HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (79A)

Karya RD. Kedum

Ruangan tengah istana Puyang Pekik Nyaring sudah sesak oleh tamu sejak menjelang magrib. Entah tamu darimana saja aku tidak tahu. Jika melihat fisik mereka, tidak hanya dari bangsa manusia harimau. Tapi ada juga bangsa jin yang berpakaian gamis. Rata-rata seperti kiayi. Hanya Eyang Kuda yang nampak mencolok di antara yang lain karena beliau mengenakan baju adat jawa lengkap dengan kain dan blangkonnya. Yang lain ada seperti pendekar memakai ikat kepala khas daerah. Ada mirip ikat kepala Sunda, Banten, Bali. Lalu mirip peci Bugis, ikat kepala Aceh dan Minang. Selebihnya mirip kakekku haji Yasir dan Haji Majani. Kopiah haji lalu dililit sorban.

Aku mencari-cari nenek Kam. Rupanya beliau ada di ruang dalam bersama nenek Ceriwis dan para perempuan lainnya. Jika di ruang tengah aku banyak melihat bangsa manusia harimau dan jin, di tempat perempuan justru aku melihat banyak manusia harimau dan bangsa manusia.
“Nek, di sini banyak bangsa kita?” Tanyaku sambil menatap nenek-nenek yang secara kasat mata mereka cantik-cantik, namun dalam kehidupan nyata mereka adalah nenek-nenek yang sudah sepuh sebaya dengan nenek Kam.
“Iya, mereka adalah paranormal-paranormal yang dipercaya oleh puyang-puyang di sini khusus untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Menolong orang yang Sakit.” Ujar nenek Kam lagi.
“Itu lihat, kau kenal bukan?” Nenek Kam menunjuk seorang perempuan saparuh baya. Aku serasa bermimpi melihatnya. Nyaris aku tidak percaya. Beliau Wak Nur yang pernah mengobati kakiku ketika patah dulu.
“Beliau Wak Nur kan, Nek?” Tanyaku ingin keyakinan. Nenek Kam mengangguk.
“Beliau khusus mengobati patah mematah. Sungutannya nenek gunung Ghabuk.” Ujar Nenek Kam. Sungutan itu maksudnya semacam pendamping dalam pengobatan. Nenek gunung Ghabuk itu kakak ghaib Nenek Kam.
“Aku tahu kala itu ketika Wak Nur mengobati aku, ada lelaki yang selalu mendampingi. Tapi itu bukan Kakek Ghabuk, Nek,” ujarku penasaran.
“Iya, memang ada pendamping lain. Tapi tidak lepas dari perintah dan pegawasan Kakekmu itu.” Lanjut Nenek Kam kembali. Aku baru paham sekarang. Akhirnya aku menemui Wak Nur, dan mencium tangannya. Beliau kaget bukan main melihatku di sini.
“Kamu…kamu..anak Hasan bukan? Yang pernah patah kaki kan?” Tangan Wak Nur mengelus pipiku. Aku mengangguk sembari tetap menggenggam tangannya. Beliau memelukku berulang-ulang. Dari tatapannya masih banyak yang ingin beliau tanyakan padaku. Melihat kehadiranku di sini beliau terheran-heran.
“Kapan-kapan kita bercerita ya Wak,” ujarku menyudahi karena banyak tamu yang menyapa beliau. Dari nenek Kam kuketahui jika di antara perempuan yang datang ini ada juga ahli dalam segala pengobatan baik medis mau pun non medis. Ada yang khusus mengobati orang-orang yang kena guna-guna, ada dukun beranak, dan lain sebagainya. Yang membuat aku heran mengapa banyak perempuan, bukan laki-laki. Akhirnya aku pamit dengan Nek Kam untuk ke luar.

Aku duduk-duduk di beranda samping bersama Gundak, A Fung, dan Macan Kumbang. Kami ngobrol-ngobrol ringan perihal pekerjaan sehari-hari mereka. Dari obrolan itu kuketahui jika Gundak telah bertunangan dengan gadis dari dusun Mulak. Sementara A Fung tidur-tiduran berbantal pahaku.
“Wah! Selamat Gundak, akhirnya kau mendapatkan jodohmu. Bertemu dimana dengan gadis Mulak itu?” Ujarku antusias.
“Bertemu ketika aku ngibal (jalan-jalan) ke dusun itu. Aku melihat gadis itu pergi ke tebat (kolam) tengah hari. Aku tertarik, lalu kupinang.” Ujarnya lagi. Aku kaget! Kukira dari bangsa manusia harimau, ternyata dari bangsa manusia. Dulu Gundak pernah mau dijodohkam dengan gadis masih saudara Umaknya. Ternyata batal.
“Kapan jemput bunting (pengantin)?” Tanyaku penasaran.
“Tiga minggu lagi. Sekarang Bak dan Umak tengah mempersiapkan semuanya. Jadi tidak terlalu terburu-buru.” Lanjut Gundak bahagia. Aku bingung apakah harus bahagia atau sedih mendengar Gundak akan menikah. Bahagia karena Gundak akan mengakhiri masa lajangnya, dia mendapatkan perempuan impiannya. Sedih, karena gadis itu dari bangsa manusia, pasti keluarganya akan merasa kehilangan. Aku jadi ingat bagaimanan aku dan Macan Kumbang sama-sama menangis ketika dengan berat hati harus melepas gadis dari dusun Jarai karena dia anak yatim piatu, merawat neneknya seorang diri. Padahal di Uluan sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahannya. Aku memohon-mohon pada Macan Kumbang ketika itu agar membatalkan menyunting bangsa manusia itu. Akhirnya beliau kenal dengan Putri Bulan. Gadis dari kerajaan Gunung Bungkuk.

Gundak telah menyunting gadis dari dusun Mulak. Aku menyimpan rasa sedih di dalam hati. Yang kusedihkan adalah, mengapa harus beristri bangsa manusia.
“Selasih, dalam tradisi kita di tanah Besemah ini, setiap manusia terlahir telah membawa tanda. Mereka yang sejodoh dengan bangsa Uluan sudah ditakdirkan yang Maha Kuasa. Memang harus demikian jalannya,” Macan Kumbang menjelaskan. Aku hanya diam saja tidak berani berdebat. Maksudnya tanda itu, ada golongan manusia yang gampang bersenergi dengan bangsa halus. Memang tidak semua manusia memiliki sifat itu. Aku tidak mau menanyakannya lebih lanjut. Apalagi depan Gundak. Nanti dikira aku cemburu, atau dikira menghalang-halanginya untuk menikahi gadis pilihannya.
“Kak, aku kapan menikahnya?” Ujar A Fung sambil tertawa.
“Kamu anak kecil, tidak boleh menikah. Pecah bulu.” Ujarku ikut bercanda. Candaan A Fung ternyata mampu mengubah suasana. Akhirnya obrolan tidak terlalu serius masalah pernikahan Gundak dan gadis Mulak lagi.

“Putri Selasih, dipanggil Puyang ke dalam.” Seorang lelaki menghampiriku.
“Pengajian segera dimulai, semua diharapkan masuk” seorang lelaki lagi menyusul. Akhirnya kami semua masuk. Aku sempat menoleh dan mememberitahu Macan Kumbang jika melihat Putri Bulan dan kedua orang tuanya datang. Sekilas aku melihat Putri Bulan cantik sekali. Baju kurung yang dipakainya hijau toska sepadan dengan jilbabnya. Mirip dengan baju yang kukenakan ketika di bukit Marcawang. Aku tak sempat menyapanya karena harus menemui Puyang Pekik Nyaring segeralah.

Di ruang tengah yang luas semua tamu duduk bersila. Ruangan tercium wangi. Karena rata-rata tamu memakai pewangi, dan ruang pun demikian. Aromanya lembut sekali. Aku suka. Aku berjalan menunduk menuju Puyang Pekik Nyaring. Puyang menyuruhku duduk di sudut kanan yang sudah diselesaikan terpisah dengan tempat duduknya. Aku menuju tempat yang dimaksud. Si sana beberapa perempuan sepuh duduk rapi tersenyum manis ketika aku datang. Tidak satu pun di antara mereka yang kukenal. Aku menyalami para perempuan sepuh itu, mencium tangan mereka satu-satu. Ketika aku bermaksud hendak duduk di belakang mereka, mereka melarang.
“Itu tempat dudukmu, Cu.. ” Ujar salah satu mereka.
“Biarlah aku di belakang saja, Nek. Rasanya tidak sopan membelakangi para Nenek,” ujarku merasa tidak etis.
“Persoalannya bukan etis atau tidak, Cung. Tapi malam ini adalah pengajian yang dikhususkan untuk mendoakanmu.” Ujar mereka lagi. Akhirnya aku duduk di bagian kosong dengan perasan kikuk.
“Maafkan aku ya Nek, aku duduk di sini membelakangi nenek semua.” Ujarku.

Akhirnya aku duduk juga. Berusaha khusuk mengikuti rangkaian acara. Puyang Pekik Nyaring menyampaikan pada para ramu perihal undangan malam ini. Ternyata selain pengajian rutin, malam ini dianggap malam istimewa. Malam sakral untuk melakukan aktivitas religi. Selanjutnya beliau menyampaikan akan mengantarkan aku tepat tengah malam nanti untuk memulai tirakat kembali. Sebagai rasa syukur karena aku dianggap telah mampu melalui dan bisa menjalani beberapa tirakat sebelumnya, maka Puyang meminta para tamu untuk berdoa bersama agar aku pun kuat menjalankan tirakat selanjutnya, sesuai petunjuk Puyang Pekik Nyaring.

Melihat orang ramai mendoakan, aku terasa sebagai orang sangat penting. Apalagi tamu Puyang banyak sekali dari berbagai macam daerah dan lapisan. Tak sedikit di antara mereka raja-raja, petapa, dan pengelana. Sebelum acara dimulai, Puyang Pekik Nyaring menyampaikan semacam usia singkat tentang hakikat hidup. Semua mendengarkan saksama. Selanjutnya alunan ayat suci, syalawat, zikir, doa mengisi istana Puyang Pekik Nyaring. Aku merasakan energi luar biasa dari syalawat, zikir, dan doa yang dilantunkan. Ada kekuatan yang memagari semua yang hadir maupun alam semesta. Aku hanyut dalam suasana itu. Semua khusuk dengan mata terpejam dan bergoyang-goyang mengikuti alunan syalawat-syalawat yang dilantunkan oleh seorang syech.

Usai berdoa, semua tamu dihidangkan makanan kecil, ada wajik, lemang, juada basah. Sembari mengobrol kecil seperti melepas lelah para tamu duduk santai selonjoran sambil makan-makanan kecil. Tak lama ada yang memberi kode agar tamu menuju ruang samping karena makan malam telah disediakan di sana. Hidangan yang diletakkan di atas sprei di lantai, telah berjejer panjang. Entah ada berapa hidangan yang disediakan. Banyak sekali. Para tamu tanpa diatur telah duduk menghadapi hidangan. Satu hidangan untuk sepuluh orang. Hidangan perempuan dan laki-laki berbeda ruangan. Beberapa perempuan dan laki-laki menyambut dan menyilakan para tamu untuk menghadap hidangan sesuai keinginan mereka.

Jika di alam nyata, hidangan makan antara perempuan dan lelaki sama saja. Mungkin karena rumah bangsa manusia di desa umumnya tidak terlalu luas, biasanya kaum lelaki yang diberi kesempatan lebih dulu untuk makan. Setelah semua lelaki selesai baru giliran perempuan dan anak-anak. Karena ruangan istana Puyang Pekik Nyaring luas, maka di sebelah kanan khusus hidangan untuk tamu perempuan, sedangkan lelaki di ruang sebelah kiri.

Aku melihat tradisi kebersamaan yang luar biasa di sini. Dan ini tetap terjalin dan terpelihara hingga kini. Sambil makan dilanjutkan dengan obrolan-obrolan panjang. Tidak heran jika satu hidangan tanpa sisa. Sebab ketika mereka ngobrol, acara makan jalan terus sekenyang-kenyangnya.

Jelang tengah malam, satu persatu para tamu pulang. Ruangan luas nampak lenggang. Hanya beberapa sesepuh saja yang tinggal duduk melingkar di sudut ruang tengah. Para perempuannya pun bergabung di sana. Aku menatap beberapa lelaki sepuh duduk sejajar dengan puyang Pekik Nyaring. Wajah dan tatapan mereka semuanya teduh, terlihat selalu tersenyum meski tidak dalam keadaan tersenyum. Di antaranya ada Puyang Naga Merah dan Puyang Bukit Selepah. Aku seperti terdakwa di suruh duduk di tengah-tengah menghadap mereka.

Nenek Kam tak henti tersenyum. Entah apa yang dirasakan beliau. Apakah beliau senang karena aku berhadapan dengan tujuh orang sesepuh ini? Bisa jadi. Sebab aku tahu, nenek Kam sejak dulu menanamkan harapan banyak padaku.
“Ibarat rumput buluh, biarlah induk tua, melengkung dan pendek. Tapi ketika menumbuhkan rebung, teruslah menjulang, lampaui ketinggian induk.” Demikian nenek Kam menumbuhkan semangat padaku. Aku harus melebihi dirinya.

“Cung, sebentar lagi bulan purnama pas di atas kepala. Puyang akan mengantarmu ke tempat yang sepi kembali. Ikhlaskan hati sepenuh jiwa. Sebagaimana harapan Puyang-puyangmu, jadilah kau pribadi yang bersih. Suci lahir batin. Ingat Cung, hidup ini adalah amanah. Maka jalankan amanah itu sebaik mungkin. Tebarkan kebajikan, ajaklah selalu jiwa ragamu untuk menyatu dengan alam, menyatu dengan ruh, agar engkau pandai bersyukur.” Ujar Puyang Pekik Nyaring.

Usai mendapatkan wejangan yang begitu padat, akhirnya aku diajak bangkit. Tujuh Puyang mengantarku berjalan menuju tempat yang tidak kuketahui sama sekali. Kakek Andun, Kakek Njajau, Eyang Kuda, Macan Kumbang, Kakek Bujang Kuning, mengiring di belakang para Puyang.

Sepanjang jalan kami diiringi syalawat Nur Izati. Suara yang membimbing syalawat begitu syahdu, membawaku pada titik rasa yang sulit untuk kuungkapkan. Syalawat itu seperti air mengalir deras ke dalam jiwa. Memenuhi seluruh aliran darah. Jiwaku bergetar dibuatnya. Tanpa terasa aku menitikkan air mata.

Kami masih berjalan bersama-sama, namun aku sudah merasa seperti di antar pada titik di mana aku enggan untuk memikirkan berbagai macam hal yang berbau duniawi. Kali ke dua setelah di goa beberapa hari yang lalu aku hanyut pada perasaan yang sulit untuk kulukiskan. Aku mulai menyelaraskan suasana dengan jiwaku.

Sampai seperti di sebuah ujung jalan, di hadapanku ada pintu gerbang yang sangat indah berwarna biru tua. Ukurannya tidak terlalu besar, namun sangat ideal. Ternyata warna biru tua itu adalah batu alam yang sangat halus. Aku terkesima dibuatnya. Para pengantar syalawat hanya mengantar batas pintu gerbang. Aku menoleh pada para pengantar.
“Kakak, selamat menemukan diri yang sebenarnya.” A Fung memelukku. Di antara yang bersyalawat itu ada A Fung. Di bagian pengantar paling belakang ada rombongan nenek Kam, Nenek Ceriwis, Nenek Sulijah dan beberapa perempuan sepuh lainnya.

Melihat suasana pengantar yang ramai, aku jadi ingat masa kecil ketika kakek Haji Yasir pergi haji. Mirip seperti inilah tradisi di kampungku. Setiap ada yang akan pergi haji, maka orang sekampung dengan antusias mengantar calon jamaah haji tersebut hingga ke tepi dusun. Sepanjang jalan diiringi rebana, syalawat badar, penuh semangat dan kegembiraan. Jamaah haji sangat dimuliakan. Mereka dilepas dengan doa dan harapan menjadi haji mabrur, selamat pergi dan pulang ke tanah air. Tak sedikit yang mengantar menitikkan air mata. Tidak hanya terharu dan bangga ada orang kampung bisa menunaikan ibadah tersebut, namun terbersit juga keinginan untuk didoakan agar ada panggilan untuk sampai ke tanah suci pula hingga muncul mitos jika mengantar orang pergi haji, maka yang akan mendapat berkahnya, suatu saat dia akan berangkat juga.

Lambaian tangan nenek Kam dengan senyum, membuat aku tiba-tiba rindu padanya. Aku merasa akan pergi jauh. Aku merasakan gelombang sayang dari diri Nenek Kam sangat mendalam.
“Kau memang akan pergi jauh, Cung. Jauh merantau pada rana religi yang hakiki. Kerinduan pada sesama adalah kerinduan manusiawi dirimu sebagai manusia. Kerinduan pada Sang Khalik akan jauh lebih indah dan dasyat. Rasakanlah itu,” ujar Puyang Pekik Nyaring merangkul bahuku. Aroma wangi dari tubuhnya membuatku semakin segar dan semangat untuk mendekatkan diri Pada-Nya sesuai pesan beliau.

Sambil berjalan, senyum nenek Kam terus membayang. Suatu kali aku pernah bertanya pada Nek Kam, bagaimana perjalanannya sebelum beliau banyak terlibat bersama nenek gunung. Apakah pernah mengalami hal yang sama sepertiku? Nenek Kam menjawab berbeda. Ibarat sekolah ada kelas dan jurusan tertentu. Semakin tinggi kelasnya, maka semakin sulit pula bentuk ujiannya. Apalagi kalau kelas khusus atau spesialis. Waktu itu aku masih tergolong anak-anak. Ketika aku kembali bertanya jika sekolah ada jurusannya, yaitu jurusan sosial dan jurusan ilmu pasti. Lalu Nenek Kam jurusan apa? IPA apa IPS, Nek? Ujarku waktu itu. Lalu jawab Nenek Kam jurusan Gunung Dempu dan Seberang Endikat. Teringat itu aku senyum-senyum sendiri. Kira-kira saat ini aku sedang ujian untuk naik kelas seperti yang dikatakan Nenek Kam apa bukan? Sebab pulang liburan baru beberapa hari, tapi rasanya sarat sekali dijejal berbagai macam hal.

“Dingin sekali udaranya, Puyang ?” Tanyaku sambil menggenggam tangannya. Puyang menatap wajahku.
Nanti di tempatmu tirakat, kau akan merasakan ruang yang hangat. Tidak sama dengan di sini,” ujar Puyang Pekik Nyaring lagi. Sementara di belakangku, sembari berjalan dan ngobrol kecil, aku mendengar setiap degup dada para Puyang terdengar berzikir. Mereka para petapa hebat. Ini terlihat pada wajah mereka mencirikan orang-orang suci.

Jalan yang kami lalui mirip lorong panjang. Tidak ada lampu penerangan di sini kecuali pantulan biru dinding dan jalan. Entah sudah berapa meter berjalan mulai dari pintu gerbang, sekarang jalan agak menurun. Yang membuatku kagum, jika lorong sebelumnya berwarna biru tua, sekarang jalan yang agak menurun berwarna merah. Aku seperti melihat pelangi ketika garis batas warna biru tua bertabrakan dengan warna merah. Ada biru tua, biru muda, merah, ungu, memantul seperti lampu sorot. Ketika cahaya itu menyentuh gamis putih para puyang , baju itu berubah menjadi warna-warni. Huf! Aku nelompati perbatasan cahaya. Tepatnya melompati batas cahaya sebab aku serasa menginjak jurang. Puyang Pekik Nyaring tersenyum melihat tingkahku. Dikiranya aku main-main.

Kami masih berjalan. Aku menatap sosok kami seperti makhluk aneh karena wajah, baju, bayangan kami warna-warni. Jalan tidak datar lagi. Tapi agak menurun. Bahkan beberapa kali seperti menuruni sisi bukit. Lama-lama semakin curam. Aku melihat puyang-puyangku berjalan biasa saja. Tidak sepertiku sedikit berhati-hati takut terpeleset karena baru yang kami injak halus sekali.

Grrruuummm… blap…blap..blap…gggrggh..
Aku mendengar gemuruh dan suara letupan air mendidih. Apakah mungkin di dalam goa ini ada yang memasak?
“Puyang..” Bisikku sambil menajamkan telinga.
“Itu suara panas di perut bumi, Selasih. Posisi kita saat ini di samping telaga.” Puyang menarik tanganku, lalu mengajak aku menongolkan kepala di sela-sela batu mirip sebuah jendela ke arah telaga.
“Masya Allah, jadi kita sekarang ada di sisi telaga, Puyang?” Aku menatap heran. Asap belerang mengepul dari tengah-tengah telaga yang mendidih. Beberapa titik kulihat gelembung airnya menggelegak cukup tinggi. Ada rasa kagum namun ada juga perasan ngeri. Bagaimana jika tiba-tiba air menggelegak tinggi diiringi gempa seperti biasanya, lalu asap membumbung atau merapi kecil ini mengeluarkan lahar panasnya sementara aku ada di dalam? Terbayang hal terburuk itu akhirnya kupasrahkan diri Pada-Nya saja.

Jalan yang kami lalui masih menurun. Akan tembus kemana pula lorong ini, aku membatin. Cahaya kemilau merah dan biru masih menjadi penerang jalan. Selanjutnya terasa kali ini lorong agak menanjak. Banyak sekali lorong-lorong kecil dan buntu kiri kanan. Aku tersentak ketika melihat sosok kurus pucat, berambut panjang, mersemedi di lorong kecil dan sempit. Matanya sangat dalam. Aku menggenggam tangan Puyang Pekik Nyaring agak erat. Ternyata Puyang paham jika aku bertanya perihal betapa itu. Kehadiran kami nampaknya tidak membuat beliau terusik.
“Beliau Puyang Karangan, Selasih. Sangat irit berbicara. Beliau kalau menjawab pertanyaan kita, akan diambilnya benda-benda di alam ini lalu kitalah yang harus menfasirkannya sendiri. Beliau bukan bisu, tapi masalah bicara. Hanya orang-orang yang cerdas saja yang paham apa maksud dan makna yang disampaikannya.” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Mungkin maksud Puyang, Puyang Karangan ini selalu menjawab segala sesuatunya dengan filosofi. Wajar butuh orang pintar untuk menafsirkan apa yang beliau maksud. Wajar pula saja jika beliau diam dan merasa tidak terusik. Sebab beliau malas berbicara.

“Assalamualaikum, selamat datang dan menemukan jati dirimu, Cung. Bahagianya Puyang Pekik Nyaring memiliki cucung sepertimu.” Tiba-tiba aku dikagetkan suara halus dari lorong sempit itu. Beliau berbicara melalui batinnya padaku.
“Waalaikum salam, kenalkan namaku Putri Selasih, Puyang. Bahagia mengenal Puyang Karangan.” Aku balas membatin.
“Bisa berbicara rupanya kau Karangan setelah melihat cucung Pekik Nyaring yang cantik ni,” goda Puyang Panggung, yang bersorban dililitkan ke lehernya. Rupanya bisa juga Puyang-puyang ini bercanda.
“Jarang-jarang Panggung ada anak muda serius menjalani rangkaian ritual kaum tua, seperti yang kita jalani saat usia kita tinggal seujung kuku ini. Kalau dirimu dan diriku sudah jelas tinggal menunggu malaikat maut menjemput. Tapi nampaknya kau duluan yang akan dijemput Panggung, bukan aku.” Puyang Karangan balik bercanda. Keduanya tertawa terkekek-kekek diiringi tawa Puyang Naga Merah dan Puyang Bukit Selepah. Puyang Pekik Nyaring hanya tersenyum mendengar obrolan batin itu.

“Kau pilih jalan yang mana, Selasih ?” Ujar Puyang Pekik Nyaring. Di hadapan kami ada tiga lorong sama besar dan sama warnanya, kuning keemasan. Entahlah, apakah warna keemasan itu dari dinding dan lantai batu alam, atau ada sumber warna lain. Aku tidak tahu. Sesaat aku bingung ketika diminta menentukan pilihan.
“Apa kelebihan masing-masing lorong ini, Puyang?” Tanyaku ingin tahu. Sebab jika disuruh memilih pasti ada alasannya. Puyang Pekik Nyaring berdehem. Tidak langsung dijawabnya. Sembari menunggu jawabannya, aku segera membaca kelebihan masing-masing lorong.

Meski secara kasat mata semua lorong terlihat berwarna sama, namun dalam pandangan batinku setiap goa ada kelebihannya. Lorong pertama, aslinya berwarna biru. Di sini tempat jika seseorang hendak mendapatkan pegangan hidup, semacam ilmu yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mencari nafkah dari kemampuan yang dimiliki. Misalnya, ahli dalam pemijatan, urut-mengurut, yang gampang menghasilkan uang, kebutuhan duniawi. Lalu lorong ke dua, aku melihatnya berwarna hijau muda, warnanya lembut sekali. Di sini tempat seseorang untuk mendapatkan ketentraman lahir batin, memilih dekat pada Sang Khalik. Dalam hidup setiap hentakan nafasnya hanya ada Sang Maha. Hidupnya hanya untuk mengabdi pada Sang Pencipta. Sedangkan lorong ke tiga berwarna biru keputihan. Di sini aku melihat lorong ini diperuntukkan untuk siapapun yang ingin mencari kesenangan. Segala, perbuatan baik dan buruk menjadi kabur. Sehingga semua dianggap putih.
“Puyang, izinkan aku masuk lorong ke dua saja.” Ujarku.
“Mengapa kau pilih lorong ke dua, Cung?” Tanya Puyang Pekik Daging lagi.
“Sebab, aku melihat lorong ini lebih membuat batin tentram untuk bermunjat ke pada Allah, Puyang. Lorong yang menyajikan suasana untuk kita lebih dekat dengan Sang Maha Pencipta, Puyang. Aku memilih untuk mendekatkan diri pada-Nya saja, Puyang.” Ujarku lagi.
“Mengapa tidak memilih yang pertama, atau ke tiga saja, Cung. Bukankah sebagai makhluk hidup kita butuh kesenangan pula di dunia. Lorong pertama dan ke tiga itu bisa menjamin hidupmu Selasih,” ujar Puyang Jalak. Di panggil Puyang Jalak karena tongkatnya berwarna hitam seperti burung jalak.
“Di dalam pemikiranku, jika hidup ini dekat pada Sang Khalik, maka kita akan mendapatkan kesenangan di dunia sekaligus kesenangan di akhirat, Puyang. Demikian menurutku, Puyang.” Lanjutku.

Demi mendengar pernyataanku, ke tujuh Puyang serentak menyebut ‘Ooo..’ panjang.
“Alhamdulilah, pilihanmu tepat sekali, Putri Selasih. Lorong nomor dua ini adalah lorong yang paling senyap dibandingkan dengan lorong kiri dan kanannya. Lorong kiri dan kanan, engkau akan mendengar gemuruh, gelegak, bahkan dentuman-dentuman seperti benda api yang meledak-ledak bahkan seakan-akan kita mendengar seperti orang ramai ada di samping kita. Kita merasa suasananya ramai. Sehingga tidak merasa takut. Itulah gambaran dunia” Lanjut Puyang Pekik Nyaring.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *