HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (52)

RD. Kedum

Benar saja, hujan turun sangat lebat. Aku bersyukur hujan pasti membantu membersihkan anyir darah truk yang tabrakan tadi siang. Sejenak aku mendoakan tiga lelaki yang tewas di tempat itu. Semoga semuanya diterima di sisi Allah SWT. Membayangkan kematian yang mengenaskan itu membuat selera makanku hilang. Aku kasihan dengan mereka, dan keluarganya. Aku yakin, keluarga mereka saat ini sulit sekali untuk menerima, apalagi melupakan. Kejadian tragis ini akan menjadi luka kekal bagi orang-orang yang menyintainya. Ah! Semoga saja keluarga mereka keluarga yang beriman. Aku membatin.

Teringat pula jika mobil yang kutumpangi kena tabrak. Mobil yang berisi puluhan pelajar. Maka duka akan lebih membumbung lagi. Bisa jadi duka nasional. Hingga kini aku tidak tahu suara siapa yang mengingatkan aku agar menghentikan mobil yang yang kutumpangi. Aku bersandar di tempat tidur. Bingung mau melakukan apa malam ini. Kaki kiriku terasa nyeri dan panas karena kurang istirahat. Akhirnya kupoles dengan minyak pemberian kakek Sidiq melalui wak Nur. Mau mebuka buku tidak semangat. Mau dengar musik juga malas. Akhirnya aku melamun tidak jelas. Terlalu banyak hal yang melintas, jadi sulit untuk memilih.

Tiba-tiba suasana terasa berubah. Angin kecil mendesing halus. Tiga sosok berpakain putih berdiri diam persis di hadapanku. Aku tatap wajah mereka lekat-lekat. Ketiganya tersenyum lembut tanpa suara. Masya Allah! Aku baru sadar jika mereka bertiga adalah tiga lelaki yang meninggal kecelakaan tadi siang. Ada apa mereka menemuimu? Apakah mereka telah dimakamkan hari ini juga? Kukira mereka pasti langsung dimakamkan sore atau malam ini. Sebab tak baik menyimpan jenazah terlalu lama. Apalagi kondisinya sangat parah. Aku segera mengajak mereka berdialog melalui batin. “Terimakasih sudah menyelamatkan organ tubuh kami dari santapan makhluk-makhluk itu. Terimakasih Sudah mendoakan kami.” Desah salah satu mereka. Suaranya datar tanpa irama. Aku mengangguk pelan lalu segera membaca Al fatihah untuk mereka. Pelan-pelan ketiganya bergandengan lalu melayang makin jauh sambil melepaskan senyum padaku. Waktu baru pukul 20.00 WIB. Masih petang. Belum terlalu malam. Aku menarik nafas panjang. Padahal baru saja aku terpikir tentang kematian ketiganya yang menggenaskan. Selanjutnya pikiran membawaku jauh betapa isi bumi ini sangat bervariasi. Diciptakan Allah berbagai macam jenis makhluk dengan kekurangan dan kelebihannya. Ada alam kasat mata, ada alam tak kasat mata dengan tingkatan dimensinya pula. Ada alam jin, alam roh, dan entah alam apa lagi. Jadi ingat kata kakek Njajau ketika beliau menanamkan pemahaman tentang kehidupan padaku. Segala sesuatu yang Allah ciptakan tidak lain untuk membuat kita berpikir. Yang dimaksud berpikir itu artinya analisalah semuanya dengan iman dan ilmu. Betapa pentingnya keduanya agar seimbang dan tidak sesat. Sederhana sekali sebenarnya, namun ketika kita lebih jauh masuk ke dalamnya, iman dan ilmu maka betapa kecilnya kita. Tak pantas jika berbicara lebih banyak pada ke-akuan. Kita tidak ada apa-apanya.

Tiba-tiba ada yang bertepuk tangan. Aku menoleh. Aku paham betul dengan tepukan tangan itu. Pasti Macan Kumbang. Lelaki galau. Tidak punya nyali pulang gegera tidak berani melaporkan batal menyunting gadis bangsa manusia. “Mantap! Makin dewasa saja cucung nek Kam ya.” Ujarnya tiba-tiba ada di pojokan kamar. Kapan dia datang aku tidak menyadarinya. Aku masih terpukau dengan angin tiga korban kecelakaan itu. “Dewasa? Apa iya aku dah dewasa? Baru berapa belas tahun,” ujarku. Dewasa itu tidak bisa diukur dari usia. Kedewasaan diukur saat kita bisa mengendalikan emosi dan hawa nafsu. Emosi kaitannya dengan pola pikir. Begitu jeleeek!” Macan Kumbang menggodaku. “Ooo..begitu ya lelaki galau?” Candaku disambutnya dengan bibir manyun. “Yang galau itu seseorang yang merindukan Guntoro, sementara Guntoro belum tentu merindukannya.” Ujarnya balas menggoda. Tapi candaannya kali ini tepat sasaran. Benar juga. Tidak kupingkiri memang, tiap kali ingat Guntoro desir rinduku makin kencang. Apakah Guntoro juga merasakan perasaan yang sama? Aku tak tahu. “Nah…tuuuu…yang nyata-nyata sajalah Selasih. Jangan kebanyakan menghayal,” tambah Macan Kumbang lagi. Aku menatap wajah teduhnya dalam-dalam. Apakah Macan Kumbang sudah bisa melupakan gadis yatim piatu itu? Padahal sebenarnya dia sangat ingin menyuntingnya. Namun ketika tahu neneknya akan hidup sebatang kara, niat itu batal, ditambah permintaanku, kasihan dengan neneknya. Tapi sekali lagi belajar pada alam. Lelaki memang lebih dewasa dan rasional tidak seperti perempuan, semuanya diukur dengan rasa.

Selanjutnya kami terlibat obrolan tentang peristiwa siang tadi. Aku bercerita jika aku tadi bertarung dengan raja jin. Bahkan sampai di rumah pun aku kembali di serang oleh kawan-kawanan siluman penghuni simpang kuburan itu. Mendengar penuturanku Macan Kumbang tersenyum. “Sebenarnya ada lima orang dari Uluan hadir di situ melihat kamu bertarung. Aku juga melihat kakek Andun, kakek Njajau, Puyang Pekik Nyaring, Relingin, serentak mengamatimu. Kamu saja tidak sadar. Semoga ini kejadian terakhir tidak ada lagi yang berani mencelakan bangsa manusia di simpang itu.” Kata Macan Kumbang. Aku terpukau karenanya. Ternyata apa yang kulakukan tetap akan kontak ke kakek dan puyangku.” Lalu siapa yang mengingatkan agar kendaraan yang kutumpangi dimatikan mendadak tadi?” Tanyaku. “Kalau tidak, mungkin aku dan puluhan kawan-kawanku itu sudah mati digilas truk besar itu,” lanjutku lagi. Macan Kumbang menjelaskan itu suara dari Uluan. Suara tuan penjaga Tangsi Satu. Nenek gunung juga. Pantas aku tidak mengenal Suaranya. Karena aku belum pernah bertemu dengannya.”Ke luar yuk!” Ajak Macan Kumbang.

Tanpa berpikir panjang lagi kuiyakan. Aku membelah diri untuk jaga-jaga di kamar. Siapa tahu yang hendak menemuiku. Aku dan Macan Kumbang akhirnya ke luar rumah. Kami berjalan pelan. Sama-sama tidak tahu akan kemana. Tidak jelas tujuan. “Kumbang, beberapa bulan ke depan aku tidak akan tinggal di kota kecil ini. Aku akan pindah ke Bengkulu. Bapak sudah buat rumah di sana.” Ujarku pelan. “Mengapa harus jauh ke Bengkulu?” Tanya Macan Kumbang. Aku menarik nafas panjang. “Pertama, Ayuk Nismah kan mendapat tugas di Bengkulu. Mungkin maksud Bapak agar beliau bersama ibu bisa fokus mengurus kebunnya. Jadi tidak bercabang-cabang harus mikir ayuk di Bengkulu, terus harus mikirkan aku dan adik-adik di sini pula. Otomatis aku akan jarang pulang secara fisik.” Lama aku dan Macan Kumbang diam. Aku masih asyik dengan pikiranku. Sementara Macan Kumbang entah memikir apa. “Lagi pula, entah mengapa aku jadi sangat ingin meninggalkan kota ini, Kumbang. Aku sudah mulai gerah. Aku ingin cari suasana baru.” Ujarku. Iya, memang benar, hari-hari ini ada perasaan gerah dan dorongan ingin mencari suasana baru. Tapi aku sulit merumuskan apa yang membuatku gerah tersebut. Ada sesuatu yang ingin kukubur di sini. Baik masalah gagal menamatkan sekolah tepat waktu, juga masalah cinta. Sampai di sini aku tercekat sendiri. Apa mungkin karena cinta? Kok aneh banget kedengarannya. Apa itu bukan alasan yang dicari-cari? Ah tidak! Yang jelas aku hanya ingin mencari suasana baru dan berharap hidupku bisa berubah. Aku ingin belajar dan mencari pengalaman di daerah lain. Tanpa kami sadari, ternyata kami berjalan sudah sampai ke Selangis. “Mau kemana kita?” Tanyaku pada Macan Kumbang. Macan Kumbang juga kaget. Ternyata kami sama. Sama-sama tidak fokus dengan jalan. Terlalu sibuk dengan perasaan masing-masing. “Kita sudah sampai ke Selangis.” Ujarku masih sambil berjalan.

Sejenak Macan Kumbang menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya terpejam. Nampaknya ada sinyal yang membuat Macan Kumbang lebih fokus. Aku menuggu Macan Kumbang sejenak. Menunggu apa yang dilihatnya. Tak lama aku diraihnya. Secepat kilat aku ikut melesat. Belum sekejap mata, kami sudah berdiri di ujung jembatan Lematang. “Selasih, kau lihat di atas itu. Sebentar lagi ada bus melintas tujuan Jakarta. Dan kau lihat di bawah sini berapa ribu makhluk asral menunggu. Bus itu akan jatuh. Di atas ada makhluk yang sudah siap- siap mendorong bus agar terjatuh. Lakukan sesuatu Selasih!” Kata Macan Kumbang.

Tanpa menunggu lagi aku langsung melesat ke atas. Kebetulan jalan di lematang ini selain curam tikungannya tajam-tajam. Jalan yang menyisir tebing bukit ini apabila dilihat dari seberang, persis seperti angka delapan, berkelok dan bertingkat-tingkat. Bus masih berjarak kira-kira lima puluh meter lagi tiba di tikungan tajam lalu lurus dan menikung lagi. Sementara di sisi kanan tikungan ada jurang yang menghubungkan jalan ke lapis bawah, ada juga tikungan yang yang sisinya jurang dan sungai medan-medan inilah yang menjadi incaran para makhluk asral dengan berbagai macam cara agar ada korban. Melihat mereka sudah siap hendak mendorong bus yang tengah merangkak pelan dan sarat penumpang aku segera menghantam para makhluk asral itu tanpa bertanya terlebih dahulu. Melihat lidah ke luar dan ekspresi mereka yang kelaparan, mereka tidak jauh beda dengan makhluk yang di tikungan kuburan jalan gunung Dempu itu. Aroma maut terasa sangat dekat. Mendapat serangan mendadak dariku, kawanan makhluk asral ini buyar semua. Perhatian mereka tidak fokus lagi pada bus yang melaju. Tapi fokus pada serangan-serangan yang mendesak mereka. Satu-satu kuserap energinya. Sebagian dari mereka yang kira-kira sangat membahayakan kuprioritaskan untuk segera kulumpuhkan. Satu persatu mereka kusedot dan kusimpan di ujung-ujung jariku. Mendapati aku telah menggagalkan niat jahat mereka sebagian besar mereka marah dan menyerangku. Akhirnya aku layani mereka sembari tetap mengawasi bus yang merangkak pelan di tikungan curam. Aku khawatir ada di antara mereka yang masih berniat menjerumuskan bus itu. Melihat aman, aku langsung melakukan gerakan untuk memusnakan makhluk-makhluk nakal yang sebagian besar tinggal di hutan-hutan, dan lubuk-lubuk sungai Lematang ini.

Grrrrhgg!! Suara siluman serigala menggeram. Wajahnya nampak ganas sekali dengan taring-taring yang tajam. Namun tubuhnya seperti manusia. Matanya berkilat-kilat. “Kurang ajar anak semut! Berani sekali kau menggagalkan rencana kami!” Ujarnya dengan mata menyala. “Dengar siluman jahat. Yang hendak kalian celakakan itu adalah manusia. Jika berhubungan dengan manusia maka berurusan denganku!” Ujarku mengimbangi emosinya. Benar saja, siluman ini langsung menyerangku dengan kemampuan yang cukup lumayan. Pukulan-pukulan mautnya diarahkan padaku. Dia semakin geram karena sekian banyak pukulannya mampu kuhindari. “Hiiiiiaaat!!!” Aku hantam siluman ini dengan sinar biru dari telapak tanganku. Mustika kakek Andun kumanfaatkan. Ternyata dihadapanku ini bukan siluman biasa. Hantamanku meski mengenai tubuhnya, namun tidak membuatnya tumbang. Siluman itu kembali bangkit. Melihat siluman Serigala ini kena pukulanku, beberapa kawannya ikut mengeroyokku. Aku tak mau membuang waktu lama. Aku serang bertubi-tubi dengan cahaya biru dan hembusan badai. Melihat mereka semakin bertambah aku ganti strategi. Angin badai tetap kumainkan, lalu dengan cepat kuhimpun puting beliung menyambar dan menyedot tubuh mereka. Dalam waktu singkat semua selesai.

Aku tidak mau berlama-lama. Ketika semua terasa aman, aku langsung turun menemui Macan Kumbang yang berjaga-jaga di dekat jembatan. Bus tujuan Jakarta baru saja melintas di atas jembatan Lematang. Aku menatapnya dengan perasan lega. Beberapa mata makhluk asral masih mengawasiku. Aku tetap waspada. Bisa jadi mereka menyerangku tiba-tiba. Di hulu, suara air terjun membuat suasana lembah ini agak berbeda. Aku mencari-cari Macan Kumbang. Belum sempat aku memanggilnya, Macan Kumbang terlebih dahulu memanggilku. “Selasih, sini aku di bawah jembatan.” Ujarnya. Aku langsung turun ke bawah jembatan. Rupanya Macan Kumbang tidak sendiri. Ada perempuan tinggi semampai, berambut panjang, duduk berhadapan tidak jauh dari Macan Kumbang. Aku bertanya-tanya siapa perempuan itu? Melihat bahasa tubuhnya mereka saling kenal, dan terlihat akrab. Aku menebar senyum padanya sebelum berkenalan. “Kenalkan ini Putri Selasih, gadis kecil kesayangan sesepuh Uluan,” ujar Macan Kumbang sembari berdiri meraih bahuku. Aku masih tersenyum dan mengulurkan tangan. “Selasih, ini Raisuraya, tinggal di ujung bukit itu, anak kepala suku Ulu Lematang.” Ujar Macan Kumbang. Aku masih mengulurkan tangan, tapi nampaknya Raisuraya tidak terlalu antusias untuk berkenalan denganku. Setengah terpaksa dia sambut tanganku tanpa menatap mataku. Ketika bersalaman, rupanya Raisuraya seperti mengerahkan kemampuannya untuk menyakiti aku. Ada kekuatan diam-diam dia himpun di telapak tangannya. Aku menyambutnya biasa saja. Sambil tersenyum menatap lurus matanya, kusedot energinya. “Aaoww!” Raisuraya menjerit kaget. Matanya melotot sejenak padaku. Tangannya ditariknya tiba-tiba. Aku tahu dia merasakan sakit yang luar biasa. “Ada apa Raisuraya? Kok nampak kaget?” Kali ini kuhimpun kekuatan lewat mataku. Lewat tatapan kucoba juga menyedot energinyanya. Kali ini Maisuraya menghindar. Dia membuang muka. Macan Kumbang sepertinya menyadari hal itu. “Tidak baik menjajak kemampuan seseorang yang berniat baik dengan kita, Raisuraya. Selasih bukan tipe manusia yang suka pamer. Kemampuanmu belum seberapa dibandingakan dengan yang dia miliki. Dia manusia pilihan berbeda dengan kita” ujar Macan Kumbang lagi membesar-besarkan namaku. Kulihat Raisuraya menyimpan amarah. Kecantikan yang dia miliki berubah mengerikan. “Sekarang kau tinggal pilih, aku atau anak ingusan ini!” Raisuraya menatap marah pada Macan Kumbang. Sedikit bayak pahamlah aku, keduanya punya hubungan istimewa? Raisuraya cemburu padaku. “Tentu saja aku memilih Putri Selasih. Tidak mungkin aku meninggalkannya.” Ujar Macan Kumbang disambut Raisuraya dengan menghentak-hentakkan kaki lalu meninggalkan kami berdua yang masih berdiri.

Aku menatap bingung pada Macan Kumbang. Macan Kumbang mengangkat bahu.”Kekasihmu ya Kumbang?” “Bukan,” jawab Macan Kumbang Singkat. “Lalu mengapa dia marah?” Tanyaku. “Tidak tahu. Aku baru kenal beberapa minggu yang lalu.” Lanjut Macan Kumbang. Aku jadi bingung kalau bukan kekasih mengapa dia mengultimatum Macan Kumbang untuk memilih dirinya atau aku? Akhirnya aku diam saja. Kami berjalan ke arah air terjun. Air nampak agak kecil dari biasanya. Jadi lebih bening. Berbeda jika musim hujan atau hujan turun di hulu. Air akan butek, keruh mirip limbah. Lumpur, kayu, ranting, akan berhanyutan karena di hulu banyak hutan gundul berubah menjadi kebun-kebun masyarakat, dan lahan tak produktif menjadi semak belukar. Aku memilih untuk duduk sejenak di atas batu yang menonjol. Baru saja aku menghentakkan pantat, tiba-tiba “BuuuaRR!” Dari balik air terjun ke luar sosok aneh berjalan menuju tempatku duduk. Aku kaget dan langsung berdiri. “Mengapa kalian kemari? Kalian mencari apa?” Tanyanya. Air meluncur deras dari tubuhnya. “Kami hanya ingin menikmati air terjun yang bening.” Jawabku. Selebihnya dia mengangguk-angguk. Bentuknya seperti manusia. Tapi kulitnya mirip kulit kodok, kasar dan benjol-benjol. Kumisnya hanya beberapa lembar mirip kumis ikan lele. “Aku mencium bangsa manusia di sini. Kamu bangsa manusia apa nenek gunung? Hummm…hummm..iya bau bangsa manusia.” Ujarnya mengendus-ngendus. “Memangnya ada apa dengan manusia, Paman?” Ujarku memancingnya. Namun melihat gelagatnya meski perawakannya sangat seram tapi tidak terlihat mencurigakan apalagi hendak mengajak aku bertarung. Macan Kumbang hanya diam mengawasi gerak-geriknya. Ketika dia bergoyang, tahulah aku jika makhluk ini mempunyai ekor berduri-duri mirip ekor buaya. Pantaslah dia agak kesulitan berjalan. Sebab ekornya yang panjang itu membuat ruang geraknya sempit. “Biasanya kalau hawa panas seperti ini, karena ada manusia, cucu Adam.” Ujarnya lagi. Aku jadi berpikir apa hubungannya hawa panas dengan tubuh manusia? “Jika kita bersih lahir batin dan seiman, ketika kita berdekatan dengan bangsa manusia tidak akan merasakan kepanasana, Paman. Justru sebaliknya, kita merasa sejuk sama nyaman,” Macan Kumbang mercoba menjelaskan. Makhluk aneh itu langsung menatap pada Macan Kumbang. “Apa maksudmu seiman itu. Kamu manusia harimau kan?” Ujarnya lagi. Macan Kumbang menjelaskan jika bangsa mereka memeluk agama yang sama. Agama yang sama itulah yang disebut seiman. Menyembah Tuhan yang sama. Mendengar penjelasan Macan Kumbang, makhluk itu nampaknya tertarik. Dia mulai bertanya tentang efeknya segala. Macam Kumbang berusaha menjelaskan pelan-pelan hingga makhluk aneh ini minta disyahadatkan. Akhirnya Macan Kumbang membimbingnya. Lalu memberikan nama yang baik, Abdullah. Makhluk itu bukan main gembiranya. Apalagi ketika dia melihat kulitnya berubah jadi bersih dan bercahaya. Selebihnya Macan Kumbang mengajak beliau untuk berguru ke uluan bergabung dengan yang lainnya. Akhirnya kami berdua pamit pulang dengan paman Abdullah. Dalam hati aku kagum dengan makhluk Allah satu ini. Jarang-jarang mereka bisa begitu saja menerima kebaikan begitu mudah. Kami melangkah penuh gembira. Dalam waktu singkat dua hal kebaikan bisa kami lakukan. mungkin ini hikmah perjalanan tidak jelas malam ini. Aku dihadapkan dua peristiwa yang mirip. Saat ini aku dan Macan Kumbang sudah berada di atas bukit. Sejenak aku memandang ke lembah terutama pada air terjun yang mirip rambut putih yang terurai, di tengah alam yang temaram. Di sana ada Paman Abdullah. Semoga Paman benar akan datang ke uluan untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang telah dulu mendapat hidayah.

“Berhenti!!” Aku dan Macan Kumbang terkesiap. Di hadapi kami telah berdiri Raisuraya dengan tongkat akar yang meliuk. Melihat bahasa tubuhnya sungguh tidak bersahabat. Aku mencoba membaca gerak dan pikirannya. Oh! Rupanya dia hendak menantang aku. Aku melihat pada Macan Kumbang. Apakah aku diizinkan untuk melayani perempuan ini? “Ada apa Raisuraya? Mengapa kamu kalap seperti ini? Bukankah kami tidak membuat permusuhan padamu?” Ujar Macan Kumbang. “Aku memang tidak ada urusan denganmu Macan Kumbang. Aku ada urusan dengan anak kecil ini. Dia sudah menyakiti aku. Mengambil dirimu dari sisiku, lalu dia mercoba mengambil energiku.” Ujar Maisuraya dengan nada tinggi. “Hei! Tunggu! Apa kau bilang? Selasih memgambil aku dari sisimu? Bukankah kita tidak ada hubungan apa-apa kecuali baru kenal beberapa waktu lalu. Jangan ngaco kamu. Selasih milik kaum kami. Aku ikut mengasuhnya sejak dia masih dalam kandungan. Tentu saja aku akan memilih dia dari pada kamu. Sudah minggir! Jangan halangi kami. Kami malas berurusan denganmu!” Ujar Macan Kumbang.

Kulihat Maisuraya tidak bergeming. Malah berdiri makin kokoh membusungkan dada. Sekali lagi aku memandang pada Macan Kumbang. “Ajaklah bermain perempuan ini Selasih. Hati-hati ya. Beri dia pelajaran.” Ujar Macam Kumbang. Mendengar itu pahamlah aku. Perempuan yang tidak sopan ini cukup kubuat semaput saja. Aku maju beberapa langkah. Macan Kumbang menyingkir ke belakang. Aku sedikit membungkuk menghadap Raisuraya. “Maafkan jika saya bersalah, Maisuraya. Tidak ada maksud saya menyakiti kamu,” ujarku mengangkat talapak tangan ke dada memberi hormat. “Hallah! Aku paling benci dengan orang yang basa-basi. Lawan aku! Kau jangan sombong mentang-mentang berilmu tinggi. Setinggi apa sih ilmumu? Kau tidak akan kuizinkan ke luar dari sini sebelum aku menjajal kemampuanmu.” Ujar Raisuraya angkuh. Aku tidak menyangkah gadis manis ini begitu congkak. Padahal pembawaannya terlihat lembut. Aku berusaha untuk menolak keinginannya. Kukatakan aku tidak punya kemampuan apa-apa. Ternyata perempuan cantik ini tidak bisa juga diajak berbicara lembut. Masih saja dia ngotot dengan alasan ingin menjajal kemampuanku. “Baiklah Raisuraya, aku akan layani bermain bersamamu. Maafkan aku..hiiiaaatt!!” Secepat kilat kuayunkan selendangku melilit tubuhnya seketika. Kubaca mantra-mantra pengokoh agar Raisuraya tidak bisa bergerak. Aku sengaja menggebraknya dalam satu pukulan agar tidak perlu berlama-lama dan memainkan berbagai macam ilmu. “Curang! Lepaskan aku anak ingusan,” Wajah cantik Maisuraya cemas. “Raisuraya, dalam kondisi seperti ini aku bisa melakukan apa saja padamu. Kau sudah tak berkutik bukan? Jangan biasakan selalu memandang ke langit. Tapi sesekali lihatlah ke bumi. Kau jangan takabur dengan apa yang kau miliki, tapi belajarlah untuk melihat ke bawah dengan rendah hati. Mengukur seseorang jangan seperti mengukur baju di badan, sebab setiap orang tentu ukurannya berbeda-beda tidak akan sama denganmu. Ujarku tetap berbicara lembut padanya. Wajah Maisuraya teihat merah padam. Mungkin karena yang menasehatinya anak kecil. “Raisuraya, bagaimana? Sudah puas menjajal aku? Maafkan sekali lagi, aku tidak berani menyombongkan diri. Karena aku tahu engkau sebenarnya lebih hebat dari aku. Bedanya dirimu belum bisa mengendalilan diri, cetek pengalaman, sementara aku dalam perjalanan hidupku yang pendek, aku selalu belajar dan diajar oleh guru-guruku. Salah satunya Macan Kumbang. Ilmu bukan untuk dipamer Maisuraya, tapi manfaatkanlah ke jalan benar agar berkah,” lanjutku lagi sambil melonggarkan balutannya. Namum aku tetap waspada. Siapa tahu setelah kulepaskan Raisuraya menyerangku. Benar saja, ketika aku menarik selendang serentak dia serang aku. Selendang kukibaskan. Akibatnya terjadi benturan dua kekuatan. Kuakui, Ilmu yang dimiliki Raisuraya lumayan tinggi. Dan dia tidak bisa dianggap remeh memang. Tapi sayang wataknya keras tak beraturan. Sehingga ilmu tinggi yang dimilikinya terkesan percuma. “Hiiiaat! Hat!” Selendangku kuubah menjadi tongkat dan berhasil menotok Raisuraya. Kali ini Maisuraya kaku seketika. Aku melihat dia menyalurkan hawa kebagian yang kutotok, aku mengayunkan tangan, kugulirkan bola es agar tubuhnya beku. Hawa panas yang disalurkannya tidak akan bisa menjalar. Ikut beku juga. “Iiggghhffrr…ggghrrrhh ap..app..mm…ppuuun..” Raisuraya tak bisa berkata-kata lagi. Tubuhnya menggigil. Aku kurangi rasa dingin sebatas dia menggigil saja. Mendengar dia berkata minta ampun aku pura-pura tidak dengar. Biarlah dia merasakan menggigil beberapa saat. “Ammfffuun ggrrrhhhaa.” Tubuh Raisuraya bergetar.

Tak lama aku merasakan desir angin lembut sekali. Tiba-tiba datang seorang lelaki berpakaian rigkas mirip seorang pendekar. “Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Selamat datang di ulu Lematang Putri Selasih. Maafkan anak gadis saya yang tidak tahu adat ini. Raisuraya putri saya satu-satunya. Saudaranya laki-laki semua. Aku sudah melihat dan mendengar apa yang terjadi di sini. Untung Raisuraya bertemu denganmu. Kalau tidak, sudah dua kali dia tewas karena kecerobohannya. Terimakasih sudah memberi pelajaran berharga pada putriku.” Ujarnya penuh wibawa sambil menunduk. Melihat caranya aku jadi malu. “Maafkan kelancangan saya paman,” ujarku menangkupkan kedua belah tangan. Macan Kumbang disambutnya dengan berjabatan erat. Aku segera menarik bola es dan mantraku. Raisuraya berlari memeluk ayahnya. “Nak, kau harus banyak belajar pada Putri Selasih cucung Nenek Kam ini. Camkan apa yang telah disampaikannya tadi.” Sang Ayah memeluk Raisurya. Ternyata beliau mengenal nenekku? “Paman kenal nenekku?” Ucapku senang. “Siapa yang tidak kenal Nenek Kam di tanah di Besemah ini. Termasuk juga Putri Selasih cucunya, keturunan Kerajaan Pekik Nyaring. Bahkan Paman ikut serta menghalau pasukan Banyuwangi yang hendak mengambilmu,” ujarnya sambil tersenyum. Aku jadi terharu dan kembali mengucapkan terimakasih. Aku bahagia sekali bisa bertemu dengan kepala Suku Ulu Lematang ini. Akhirnya, setelah aku minta maaf dan berpelukan dengan Raisuraya, kami mohon diri. Hari sudah dini hari. Besok aku harus sekolah. Tapi aku masih kelayapan di luar. Macan kumbang membimbingku segera pulang. Dalam sekejap kami telah berada kembali di kamarku. Aku selonjoran sambil kembali merangkai peristiwa hari ini macan Kumbang sudah pulang. Ayam berkokok berkali-kali. Aku segera rebahan berharap bisa terlelap sejenak. Ya sejenak saja.

Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *