Aku juga rindu pada puyang dan kakek-kakekku.

“Selasih…jangan menangis..” Tiba-tiba ada yang mengusap kepalaku. Aku menoleh. Macan Kumbang! Aku terlonjak. Macan Kumbang mengangkat tubuhku tinggi-tinggi lalu mencium dan memelukku erat sekali. Aku tertawa bahagia. Kuelus wajahnya.
“Hmmm.. Pantes dicium kulitku terasa perih. Ternyata Kumbang dah bisa cukur brewok ya…brewoknya jadi kayak jarum. Tajam menusuk-nusuk. Ketahuan…dah bisa gaya, dah mau cari jodoh ya..” Godaku. Macam Kumbang tertawa lebar. Tubuhku kembali diraihnya. Kali ini dia sengaja menggesek-gesekan dagu dan pipinya  yang kasar. Aku menjerit mencoba memberontak. Akhirnya aku kehabisan tenaga. Aku pasrah saja. Melihat aku pasrah baru Macan Kumbang berhenti menciumiku. “Rasain. Jangan coba-coba menggoda orang tua ya…sekali lagi berani godain, akan kucium lagi sampai habis.” Ancamnya. Aku minta ampun berkali-kali sambil tertawa. Kulit pipiku terasa lecet semua. Macan Kumbang meyapukan tangannya. Seketika rasa perih hilang. Kami bertatapan. Lalu kembali tertawa dan kembali  berpelukan. Aku Merasakan degup jantung Macan Kumbang. Degup jantung itu seakan mewakili rindu kakek dan puyangku.

“Aku ingin ikut nenek Kam” Bisikku. Macan Kumbang menggeleng.
“Belum waktunya. Nanti setelah semuanya beres, baru kau di ajak ke Uluan. Ke kampung puyangmu, Pekik Nyaring,” lanjut Macan Kumbang. Sejenak aku berpikir. Memang ada masalah apa yang harus dibereskan oleh kakek dan Puyangku? Mengapa aku tidak boleh tahu?
“Kamu anak kecil masih ingusan. Jadi belum boleh ikut-ikutan urusan besar orang tua.” Lanjut Macan Kumbang. Dibilang anak ingusan aku protes.
“Buktinya masih suka menangis, masih suka ngambek, dan masih suka minta gendong!”  
Ah! Aku baru sadar jika dari tadi aku masih bergelayut di leher Macan Kumbang. Buru-buru kuturunkan tanganku. Macan Kumbang kembali tertawa. Meraih tubuhku lalu diangkatnya  tinggi-tinggi kembali. Ajaib! Aku merasakan tubuhku semakin membaik. Sakit meriang pagi tadi hilang sama sekali. Macan Kumbang menekankan telunjuknya ke punggung dan kepalaku. Ada energi hangat pelan-pelan menjalar ke seluruh tubuhku.
“Selasih, sudah sembuh kan? Aku harus pulang ke Uluan. Sedang ditunggu sesepuh kita. Jaga dirimu baik-baik ya.” Macan Kumbang mencium pipiku lalu menghilang. Aku tak sempat menghalanginya. Aku menyesal mengapa tidak terpikir hendak bertanya perihal dua peri berpakian adat Jawa itu? Aku membuka mata. Benar saja, aku merasakan tubuhku sehat kembali. Aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aroma harum Macan Kumbang masih membekas di pipiku. Mengusir aroma asap yang  terus menyemaki ruang dapur dan bilik bambu Emak.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *