Mollo – Festival Budaya Indonesia Meraup Sukses Di Nanterre, Prancis
Rasanya kata luar biasa tak cukup untuk menggambarkan pertunjukan musik dan tari yang digelar pada hari Rabu malam, 25 Mei lalu di ruang théâtre Bernard Marie Koltes, Universitas Paris Nanterre. Acara yang menjadi gong pamungkas tiga hari festival bertajuk Mollo – Festival de la culture indonésienne benar- benar keren.
Diawali dengan sambutan dari rektor universitas Paris Nanterre, Philippe-Gervay Lambony, dubes RI untuk Prancis, Mohamad Oemar dan Caroline Richard, ketua panitia, pertunjukan malam itu terbagi dalam dua bagian. Yang pertama merupakan pertunjukan unjuk hasil pencapaian selama satu tahun ajaran para murid gamelan Jawa group Unigong Pantcha Indra dan group tari asosiasi Sekar Jagad Indonesia.
Bagian kedua yang merupakan inti acara dimulai setelah lantunan karawitan Jawa dengan tembang “Subakastawa”, “Ladrang Gegot” dan sebuah tari Bali “Rejang Renteng”.
Selama satu setengah jam para penonton seolah terpaku di tempatnya. Hampir tak ada yang beranjak dari kursi, terkesima oleh keluwesan namun penuh energi yang menguar dari para penari dan musisi andal. Nyaris tak berjedah, tepuk tangan membahana dari awal hingga acara berakhir. Teriakan bravo dari para penonton yang memenuhi ruang pun sering terlontar. Pertunjukan yang menyihir sekitar 350 penonton ini merupakan paduan ciamik antara seni tradisi dan modern, antara karya musik, tari dan wastra tradisional.
Kolaborasi apik antara Krishna Sutedja, komposer kondang asal Bali yang bermukim di Leiden dengan Christophe Moure, pelatih sekaligus penanggung jawab gamelan, Kadek Puspasari, direktur artistik, Dian Oerip,
desainer asal Ngawi dengan spesialisasi kain tenun dan Melanie Subono, musisi serta aktivis lingkungan hidup di Indonesia.
Walau merupakan karya musik kontemporer, namun nuansa tradisi masih sangat kental terasa. Musik yang digubah secara khusus oleh Krishna Sutedja untuk mengiringi puluhan penari dengan kostum rancangan Dian Oerip ini mengeksplorasi berbagai alat musik. Mulai dari gamelan Jawa dan Bali, instrumen musik barat hingga cangkang kerang laut. Gaung berat yang dihasilkan cangkang kerang laut membuat kita seolah-olah berada di tengah padang savana di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Di atas panggung, silih berganti para penari dan para pecinta brand fesyien Oerip Indonesia memamerkan keindahan rupa dan warna ratusan kain tenun Mollo khas desa Fatumnasi, Soe, NTT, yang dibawa Dian Oerip dalam lawatannya ke Prancis dan Belanda kali ini.
Kadek Puspasari yang bertindak sebagai direktur artistik berujar bahwa pertunjukan malam itu terinspirasi dari perjuangan para wanita penenun dalam upaya mereka menyelamatkan lingkungan hidup dan tradisi warisan para leluhur di daerah Mollo.
Klop dengan spirit yang diunggah oleh Dian Oerip yang tak kenal lelah menjelajah berbagai pelosok nusantara mencari dan mengenal wastra tradisional, mendorong pelestarian dan mempromosikannya hingga ke manca negara. Untuk festival kali ini Dian Oerip mengangkat kain tenun dari Mollo sebagai primadona.
Di penghujung acara, selama beberapa menit tak henti-hentinya penonton berdiri bertepuk tangan meriah memberikan apresiasi mereka. Rasa
senang, haru dan bangga melihat bahwa karya seni Indonesia berhasil memukau publik Prancis. Pertunjukan malam itu kembali menyadarkan betapa beragamnya seni budaya Indonesia, betapa eloknya wastra Indonesia.
Ini baru dari satu daerah, padahal tiap daerah di Indonesia memiliki wastra tradisional masing-masing. Alangkah kayanya negeri kita akan seni budaya. Menjadi tantangan bagi kita semua untuk melestarikan dan mengembangkannya.
Selama festival yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut, dari tanggal 23 hingga 25 Mei diselenggarakan berbagai kegiatan. Selain tentu
saja pertunjukan tari di atas, digelar pula pemutaran film, pameran lukisan karya Jean-Jacques Moure, pameran kain-kain tenun dari seluruh nusantara koleksi Dian Oerip, workshop tari Jawa oleh Kadek Puspasari, gamelan oleh Christophe Moure, pencak silat oleh Bertrand Pierrard, cara memakai kain tenun oleh Dian Oerip, membuat nasi goreng dan lumpia oleh Nanda Moure dan Angela Dewulf.
Ternyata minat publik Prancis mengikuti berbagai workshop cukup besar. Peserta mengikuti dengan antusias dan penuh perhatian.
Guna menarik perhatian masyarakat kota Nanterre di sekitar kampus untuk menghadiri festival, Senin sore, hari pertama festival, digelar balaganjur atau arak-arakan gamelan Bali berkeliling kampus dan sekitarnya.
Rombongan terdiri dari musisi gamelan Bali Puspa Warna, penari asosiasi Sekar Jagat Indonesia, group pecinta Dian Oerip dari Indonesia, mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam PPI dan beberapa warga Indonesia yang
tinggal di sekitar Paris.
Meski pertama kalinya digelar di universitas Paris Nanterre, festival budaya Indonesia ini cukup besar dan lengkap. Si penggagas festival, Caroline Richard, mahasiswa master 1 bidang sosiologi penyelenggaraan proyek budaya dan pengenalan publik, berharap festival ini bisa
terlaksana tiap tahun.
Menurutnya festival yang melibatkan puluhan seniman profesional yang berasal dari berbagai negara seperti Prancis, Belanda, Inggris, Slovakia dan Indonesia ini bisa terealisir berkat kerjasama antara asosiasi Pantcha Indra, Universitas Paris Nanterre dan Kedutaan Besar Indonesia di Paris.
Sebenarnya festival ini juga menjadi salah satu bukti eratnya hubungan antara ketiga organisme dan institusi tersebut. Apalagi dengan masuknya gamelan menjadi salah satu mata kuliah yang ditawarkan pada jurusan ethnomusikologi dan anthropologi tari di universitas yang terletak sekitar 8 km di sebelah barat kota Paris ini.
Menurut Prof. Warsito, Atdikbud KBRI Paris, universitas Paris Nanterre menjadi universitas pertama di Prancis yang memiliki mata kuliah gamelan. Semoga kelak lebih banyak lagi universitas di Prancis yang membuka mata kuliah gamelan.
Foto cover : Lingga Sagabestara