HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (40A)

Karya RD. Kedum

Baru dua hari ini jiwaku terasa ringan sejak menjalani liburan panjang. Kepalaku tidak dibebani berbagai hal. Dadaku tidak sesak apalagi berdebar. Karena dua hari ini tidak satupun mengusik aku untuk terlibat pada hal-hal gaib. Aku seperti manusia normal pada umumnya. Meski makhluk-makhluk itu tetap saja terlihat oleh mata batinku. Tapi semua berbeda. Tanpa beban.

Aku kaget ketika bermain di tepi air melihat bayangan wajahku sendiri. Oh! Mengapa tiba-tiba aku seperti hidup di zaman primitif? Entah sudah berapa lama aku tidak bercermin? Aku amati wajahku. Mataku yang sedikit cipit, alisku yang tipis. Sebenarnya sering aku cemburu melihat alis temanku yang tebal, kulitku sawo mateng, dan lenganku yang mulus tak ada bulunya. Ini juga membuat aku iri jika melihat lengan kawanku berbulu halus, kakinya juga demikian.

Seringkali aku mencuri margarin Ibu lalu kululur pada kaki dan tangan berharap bulu-bulu halus itu bisa tumbuh subur. Tapi sampai sekarang tetap nihil. Kaki dan tanganku tetap saja mulus tanpa rambut selembarpun. Pernah suatu kali aku diejek oleh Endang sahabatku. Katanya kasihan sekali kamu Dek, miskin bener hidupmu. Jangankan harta, bulu aja kamu nggak punya. Sejak itulah aku mencari-cari apa yang bisa dijadikan obat penumbuh bulu kaki dan tangan?

Ketika pulang, aku langsung berdiri di depan cermin gerobok pakaian yang terpajang di ruang tengah. Hmm…wajahku kusut. Mata agak cekung, rambut keras dan kusam. Pipiku semakin tirus, daguku juga nampak semakin runcing. Aku agak kurus? Kuelus wajahku beberapa kali. Kulitku memang agak kering. Kubuka laci lemari, kulihat di dalamnya ada bedak basah diamond ibu. Bedak yang mirip pasta ini kupencet sedikit. Lalu kupoles ke seluruh wajah, kuratakan. Sekarang wajahku terlihat sedikit lembab. Tapi bibirku nampak kusam dan kering? Aku menuju mesin jahit ibu di dekat jendela. Kubuka bakul sirih nenek Kam. Ada minyak bibir yang biasa dipakai nenek Kam kalau sedang nyirih. Aku membalur bibirku dengan minyak bibir yang bentuknya seperti margarin putih di dalam kupak kecil. Kata nenek Kam minyak bibir ini berasal dari lilin lebah. Lalu ditanak dengan minyak.

Selanjutnya aku rebahan di kamar depan rumah limas panjang Bapakku. Di atas gelemat, tersusun tikar pughun, dan ghumbai buatan ibu berukuran besar dan kecil tergulung rapi. Rumah panjang ini terasa lengang. Kamar yang berjajar seperti penginapan sebagian besar tertutup rapat. Aku mencoba mengintip ke luar jendela yang berlapis kaca bermotif bunga. Nampak rumah-rumah tetangga hanya jendelanya saja yang terbuka. Penghuninya pergi ke kebun semua. Sepi sekali. Lebih asyik di kebun, pikirku. Di sana suara satwa jelas tiada henti. Kalau bukan suara burung, sesiagh dengan warna suara yang berbeda kerap seakan berlomba memamerkan kemerduannya. Ini di rumah, aku hanya mendengar suara cecak berdecak-decak seperti mengejek. Ah! Tiba-tiba aku merasa sangat sepi. Aku rindu tapi tidak paham rindu apa dan dengan siapa? Tempat tidur ini terasa panas. Dari kejauhan aku hanya mendengar suara ibu menuangkan air dari sambang. Lalu sibuk dengan pekerjaanya tanpa mempedulikan aku.

“Kumbaaaaaang” Aku berteriak sesukaku. Tidak ada jawaban. “Nenek Kaaaaaaam” Kali ini nenek Kam yang kupanggil. Sama tidak ada jawaban. Aku berpikir lagi siapa yang akan kupanggil. Kakek Andun! Yaa Kakek Andun. Aku rindu kakek yang hebat itu. Baru aku sadar jika aku bisa membelah diriku menjadi beberapa sosok. Kutepuk jidatku kuat-kuat. Mengapa tidak terpikir dari tadi? Aku mulai membaca mantra. Muncul dua sosok. “Masuk, satu saja.” Ujarku menarik salah satu dari mereka melebur ke tubuhku lagi. Dia kuberi tugas untuk baring di dipan ini sampai ibu memanggil, megajak makan atau apalah. Aku duduk bersila. Sejenak mencari keberadaan kakek Andun. Dalam waktu singkat aku melihat kakek Andun sedang duduk timpuh di atas sajadah. Beliau tengah berzikir dengan nafas pelan dan ringan sekali. Nyaris dadanya tidak terlihat turun naik. Selanjutnya aku melihat cahaya ungu, biru, kadang kuning, seperti membalur seluruh tubuhnya. Aku hanya menatapnya dari jauh. Tidak berani mendekat. Aku khawatir mengganggu konsentrasinya. Aku segera pulang dan kembali berada di rumah limas panjang Bapakku. Lama aku tercenung, sosokku satu lagi hanya mentapku tanpa berani bertanya. Aku masih berpikir akan kemana dan menemui siapa? Aku bangkit, lalu mengambil sosokku untuk kembali melebur jadi satu. Selanjutnya aku berjalan menuju dapur menemui ibu. Aku minta izin hendak ke kebun sendiri menemui kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir. Sejenak Ibu menatapku. Mungkin beliau tidak yakin aku berangkat sendiri. Aku mencoba meyakinkan Ibu. Diam-diam kutumbuhkan keyakinan bahwa Dedek anaknya, kecil usianya saja tapi dewasa cara berpikir dan tindakannya. Tak lama aku melihat ibu mengangguk. Aku langsung memeluknya lalu turun melalui tangga beranda dapur.

Setengah berlari aku menuruni jalan setapak yang landai. Aku bahagia bisa pergi sendiri tanpa ada yang mengawal. Dalam hati aku membatin semoga tidak ada yang mengawasi. Aku benar-benar ingin sendiri. Sesekali aku nyaris tergelincir sebab jalan yang menurun masih lembab karena embun. Beberapa bekas tapak kaki babi berserak di jalan. Aku heran, berarti belum ada orang yang berjalan di jalan setapak ini sejak pagi? Baru aku? Biasanya di jalan ini akan terlihat orang-orang hilir mudik ada yang ke hulu dan ada yang ke hilir. Ini sepi. Aku tidak melihat tapak kaki manusia. Mungkin mereka nginap di kebun atau sawah mereka karen musim panen. Sisi kiri kanan jalan kebun kopi nampak subur. Meski buahnya sebagian sudah dipetik karena memang sedang musim panen, masih ada juga sisa-sisanya yang masih hijau dan merah satu-satu. Beberapa anak kera melompat gembira menyacap bunga basiah yang masih basah. Aroma lembab tanah dan daun sedikit menyengat. Gemericik air yang mengalir di sisi jalan melengkapi nyanyian alam semakin sempurna. Tak lama aku sudah melintasi jalan yang curam, sekarang aku berada di sudut kebun kakek Haji Yasir. Di hadapanku jalan yang agak landai lurus sepanjang kebun Kakek. Di seberang jalan sawah yang padinya menguning terbentang luas. Nampaknya belum ada yang bekerja menuai padi. Segerombolan pipit berteriak riang hinggap di tangkai-tangkai padi. Lalu terbang kembali sambil berteriak ramai-ramai saling mengingatkan tatkala dari pinggir sawah ada yang menarik tali yang dibanduli dengan plastik dan kaleng susu berisi batu. Suara gemerutuk itu sengaja untuk menakut-nakuti burung.

“Tolong…tolong aku anak manusia. Badanku tergilas roda gerobak sapi. Aku terluka…” Aku dikagetkan suara halus yang lemah. Aku mencari-cari arah suara tersebut. “Siapa kamu, kamu dimana?” Aku membatin sambil menajamkan instingku. Akhirnya aku melangkah ke arah parit kecil yang berair di sisi sawah. Di sisi parit di bawah rumput-rumput kecil aku melihat seekor ular mughe yang panjangnya kurang lebih dua meter tergeletak lemah. Sekujur tubuhnya luka. Aku tidak berani mengangkatnya takut dia bertambah sakit. “Baiklah ular cantik. Diamlah sejenak. Aku akan menolongmu” batinku. Ular ini memang sudah sangat lemah. Entah sudah berapa lama dia di sini. Sebab aku melihat lukanya sudah kering. Aku mulai mengerahkan kemampuanku merabanya namun tidak menyentuhnya langsung. Cahaya biru keluar dari telapak tanganku. Kuratakan cahaya itu pada tubuh ular. Kurasakan tulangnya yang remuk kembali menyatu. Kuulangi beberapa kali. tubuh ular tiba-riba bisa bergerak. Aku menarik nafas lega. Ular cantik meliuk-liukan tubuhnya. Lalu berbalik badan mendekati aku. Aku masih jongkok memperhatikannya. Kemudian kulihat kepalanya agak menunduk seperti memberi hormat padaku. “Terimakasih anak manusia, kamu sudah menolongku. Aku tak akan pernah melupakan kebaikanmu. Aku akan ceritakan dengan Bakku kalau aku telah kamu tolong. Namaku Adata. Bersama orang tuaku tinggal di ulu tulung tebat puyang.” Ujarnya.

Keningku berkerut, banyak sekali tebat puyang di sini. Tebat puyang yang mana? Aku mengangguk saja tanpa bertanya tebat puyang yang mana. Melihatnya bergerak dan berjalan aku sudah bahagia. “Hati-hati Adata” Ujarku sambil mengelus ekornya. Adata menyeberang jalan berjalan cepat di balik semak-semak. Aku sampai di jarau kebun kakek Haji Yasir. Kakekku pasti terkejut melihat aku datang sendiri tanpa teman. “Uuuuuhhh” Aku langsung menguhu dari pinggir kebun. Tak lama aku mendengar balasan. Aku meraba-raba arah balasan panggilanku. Tidak lama aku melihat daun dan pohon kopi bergerak-gerak. Kakek Haji Yasir muncul dengan senyum mengembang. “Dengan siapa Dek? Sendiri?” Kakek Haji Yasir menoleh ke kiri ke kanan mencari-cari siapa temanku ke mari. “Dedek sendiri Kakek!” Ujarku sambil berlari memeluknya. “Ha? Cucu kakek hebat! Tidak takut jika ketemu binatang buas kan? Ini baru asli orang Besema! Kakek bangga padamu!” Kakek membalas pelukanku. Seperti biasa beliau mencium kepalaku. Aku mencari-cari kakek Haji Majani. Biasanya mereka berdua terus. “Kakekmu sedang mancing”. Kakek Haji Yasir membaca pikiranku. Aku langsung minta izin untuk menemui adiknya tercinta.

Aku berlari-lari kecil di antara pohon kopi yang masih berbuah. Jarak antara pondok dengan paok betelugh tempat kakek mancing hanya berjarak sebidang kebun. Tiga menit saja aku sudah sampai. Kulihat kakek duduk santai sambil memegang pancing dari bambu pajang. Tangan kirinya mengisap rokok nipah. Semula aku berniat mengagetkannya. Tapi seketika kuurungkan melihat kambu yang dibawanya belum berisi ikan seekorpun. Aku mengendap-ngendap di balik rumpun bambu bersebelahan dengannya. Sekilas aku mencari tempat duduk. Aku akan bantu kakek agar pancingnyan dimakan ikan. Baru saja aku hendak bersila, tiba-tiba muncul Adata ular mughe yang cantik menghampiriku. “Biarlah aku yang menolong kekekmu, anak manusia. Maafkan aku belum tahu namamu. Boleh kutahu? ” Adata melingkar di sampingku. “Panggil aku Dedek, Adata” Ujarku sembari tersenyum. Baiklah Dek, izinkan aku membantu kakekmu ya!” Adita bergerak dan menyelam ke dalam paok. Tak lama aku mendengar suara kakek berucap “Alhamdulilah” berkali-kali. Aku tersenyum, kakek bahagia mendapatkan ikan. Umpan pancingnya selalu dimakan ikan. Pelan-pelan aku turun berusaha membuat jarak agar kehadiranku terlihat wajar. “Kakek!!” Aku berteriak dari bawah. “Ah! Cung..kemari…kakek dapat ikan banyak. Ini ada ikan emas untukmu” Kakek Haji Majani tersenyum lebar sembari mengangkat pancingnya. Aku berteriak gembira mengimbangi perasaannya. Kambu kakek sudah mulai penuh. Di kejauhan aku melihat beberapa ekor nenek gunung melihat ke arahku. Aku bingung bagaimana caranya untuk memberi mereka ikan. “Kakek…boleh aku minta beberapa ikan untuk nenek gunung?” Tanyaku pelan. “O ambillah..berikanlah Dek, berapa saja kamu suka.” Ujarnya.

Ada mitos menuju pada kebenaran pada suku Besemah pada umumnya. Jika kita memancing entah di sungai, paok, danau, lubuk, jika mendengar ada suara gemerisik, maka lemparlah dengan ikan. Sebab diyakini yang gemerisik itu adalah nenek gunung yang sedang menunggu untuk minta ikan. Lemparkanlah beberapa ikan yang kita peroleh. Dan yakin untuk selanjutnya kita akan mendapat ikan dengan mudah. Pancing kita akan selalu dimakan ikan. Dan mitos ini sangat dipercaya masyarakat. Makanya setiap mancing ada saja yang berucap “Nek..dampinglah sini, aku dang mancing (Nek, mendekatlah kemari aku sedang mancing)”. Dan kakek Majani nampaknya sepaham dengan mitos warisan nenek moyangnya itu. Aku mengambil beberapa ikan yang berukuran sedang untuk kuberikan pada nenek gunung. Melihat aku berjalan mendekati tempat nenek gunung mengintai, kakek kaget. “Cung!! Lemparkan saja dari sini. Kamunya jangan ke sana!” Ujarnya khawatir. “Kek, mereka adalah kawan-kawanku, kakek tidak usah khawatir. Mereka baik. Kakek bisa lihat dan buktikan.” Lalu aku mempercepat langkah, mengucapkan salam pada dua ekor nenek gunung. Lalu menyuruh mereka ke luar dari persebunyian. Satu-satu kusuapkan ikan ke mulut mereka. Melihat aku dan nenek gunung seperti sangat akrab, kakek Haji Majani terbengong. Setelah habis, mereka pamit pergi dan mengucapkan terimakasih.

Mereka nenek gunung di sekitar hulu sungai Endikat. Daerah kekuasan kakek Njajau. Aku mengizinkan mereka pergi. Sementara Adata, ular cantik menongolkan kepala di permukaan air memanggilku. Adata tahu kalau dia naik mendekati aku, kakek Haji Majani pasti akan ketakutan dan berusaha membunuh Adata. Nanti beliau kira ular itu hendak menggigitku. Aku mengucapkan terimakasih pada Adata. Belum sempat aku berbalik badan tiba-tiba ada dua ekor mughe berukuran besar berjalan mendekati aku. Aku kaget bukan main. Aku sudah siap-siap hendak mengusirnya apabila dia menyerangku. “Dedek, mereka orang tuaku.” Teriak Adata. “Kami mau mengucapkan terimakasih Dedek, kamu sudah menolong Adata anak kami. Kalau tidak kamu tolong mungkin dia akan mati. Kami penjaga paok betelugh ini, Dedek. Paok ini titipan puyang Besemah ulu Endikat ini untuk anak cucunya. Bukan dimiliki pribadi. Kami tinggal di gaung mate ayek (di gua mata air) bagian ulu. Pesan puyang jangan kotori paok ini. Buanglah pelambahan (limbah) ke hilir”. Aku mengangguk paham. Dan berterima kasih pada mereka sudah menyapaku. Tiba-tiba keduanya menghilang.

Aku kembali mendekati kakek Haji Majani. Untung kakek tidak melihat aku berbicara dengan makhluk gaib berbentuk ular. Kalau dia melihat, bisa makin tegang beliau. “Sejak kapan kamu menjadi manusia damai seperti Kam, Dek? Tapi kamu jangan menghilang seperti Kam ya. Bikin susah penduduk kampung.” Ujar kakek sedikit terharu. Lama beliau menatapku seperti tidak percaya kalau cucunya yang mungil ini bersahabat dengan makhluk yang disegani tersebut. Aku hanya tersenyum menatapnya. Kambu kakek sudah penuh. Ikan nyaris tidak muat lagi. Wajah kakek sangat puas dengan hasil pancingan hari ini. Aku memerhatikan kakek membersihkan ikan. Lumaian banyak, sampai-sampai kakek duduk ngepor di batu pancuran. Sambil bersihkan ikan kakek menyebut nama-nama ikan. “Ini ikan pungkut, ini kalang, ini mejair, ini ikan emas, ini ikan sepat abang, ini ghuan, ikan palau, ikan tawes” Kakek memberitahku nama-nama ikan. Selanjutnya kata kakek yang ini digoreng, ini gulai, ini pindang, dan seterusnya. Lengkap sekali. Tapi siapa yang akan memasaknya? Apakah kakek? Dalam hati aku berpikir. Tidak mungkin kakek yang masak. Sementara aku tidak paham dengan bumbu-bumbu dapur.

Sementara menunggu ikan bersih aku membicarakan tentang liburan tinggal beberapa hari lagi. padahal aku masih ingin berlama-lama. Kakek membujukku, masih ada waktu kalau libur lagi, kita pulang kembali secepatnya, katanya. Kakekku ini pandai sekali membesarkan hati. Selalu yang beliau katakan meski hal yang tidak kusukai akhirnya aku suka. Selesai membersihkan ikan, aku bersama kekek pulang ke pondok. Ternyata di pondok ada ibu sedang bersih-bersih. Semua bantal, kasur, selimut dibentang ibu, dijemurnya semua. Melihat kakek membawa ikan, ibu bergegas menyambarnya. “Ruhai, ikan emas yang besar itu jangan dipotong ya. Itu khusus untuk Dedek. Kalau bukan karena nenek gunung kawan Dedek datang mendekat, tidak mungkin dapat ikan sebanyak itu” Ujar kakek. “Apa? Nenek gunung kawan Dedek? Siang-siang begini ada nenek gunung mendekat? Ah yang benar saja Kek, jangan nakutin-nakutin” Ibu bergidik. Aku terbengong melihat kakek. Kakek keceplosan. Memberitahu Ibu harus pelan-pelan. Kalau tidak jantungnya bisa kumat. Siang itu kami makan besar. Aku tetap merahasiakan perihal perjalananku selama dengan nenek Kam. Biarlah pelan-pelan saja akan kuberitahu atau nek Kam saja yang bercerita. Toh nanti malam nek Kam juga akan datang bersama Macan Kumbang. Aku khawatir jika beliau tahu aku sering pergi malam-malam dengan nek Kam bersama nenek gunung, ibu pasti makin takut dan khawatir.

Belum sempat berpikir bagaimana cara pemberitahuan itu ternyata nek Kam datang. Ibu kembali kaget. “Aduh, Nek. Coba dari jarau nguhu. biar kami tidak kaget! Ini tiba-tiba sudah di depan pintu. Kayak hantu saja” Ibu mulai ngomel. “Tu..kan Dek, orang cerewet kayak Ibumu ini memang nasibnya bakal dibohongi orang terus. Dia tidak ngasih kesempatan dengan orang lain untuk menjelaskan sesuatu atau bertanya lebih dulu. Tahunya nuduh aja” Ujar nek Kam sembari meletakan kantong sirihnya. “Ayo siapkan makan, nenek mau juga nyicip gulai ikan masak kuning Luhai. Aku lihat kak Haji Majani mancing sama Dedek tadi” Nek Kam langsung menuju dapur diikuti Ibu sambil berkerut. Aku sama kakek Haji Majani menutup mulut menahan tawa. Ibu tidak berani bilang apa lagi bertanya dari mana nenek Kam tahu beliau masak ikan perolehan kakek Haji Majani mancing.

Hari sudah jelang petang. Matahari sudah condong ke barat. Cahaya matahari seolah bersembunyi di balik bukit Barisan. Akibatnya punggung bukit seperti gundukan emas, kuning bercahaya. Suara sesiagh masih ramai bersahut-sahutan, makin lama suaranya makin pelan, lemah, lalu berhenti.

Sepasang burung pipit hilir mudik membawa tangkai rumput. Agaknya mereka hendak membuat sarang. Meski sebagian besar panen padi di lembah pebukitan ini sudah mulai berlangsung. Demikian juga tupai, menggoyang-goyangkan ekornya di dahan pohon randu yang mulai mengembang.

Mereka berdecak-decak seperti sedang mengobrol. Entah mengapa muncul keinginan dalam batinku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Oh! Bersyukur sekali aku. Serasa ada yang membimbingku untuk tahu bahasa tupai itu. Atau tiba-tiba di telingaku ada penerjemah yang membantuku. Aku tersenyum lebut pada sepasang tupai itu. Ternyata mereka tengah memperbincangkan aku. “Itu cucu kakek Haji Yasir. Namanya Selasih. Dia kesayangan nenek Kam. Tadi pagi dia ngobati Adara, anak puyang ulu ayek Betelogh.” Ujar salah satu mereka. Ternyata hewan juga pandai merumpi, batinku. Tidak hanya manusia. Mungkin di alam perhewanan atau di alam per-gaiban aku jadi bahan gosip yang hangat juga. Aku cekikikan sendiri.

“Preett! Salah perasaan” Selasih menimpali. “Hussss…tidak boleh protes, buktinya tupai saja membicarakan aku” Ujarku. “Tidak! Dia kan tidak menyebut nama Dedek Erus, tapi menyebut nama Selasih” Protesnya lagi. Aku diam sejenak. Dalam hati iya juga Meski Selasih bukan cucu kandung Haji Yasir. Yang disebutnya itu nama gaibku. Nenek gunung kecil berwarna putih bernama Putri Selasih. “Kalau begitu kamu ke luar saja dari tubuhku. Pulang ke Uluan sana. Biar tidak salah-salah lagi makhluk di muka bumi ini menyebutku. Aku Dedek Erus, bukan Putri Selasih! Keluar!!” Bentakku. Beberapa kali aku menghentakkan kaki. Ternyata hentakan kakiku menggetarkan bumi, membuat kakek Andun, kakek Njajau, kakek Ali Kedar, datang serentak. Lalu menyusul nenek Ceriwis dan Macan Kumbang.

Aku kaget. “Maaf..maafkan aku, Kakek..Nenek..aku tidak bermaksud menganggu Kakek dan Nenek..ampun.” Aku sujud pada mereka membawa perasan menyesal. Aku sungguh tidak sadar jika hentakan kakiku memiliki kekuatan yang kontak dengan Kakek dan Nenekku ini. Nenek Kam di dalam langsung ke luar memperhatikan aku dengan ekspresi penuh pertanyaan. “Ada sesuatukah sehingga semua kumpul seketika? Membawa berita apakah? Atau…” Tanya nek Kam menatapku penuh tanya. “Tidak Nek, tadi Dedek menghentakan kaki ke tanah beberapa kali karena marah dengan Selasih. Dedek tidak tahu jika kontak dengan kakek dan nenek gunung” Ujarku menyesal. Untung Nenek Kam tersenyum. Aku lega, takut kena marah karena kukira aku dianggap lancang.

Akhirnya aku ikut duduk di antara mereka. Ibu, Kakek Haji Majani dan Kakek Haji Yasir tidak ada yang menyadari jika di pondok ini ramai dihadiri oleh nenek gunung. “Tidak apa, Cung. Kekek senang bisa jumpa denganmu. Tadi pagi kamu menemui Kakek kan? Tapi karena kakek sedang berzikir kamu takut mengganggu Kakek, lalu kamu pulang. Sebenarnya Kakek ingin memanggilmu. Tapi akhirnya Kakek biarkan.” Ujar Kakek Andun sambil mencium kepalaku. Hatiku lega. “Sini!” Kakek Njajau memanggilku dengan cara melambaikan tangan menyuruhku mendekat. Aku mendekat dan duduk di hadapannya. “Kakek sempurnakan agar kamu paham bahasa makhluk hidup sekecil apapun” Ujarnya. “Tapi kek..nanti aku tidak sanggup jika setiap waktu aku mendengarkan suara dan tahu apa yang mereka bicarakan?. Ada semut jatuh dia menjerit minta tolong, maka tidak mungkin aku membiarkannya, nyamuk yang kelaparan, karena aku paham apa yang dia bicarakan, aku tidak akan tega penepuknya. Dan masih banyak makhluk lainnya. Nanti aku tidak sanggup, Kek” Jawabku khawatir.

Kakek Njajau terkeke sebentar. “Inilah yang Kakek suka padamu, Selasih. Kamu selalu berpikir ke depan. Tidak gegabah menerima sesuatu. Tentu kakek sudah mempertimbangkan itu. Kamu akan bisa saat kamu ingin tahu saja.” Ujar kakek Njajau. “Oh, jadi tadi kakek yang membisiki aku?” Tanyaku. Aku tersenyum pada kakek Njajau. Kakek Njajau memang agak aneh. Suka usil, suka menguji mental, dan kadang sulit diterka. Akhirnya aku setuju. Yang lain memerhatikan dengan hikmat. Kakek Njajau mengusap kepala lalu pindah ke posisi wajahku. Tangannya seperti bergerak mengelus tenggorokan, telinga, dan lidahku. Aku merasakan energi mengalir sejuk ke bagian-bagian yang beliau sentuh. Tiba-tiba aku merasakan ada ruang di kepalaku luas sekali. Semua terasa ringan. Aku bisa mendengar semua suara yang kuinginkan dan mengerti artinya. Termasuk ketika para kakek dan nenekku menggunakan bahasa nenek gunung aku tahu artinya. “Terimakasih Kek” Aku mencium punggung tangan kakek Njajau. Beliau tidak saja telah membuka mata batinku agar biasa melihat dan berinteraksi dengan semua makhluk gaib dari berbagai macam jenis. Namun juga telah membuka pemahamanku tentang bahasa hewan.

Bersambung…

4 tanggapan untuk “HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (40A)

    • 11 Oktober 2020 pada 13 h 46 min
      Permalink

      Salam perantauan
      Anda bisa mencari di motor pencarian degan Menulis atau kata kunci Harimau.
      Nanti akan keluar semua seri HSHB dari awal.

      Salam

      Balas
      • 25 Oktober 2020 pada 16 h 51 min
        Permalink

        Terimakasih

        Salam perantau

        Balas
  • 6 Desember 2020 pada 17 h 17 min
    Permalink

    Klik cerita akan muncil semua saya penggemar putri selasih saya dari palembang

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *