1000 Rupiah = 4 Mangkuk Bakso

Catatan
Buyung Haryakusuma

Memandangi laut luas dan lepas.
Berjalan kaki menyisir tepian pantai.
Menunggu dalam hujan.
Dimanapun itu, sayup-sayup membawaku pada kenangan bertahun lampau.
Akan tingkah laku kami di masa lalu di kampung halaman.
Kami tinggal di sebuah pulau.
Ke ujung manapun kami berjalan.
Niscaya bertemu lautan.
Pasir pantai yang putih.
Batu batu karang tegak besar perkasa.
Batang batang bakau menyeruak di tiap tepi pantainya.
Ombak laut menggelora di musim baratnya.
Pantai yang landai surut sesurutnya sampai ke tengah, pada musim kijing dan kerang remisnya?
Pohon pohon kelapa, menjulang tegak dan miring melambaikan rayuannya.
Beberapa gundul hangus kering tersambar petir, mungkin sudah nasibnya.

Udara beraromakan garam penanda kami tengah ada di ”rumah” tiada hari tanpa permainan dan petualangan perang katapel dengan peluru sulur sulur beringin. Cukup berbahaya kalau kena muka apalagi mata. Lengah sedetik, alamat peluru akar / sulur beringin itu bisa mampir ke tubuh atau kepala kita. Tapi maklumlah waktu itu kita cuek cuek saja, tidak pernah peduli akibatnya. Bahkan mencari dahan kayu yang baik sebagai katapel, lumayan besar resikonya. Karena tanpa kami sadari, enak saja kami menebangi pohon kopi, kebun penduduk di hutan kecil belakang suatu sekolah.

Suatu hari, si empunya kebun memergoki kita dan habislah kita di serbu kocar kacir berlarian di kejar parang dan sumpah serapahnya. “Bukan maksud kami menebangi pohon bapak, karena kami pikir pohon-pohon kopi ini tidak bertuan,” tawa kami saat itu.

Sungguh bengal dengan macam alasan yg tidak masuk akal. Bermain adu buah karet yang di dapat dari hutan pinggiran kampung atau hutan di kaki bukit. Berenang di sungai kecil jeramba papan, air payau dan juga kolong-kolong bekas tambang. Satu hal yang kadang bisa buat kami surutkan langkah, legenda tentang penculik anak kecil pemenggal kepala. Senjata para orang tua agar anaknya tidak terlalu jauh main dari rumah. Tapi selain itu, tidak ada! Tidak ada yang bisa menghentikan gelora kami untuk bergembira ‘The stones must always rolling

Lalu ada perang bedil dengan peluru kaleng sarden yang diisi entah bermacam sampah, air kencing, air got, dan lain-lain di dalamnya. Sampai saking serunya, pernah kaleng sarden itu, tutupnya menancap dan melukai kulit kepala seorang teman kami sampai berdarah. Setelah itu orang tuanya mengamuk dan membelah bedil-bedil kami. Dan perang perangan pun terhenti. Sementara, tentu saja hanya sementara. Hanya menunggu genderang perang bergema kembali. Di musim libur berikutnya, kadang tiap sore di kala musim lautan surut, pantai landai dan kering sampai ke tengah. Inilah waktu untuk kami mencari kerang remis.

Sepulang sekolah, bergegas kami mencari papan sirap, menyiapkan kantong plastik dan beramai ramai turun ke laut, mencari kerang dan kijing sebanyak banyaknya. Hasil pencarian kerang kami itu, kami berikan ke ibu kami untuk di masak dan di santap bersama di malamnya. Rasa nikmatnya? Uuhh, sampai sekarang pun aku masih meneteskan liur saking sedapnya, membayangkan makan pindang kerang hasil tangkapan sendiri dan di masak ibunda dengan kasih sayangnyaTentu saja.

Sebagai anak lelaki, sepakbola adalah permainan utama. Selepas mencari kerang, selalu saja kita sempatkan bermain bola, di lapangan pasir tepi pantai itu. Tanpa sepatu, pasir lembut, kerang kecil, karang-kerikil, kaki terluka. Tiang gawang adalah bilah bambu. Kalah-menang, mencetak gol, kebobolan silih berganti, adalah keseharian kami. Pahlawan kami waktu itu adalah pemain pemain hebat kelas dunia, Maradona, Van Basten juga Gullit dengan gimbalnya. Imbasnya sampai saat ini pun aku selalu mengidolakan dua tim tersebut, Argentina dan Belanda. Liverpool untuk level klub tentunya. Malam hari pun kami biasanya melanjutkan dengan banyak ragam permainan lagi. Sembunyi-sembunyian kelompok, jadi hantu-hantuan mengganggu orang-orang yang melintas di gelapnya malam. Seolah pemberi energi tidak pernah meninggalkan kami. Jadilah hampir saban sore, kami menikmati senja, menyaksi matahari merebah ke balik pulau kecil delta muara. Orang orang menyebutnya pulau Kalimoa

Sebenarnya dia delta sungai yang terbentuk dari endapan pasir tanah dan bebatuan yg terus menerus terbawa dari hulu ke hilir muaranya. Pulau ini kecil saja luasnya barangkali 5 sampai 6 kali lapangan sepakbola. Tidak ada penghuni di pulau ini, yang ada hanya pepohonan dan sebuah kelenteng kecil tempat para penduduk keturunan cina bersembahyang disana. Konon kabarnya setiap bersembahyang menyambut tahun baru, banyak uang yang di sebar-sebarkan disana, untuk mencari berkah dari dewa-dewi pemberi rejeki dan penebar cinta

Suatu hari terbawa iseng tanpa rencan, Kami berempat saja berencana naik sampan ke pulau itu. Mencari uang yang di sebarkan tetangga-tentangga cina kami itu. Barangkali saja kami beruntung, beroleh uang sampai kantung kami gembung. Letak pulau ini sebenarnya jika di lalui dari pantai terdekat Pulau ini tidak terlalu jauh. Tapi waktu itu, kami mulai berangkat dari garis pantai yang mendiagonal agak melebar. Karena temanku punya paman yang punya sampan dan dia tinggal di bagian pesisir yang cukup jauh dari pulau delta ini. Berempat, waktu itu kami sebenarnya belum pernah sekalipun bersampan, dan cuma ada satu dayung, pelepah kelapa, jangkar kecil dan sebuah kaleng bekas yang jadi timba tergeletak begitu saja di dalam sampan itu. Pamannya teman kami tidak tahu , kalau kami diam-diam melarikan sampannya, kebetulan jadwalnya melaut biasanya di malam hari dan dia pastilah tengah terbuai dalam tidur siangnya.

Setengah jam pertama, kami lewati dengan berputar-putar sana-sini saja. Satu-dua mengayuh bergantian. Tiga-empat belajar mengendali haluan. Lama-lama kami mulai terbiasa. Kemudin di arahkan ke pulau tujuan. Karena melawan angin dan ombak yang cukup kencang perjalanan terasa lama dan panjang. Langit yang tadinya terik perlahan-lahan meredup, kami sudah tigaperempat jalan ketika beberapa perahu nelayan berpapasan menuju pulang, bapak-bapak nelayan itu bertanya heran. “Kalian ini mau kemana? Cepat segera pulang! Sebentar lagi angin ribut datang, lihat nun di sana awan hitam tebal menggantung di angkasa, bahkan kamipun tahu saatnya kalau kami harus pulang sekarang.” Kata si bapak mengingatkan. ”Iya iya…iya pak,” kami berempat mengiyakan saja lagipula awan badai itu masih sangat jauh di ujung cakrawala. Kami putuskan untuk terus saja pada rencana.

Tak lama kami pun tiba di pulau delta ini, rintik hujan menyambut kedatangan kami. Sepi sekali pulau ini sesekali ku lihat, ayam hutan berkeliaran, mungkin ini ayam yang dilepas, orang orang yang bersembahyang di sini. Tampaknya ayam-ayam ini cukup dapat bertahan hidup di pulau tak berpenghuni ini. Dari ayam piaraan jadi ayam hutan yang bebas merdeka berkeliaran dan mencari makan. Tiba-tiba dengan cepat hujan yang tadinya rintik mulai melebat dan semakin lebat. Kami berkeliling meliarkan pandangan ke tiap langkah yang kami lewati. Tapi tidak juga kami temukan uang yang katanya banyak di sini. Berkeliling sana sini, dipulau ini cuma ada pepohonan juga kelenteng kecil untuk sembahyang. Akhirnya kita tiba di suatu belokan, terlihat selembar uang seribuan basah di atas tanah liat yang memerah. Kami jadi tersenyum juga tertawa. Huh…! Ternyata cuma gembar gembor aja kabar kabar yang mengatakan jika di sini banyak uang tersebar bekas sembahyang. Tidak tahunya cuma selembar uang seribuan yang kami dapatkan.

Sebenarnya kami sudah sangat kedinginan, Sudah lebih satu jam kami di sini. Tapi hujan memang lebat sekali pantai rumah kami di seberang sana, sama sekali tidak kelihatan. Semuanya serba putih karena hujan dan angin lebat sekali. Gemuruh suara petir pun terdengar beberapakali. Benar juga bapak nelayan tadi mengingatkan kami untuk segera pulang karena angin ribut kini benar benar datang. Kami terus saja menunggu. 1 jam tidak terasa, 2 jam pun hampir tiba. Hujan lebat tidak menunjukkan tanda tanda lelahnya. Dia tercurah sejadi-jadinya. Kami rasa hari sudah menjelang senja. Kami khawatir kalau sampai malam, hujan badai tak kunjung reda Bagaimana ini, bagaimana nanti, bagaimana kalau kita kembali saja? Tidak ada yang menolak, semuanya se-iya dan satu kata. Rasa lapar, dingin dan takut melewati malam di tempat ini mengalahkan hujan deras, angin kencang dan petir-petir ini. Berempat kami putuskan untuk kembali.

Sampan yang kami pinjam paksa, segera di lepaskan dari tambatan. Sejauh mata memandang, 5 hingga 10 meter ke muka yang terlihat hanya curah hujan dan air laut saja. Hujan sedang di puncak lebatnya. Satu … dua … tiga! Kami mulai meluncur mendorong sampan agar segera melaju. Uupps, perjalanan kami kali ini nyatanya lebih berat dari awal berangkat tadi. Mengayuh sampan dalam riuh gelombang, sampan terombang ayun oleh angin dan gelombang kuat. Kilat petir dan guruh terdengar ke sekian kali. Gelegarnya sampai menyiutkan nyali. Temanku yang di depan, menyisipkan jangkar kecil itu di bawah lipatan terpal, khawatir kilat tergoda menyambar ke sampan dan menghanguskan kami. Kami mendayung berganti ganti. Pelepah kelapa tadi, jadinya kami gunakan sebagai dayung yang kedua. Karena hujan deras sekali seluruh badan sampan kami, penuh dengan air dari langit ini. Badan sampan bergoyang kiri kanan terbawa hempasan, kami berjuang bahu membahu. Satu temanku memegang kemudi. Temanku yang berbadan paling besar di antara kami akibat dinginnya cuaca dan terlalu lelah mulai kambuh asmanya, dia sudah nggak kuat mendayung lagi. Ganti giliran aku dan temanku yang mendayung dengan satu satunya dayung yang kami punya dan pelepah kelapa.

Air laut dan hujan dalam sampan terus kami timba dan buang keluar. Mungkin saja sampan kecil ini tenggelam, karena muatannya terlalu berlebihan walau di kiri kanannya ada kaki penyeimbang, tapi dia sudah cukup berat menampung kami berempat ditambah tubuh sampan penuh dengan air curahan hujan. Sibuk mengayuh, mengemudi dan menimba dari tadi Kami jadi kehilangan arah. Kenapa kami tidak juga mengarah ke timur laut ? Padahal itukan arah yang kami tuju. Sampan kami selalu terbawa ke barat laut sampai akhirnya sampan menabrak tiang, tonggak penanda kalau ini bagian laut yang mulai dalam yaitu jalur dimana kapal kapal besar boleh melintas dan masuk ke pelabuhan. Barulah kami sadar kalau kami terseret arus dari muara sungai. Sepertinya hujan badai ini juga merata sampai ke hulu sungainya membuat sungai juga meluapkan arusnya hingga ke muara. Sepertinya pilihan kami untuk pulang di tengah hujan dan angin kencang ini bisa berakibat petaka.

Makin dingin, pakaian kami basah total dan bibir pun membiru. Dalam hati, kami masing masing mulai berdoa, menyesali diri, kenapa tadi kami tidak pamit ke orang tua. Jika mereka tahu, kami di kondisi begini, betapa khawatirnya mereka nanti. Terus … Terus …Dayung terus! Kami teriak bersama-sama. Semangat kami bangkit lagi. Pelan- pelan kami bisa melawan ombak dan arus sungai ini. Rasa dingin yang tadi mendera, malah berkurang. Kami beruntung langit berangsur reda marahnya tepat di saat kami telah habis tenaga karena kami cuma mengandalkan semangat saja.

Pandangan tak lagi berjarak. Pantai rumah kami sudah mulai tampak, ombak mulai tenang seperti biasa, arus muara tidak lagi menghanyutkan kami ke tengah. Betapa senang rasa hati, membayangkan kami akan segera kembali. Dalam hatiku terlantun lagu sebuah balada dari Motley crue. Lagu yang cukup mewakili kerinduan, tiap pulangku.

I am on my way ...
I am on my way …
Home sweet home ...
Tonight tonight I am on my way I am on may way …
Home sweet home …

Sampai di tepian pantai tempat awal kami berangkat sampan pinjaman diam diam ini, kami tambatkan lagi. Kami kembali tak kurang suatu apa hanya badan lelah, dingin dan basah kuyup. Perut yang mulai berkukuruyuk. Aha! Baru terasa laparnya kehabisan tenaga. Kami pulang berjalan kaki. Rumah kami kurang lebih tiga hingga lima kilometer dari pantai ini. Melewati perempatan jalan kedua, kami mencium aroma yang membuat lapar kami bertambah. Warung tenda bakso di perempatan ini sudah mulai buka dan beberapa pembeli yang lapar di sore hari itu satu demi satu berdatangan. Kami berempat yang awalnya pakaian setengah basah kuyup mulai mengering di badan karena dibawa berjalan. Kami masuk dan memesan bakso disini. Uang seribu rupiah hasil perjalanan kami cukup untuk empat mangkuk bakso panas dan sedap itu. Kami makan dengan gembira dan tertawa-tawa. Mengenangkan pengalaman berapa saat sebelumnya di atas sampan, di pulau delta, dan dibawah hujan badai. Seru dan senangnya.

Sesampai dirumah, Ibu mengomel saja ketika tahu kalau kami baru saja lepas dari bahaya. “Kalian bisa saja celaka, dasar anak-anak ! Ayo mandi dan ganti baju sana, setelah itu segera makan dan istirahat !Besok pagi kamu kan sekolah!” Omel ibu. Dalam hati aku senang sekali walau marah, ibu tetap menunjukkan perhatiannya dan aku sudah ada di rumah.

Masa-masa itu kan selalu terkenang. Penuh kebebasan dan kegembiraan. Masa kanak dan remaja dalam petualangan dan persahabatan. Kami tidak pernah khawatir untuk melangkah, karena kami tahu kalau kami mampu bertahan. Kami jatuh, jatuh lagi, bangun, jatuh ke sekian kali, dan bangkit lagi. Semuanya dijalankan apa adanya.

Nikmati suka dan duka dengan gembira. Suatu masa di kala 1000 rupiah = 4 mangkuk bakso. Hingga sekarang mungkin di suatu tempat, Bakso satu mangkok, harganya sudah lebih dari Rp.10 ribu. Ditempat lain barangkali harganya berlipat kali lebih. Tapi kenangan akan masa lalu tidak akan pernah terganti. Memori yang senantiasa terpatri dan punya ruang tersendiri dalam hati. So, kemanapun, selarut apapun ku pergi, aku pasti akan kembali. Home sweet home.

Catatan Buyung Haryakusuma dari Angouleme, Prancis.

2 tanggapan untuk “1000 Rupiah = 4 Mangkuk Bakso

  • 29 April 2021 pada 13 h 25 min
    Permalink

    Keren banget gaya tulisannya, admin semoga ada tulisan2 lagi dari penulis ini ya

    Balas
  • 29 April 2021 pada 13 h 26 min
    Permalink

    Bacanya sampai kebawa hanyut!

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *