HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (46B)
Sekilas aku menatap wajah calon pengantin. Tanpa ekspresi. Pucat dan kaku meski samping kiri dan kanan mengajaknya berbicara dan menyilakan dia menyicipi antaghan minum yang sudah disediakan. Aku mengambil sepotong kue lapis yang diiris sedang. Sedangkan nenek Ceriwis dari tadi kulihat makan keripik mumbai tanpa henti. “Enak ya Nek?” Tanyaku. Langsung dijawab beliau dengan anggukan. “Renyah dan guri.” Ujar nenek Ceriwis sambil menawariku. Aku mengambil satu dan mencobanya. Benar sekali! Bikin ketagihan.
Usai minum beberapa menit, kami bergerak ke arah tengah panggung. Seorang lelaki sepuh berdiri di hadapan calon mempelai. Entah apa yang dilakukannya, ada semacam tradisi mirip tepung tawar, yaitu memercikan air beras ke arah calon pengantin dengan mayang pinang. Kepalaku agak pusing ketika aroma kemenyan arab memenuhi ruangan. Terlalu wangi menurutku. Menyengat sampai ke otak. Aku mencoba menutup pancaidera penciumanku. Tapi tetap saja tercium. Akhirnya aku menahan-nahan ketika menghirup udara. Kami duduk diatur sedemikian rupa. Mataku mencari-cari calon mempelai wanita. Mengapa di sini hanya ada lelaki semua? Ibu-ibunya mana? Aku ikut nenek Ceriwis duduk di bagian belakang khusus untuk besan dan tamu perempuan. “Hmmm jadi rombongan kami dianggap rombongan besan?” Aku membatin. Aku memperhatikan aktivitas di sini. Tertib sekali. Tidak ada suara berdengung bercakap-cakap seperti biasa di pesta-pesta yang kutemukan di alam manusia. Calon pengantin lelaki duduk bersila di atas permadani berwarna hijau lumut. Warna sepadan dengan gorden dan alas meja yang akan dipakai akad nikah. Di kiri kanan pengantin sudah duduk dua lelaki sepuh. Nampaknya mereka bertugas menjadi saksi. Lalu di hadapan calon pengantin, dua orang lelaki duduk sejajar. Aku memperkirakan satu orang wali calon pengantin perempuan, satu lagi ketip, orang yang dipercaya atau petugas menikahkan.
Tak lama pembawa acara memimpin rangkaian pernikahan. Calon pengantin lelaki lancar saja mengucapkan ijab kabul sampai membaca taklik. Dalam hati aku membatin. Ternyata tidak ada beda dengan di alamku. Akad nikah diawali mengucapkan dua kalimat syahadat, disuruh mengucapkan taawuz, lalu membaca beberapa surat pendek selanjutnya mengucapkan akad, jika benar, maka serentak saksi menyatakan “sah”. Usai mengucapkan ijab kabul, tak ada sedikitpun ekspresi gembira pengantin pria. Wajahnya masih tegang dan kaku. Pandangan matanya kosong. Mirip robot! Musik qasidah terdengar sangat indah membuat suasana hangat dan gembira. Kulihat beberapa orang ikut mengangguk-angguk menikmati irama yang memang rancak. Semua mata fokus pada pengantin perempuan yang baru ke luar dari balik tirai, diiringi dua anak gadis yang membimbingnya kiri dan kanan. Di belakangnya, mengiring ibu, nenek, dan saudara-saudaranya. Sang pengantin menggunakan baju beludu warna merah, memakai gelang, kalung, dan tali pinggang semua berwarn emas. Mahkotanya menurutku cukup unik. Ujungnya runcing-runcing mirip daun pakis keriting. Motifnya ramai sekali. Berkilau-kilau keemasan ketika tertimpa cahaya lampu. Ekspresinya menampakkan kebahagiaan. Wajahnya lembut, matanya bercahaya. Aku melihat kecantikan alami yang dimilikinya. Dengan agak malu-malu dia duduk di samping kiri mempelai pria. Ketika disuruh sujud, mempelai pria seperti kayu menjulurkan tangan tanpa ekspresi. Dalam hati aku kasihan melihatnya. Tidak terbayang, bagaimana menghadapi suami kaku seperti itu.
Tiba-tiba aku teringat Gunturo. Mungkinka aku akan sampai ke pelaminan bersamanya seperti pengantin Itu kelak jika aku dewasa? Ada rasa pilu menyusup di dadaku. Sudah seminggu ini aku tidak jumpa Guntoro. Aku tidak tahu kemana dia. Mau bertanya dengan teman-temannya aku malu. “Usai acara ini nanti, tuan rumah menyiapkan hidangan makan. Kamu duluan makan ya. Baru pulang dengan Macan Kumbang. Besok kamu harus sekolah kan?” Ujar Nenek Ceriwis. Aku mengangguk setuju. “Nek, yang menikah ini siapa?” Tanyaku. Apalagi sampai pakai seragam sama seperti ini. Aku tidak melihat sosok nek Kam, kakek, dan puyang lainnya yang kukenal. “Yang menikah ini masih kerabat Orang tua nenek. Itu yang perempuan adik sepupu nenek. Nah, nek Kam dan lainnya belum datang. Kemungkinan nanti atau esok mereka pasti datang. Pesta ini tiga hari tiga malam. Sekarang mereka tengah menyelesaikan masalah besar di luar sana. Nanti juga kamu akan tahu,” ujar nenek Ceriwis lagi.
Masalah besar? Masalah apa gerangan? Aku tidak berani bertanya lebih detil. Pantas ketika aku memanggil nenek dan kakekku satu-satu mereka tidak ada yang menyahut. Rupanya mereka tengah menghadapi masalah besar. Akhirnya usai doa, sepasang pengantin duduk di pelaminan. Para undangan disilakan untuk menikmati hidangan yang disediakan. Aku tidak ingin makan sebenarnya. Perutku masih kenyang. Jika aku makan jam segini apa bedanya dengan makan sahur? Tapi demi menghargai nenek Ceriwis, akhirnya aku ikut rombongan ke samping panggung tempat disediakannya hidangan makan. Aku ikut duduk melingkar. Sama seperti hidangan makan anak kepala suku lereng Dempu ketika aku dan nenek Kam undangan beberapa waktu lalu. Hidangan ini pun memiliki macam -macam lauk. Aku mengambil nasi samin setengah centong, dan malbi sepotong. Di panggung, qasidah masih menghibur para tamu. Iseng aku bertanya dengan nenek Ceriwis.”Nek, mana keluarga mempelai laki-laki?” “Itu, yang pakai baju merah marun. Itu ayah dan ibu angkatnya mempelai. Ibu kandungnya kan bangsa manusia. Dia kan di sunting seminggu yang lalu.” Ujar nenek Ceriwis. “Nek, kalau boleh bertanya, mengapa harus menikah dengan manusia? Kasihan kan Nek. Keluarganya harus kehilangan anak bujangnya?” Ujarku.
Selintas terpikir olehku jika Guntoro yang mereka sunting. Wah! Bisa dipastikan aku akan ngamuk di dua alam. Akan kuobrak-abrik semuanya. Tak akan kubiarkan Guntoro diambil siapapun. Aku membenak.”Aduh..duh..duh!!” Tiba-tiba cubitan kecil mendarat di pahaku. Aku mendesis menahan sakit. Nenek Ceriwis seperti kebiasaannya mencubit! Rupanya dia tahu apa yang ada dalam benakku.”Yang disunting itu punya kriteria tahu. Bukan sembarangan orang. Guntoro…hmmm..apa kelebihannya anak itu hah?” Ujar Nenek sedikit melotot. “Dia baik dan setia, Nek. Trus ganteng juga. Yang penting aku suka dan cinta dia”. Jawabku seadanya. “Iiiih…pecah bulu! Kecil-kecil bilang cinta.” Kembali tangannya mau mendarat, kali ini aku menghindar sambil tertawa sampai-sampai beberapa orang melihat pada kami berdua.
Jelang subuh aku minta izin pulang. Macan Kumbang kembali mengantarku. Semula aku ingin pulang sendiri. Tapi Nenek melarang. Katanya Selasih harus diantar sampai di rumah. “Antar sampai ke rumahnya, Kumbang ya. Pastikan itu. Kalau tidak nanti dia nyasar ke rumah Guntoro. Kayak mana si Guntoro itu sampai cucuku kepincut kayak gini,” nenek Ceriwis ngoceh lagi. Kumbang mengangguk sambil tersenyum. Aku mencium tangan nenek Ceriwis sembari was-was takut dicubitnya lagi. Rupanya nenek meraih tubuhku, memeluk dan menciumku. “Jaga diri baik-baik, Cung. Tetap waspada. Tingkatkan kewaspadaanmu.” Aku berpikir mengapa sampai sedalam itu nenek berpesan? Mengapa aku harus meningkatkan kewaspadaan? Adakah sesuatu yang akan terjadi padaku?
Sambil berjalan dengan Macan Kumbang aku berusaha membaca diriku. Tapi lagi-lagi lingkaran tipis yang melingkariku tak mampu kutembus. Aku tak mampu membaca apa yang akan terjadi pada diri sendiri. Akhirnya aku naik ke punggung Macan Kumbang. Memeluk lehernya. Kuletakkan kepalaku ke tengkuknya. Diperjalanan aku lebih bayak diam. Ada rahasia yang tidak terpecahkan olehku. Rahasia yang disimpan oleh para nenek dan kakekku. Tidak ada yang mau mengingatkan dan memberitahu aku. “Kenapa diam? Masih sakit dicubit nenek Putri Kuning?” Tanya Macam Kumbang. “Bukan Putri Kuning, tapi Nenek Ceriwis!” Ujarku. Macam Kumbang tertawa terbaik-bahak. “Cucu durhaka. Nenek sendiri diberi julukan negatif. Dosa tahu!” Macan Kumbang masih tertawa. Tidak berapa lama aku sudah sampai si rumahku. Aku menarik nafas panjang. Rasa kantuk mulai menjalar. Aku langsung terkapar hingga tidak tahu lagi ketika Macan Kumbang pulang. Ketika terjaga, kebaya yang kupakai raib.
Mataku masih terasa sangat berat. Tapi aku paksakan untuk mebuka mata. Aku takut terlambat sekolah.Sekilas aku jadi ingat pengantin lelaki tadi malam. Jam baru menunjukkan pukul 05.00 pagi. Iseng aku memfokuskan diri ke Jarai. Aku ingin melihat bagaimana keadaan keluarga pengantin laki-laki yang kami ampak tadi malam. Dalam sekejab aku sudah berada di depan rumahnya. Tadi malam kami berada di sini menjemput pengantinnya. Aku melihat banyak orang sibuk-sibuk turun naik ke rumah panggung, ada juga di sisi rumah menyiapkan air banyak sekali. Aku mencoba naik ke rumah untuk melihat jasad lelaki pengantin. Masya Allah yang diusap dan ditangisi bukan jasad manusia. Benar kata nenek Kam ketika beliau bercerita beberapa waktu lalu jika yang terlihat jasad ifu sebenarnya batang pisang. Tapi mata awam akan melihatnya jasad manusia. Aku jadi bingung sendiri. Mengapa bisa begini?
“Assalamualaikum, kamu siapa anak gadis? Darimana?” Seorang lelaki sepuh menghampiriku. Sepertinya bukan bangsa jin, siluman, hantu, atau pun nenek gunung. Tapi beliau manusia tulen. “Waalaikum salam, Bapak bisa melihat saya?” Tanyaku heran. Beliau menjawab dengan senyum. “Iya. Kamu pasti penasaran dengan jasad yang hendak dimadikan itu bukan? Bukankah jasadnya sudah kalian bawa ke Uluan? Sudah kalian lamar beberapa hari lalu,” ujarnya menggunakan kata ‘kalian’. “Mengapa tidak Bapak halangi agar tidak disunting oleh manusia Uluan? Mengapa tidak Bapak larang?” Ujarku lagi. “Siapa yang dapat menghalangi jodoh seseorang, anak Gadis. Siapapun itu takkan mampu. Bapak tidak punya hak dan tidak pula punya kamampuan untuk menghalangi. Ada kesepakatan leluhur antara dua alam yang berbeda ini. Ini menandakan betapa dekatnya kehidupan mereka meski di dimensi yang berbeda. “Aku mengaguk sembari memahami uraian Bapak yang terlihat bijak ini. Akhirnya aku mohon diri untuk pulang. Ternyata ada juga manusia sakti seperti Bapak ini. Aku mirip maling ketangkap tangan.
Baru saja setengah jalan, tiba-tiba ada angin sangat kencang langsung menerjangku. Sungguh aku tidak menduga sama sekali. Aku tak sempat mengendalikan diri. Tubuhku seperti digulung. Dalam keadaan berputar, aku mencoba membaca mantra anginku untuk mengendalikan angin. Dalam sekejab aku seperti diraih oleh angin yang kukendalikan. Terjadi tarik-menarik. Angin yang kukendalikan berusaha meraih tubuhku sementara ada kekuatan lain yang berusaha menarik tubuhku juga. Aku tak sempat berpikir kecuali pasrah. Tubuhku terombang-ambing. “Gunakan selendangmu Selasih!” Kakek Andun mengingatkan. Dalam keadaan lelah dan pusing, kutarik selendangku lalu kuayunkan ke arah kekuatan yang menarik-narik tubuhku. Duaaar!!! Tubuhku terasa lepas dari cengkraman aneh itu. Aku diboyong angin pulang. Setelah tahu sudah sampai di kamarku kembali, aku menarik nafas lega. Aku baru saja menyatu dengan jasadku, ketika sebuah tangan menjewerku hingga tubuhku terasa terangkat. Oh! Aku menahan sakit hingga mataku terpicing satu.
“Bandeeeeel!! Bandeel!! Iiih… Ngapain kamu ke Jarai, ha? Penasaran dengan bujangan itu? Bukankah tadi malam sudah Nenek jelaskan! Kamu mencari bala rupanya. Kamu tahu siapa Bapak-Bapak itu? Dia adalah salah satu peri yang sering kamu lihat itu. Dia mengubah dirinya menjadi lelaki agar bisa dekat denganmu. “Nenek nyerocos kayak pipa air. Mendapatkan penjelasan itu aku kaget bukan main. Mengapa peri pakai nyamar segala? Lalu mengapa dilarang dekat denganku? Ada apa ini? Aku menggosok-gosok telingaku yang terasa pedas. Nenek masih saja memperlakukan aku seperti anak kecil dengan menjewer, mencubit. “Nenek. sadisss.” Gerutuku dalam hati. “Lebih baik sadis biar kamu tidak gagal paham! Saking hebatnya dia, kamu tidak bisa mencium aromanya dia kan? Kamu tidak bisa juga membaca pikirannya. Untung kamu bisa lepas dari cengkramannya. Ingat? Waspada..waspada! Tingkatkan instingmu. Patuhi nasehat orang. Jangan sok hebat!” Aduh, telingaku serasa mau meledak mendengar suara nenek Ceriwis. Suara itu mengiang-ngiang. “Iya Nek…maafkan aku. Aku janji tidak akan gegabah lagi.” Ujarku. Aku berharap Nenek ceriwis segera pulang ke Uluan. Aku mau siap-siap ke sekolah. “Terimakasih, Nek.” Sambungku lagi ketika nenek minta izin untuk pulang.
Aku menarik nafas lega. Rasanya baru bisa menarik nafas ketika nenek sudah pergi. Aku duduk sejenak sembari memeriksa buku pelajaran yang harus kubawa hari ini. Sebenarnya di sekolah tidak belajar aktif lagi setelah ulangan akhir. Minggu depan sudah menerima raport kenaikan kelas. Tapi rasanya tidak afdol kalau tidak bawa buku ke sekolah. Di sekolah sedang diadakan class meeting. Sementara aku latihan baris berbaris persiapan lomba 17 Agustus, hari kemerdekaan. Rasa dingin dan kabut tebal subuh belum semuanya turun. Udara lembab sangat terasa. Bayangan batang pisang pengganti jasad bujang Jarai itu masih terlihat jelas. Tapi yang aku masih bingung , mengapa peri itu menyamar jadi bapak-bapak? Nenek tidak menjelaskan dan aku juga tidak sempat bertanya. Ada apa gerangan peri itu ingin mendekati aku? Lalu dilarang? Aku jadi marah pada diri sendiri. Harusnya aku bertanya dari kemarin-kemarin dengan Macan Kembang atau nenek. Mengapa selalu tidak terpikir ketika dekat dengan mereka? Ada benarnya juga apa yang dikatakan nenek Ceriwis, aku harus waspada. Sebenarnya aku senang dinasehati beliau. Beliau perhatian dan sayang padaku. Tapi cara mengungkapkan kasih sayangnya beda jauh dengan nenek Kam. Nenek Ceriwis ringan semuanya. Ringan mulutnya, ringan tangannya. Masak aku masih dianggap anak kecil terus? Dicubit!
Hari ini rencana Bapak akan pulang ke Seberang Endikat. Ketika kutanya , jawab Bapak batal. Entah apa alasannya. Aku si bahagia saja, pulang sekolah ada Bapak yang nungguin. Seperti biasa, matahari belum muncul aku dan kawan-kawan sudah menyisir jalan berbatu. Sambil ngobrol segala macam mulai dari membicarakan masalah kenaikan kelas, sampai ke aktivitas sekolah yang padat. Sesekali aku menoleh, berharap ada keajaiban seseorang memanggil, menyusulku. Siapa lagi kalau bukan mengharapkan kehadiran Guntoro. Perasaan sedih rindu, mengaduk-ngaduk perasaanku beberapa hari ini. Selalu saja di sela kesibukanku wajah Guntoro saja yang terbayang.
“Kita susuri saja yuk nyari keberadaan Guntoro,” ajak Selasih. “Ssst…kita tidak boleh memanfaatkan kemampuan kita untuk masalah seperti ini. Kalau boleh, mungkin sudah setiap saat aku mendekat dan melihat Guntoro.” Ujarku. Akhirnya aku hanya menekan perasaan rinduku. Beberapa kakak tingkat yang berusaha menggodaku kubalas saja dengan senyum. “Dek, sama aku saja. Tinggalkanlah Guntoro. Sekolah saja dia jarang. Siapa tahu dia punya teman serius yang lain,” ujar Holidi sambil lalu. Aku berusaha menahan diri untuk tidak emosi. Meski dalam hati sangat tersinggung. Ingin rasanya mendampratnya. Dia pikir aku perempuan apa. Tapi lama-lama aku jadi risau sendiri. Kupandang ada batu agak besar dekat kaki Holidi. Tiba-tiba Holidi tergelincir sesuai dengan pikiranku. Aku kaget! Holiday terjerengkang.”Toloooong…tolong….” Aku terkesima. Di tengah jalan masih temaram, ketika aku dan kawan-kawan hendak meniti jalan agak menanjak dan menikung di Nendagung Ulu, jauh masuk area kuburan aku mendengar suara minta tolong. Sejenak aku mencoba mendengarkannya lagi. Iya..bahkan suara minta tolong kali ini lebih menyayat. Naluriku hendak menolongnya. Aku titipkan tasku dengan kawan-kawan, lalu mereka kusuruh berangkat duluan. Tanpa menunggu persetujuan mereka aku langsung berlari ke area kuburan yang bersemak.
Beberapa temanku berteriak memanggil namaku. Tapi aku sudah melesat berlari di antara kuburan. “Akhirnya datang juga! Kemari Putri kecil yang cantik, Putri Selasih. Sudah lama kami menunggumu ingin memelukmu” Sepasang Peri berdiri persis di hadapanku. Aku terkesima sejenak. Perasaan tidak enak mulai menjalari hatiku. Ketika pertama kali melihatnya aku simpati bahkan ingin tahu siapa neraka, peri darimana, namun setelah mengalami peristiwa tadi pagi, di antara mereka mengubah dirinya menjadi lelaki untuk mengelabuiku, aku menjadi waspada. Untung nenek ceriwis mengingatkan aku. “Siapa kalian Peri? Aku tidak kenal!” Jawabku sembari tetap was-was. Salah satu mereka telah membaca mantra untuk menundukkan aku, serupa gedam agar aku lupa, termasuk lupa dengan diriku sendiri. Kulawan pula dengan mantra. Mantra ketemu mantra. Aku melihat kedua mantra bertabrakan. Dua kekuatan beradu.
“Tidak usah dilawan mantra kami Selasih. Kami sayang padamu. Kamu anak yang manis. Kami ingin dekat denganmu.” Kata yang satu lagi. Aku berusaha bertahan untuk tidak terpengaruh. Baiklah mereka sepertinya menyerang dengan kekuatan mantra. Aku segera duduk bersila. Aku lawan mantra-mantra mereka. Mereka serentak membaca mantra. Lalu aku melihat ada jaring yang mengulur ke arahku. Belum sempat jaring itu menyentuhku kulawan jaringannya dengan mantra pemotongku. Aku mencoba memotong-motong jaring itu menjadi beberapa bagian. Aku terbelalak. Jaring yang terpotong -potong itu berubah menjadi jaring baru. “Sreeeet” Sabuk pemberian Putri Ular kukelurakan. Kubaca mantra, lalu sabukku bergerak sendiri menuju sasaran. Jaring dan ular bertarung. Dua kekuatan mantra sang peri serupa badai menderu hendak menggulung sabukku. Kuubah sabuk menjadi pedang. Dengan cepat, sabuk berputar memapas jaring lalu kusuruh puting beliau menggulungnya. Dua peri terpental. Aku masih duduk tidak mengejar mereka untuk melakukan serangan. Tiba-tiba aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya melihat dinding tipis menghalangiku dan tak mampu kutembus dengan mantra-mantraku. Aku hanya mendengar suara pertempuran yang dasyat. Entah siapa yang bertempur aku tidak tahu. Aku kembali dilindungi pagar tipis.
“Berangkatlah menuju sekolahmu, Selasi.” Suara nek Kam. Aku segera bangkit berlari kecil kembali di antara kuburan. Aku coba menoleh, tak kutemukan dua peri itu. Aku benar-benar terkurung lagi. Entah siapapun melakukannya aku tak tahu. Kuntum kamboja berserakan di atas rumput kuburan yang tak terurus. Ranting kering berserakan. Semua kuburan yang terhampar mirip kuburan-kuburan tua tanpa pemilik. Pohon berdaun merah yang umum tumbuh di pemakanam Besemah seakan bercerita tetang sepi yang paling cekam.
Bersambung…