HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (45B)

Karya RD. Kedum

Pagi sekali aku sudah menyisir jalan Gunung yang berbatu sendiri. Aku sengaja tidak menjemput teman-temanku seperti biasa. Aku ingin cepat sampai ke sekolah, karena majalah dinding yang kubuat dengan teman-temanku kemarin harus terbit hari ini. Tinggal mengisi kolom sastra, dan itu sudah kupersiapkan. Satu artikel yang kudapat dari majalah Gadis, dapat pinjam sama tetangga, tiga puisi yang kutulis sendiri. Puisi ini membuatku bergetar, karena kutulis khusus untuk seseorang. Siapa lagi kalau bukan Guntoro. Aku berharap Guntoro membaca puisi yang kutulis. Meski harapan itu agak mustahil. Pasalnya, Guntoro paling malas sekolah kapan pula dia mau membacanya?

Beberapa kali pulang sekolah Guntoro menunggu aku jauh di ujung lapangan sekolah, lalu pulang bareng berjalan kaki. Guntoro datang ke sekolah hanya untuk menjemputku. Meski jalan bareng tapi kami lebih banyak diam, aku bingung dan malu mau bicara apa. Guntoro pun juga begitu. Tapi aku sudah sangat bahagia. Bagiku Guntoro adalah karakter yang setia. Ketika kutanya mengapa dia tidak sekolah, jawabnya bangun kesiangan. Seperti biasa, Gun hanya mengantarku batas simpang rumahku. Di sinilah aku dapat menatap wajahnya sekilas ketika dia mengucapkan “Sampai ketemu besok, Dek. Jaga hatimu untukku ya,” dan mata itu. Masya Allah. Tuhan memberikan sinar mata yang sangat teduh. Sinar mata inilah yang membuatku selalu merindukannya. Aku hanyut dibuatnya.
“Sssstttt…jangan terlalu. Kagum si kagum saja. Tidak usah pakai terhanyut segala. Kecil-kecil dah mikir hanyut-hanyut!” Aku kaget mendengar Macan Kumbang mengingatkan aku.
“Ah! aku jangan diawasi terus dong! Sesekali aku ingin bebas. Aku kan sudah besar!” Protesku. Macam Kumbang hanya tertawa dari jauh.
“Awas kalau macam-macam, kusentil hidungmu!” Macan Kumbang mulai mengancamku. Lalu kujawab “Preeet!!”

Belum sampai separuh jalan, tiba-tiba aku mendengar derap kaki banyak sekali. Oh! Rupanya tidak melintas lewat jalan yang kulalui. Rasa ingin tahu, membuatku berdiam sejenak. Aku mencoba kembali memanfaatkan kemampuanku. Aku langsung menuju sumber suara ke arah selatan. Sampai di sana, benar saja, aku melihat banyak sekali nenek gunung turun dari gunung. Mau kemana mereka? Gerakan mereka sama cepatnya. Aku menoleh ke kiri-kanan berharap ada tempat untuk bertanya. Tidak ada! Semua ke hilir dengan cepat.
“Kumbang, nenek gunung-nenek gunung ini turun gunung hendak kemana. Mengapa mereka seperti terburu-buru?” Tanyaku. Sebenarnya aku bisa saja mendahului mereka, tapi ingat tugasku hari ini di sekolah niat itu kubatalkan.
“Mereka ke lapangan Merdeka melihat kelompok sirkus yang baru datang. Suara nenek gunung dari lembah membuat mereka mencari tahu, ada apa gerangan.” Macan Kumbang menjelaskan.
“Mengapa tidak dipecah saja tubuh kita Dek, satu suruh ke sekolah, terus kita ke hilir juga.” Selasih punya usul.
“Eiiit…jangan coba-coba pakai ilmu itu sembarangan, kecuali memang sangat dibutuhkan.” Suara Macan Kumbang lagi. Akhirnya masih menggunakan kemampuanku, aku sudah di sekolah. Aku mulai mengerjakan tugas akhir sebagai redaktur majalah dinding di sekolah. Namun benakku ke lapangan Merdeka. Kelompok sirkus? Nenek gunung memanggil-manggil? Sepertinya ada energi yang memintaku campur tangan dengan urusan itu.

Puisi dan artikel sudah kutempel. Sebelum pintu kaca majalah dinding kututup, kubaca ulang puisi untuk Guntoro;

PADA EMBUN
                    Karya; Dedek Erus

Pada embun
Yang turun menyejukkan saban pagi
Menyentuh kelopak bunga
Memekarkannya

Pada embun
Kutitip cahaya  matahari
Agar ketika kehangatan tiba
Memeluk jiwa, memekarkan bunga cinta  selamanya

Pada embun
Izinkan aku mengecup senjukmu
Agar tentram jiwa
Bersamamu selamanya

Pagaralam, 1983

*untukmu yang kusebut ‘Embun’

—-
“Dedek..” aku terbelalak. Tuhan memang maha baik. Baru saja aku membaca puisi Embun, orang yang kutujukan ada di hadapanku. Guntoro!
“Kak Gun…” Aku menatapnya kaget. Tumben dia sekolah hari ini.
“Tadi aku lewat depan rumahmu. Aku menunggu di simpang. Terus ada yang ngasih tahu kalau kamu baru lewat, berangkat ke sekolah duluan. Buru-buru aku menyusul. Rupanya kamu dah sampai lebih dulu.” Demi mendengar itu, bukan main bahagianya hatiku. Aku serasa  bidadari cantik yang disanjung seorang pangeran. Perasaanku melambung tinggi sekali. Coba tadi aku tidak pergi memerhatikan pasukan nenek gunung itu, pasti aku bertemu Guntoro dan bisa jalan bareng.

“Iya, aku buru-buru karena harus menyelesaikan ini.” Ujarku malu-malu. Guntoro membantuku menutup pintu kaca majalah dinding.
Sekilas dia memerhatikan tiap kolom. Terus matanya lama mengamati ‘vinyet’ di sudut kiri.
“Dek, kapan-kapan kakak titip lukisan vinyet juga ya.” Ujarnya. Tentu saja aku menyambutnya dengan atusias.
“Kak Gun bisa melukis? Iya…iya kak..aku tunggu. Pakai media apa terserah kak Gun.” Ujarku sedikit bergetar. Ah! Andai di hadapanku ada cermin, mungkin cermin itu akan memantulkan seraut wajah perempuan yang air muka dan sinar matanya berbinar-binar. Aku menunjuk pada puisi agar Guntoro membacanya. Usai membaca Guntoro menatapku. Mata kami beradu.
“Puisi ini kamu yang nulis, Dek?” Guntoro menatapku dengan ekspresi tidak percaya. Bola mata yang kukagumi itu berbinar-binar. Aku hanya mengangguk. Guntoro kembali membaca ulang. Sepertinya dia tahu jika puisi itu kutujukan untuknya. Aku berharap dia paham maksud hatiku dan bahagia seperti rasa di dadaku.
“Besok buat lagi puisi ya. Khusus untukku.” Ujarnya lagi.
Sejak itu aku menjadi sangat rajin menulis puisi. Dalam kesempatan apa pun akan selalu menulis  dan puisi-puisi itu selalu bermuara pada Guntoro. Guntoro seperti mata air yang selalu menginspirasi imajinasi.

Aku berlari riang menuju kelas meninggalkan kerumunan teman-teman yang berdesakan hendak membaca majalah dinding. Guntoro mengingatkan aku agar menunggunya kalau hendak pulang nanti. Tentu saja aku sangat gembira. Bahkan tidak sabar menunggu waktu untuk pulang agar bisa jalan bersamanya, lalu mendengarkan pesan indahnya “Sampai jumpa lagi Dedek, jaga hatimu untukku ya,” dan aku berkesempatan untuk menatap matanya lama-lama.

Istirahat ke dua, ternyata semua siswa dipulangkan. Guru kami ada rapat. Bukan main gembiranya. Termasuk aku. Aku banyak waktu untuk berjumpa  Guntoro. Aku menunggu Gun di warung Emak. Kawan-kawanku sudah banyak yang pulang dulu.
“Selasih…selasih…kemari sayang….cepatlah,” lagi-lagi dua peri memanggilku. Sementara kulihat dari jauh Guntoro sudah berjalan menuju warung Emak. Aku bingung. Menuju ke dua peri itu atau menunggu Gun yang sudah semakin dekat.
“Dek!!” Guntoro melambaikan tangan. Aku menatap pada dua peri lalu melambaikan tangan dan minta maaf belum bisa menemuinya.  Aku pamit sama Emak dan Bapak lalu lari menyongsong Guntoro.
“Dek, kita singgah ke rumah nenek ya.” Aku mengangguk setuju. Rupanya mangga di rumah nenek Guntoro sedang berbuah lebat.
“Namamu siapa, Cung?” Tanya nenek ketika melihat aku. Akhirnya aku perkenalkan diri. Orang tua ini nampak gagah meski sudah berumur. Tapi aku lebih tertarik dengan sosok di belakangnya. Seorang wanita bergaun putih. Nampaknya si Nenek tidak tahu jika ada yang selalu ikut di belakangnya.

“Siapa kamu? Mengapa kamu mengikuti nenek terus?” Aku mulai berdialog. Kebetulan di samping pohon mangga depan rumah nenek Guntoro ada sumber air yang digunakan oleh masyarakat sekitar tempat mandi dan cuci. Air itu ditampung seperti kolam yang tinggi lalu di buat pancuran dari besi. Airnya bening sekali. Tempat mandi umum ini warisan kolonial Belanda. Perempuan bergaun putih itu berasal dari sana. Dari dialog dengan makhluk itu kuketahui, katanya dia sudah tinggal di sana ratusan tahun. Dia suka dengan nenek karena nenek rajin memakai daun pandan dan bedak tepung beras. Sekalian menjaga nenek, karena nenek tinggal sendirian di rumah yang banyak pohonnya ini. Akhirnya aku mengingatkan jangan pernah menyakiti nenek. Kalau sampai mencelakakan nenek aku akan buat perhitungan dengannya dan beberapa sosok kawannya yang kulihat sedikit jahil. Beberapa kali melempar aku dengan ranting. Bukan ranting biasa. Tapi ranting yang berisi kekuatan. Aku tunjukan pada mereka kalau ancamanku tidak main-main. Ketika dia meleparkan ranting, kutiup rantingnya menjadi berbalik. Dia kaget sampai terjatuh dari tempat duduknya. Aku tertawa. Ternyata bisa juga terjatuh jin satu ini. Padahal kalau di darat dia akan berdiri terbalik mirip kelelawar.
“Kak, di rumah nenek banyak hantunya.” Ujarku. Guntoro menatapku serius. Disangkanya aku takut. Dia langsung terlihat cemas. Lalu buru-buru mengajakku pulang. Diam-diam kupagari nenek agar tidak diganggu makhluk asral yang jahil.

Azan dari toa masjid Al Hidayah Suka Makmur baru saja berkumandang. Kebetulan Bapak baru dua hari datang dari Seberang Endikat. Beliau salat Isya di ruang depan di antara kursi tamu. Karena memang tidak ada ruang lain di rumah kontrakan ini kecuali di kamar tidur dan ruang tamu. Ketika Bapak baru saja takbir, seorang nenek marah dan hendak mencekek Bapak. Berulang kali tangannya mendekati leher namun tidak sampai-sampai. Semula aku heran mengapa nenek ini hendak mencekik Bapak? Lihat dia bersikukuh hendak mencelakakan Bapak, kusentil tangannya. Dia balik marah padaku. Oh, rupanya nenek tidak suka ada suara Al quran di rumah ini. Dia tinggal di kamar belakang kebetulan kamar itu kosong dekat WC Akhirnya si nenek berhadapan  denganku. Dia menyerangku. Kami bertarung sejenak. Si nenek ganas sekali. Beliau ngotot inginkan kami pergi, tidak tinggal di rumah itu. Panas katanya. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan aku tidak menggunakan kemampuanku. Si nenek kusedot energinya lalu tubuhnya kusimpan di ujung jari. Sejak itu, rumor yang mengatakan sering melihat sosok makhluk asral di rumah yang kami kontrak tidak muncul lagi.

Baru saja hendak lelap, Macan Kumbang membangunkan aku. Aku masih memegang salah satu surat Guntoro di dadaku. Nyaris tiap malam Surat-surat ini kuletakkan di sampingku dan kubaca.
“Bangun Dek, bantu kawan-kawan dari Uluan. Iiihh tidur sambil memeluk surat. Kurang kerjaan betul anak kecil ini. Hayo bangun.. ” Ujarnya sambil menepuk pipiku.
“Bantu apa?” Jawabku agak malas. Rupanya Macan Kumbang tidak sendiri. Ada lima sosok menunggu di luar. Menyadari hal itu aku langsung bangkit dan bertanya. Rupanya mereka mengajakku ke lapangan Merdeka malam ini juga untuk melihat kondisi nenek gunung yang dikurung oleh tim sirkus yang baru datang dari Jakarta. Di antara nenek gunung itu ada harimau sumatera, yang selalu bersuara minta tolong. Suaranya menyayat sampai ke gunung Dempu. Harimau itu salah satu yang mereka latih untuk atraksi.

Aku berusaha mengusir rasa kantuk. Surat Guntoro kususun rapi kembali. Lalu kuletakan dalam kotak khusus.
“Ini harta paling berharga dalam hidupku, tahu!” Ujarku pada Macam Kumbang yang memerhatikan aku dengan tidak sabar. Dia diam saja. Aku masih berkemas. Untung aku pakai celana panjang, jadi tidak perlu harus ganti baju. Kurapikan tempat tidurku, kubersihan, lalu aku duduk diam sejenak. Aku memecah diriku terlebih dahulu agar ada yang di sini, tetap diam di kamarku selama aku pergi. Akhirnya kami berangkat. Jam baru menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Pantas aku ngantuk. Memang waktunya tidur nyenyak jam segini. Kami bertujuh berjalan pelan. Lapangan Merdeka tidak terlalu jauh dari rumahku. Paling sekitar tiga kilo meter. Kami berjalan melalui jalan depan masjid Raya, belok kiri menuju jalan Dempreokan langsung lurus ke lapangan Merdeka.  

Sampai di sana aku melihat nyaris seluas lapangan telah berdiri tenda. Suasana  sepi. Petugasnya sebagian besar nampak sendang tidur. Hanya ada beberapa petugas jaga mengantuk duduk di kursi. Aku berjalan paling depan. Di sampingku Macan Kumbang dan satu nenek gunung. Baru saja masuk, penciumanku sudah mengarah pada nenek gunung. Kami langsung bergegas ke arah kandang harimau. Hmmm…aku melihat ada lima nenek gunung dikurung pagar besi yang berlapis. Satu di antaranya harimau sumatera. Mereka sehat- sehat terpelihara sebenarnya. Namun melihat terkurung seperti itu perasaanku miris. Melihat kehadiran kami, lima harimau itu gelisah. Mereka serentak minta ke luar.
“Apa yang harus kita lakukan?” Tanyaku pada Macan Kumbang.
“Bebaskan harimau Sumatera itu, Selasih. Dia berasal dari Bukit Dua Belas. Dia diambil sejak bayi. Sekarang usianya sudah sepuluh tahun.” Ujar Macan Kumbang. Aku berpikir sejenak. Memang untuk hal yang seperti ini nenek gunung harus melibatkan manusia. Karena yang mereka hadapi ini campur tangan manusia. Tapi dalam hal-hal tertentu jika terpaksa mereka bisa lakukan sendiri. Tentu saja dengan resiko, menerima hukum adat mereka yang sangat tertib dan masih berlaku hingga kini.

Aku mulai konsentrasi, mencoba kembali kemampuan yang sudah lama tidak kugunakan. Pertama kami dialog dengan lima nenek gunung itu. Semuanya minta bebas. Namun kami tidak bisa memenuhi semuanya. Sebab sangat riskan. Ini berkaitan dengan kelangsungan hidup mereka di alam bebas nanti. Tidak mudah bagi mereka  menyesuaikan diri di alam terbuka karena mereka sudah bergantung lama dengan manusia. Berbeda dengan nenek gunung Bukit Dua Belas ini. Saudaranya banyak yang akan membimbingnya. Dan leluhurnya tahu jika dia keturunan dari Bukit Dua belas itu.

Akhirnya kami bertujuh duduk bersila. Aku mulai bekerja. Kubaca mantra dari kakek Njajau untuk memudahkan aku mengeluarkan nenek gunung yang terkurung.
Aku mulai bangkit lalu membuka gembok satu-satu. Pintu yang berlapis-lapis itu kubuka lebar-lebar. Nenek gunung jantan dari Bukit Dua belas menunduk takzim padaku. Aku mengelus kepalanya. Matanya berair.
“Terimakasih Selasih…” Ujarnya penuh haru.
“Siapa namamu?” Tanyaku.
“Aku dinamakan Richo oleh bangsa manusia itu. Aku tidak tahu namaku sebenarnya.” Ujarnya lagi. Akhirnya aku menggiringnya ke luar disambut Macan Kumbang dan kawan-kawan. Pintu yang berlapis kukunci kembali. Richo kupagari agar tidak terlihat oleh mata manusia. Dengan santai kami ke luar area tenda. Beberapa hewan lain riuh melihat kami. Terutama anjing yang penciumannya lebih tajam.

Dari lapangan Merdeka, gunung Dempu terlihat sangat lantang karena memang tidak ada yang menghalangi lurus ke lapangan Merdeka. Kami bertujuh menghadap ke gunung Dempu bersama. Para nenek gunung akan kembali ke gunung Dempo. Richo akan mereka bawa ke sana. Esok atau entah kapan, dia pasti akan dijemput oleh keluarganya dari Bukit Dua Belas.
“Silakan pulang, maafkan jika aku tidak bisa mengantar sampai ke gunung Dempu. Richo, selamat berjumpa dengan keluargamu. Kau harus banyak belajar untuk kembali ke alam bebas. Jaga dirimu baik-baik.” Ujarku mengelus kepalanya. Richo balik sujud lama sekali sambil sesegukan.
“Terimakasih Selasih. Aku tidak akan lupa jasa baikmu. Ijinkan aku jika aku rindu, aku menemuimu Selasih.” Ujarnya sesegukan. Aku mengangguk terharu.

Sepuluh tahun terpisah dengan orang tua, saudara. Sepuluh tahun pula Richo diperlakukan sebagai hewan peliharaan. Muncul rasa kasihanku. Aku tak dapat bayangkan selama sepuluh tahun itu Richo dipaksa harus terampil, diberi makan, istirahat, latihan, begitu seterusnya. Dia mendapatkan kasih sayang yang semu. Kenyataannya dieksploitasi untuk kepentingan manusia. Uang! Akhirnya Richo dan lima nenek gunung pamit. Mereka pulang ke Gunung Dempo. Dalam sekejap mereka hilang dalam pandangan. Tinggal aku dan Macam Kumbang berbalik badan menuju jalan raya. Kami berjalan seperti biasa. Menikmati jalan Pagaralam yang sepi. Aku sedikit tercenung ketika melalui jalan sisi kanan kiri berdiri pohon mahoni yang usianya mungkin sudah ratusan tahun. Besar dan rindang. Banyak sekali kehidupan di sana. Mulai dari pohonnya sampai ke ranting-rantingnya penuh dengan makhluk asral. Seperti biasa mata mereka akan menatapku tajam. Kami terus berjalan. Macan Kumbang mengantarku pulang.
“Coba sesekali kita lewat Lettu Hamid, melihat ruko Bapakmu yang terbakar.” Ujar Macan Kumbang. Aku menggeleng cepat.
“Sampai sekarang, aku belum sanggup untuk melihat sisa kebakaran itu, Kumbang. Terlalu banyak hal yang membuatku sedih. Aku akan kembali menyesali diri karena tidak mampu berbuat banyak ketika itu.” Ujarku menekan rasa sedih. Entah mengapa, sambil berjalan tanpa kusadari kami melalui jalan proyek, lurus ke Indragiri.
“Kumbang, ini kan rumah Guntoro” Ujarku sedikit kaget. Dadaku kembali berdebar. Aku menatap deretan ruko berpintu papan, beratap rendah. Orang tua Guntoro memang punya usaha di ruko ini.
Aku hanya melihat orang gila tertidur pulas di emperan toko.
“Lalu kalau ini rumah Guntoro kamu mau apa?”  Tanya Macan Kumbang.
“Aku ingin melihat Guntoro” Jawabku. Ternyata Macan Kumbang melarang. Alasannya melihat Guntoro bukan misi. Aku dilarang menggunakan kemampuanku untuk urusan pribadi apalagi urusan rindu dan cinta.
“Kau akan kena hukum adat dari Puyang Pekik Nyaring. Jangan memalukan leluhurmu.” Sambung Macan Kumbang lagi. Aku hanya diam sambil berpikir sedih. Banyak betul larangannya. Sekadar mau lihat Guntoro saja tidak boleh.
“Ini, lihat!” Macan Kumbang mengembangkan telapak tangannya. Masya Allah! Aku menutup mulut dan sebagian wajahku. Aku melihat Guntoro tidur pulas sekali seperti bayi. Wajahnya sangat  teduh. Ingin rasanya mencoleknya. Tapi aku sadar, yang kulihat bayangan di telapak tangan Macan Kumbang. Belum sempat aku berpikir lain, bayangan Guntoro hilang.
“Sudah! Sudah! Mentel, mau nyolek segala.” Sambung Macan Kumbang lagi sambil menurunkan tangan.
“Ulangi sekali lagi, dong…” Pintaku manja sambil bergelayut di lehernya. Macam Kumbang menolak. Kami melanjutkan perjalanan. Tidak seberapa lama sampai juga ke rumahku. Macam Kumbang langsung menghilang. Katanya mau ke tempat nek Kam.Waktu sudah menjelang subuh. Aku ragu antara mau tidur lagi atau tidak. Aku takut terlambat ke sekolah. Akhirnya aku membuka-buka buku pelajaran hari ini sebelum mandi dan siap berangkat sekolah.

Aku baru saja ke luar rumah, dari jauh aku melihat sosok Guntoro. Aku berjalan buru-buru. Dalam hati, pasti Guntoro menungguku. Hatiku sangat riang. Berharap Guntoro rajin  sekolah. Sampai di simpang, aku sangat kecewa. Aku tidak menemukan Guntoro di sini. Tidak satupun kulihat anak berpakaian sekolah. Lalu siapa yang kulihat tadi? Apakah aku sudah senewen? Aku tidak mungkin salah lihat. Saking keselnya, aku coba membatin mencari sosok yang kulihat tadi. Kurang ajar!! Teryata genderowo  di pohon lobi-lobi seberang jalan sengaja mengelabui aku. Dialah yang mengubah dirinya menjadi sosok Guntoro. Mentang-mentang aku menyukai Guntoro, lalu  dia coba mengelabui aku. Dia pikir aku tidak akan tahu? Saking kesal dan kecewanya, kuhantam dia dari jauh.
“Mengapa kamu menyamar jadi Guntoro, hah?” Tanyaku marah. Genderowonya hanya cengegesan. Alasannya dia suka sama aku. Dia menyintai aku juga sejak lama. Makanya dia cemburu ketika melihat Guntoro berjalan bareng dan mengantarku pulang.  
“Hei! Alam kita berbeda. Aku manusia. Sedangkan kamu Jin. Cari perempuan bangsamu, bukan manusia. Aku tidak ijinkan ada yang meniru-niru sosok Guntoro tau!” Kali ini kupegang lehernya. Kulitnya yang kasar, tangannya yang besar mencoba mencengkramku. Tapi tetap tidak bisa. Matanya seperti menyala menatapku. Aku tahu genderowo satu ini sakti. Dia mulai membaca mantra. Untuk kembali membuka kemampuan yang diwariskan kakek Njajau membaca gerakan dan pikiran  lawan. Oh! Rupanya dia hendak melenyapkan diri dari pandanganku. Aku baca mantra mematahkan mantranya. Genderowo itu terpekik. Rambutnya yang tebal seperti ijuk makin berdiri.
“Iya..ampun..ampun Selasih. Ampun..aku mengaku kalah.” Genderowo mengatupkan tangan dan sujud-sujud padaku.
“Ingat! Aku akan lakukan perhitungan denganmu jika berani lagi mempermainkan aku atau mengganggu siapapun bangsa manusia. Jangan coba-coba lagi masuk ke alam kami! Paham?” Bentakku. Genderowo mengangguk. Kucabut rambutnya satu. Lalu kuperlihatkan padanya.
“Lihat ini!” aku memasukan rambutnya ke dalam jemari telunjukku.
“Aku bisa mengambil energimu, lalu memenjarakanmu selamanya lewat untung jariku!” Ancamku. Sebab kulihat dia paling jahil. Dia sering menampakkan wujudnya untuk menakut-nakuti orang dalam bentuk apa saja. Lalu suka mendorong dan menghadang orang yang sedang lewat. Baik mobil mau pun motor tiba-tiba kecelakaan.

Akhirnya aku berangkat ke sekolah. Masih dengan perasaan kecewa. Beberapa teman seperjalanan mengajak bercerita, tapi aku tidak tertarik menanggapainya. Tiba-tiba aku sudah sampai di sekolah. Aku singgah ke tempatnya Emak terlebih dahulu. Aku sengaja mengulur waktu. Biarlah tunggu sampai bell berbunyi. Aku mau menunggu Guntoro. Aku membantu membereskan meja jualan Emak dan menyusun kuenya. Berkali-kali Emak menyuruhku makan. Duh! Emak, aku enggan makan dan tidak merasa lapar sama sekali.

Mataku terus mengawasi jalan yang penuh kerumunan siswa SMP, berharap ada sosok Guntoro di antara. Tapi sampai suasana  sepi dan bell berbunyi, sosok Guntoro tak juga kulihat. Ketika jam istirahat berbunyi aku langsung turun tangga melihat papan pengumuman. Duk! Ternyata nama Guntoro tercantum di sana. Alpa! Ada rasa nyilu menyayat dalam dadaku mengetahui Guntoro tidak sekolah lagi. Terbayang ketika Macan Kumbang memperlihatkan Guntoro yang sedang tidur tadi malam. Tidurnya nyenyak sekali. Tidak ada tanda-tanda  sakit. Aku langsung ke Perpustakaan. Mengambil buku sembarangan, lalu pura-pura membacanya di meja baca paling sudut. Padahal diam-diam aku menangis. Beberapa temanku terdengar mencari-cari aku. Dari luar mereka menyebut-nyebut namaku. Aku diam saja. Aku ingin sendiri saat ini.
“Hati-hati ya kalau ke kebun,  ke sawah, atau masuk hutan. Itu sirkus yang baru datang, kehilangan satu ekor nenek gunung. Bisa jadi nenek gunung itu berkeliaran. Kita tetap harus waspada. Semoga saja dia tidak menyerang manusia.” Tiba-tiba  Bapak Siyanto guru Matematikaku masuk. Suasana Perpustakaan yang hening menjadi riuh. Semua ingin tahu berita itu.
“Nenek gunung lepas? Iihh!!” Sebagian besar yang mendengar  ketakutan. Aku hanya mendengarkan dengan saksama. Dalam hati pasti yang mereka bicarakan adalah Richo yang kulepas tadi malam. Aku ikut-ikutan serius mendengarkan cerita kawan-kawanku. Kadang-kadang aku ikutan berekspresi  takut ketika mereka berspekulasi ketika pulang sekolah tiba-tiba muncul nenek gunung, menyeringai lalu menerkam salah satu kawan kita, lalu dicabik-cabiknya, dimakannya, dan seterusnya. Mereka pandai sekali mengarang cerita seolah-olah nyata. Padahal baru mendapat kabar perihal lepasnya nenek gunung.

Dalam sekejab, raibnya nenek gunung milik sirkus menjadi buah bibir masyarakat kota. Berbagai opini muncul. Dan yang lebih mengagetkan lagi, sirkus batal di gelar. Mereka tidak jadi mengadakan pertunjukan. Mereka pindah kota. Kabarnya langsung  ke Prabumulih. Rupanya mereka takut harimau mereka hilang lagi. Padahal biasanya paling tidak dua minggu mereka mengadakan pertunjukan di tiap kota.

Malam itu Macan Kumbang datang padaku. Dari Macan Kumbang kuketahui jika Richo sudah dijemput oleh Bapak dan Ibunya. Mendengar itu aku bahagia sekali. Berharap Richo segera bisa menyesuaikan diri.
“Kamu belajar apa Selasih?” Tanya Macan Kumbang. Aku senyum-senyum sedikit malu. Kusodorkan  kertas surat  berwarna merah mudah lalu kusuruh Macan Kumbang menciumnya.
“Harum ya…” Ujarku.
“Bukan soal harumnya, kamu mau menulis surat untuk Guntoro kan? Ngapain buat surat kalau setiap hari ketemu.” Ujar Macan Kumbang lagi.
“Ya bedalah. Lewat surat inilah aku dan Guntoro bisa mengungkapkan rindu, cinta, harapan, dan berbagai banyak hal. Termasuk berjanji akan saling menyintai sampai kapanpun. Kalau diungkapkan secara lisan, kayaknya aku tidak punya keberanian.”  Ujarku sejujurnya. Macan Kumbang mengangguk-angguk  sambil mengelus pipi, dagunya yang berbulu.  Entah apa yang dipikirkannya. Lama-lama kulihat dia sudah mendekur. Dadanya yang bidang turun naik. Padahal katanya dia mau ke tempat nenek Kam. Tapi malah nyangkut di sini.
“Nek..Macan Kumbang ada denganku.” Aku membatin.
“Iya, biarlah dulu. Kalian berdua itu sama. Sama-sama sedang jatuh cinta. Dang renjeh (puber), nenitit luk kekanji laut (genit seperti capung laut).” Mendengar itu aku tertawa kencang sekali. Nenek Kam pandai sekali mengibaratkan perasaanku yang sedang berbunga-bunga. Aku memandang Macan Kumbang yang masih lelap. Suara tawaku ternyata tidak mempengaruhi tidurnya.

Jadi Macam Kumbang juga tengah  jatuh cinta? Dengan siapa ya? Kok dia tidak cerita? Aku senyum-senyum sendiri. Ternyata Macam Kumbang sudah menemukan kekasih hatinya. Saking gemesnya, kutarik kumisnya.
Macan Kumbang terbangun sambil mengaduh. Aku tertawa melihatnya mengelus-ngelus atas bibir sambil terpejam lagi. Akhirnya aku ikut terlelap di ujung kaki Macan Kumbang, setelah lelah diajak pikiranku melanglang buana sampai ke luar angkasa.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *