Perjalanan Secangkir Kopi (Bagian III-Habis)

Kopi Jawa Menguasai Eropa.

Sejarah mencatat bahwa, bupati Cianjur Raden Aria Wiratanudatar, pada tahun 1711 berhasil menyerahkan sekitar 400 kg kopi dari wilayah kekuasaannya kepada VOC. Kopi tersebut dibawa oleh VOC mengikuti lelang di Amsterdam. Secara mengejutkan kopi dari Priangan berhasil memecahkan harga lelang tertinggi (Gabriella & Hanuz, 2003) bahkan memperoleh predikat sebagaikopi kualitas tinggi ‘a high grade coffee’ (Uker’s 1922 : 213).

Hal ini mendorong VOC untuk mengaktifkan tanaman kopi di wilayah Priangan. Langkah tersebut sekaligus menempatkan pulau Jawa, dalam hal ini Priangan, sebagai perkebunan kopi ke dua di dunia setelah Mocha Yaman.

Pada tahun 1726, setengah sampai tiga perempat dari kopi yang diperdagangkan dunia berasal dari VOC. Setengahnya dihasilkan dari perkebunan kopi di Priangan barat yaitu di Cianjur (G.J.Knaap,1986; Yahmadi, 1999). Sementara Steven Topik dan David Bulbeckmenyebut, mulai tahun 1726, sekitar 90 persen impor kopi Belanda berasal dari pulau Jawa, yang notabene berasal dari Priangan (Topik, 2004; Bulbeck et.all, 1998).

Posisi Priangan sebagai penghasil utama kopi dunia semakin kuat setelah menggeser kopi Mocha dari pasar Eropa! Karena Priangan berada di pulau Jawa maka kopi dari perkebunan di Priangan populer dengan nama ‘Java Koffie’ atau Java coffee.

Impian Belanda untuk menguasai perdagangan kopi dunia diwujudkan melalui dua langkah besar. Pertama membangun perkebunan kopi di Priangan, pulau Jawa dan langkah berikutnya menempatan Amsterdam sebagai pusat lelang kopi dunia.

Pada tahun 1730, Belanda mulai melakukan lelang kopi dari tiga benua. Benua Asia diwakili oleh Jawa dan Bourbon (Re Union), Jazirah Arab oleh Mocha, benua Amerika diwakili oleh Suriname Guyana sedang Kepulauan Karibia diwakili oleh Martinique(Topik 2004 : 13). Posisi ini memberi peluang Belanda untuk melakukan kontrol perdagangan kopi dunia melalui sistim monopoli selama lebih dari seratus tahun.

CULTUUR – STELSEL (1830 – 1870).

Peningkatan produksi kopi di pulau Jawa berlangsung ketika  Van den Bosch diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830 – 1835). Untuk menutup kekosongan kas  pemerintah akibat Perang Jawa, Van den Bosch mengusulkan untuk mengaktifkan hasil bumi, salah satunya adalah kopi, sebagai tanaman ekspor. Salah satu ambisi Van den Bosch adalah meningkatkan jumlah tanaman kopi di pulau Jawa sebanyak 50 juta pohon pada tahun pertama dan 40 juta pohon kopi di tahun ke dua masa kekuasaannya (Bulbect et all 1998 : 149).

Pada tahun 1840, dilaporkan bahwa di pulau Jawa terdapat lebih dari 300 juta pohon kopi sehingga volume produksi kopi di pulau Jawa meningkat secara tajam (Elson, 1998). Tahun 1834, produksi kopi di Jawa baru sekitar 28.662 ton melonjak ke angka 64.201 ton pada tahun 1842. “Coffee was designed as a compulsory crop in 1832, and its production expanded drastically until about 1840…”(Merennage Radin Fernando, William Gervase, Clarence Smith 2003 : 157 – 172; Bulbect et all, 1998). Lompatan produksi kopi di pulau Jawa hampir dua kali lipat tersebut berlangsung sekitar tujuh tahun setelah praktek Cultuur-stelsel diterapkan yang melibatkan para bupati di seluruh pulau Jawa.

Lonjakan produksi kopi tersebut tidak terlepas dari peran bupati yang mengaktifkan rakyat di wilayah meeka untuk menanam pohon kopi sehingga jumlah pohon kopi terus meningkat  di pulau Jawa. Untuk pertama kali, pulau Jawa menghasilkan satu juta karung kopi (Mawardi, 2000). Pada tahun 1870, sekitar 25 sampai 27 persen dari total peredaran kopi di pasar dunia berasal dari pulau Jawai(Bulbect et all, 1998), dimana Priangan sebagai sentra utama perkebunan kopi.

Hemileia Vastatrix.

Memasuki tahun 1870an, perkebunan kopi dari dua produsen utama kopi Arabika di Asia yaitu, Jawa dan Ceylon, terserang penyakit sejenis fungi atau jamur mematikan tanaman kopi bernama hemileia vastatrix. Meski dikenal sebagai pionir tanaman kopi, bamun Belanda ternyata tidak mampu mengendalikan penyakit jamur hemileia vastatrix yang dengan dengan cepat menghancurkan perkebunan kopi di Jawa dan Ceylon.

Hancurnya perkebunan kopi,akibat panyakit hemileia vastatrix telah menyebabkan Belanda kehilangan potensi ekspor 120.000 ton kopi dari pulau Jawa. sementara Ceylon kehilangan 83.568 ton atau sekitar 16.500.000 poundsterling (Bondaneire, 1896; Ultee 1929 : 5).

Di sisi lain, industri kopi dunia juga mengalami kontraksi serta kepanikan luar biasa akibat suplai kopi dari pulau Jawa dan Ceylon terhenti. Para pengamat industri kopi dunia menempatkan kasus ini sebagai ‘Declining of Asian Production’ (Talbot, op. cit, 2011 : 58 -88) sekaligus masalah paling serius yang menyebabkan harga kenaikan kopi di pasar dunia (Samper and Fernando 2003 : 424; Clarence Smith 2003 : 101). Pada saat yang sama terjadi kenaikan konsumsi kopi di Amerika Serikat yang meningkat tajam akibat ledakan penduduk di Amerika Serikat awal abad 19 (Topik, 2004).

Situasi itu direspon oleh petani Brazil dengan melakukan penanaman pohon kopi secara besar-besaran. Dalam empat belas tahun kemudian, jumlah pohon kopi di Sao Paulo meningkat empat kali lipat (Topik 2003 : 35 in Talbot 2011 : 75) dan memberi peluang kepada Brazil memperoleh posisi sebagai eksportir besar kopi di pasar dunia, sampai hari ini. Hancurnya perkebunan kopi di Jawa dan Ceylon, serta meningkatnya permintaan kopi di pasar dunia, juga memberi peluang kepada Kolumbia serta beberapa Negara Amerika Latin seperti Guatemala, El Salvador, Nicaragua juga Meksiko masuk menjadi eksportir kopi Arabika (Gabriella & Hanuz, op.cit, 2003 : 33; Roseberry, 1995 : 6, 11; Samper & Fernando 2003 : 424 – 435).

Pada tahun 1876, Belanda mencoba mengganti tanaman kopi Arabika atau coffea carnephora var. Arabica yang hancur akibat penyakit hemileia vastatrix dengan benih baru coffea carnephora var. liberica. Namun percobaan tersebut dianggal gagal (Ultee 1929 : 8) karena tanaman var. liberica masih rentan dengan penyakit hemileia vastatrix.

Baru pada tahun 1900, Belanda mendatangkan tanaman coffea carnephora var. robustasebanyak 150 pohon yang kemudian ditanam di Sumber Agung, Wringin Anom dan Kali Bakar di Jawa Timur (Yahmadi 1976 : 160). Percobaan ini sukses, sekaligus menandai suatu era baru di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia sebagai eksportir besar kopi robusta dipasar dunia.

Sampai tahun 2011 luas lahan perkebunan kopi di Indonesia diperkirakan sekitar 1,2 juta hektar dimana 95 persen diolah serta dimiliki oleh petani yang mengandalkan penjualan biji kopi sebagai penghasilan utama. Mereka mengelola perkebunan campur dengan luas lahan rata-rata sekitar satu hektar. Selama bertahun-tahun, kondisi perkebunan kopi rakyat yang tidak terpelihara adalah salah satu akar masalah mengapa sampai tahun 2013 produksi kopi Robusta Indonesia hanya sekitar 600 kg/ha. Sementara Vietnam mampu menghasilkan sekitar 2,4 sampai 3 ton per hectare per tahun.

Eropa barat dan Amerika utara masih menjadi pasar utama konsumen kopi Robusta Indonesia selain juga negara-negara dengan kekuatan ekonomi baru seperti Malaysia, Filipina dan Rusia. Meski begitu, pasar ekspor kopi Robusta Indonesia lebih berfluktuasi dibandingkan pasar kopi Arabika. Penyebab utama adalah produk kopi Robusta Indonesia dapat dengan mudah digantikan dengan kopi Robusta dari negara lain, terutama dari Vietnam.

Situasi Saat Ini.

Booming konsumsi kopi dunia tidak bisa dilepaskan dari gerakan yang dimotori oleh tiga negara yaitu Amerika, Australia dan Inggris yang menawarkan konsep Gelombang ke tiga – Third Wave of coffee – di industri kopi Dunia melalui lembaga Specialty Coffee Association of America (SCAA). Lembaga ini memiliki perwakilan di setiap negara, dan secara luar biasa memperkenalkan suatu cara baru untuk mendefinisikan kualitas kopi melalui profile kopi.

Third Wave of Coffee menawarkan sensasi baru eksplorasi profile kopi melalui proses uji cita rasa secara organoleptik atau populer disebut cupping test. Inilah ‘ilmu baru’ sekaligus kunci keberhasilan gerakan Third Wave of Coffee yang segera menjadi virus bagi generasi millenial.

Di Indonesia, bisnis kopi tumbuh pesat tidak hanya di kota-kota besar, namun juga sampai di tingkat kabupaten. Bagi sebagian masyarakat urban di kota- kota besar, lokasi pertemuan dan meeting-point mulai bergeser ke kafe. Selain dimotori oleh para pebisnis, para wanita karier, ibu rumah tangga termasuk mahasiswa dan pelajar tidak mau ketinggalan untuk kumpul-kumpul di kafe, sehingga kafe sudah menjadi bagian gaya hidup sebagian masyarakat urban di Indonesia. (Tamat)

Oleh : Prawoto Indarto.
Sumber: csr-indonesia.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *