HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (95A)

Karya RD Kedum

Aku merasakan nyeri sangat di punggung kiri setelah diserang makhluk gunung yang mengaku berasal dari Kerinci. Sebelumnya dadaku terasa sesak. Namun aku berhasil menetralisirnya dengan cepat. Sehingga luka dalamku tidak merambat. Sedikit saja aku gagal, maka bisa dipastikan aku akan muntah darah.

Sebenarnya perkelahian tidak akan terjadi kalau saja kami tidak berpapasan dengan pasukan astral yang berasal dari gunung Kerinci ini. Mereka melakukan penyerangan tiba-tiba karena tidak senang melihat kami terus berjalan tanpa menyingkir memberi jalan selebar-lebarnya pada mereka ketika berpapasan. Kebetulan aku ada di posisi paling belakang, mereka langsung menyerangku. Meski aku tidak sampai tersungkur, namun aku merasakan pukulan mereka luar biasa kuatnya. Buktinya rasa nyeri masih terasa hingga kini meski berkali-kali kunetralisir. Pukulannya mengandung racun jahat.

Belum sempat aku memulihkan sepenuhnya rasa nyeri di punggung hingga merambat ke dada karena pukulan makhluk gunung itu, tiba-tiba salah satu senjata mereka seperti godam menghantam punggungku kembali. Untung ketika pukulan ke dua itu mendarat aku sudah siap menerimanya. Jadi meski mereka lakukan diiringi kekuatan dalamnya, paling tidak aku bisa bertahan. Sambil menahan rasa nyeri yang luar biasa dari pukulan pertama, akhirnya aku mencoba melawan sembari melindungi Alif dan Macan Kumbang.

Gerakkan mereka cepat dan kuat sekali. Rata-rata mereka berilmu tinggi. Mereka adalah para petapa di gua-gua gelap seputaran gunung dan bukit Kerinci. Pakaian mereka yang hitam pekat, menandakan mereka satu paguyuban atau satu kelompok, satu seperguruan. Melihat karakternya, makhluk ini tidak bisa diajak kompromi. Oleh sebab itulah tanpa bertanya mereka spontan menyerang.

Beberapa kali kulihat Macan Kumbang dan Alif terguling. Keduanya sama sepertiku tidak menduga akan mendapatkan serangan mendadak itu. Beberapa kali aku mengirimkan energi menahan mereka agar tidak terlempar ke jurang yang mengaga di sisi kanan dan kiri jalan. Kukerahkan kekuatan angin untuk membantu kami bertiga. Serangan lawan seperti ribuan pasukan itu saat tertentu bisa kami lawan seimbang. Namun saat tertentukami bertiga terdorong ke belakang beberapa langkah.
“Berani sekali kalian lewat sini tanpa pamit. Ini wilayah kekuasaan kami tahu. Tidak satu pun boleh lewat sini tanpa seizin aku” Ujar salah satu di antara mereka. Nampaknya dia adalah pemimpin di atara makhluk yang menyerang kami. Wajah seramnya karena bertanduk dan bermata tiga, ditambah taring dan perut buncit. Siapa pun yang melihatnya pasti ngeri. Apalagi melihat tongkat dan kalungnya, ada tengkorak – tengkorak manusia.

Aku masih mengelak serangan-serangan mereka saat mereka berbicara. Sungguh kami tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan mengapa kami lewat sini.
“Sebagai denda kesalahan kalian, anak itu gantinya. Berikan dia pada kami hidup-hidup” Ujarnya lagi menunjuk pada Alif. Alif kaget dan pucat. Mendengar pernyataannya aku mulai waspada. Mereka serius hendak merampas Alif. Sementara Macan Kumbang masih mengimbangi lawan yang seperti gelombang.

Akhirnya kembali aku meningkatkan perlawanan. Aku berusaha melindungi Alif agar mereka tidak mendekat. Makhluk-makhluk astral ini bukan lawan Alif. Apalagi ketika melihat mereka memainkan senjata yang bermacam-macam bentuknya itu. Aku kaget ketika dari seberang jurang tiba-tiba muncul semacam jaring yang bergerak seperti ular. Aku mengeluarkan senjataku berupa pedang. Aku bergerak cepat melindungi diri agar tidak terikat oleh jaring ajaib mereka. Tiba-tiba, pinggangku terikat dari belakang. Aku diseret mereka hendak dibawa ke jurang seberang. Dalam keadaan genting itulah, tiba-tiba sekelebat bayangan melepaskan ikatan yang mencengkram tubuhku. Demikian juga Macan Kumbang dan Alif, diraih oleh bayangan yang berkelebat itu.

Setelah angin yang menderu berhenti, dan kami bertiga Kembali berdiri di atas bebatuan, baru aku dapat melihat dengan jelas, jika bayangan yang berkelebat itu adalah sosok perempuan. Dan perempuan itulah yang menyelamatkan aku, Alif dan Macan Kumbang.
“Putri Kerinci!” Aku kaget menatapnya. Jadi bayangan putih itu Putri Kerinci. Dia mengambil alih melawan rombongan pasukan astral yang menyerang kami. Melihat dia melawan sendiri, aku dan Macan Kumbang serentak maju. Kami bertiga serentak menyerang lawan.

Aku menarik nafas lega ketika melihat Alif masih utuh dan berdiri. Kalau bukan karena Putri Kerinci, mungkin aku sudah celaka. Saat mereka menyerang dengan kekuatan tinggi berikutnya, aku belum sepenuhnya menyadari serangan mereka. Kulihat beberapa kali Macan Kumbang dan Alif tidak sempat mengelak dari serangan beruntun makhluk astral yang tiba-tiba itu. Untung saat genting, Putri Kerinci datang menyelamatkan kami bertiga.

Melihat kehadiran Putri Kerinci, makhluk-makhluk astral itu berusaha kabur. Mereka berlari kalang kabut menembus halimun pegunungan yang pekat. Putri Kerinci membiarkan mereka berlari seperti melihat setan. Bahkan ada di antara mereka saking takut dan kagetnya menabrak-nabrak dinding cadas hendak menyelamatkan diri.
“Hiiiaaat! Ambo dak suko nengok kalian. Tiap kali kalian ke luar dari pertapaan pasti buat keributan” Ujar Putri Kerinci mengayunkan telapak tangannya ke depan. Energi telapak tangan Putri Kerinci berubah menjadi angin kencang mengusir lawan. Sisi jurang kembali senyap.

Akhirnya, setelah semuanya hening, niat kami pergi ke perbukitan Riau, batal. Kami berbelok ke Gunung kerinci bersama Sang Putri. Beliau memaksa kami agar singgah ke istana Bapaknya terlebih dahulu.
“Kau harus diobati dulu oleh Bopo. Nampaknya kau terluka” Ujarnya sambil meraih tanganku untuk mengikuti langkahnya. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk ke istana gunung Kerinci terlebih dahulu. Macan Kumbang berusaha menetralisir nyeri punggungku sambil berjalan. Namun hasilnya tidak maksimal. Aku butuh waktu untuk duduk diam sejenak.

Ini kali ke dua aku bersua dengan Putri Kerinci. Wanita cantik, bergaun putih menungang seekor harimau loreng yang gagah. Putri Kerinci, adalah putri Datuk Raden Samangga salah satu penguasa gunung Kerinci. Bangsa nenek gunung, atau inyiak yang pernah mengirimkan pasukannya ke Besemah ketika terjadi perang antara nenek gunung Dempu dengan pasukan Timur Laut Banyuwangi yang hendak menculik sukmaku. Mereka datang bersama pasukan dari Sumatera Barat. Di antaranya ada yang berasal dari gunung Merapi, Singgalang, dan gunung Talang. Mereka juga turut berjasa menyelamatkan aku kala itu.

Mengetahui aku yang datang, Datuk Raden Samangga bergegas menyongsong kehadiran kami di pintu gerbang kerajaannya. Beliau lelaki sepuh yang nampak gagah dan berwibawa. Senyum ramahnya ketika melihat kehadiran kami benar-benar meneduhkan.
“Alhamdulilah…sampai juga akhirnya cucu saudaraku Pekik Nyaring dari Merapi Dempu ke mari. Selamat datang di tanah bertyah, tuanku Ratu Timur Laut Banyuwangi” Datuk Raden Samangga menundukkan kepala. Sikap sopan dan hormat orang tua ini membuatku sedikit kikuk. Aku segera mengucapkan salam lalu menghampiri beliau, sujud mencium tangan beliau dalam-dalam, diikuti Macan Kumbang dan Alif.
“Darimana Datuk tahu jika aku di Timur Laut Banyuwangi? Jangan-jangan Datuk mendapat kabar burung” Candaku. Sambil tertawa ringan beliau menjawab jika angin adalah telinga mereka. Berbagai kabar dengan mudah mereka dapatkan. Demikian juga dengan berita Putri Selasi menjadi Ratu kerajaan Timur Laut Banyuwangi, bukan rahasia lagi di alam gaib. Menurutnya namaku sampai juga ke Ujung Band. Aku tersipu. Akhirnya aku hanya bisa berkata, mohon bimbingan beliau, karena aku masih terlalu muda untuk jadi pemimpin. Bayak kekurangan dan ketidakpahamanku. Akhirnya, kami ngobrol ke sana kemari sambil berjalan kakai menuju istana Datuk Raden Samangga.

Konon, leluhur yang bersemayam di gunung Kerinci ini memiliki kekerabatan dengan leluhurku di gunung Dempu. Dalam menjalankan kebijakan-kebijakan tertentu, mereka akan saling memberitahu dan tukar pendapat. Tidak jarang kerabat dari Kerinci untuk melakukan sesuatu minta restu terlebih dahulu ke gunung Dempu. Menurut Puyang Pekik Nyaring, leluhur di gunung Dempu adalah dulur tua, sementara si gunung Kerinci, adiknya. Atas dasar itu pula, ketika aku bertemu pertama kali dengan Putri Kerinci, beliau menemuiku dengan tiga harimau pengawalnya. Waktu itu aku bermalam di dusun Jambu, dusun yang terletak di kaki gunung Kerinci. Jelang subuh, ketika kabut menyelimuti kebun teh yang menghampar hingga ke perut gunung, aku yang tengah berdiri di tengah jalan setapak, memandang jauh ke puncak gunubg Kerinci dengan perasan rindu. Swbab, alam lembah yang sejuk, hamparan kebun teh seperti lukisan mengingatkan aku pada tangsi dua gunung Dempu. Saat itulah dari kejauhan aku melihat enam pasang mata seperti bola pijar mendekat padaku. Setelah dekat, baru kuketahui tiga sosok harimau, dan seorang gadis bergaun putih tersenyum padaku.
“Selamat datang di Kerinci, cucu Puyang Besemah, kerabat leluhurku dari gunung Dempu. Aku Putri Kerinci, suatu saat kita akan bertemu lagi” Ujarnya kala itu. Belum sempat aku bertanya, dia pamit melanjutkan perjalanan, karena dia sudah ditunggu. Waktu itu aku masih terbilang kecil. Belum banyak tahu seluk-beluk keleluhuran atau pun kekerabatan.

Kami masih terus berjalan sambil bercerita. Kadang Datuk Raden Samangga menanyakan perihal Puyang Pekik Nyaring dan kerabatnya di gunung Dempu. Kadang bertanya tentang kerajaan Timur Laut Banyuwangi. Beberapa petuah beliau berikan dalam kesempatan itu. Salah satunya adalah, menjadikan kepemimpinan sebagai ibadah. Menurut beliau, jika kita ikhlas dan menjadikannya pkerjaaan kita sebagai amanah dan ibadah, maka kita akan melaksanakan semuanya dengan hati. Hati adalah sumur keikhlasan dan keimanan. Aku mengangguk mendengarkan nasihat tersebut. Bagiku menimba petuah dari sesepuh meski berulang kali disampaikan pun tidak membuat bosan dan lelah. Apalagi karisma Datuk Raden Samanggga begitu kental. Semua yang beliau ucapkan, kerap kali jadi kenyataan. Sama halnya dengan Puyang Pekik Nyaring, tak muda untuk berjumpa dengan beliau. Kali ini justru beliau menyongsong kehadiranku. Aku benar-benar bahagia dibuatnya.

Saat tertentu, aku bersama Macan Kumbang dan Alif berjalan sejajar. Datuk Raden Samangga bersebelahan dengan Putri Kerinci di depan kami. Aroma bunga menyeruak dari tubuh Putri Kerinci. Gaun panjangnya yang jatuh, melambai-lambai ketika tertiup angin. Perempuan cantik itu nampak lebih dewasa dari usianya. Sementara harimau belang berjalan santai si sampingnya.
“Anggun sekali Putri Kerinci. Lihatlah, gerakkannya gemulai sekali. Berbeda dengan anak Besemah di sampingku. Dia terlahir perempuan. Tapi karakternya melebihi lelaki. Tidak ada anggun-anggunnya” Macan Kumbang berbisik mengejekku. Putri Kerinci menoleh. Dia tahu jika Macan Kumbang tengah membicarakannya sekaligus mengejekku. Kubalas ucapannya dengan mengerutkan batang hidung. Kalau bukan sedang di tempat orang , sudah kutinju dirinya.

Kami masih terus berjalan. Aku terpukau melihat jalan di kampung ini mirip seperti jembatan. Kayu bulat sebesar lengan anak kecil berukuran sama besar tersusun rapi dengan warna tetap alami. Kayu kering berwarna kecoklatan ini nampak sangat terawat. Melihat bentuknya, jalan dari kayu bulat ini usianya sudah cukup tua. Aku yakin, kayu-kayu ini adalah kayu pilihan. Penataannya yang rapi membuat aku sangat kagum. Sama panjang, sama besar, seperti cetakan mesin saja.

Sesekali aku berjalan pelan, melempar pandang ke sisi kiri kanan jalan yang ditumbuhi pohon pinus yang berjajar rapi. Agak ke dalam, tumbuh pula kayu pacet, pakis sunsang, bahkan tidak jauh dari jalan yang kami lalui beberapa bunga raflesia tengah mekar. Dalam hati aku mengagumi panorama gunung ini. Indah sekali. Aku menoleh kiri-kanan memastikan apakah bunga edelwis ada tumbuh di sini? Menurut Putri Kerinci, bunga abadi itu tumbuh di sisi barat puncak dan sepajang sisi Selatan.

Kala melihat dari kejauhan ada air terjun tumpah dari sisi jurang berbatu, lalu membentuk liukan seperti selendang panjang berwarna perak. Beberapa sosok nenek gunung kulihat berada di lembah dekat sungai.
“Masya Allah, elok sekali panorama kampung ini Datuk. Air terjun dan sungai. Hutan tropisnya sejuk, meski kulihat sudah terjadi penyempitan hutan, membuat area buruan nenek gunung makin sempit” Ujarku mendekat pada beliau. Kami berhenti sejenak. Nampaknya Datuk memberikan kesempatan padaku untuk menikmati panorama dari sisi tebing jalan.
“Manusia makin banyak. Banyak pula yang tamak. Hutan lindung masih saja dijarah. Ya, tidak jauh berbeda dengan sepanjang bukit barisan yang berjajar di pulau Sumatera ini, Dis. Tinggal berapa persen yang masih perawan. Selebihnya telah menjadi perkebunan dan pemukiman.” Datuk Raden Samangga menatap jauh ke belantara kecil di samping kami. Beliau menyapaku dengan sebutan ‘Dis’ singkatan dari ‘gadis’. Sebuah sapaan yang bermakna sayang.

Aku menatap ke beberapa bagian hutan yang masih lebat. Di sana banyak sekali kehidupan para penghuni Bukit Barisan dengan berbagai macam bentuk. Ada kelompok-kelompok kecil yang hidup berdampingan. Ada juga perkampungan yang ramai. Ada yang hidup sendiri-sendiri. Putri Kerinci ikut berdiri di sampingku. Wanita lembut yang berwibawa ini katanya jarang sekali pergi ke luar istana. Beliau lebih betah berada di dalam. Kebetulan saja dia tahu jika aku dihadang oleh kelompok makhluk astral yang tinggal tidak jauh dari puncak ini.
“Jika kita berada di bukit itu, maka kita akan melihat pemandangan yang membuat batin kita miris. Bukit-bukit yang dulunya lebat tempat bersemayamnya para inyiak, kita telah berubah menjadi tanah gersang, jurang-jurang yang rusak karena tanah bukit longsor, tak mampu lagi menahan air ketika curah hujan mulai turun. Itu terjadi, karena campur tangan manusia, menjarah hutan-hutan kita” Ujar Putri Kerinci. Aku mendengarnya dengan seksama sambil sesekali menyembunyikan rasa sakit punggungku.
“Lihatlah Putri Selasih, itu, itu, itu dulu adalah pemukiman cindaku. Padahal wilayah itu bagian dari hutan lindung yang disepakati leluhur bangsa manusia dengan leluhur cindaku. Zaman dulu, kehidupan bangsamu dan bangsaku sangat berdekatan. Hanya sebagian saja masyarakat sekitar hutan lindung dan lembah gunung ini yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Selebihnya sudah tidak peduli. Beberapa tradisi dianggap kuno dan ditinggalkan. Padahal tradisi itu sebagian besar adalah jembatan untuk tetap menjaga keharmonisan dua bangsa yang berbeda, yaitu bangsa manusia dan bangsa cindaku. Tujuannya agar tidak terjadi perselisihan dan keseimbangan alam tetap terjaga” Putri Kerinci berbicara panjang lebar. Aku merasakan keresahan pikiran dan lisannya. Aku menilai beliau sebagai seorang perempuan muda yang cerdas. Sama halnya dengan Putri Bulan tunangan Macan Kumbang. Sopan dan teratur dalam bertutur.

“Beberapa bulan ini, banyak para inyiak yang masuk pemukiman manusia. Mereka pun diburu dan dianggap membahayakan bagi bangsa manusia. Padahal keseimbangan alam sudah tidak dijaga. Tidak ada lagi yang bisa mereka buru di hutan. Hutan telah kehabisan hewan yang bisa dimangsa bangsa para inyiak” Lanjut Putri Kerinci lagi. Dari balik ucapannya, persis mengekspresikan perasaanku. Rasa sedih dan marah bercampur aduk. Namun tidak bisa berbuat banyak. Karena jika bertindak secara kasar, akan memunculkan polemik. Bertindak halus, dianggap zolim. Seperti makan buah simalakama.

Mendengar cerita Putri Kerinci membuat perasaanku kembali miris. Nyaris sepanjang Bukit Barisan ini memiliki problem yang sama. Nenek gunung semua kehilangan tempat tinggal karena hutan ditebang. Tidak ada lagi hewan yang bisa diburu seperti kijang, rusa, kancil, ayam hutan, monyet, kera, dan lain-lain. Belum lagi para pemburu dengan berbagi cara membunuh dan menangkap hidup-hidup harimau Sumatera. Aku jadi ingat ketika bertempur dengan tiga dukun dari pulau Jawa dengan kekuatan mistisnya berusaha menakhlukkan harimau Sumatera. Tidak menutup kemungkinan, di sini pun sama. Orang-orang datangan, pekerja di PT perkebunan karet dan sawit kerap kali jadi pemicu perselisihan dengan raja hutan itu.
“Kamu pahamlah karakter penduduk asli kan Putri Selasih? Penduduk dusun di sepanjang bukit Seblat ini, sangat paham dan mengerti karakter inyiak atau cindaku. Penduduk asli sejak dahulunkala sangat pagam bagaimana menghadapi penguasa rimba itu. Tidak pernah saling menyakiti. Sekarang semua terbalik. Berapa banyak penghuni hutan yang memburu ternak-ternak bangsa manusia, semua karena di hutan tidak ada lagi hewan yang bisa diburu” Nada Putri Kerinci sedih. Aku bisa merasakan duka itu. Sama halnya ketika aku beberapa kali menyelamatkan nenek gunung yang hendak ditangkap bangsa manusia di perbatasan Lampung dan di Bangkulu. Tidak sedikit makhluk yang beradab itu panik dan stress sehingga menyerang bangsa manusia. Tidak sedikit manusia digigit dan mereka bantai seperti mencabik-cabik hewan buruan. Bangsa nenek gunung seakan-akan serentak melampiaskan amarah. Mediasi untuk mufakat tidak ditemukan karena terlalu banyak manusia yang melanggar adat dan mengganggap remeh kehidupan mereka. Bahkan para dukun pun ikut menantang dan mencoba menakhlukan raja rimba.

Pernah suatu kali salah satu penduduk datangan dari Jawa, ke salah satu dusun di Seberang Endikat, dengan lantang mengatakan “Hala, tidak perlu pakai etika segala macam. Harimau ya harimau. Tetap saja hewan sampai kapan pun!”. Dia lupa, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalan. Mungkin selama ini dia mendengar harimau dari cerita-cerita saja. Di kampungnya barangkali tidak pernah terlihat harimau berkeliaran, karena memang sudah tidak ada lagi hutan. Sikap sombong dan arogannya, disambut nebek gunung dengan amarah. Ketika orang itu sedang mengasoh, duduk santai siang hari di beranda pondoknya, tiba-tiba, dari belakangnya melompat seekor harimau jantan, lalu menyeretnya hingga ke pinggir dusun. Tidak sedikit orang menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Orang tersebut dibiarkannya dalam keadaan luka cakar seluruh tubuh di pinggir dusun. Untung masih bisa selamat setelah dirawat di rumah sakit. Nenek Kam mengetahui peristiwa itu. Dan nenek Kam juga tahu siapa yang melakukannya. Tapi kata Nenek Kam ketika itu, biarlah jadi pelajaran bagi manusia yang sombong. Dimana pun berada, kita harus menjaga lisan kita.

Peristiwa yang sama terjadi di wilayah Kerinci ini pun begitu. Bagi penduduk dusun bertemu dengan cindaku atau melihatnya berkeliaran di dusun, merupakan hal biasa. Mereka paham apa yang makhluk hutan itu kehendaki. Jika bukan mengingatkan akan ada peristiwa besar melanda dusun, misalnya bencana alam, kadang mengingatkan penduduk dusun agar membersihkan dusun secara adat, karena ada warga dusun yang melakukan dosa. Misalnya berzina.

Halimun terasa semakin rendah. Udara dingin dan lembab sangat terasa. Kulihat Alif agak mendekat padaku ketika melihat beberapa ekor harimau sumatera melintas di hadapan kami sembari menundukkan kepala. Aku bahagia melihatnya. Dalam hati aku bersyukur, paling tidak masih ada yang bisa dibanggakan, harimau Sumatera di hutan bukit Barisan yang sempit. Ingin aku memeluk salah satu mereka. Seekor raja hutan, masih muda, berperawakan besar. Jika manusia mungkin berusia sekitar sembilan tahun. Matanya berkedip-kedip ketika menatapku. Dia menyapaku dengam bahasanya. Aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum, berharap suatu saat bisa jumpa lagi padanya.

Kami berlima kembali melanjutkan perjalanan. Jalan yang terbuat dari kayu bulat yang disusun rapat nampak masih panjang. Kini di hadapan kami terlihat berjejer rumah-rumah panggung bentuknya sambung-menyambung atar satu dengan yang lainnya. Baru kali ini aku melihat rumah adat sedemikian rupa. Nampaknya Datuk mengetahui jika aku mengagumi bangunan panjang tersebut. Bila diperhatikan secara saksama, rumah sambung-menyambung itu mirip gerbong kereta api. Melihat auranya, rumah panjang itu nampak ada penghuninya. Menurutku sangat unik.

“Nampaknya kau tertarik melihat rumah panjang di hadapan kita, Putri Selasih? Itu rumah panjang atau umoh laheik. Akan Datuk ajak dirimu masuk ke sana. Agar kau tahu, betapa kentalnya kehidupan bersosial di sini” Datuk Raden Samangga menatapku. Beliau tahu isi hatiku. Aku memang tertarik dengan bangunan dari kayu tersebut. Bentuk rumah panggung yang berjajar saling hubung antara satu dengan lainnya.
“Huuuaaaak!” Tiba-tiba aku seperti melayang. Tubuhku sempoyongan. Samar-samar kudengar Datuk Raden Samangga, Putri Selasih, Macan Kumbang dan Alif berteriak cemas.
“Bapo, Putri Selasih keracunan!” Teriak Putri Kerinci. Di tengah setengah sadar,
aku mencoba menetralisir rasa nyeri dada dan punggungku semampunya. Sepertinya pukulan beracun yang dilakukan makhluk astral tadi masih menyerangku. Aku memang belum sempat menetralisir sepenuhnya karena keburu berjalan dengan Putri Kerinci . Di tengah suasana setengah panik, aku Merasakan Datuk Raden Samangga meraih tubuhku lalu memanggulku. Entah akan beliau bawa kemana. Putri Kerinci, Macan Kumbang, dan Alif ikut berjalan cepat setengah berlari menyusul langkah Datuk Raden Samangga yang cepat.

Bersambung…

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *