HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT III (49B)

Karya RD. Kedum

Siang hari. Nyi Ratih tidak butuh waktu lama untuk sampai ke gunung Ijen. Dalam waktu singkat Nyi Ratih sudah berada di bibir kawah. Angin berhembus kencang. Nyi Ratih melihat banyak sekali pendaki yang sedang merangkak, mendaki tebing gunung yang cukup curam dengan kemiringan empat puluh lima derajad.   Biasanya para pendaki kebanyakan berangkat dini hari agar bisa menyaksikan api biru dari kawah merapi Ijen. Jelang fajar, api biru itu akan muncul menghadirkan pemandangan sensasional. Kawah yang selalu mengeluarkan asap belerang ini memang menjadi buruan para pendaki dan photografer. Tak sedikit yang bermalam di dekat kawah untuk sekadar mengabadikan api birunya. 

Lama Nyi Ratih menikmati sekitar puncak gunung Ijen. Lereng curam berbatu dan tanah berpasir mengeluarkan hawa panas. Hawa yang paling disukainya. Magma di perut bumi telah membuat suasana gunung Ijen sangat tepat untuknya bertapa. Hanya sesekali saja terdengar suara menggelegak seperti air mendidih.  Api di perut bumi seakan menunjukkan kegelisahannya membakar magma dan ingin memuntahkannya.

Beberapa pendaki yang  dilihatnya banyak juga yang turun. Sudah bisa dipastikan mereka adalah pendaki yang bermalam. Hal ini dapat dilihat beberapa tanah pasir berbatu nampak berlubang bekas mereka menancapkan patok besi ketika memasang tenda. Beberapa pecinta alam  yang masih berada di puncak  terutama di kawasan kawah, memunguti sampah lalu mengumpulkannya ke dalam kantong untuk dibawa ke lembah. Nyai Ratih hanya memandang mereka saja. Tidak berani untuk sekadar menyapa para pendaki. Pertama karena kawasan ini baru baginya, dan bukan wilayah kekuasaan kerajaan Banyuwangi. Kedua jiwanya sudah tidak berminat menggoda manusia.

Usai menikmati suasana pegunungan yang terik namun dingin, Ratih segera duduk di bibir kawah. Bersemedi, berusaha mencari keberadaan Resi Bengol Biru, konon penjaga kawah merapi yang sakti ini agak sulit untuk diajak berinteraksi. Pertama karena dia tidak suka daerah kawasannya ramai, dan tidak ingin kotor. Dari bangsa manapun, baik manusia maupun makhluk asral lainnya jika mengotori wilayah ini, maka anak buahnya akan menggelincirkannya. Tak sedikit bangsa manusia yang tergelincir dan tewas jatuh masuk jurang.

Nyi Ratih berusaha berinteraksi  untuk minta izin bertapa dan mohon petunjuknya. Namun sudah beberapa  saat belum juga Nyi Ratih bertemu apalagi berinteraksi. Hanya penjaga kawah saja yang berusaha mendekatinya sembari menilik Nyi Ratih dari unjung rambut sampai ke untung kaki tanpa berani menyapa. Perawakannya yang besar tinggi berwarna merah dan bertanduk, mirip balatentaranya dari dasar laut. Ratih tidak memperdulikannya meski berkali-kali tangannya hendak mencolek. Mungkin maksudnya hendak bertanya namun Nyi Ratih enggan berinteraksi padanya. Ia ingin jumpa langsung dengan Resi Bengol Biru Penguasa Ijen. Bukan melalui perantara.

Asap belerang menari dari dasar kawah lalu membumbung mengeluarkan aroma yang menyengat. Beberapa penambang belerang mendaki tebing sambil memanggul kepingan-kepingan belerang dengan keranjang bambu yang menggantung di bahu dan kepala. Mereka adalah penduduk kampung lembah Ijen yang menggantungkan nasib hidup mati atas nama keluarga dari belerang. Pekerjaan warisan mempertaruhkan nyawa. Resikonya kalau tidak keracunan, tergelincir masuk ke dalam kawah. Dengan penutup hidung seadanya, berupa baju kaos butut pengganti masker, mereka menancapkan kaki-kaki kekar menyisir lereng setiap hari.

Waktu sudah jelang petang. Langit berwarna jingga. Angin bertiup makin kencang. Udara sudah terasa dingin. Nyi Ratih masih bertahan bersemedi di bibir kawah. Dia akan terus bertahan sampai  penguasa  Ijen itu ke luar.  Pada malam ke tiga, Nyi Ratih didatangi dua orang lelaki berkepala harimau. Bedanya ada yang berwarna kuning tua dan hitam pekat, ada  yang agak keputih-putihan. Keduanya bertanya apa keperluan Nyi Ratih ke sini. Nyi Ratih nyatakan ingin bertemu dengan Resi Bengol Biru. Dia tidak menyampaikan maksud hendak bertapa di gunung Ijen ini. Kedua makhluk itu tertawa kencang sehingga terlihatlah lidah yang berwarna merah dan berderet gigi dan taring seakan siap mencabik apa saja. Melihat kondisi itu Nyi Ratih mulai waspada. Nampak sekali keduanya tidak bersahabat. Namun Nyi Ratih tetap duduk tidak mengubah posisinya.

Nyi Ratih kembali memejamkan mata hendak melanjutkan semedinya. Dua makhluk di hadapannya masih berdiri bahkan berusaha hendak mencoleknya namun tidak sampai juga.
“Hei peri cantik, kamu ingin bertemu dengan junjungan kami bukan?” Makhluk yang keputihan membuka pembicaraan.
“Saya bisa antarkan kamu menghadap beliau, tapi dengan syarat,” kata yang satu lagi. Mendengar tantangan bersyarat itu Nyi Ratih bertanya apa tantangannya? Rupanya mereka nyaris menjawab serentak, minta Nyi Ratih melayani nafsu mereka terlebih dahulu. Sebenarnya Nyi Ratih ingin menggampar mulut ke duanya. Tapi mengingat dia ingin bertemu dengan junjungannya membuat dirinya sedikit bersabar. Didiamkannya lalu memejamkan mata kembali.

Melihat Nyi Ratih kembali semedi kedua makhluk itu mulai menggoda lagi. Bahkan tangan keduanya sudah mengarah hendak memegang payudara. Tapi keduanya kembali heran. Tangan mereka tidak pernah sampai. Jangankan memegang, untuk menyentuh Nyi Ratih saja tidak bisa. Keduanya mulai menggunakan kemampuan mereka. Nyi Ratih merasakan gerakan-gerakan mereka hendak menyerang. Masih dalam keadaan duduk bersila dan mata terpejam, Nyi Ratih mencoba menangkis serangan. Beberapa kali dorongan angin kencang  hendak menggeser posisi duduknya.
“Jangan ganggu saya ki sanak. Saya hanya hendak bertemu dengan Resi. ” Ujar Nyi Ratih tetap bersabar sambil terus menghindar dari serangan. Rupanya melihat Nyi Ratih selalu mengelak, membuat keduanya makin nafsu untuk melumpuhkan Nyi Ratih. Bahkan keduanya menjadikan Nyi Ratih taruhan, siapa yang mampu melumpuhkan Nyi Ratih terlebih dulu maka dialah yang berhak memiliki Nyi Ratih dan melampiaskan nafsunya lebih dahulu.

Menanggapi hal  ini Nyi Ratih mulai serius. Dia tidak mau menjadi korban makhluk bajingan ini. Bagaimanapun niatnya untuk memperdalam ilmunya di kawasan ini demi menegakkan kembali kerajaannya yang telah roboh dan akan mencari kembali Putri Selasih kanjeng Ratunya harus terwujud. Dia merasa sangat berhutang jika belum bisa mewujudkan amanah junjungannya Nini Ratu.
“Brengsek!! Licin juga rupanya perempuan cantik ini!” Yang berwarna lebih coklat mulai emosi. Pertama dia kira hal kecil untuk menakhlukan perempuan berkulit mulus ini. Melihat dua gundukan dada di balik kemben warna hitam yang membalut Nyi Ratih membuat dirinya berulang kali menelan ludah. Akhirnya keduanya lelah sendiri. Nyi Ratih terus bersemedi seperti tidak terganggu sama sekali. Dia terus berusaha menembus untuk bisa berkomunikasi dengan Resi Bengol Biru. Tiba-tiba desing angin berhembus dari kawah berhawa panas diikuti kabut yang menggumpal berwarna biru. Pelan-pelan kabut itu membumbung makin tinggi, makin besar bahkan membentuk seperti tubuh raksasa. Lalu makin mengerucut dan mendarat persis di samping Nyi Ratih.

“Selamat datang  di kawah Ijen, Nyi Ratih.” Lelaki sepuh berambut panjang, berperawakan kurus, dengan mata berwarna biru. Kain yang melilit tubuhnya ditiup-tiup angin. Tongkatnya dari akar terlihat rapuh. Tapi Nyi Ratih yakin tongkat itu punya kekuatan luar biasa.
Melihat kehadiran lelaki sepuh itu,  Nyi Ratih langsung sungkem.
“Mohon maaf jika hamba mengganggu tapa Resi. Hamba datang dari timur laut Banyuwangi, mohon izin untuk melakukan tapa dan petunjuk Resi di gunung Ijen ini. Kerajaan junjungan hamba dalam keadaan hancur, Resi. Hamba punya amanah untuk membangun kembali kerajaan, dan menjemput titisan ratu kami yang saat ini berada di tanah  seberang.” Ujar Nyi Ratih masih menunduk.
“Aku sudah tahu maksud kehadiranmu, Nyi Ratih. Aku sudah bertemu dengan Nini Ratu. Mari ikut denganku.” Nyi Ratih langsung bangkit mengikuti Resi Bengol Biru. Kedua makhluk yang semula hendak menyerang Nyi Ratih, menjadi ciut ketika melihat kehadiran Resi. Keduanya mengkeret seperti tikus kecemplung dalam minyak. Nyi Ratih berjalan di belakang Resi Bengol Biru. Keduanya menuruni tebing menuju dasar kawa. Kali ini Nyi Ratih diajak masuk  pintu gerbang  berwarna biru, sisi kiri dan kanan menyala api, pun berwarna biru.

Lorong yang mereka lalui terasa sangat panjang. Dinding  goa atau serupa terowongan ini semuanya berwarna biru. Lampu kiri kanan sebagai penerangan tetap berwarna biru. Sampai-sampai kulit Nyi Ratih pun terlihat biru. Setelah sampai di ujung lorong, Resi mengajak Nyi Ratih berbelok ke kanan. Di sini Nyi Ratih banyak sekali melihat sosok-sosok yang menempel di dinding-dinding goa. Mereka adalah betapa-petapa yang entah datang dari mana dengan maksud dan tujuan yang berbeda. Wajah pucat, kurus, seperti mayat hidup duduk bersila dengan mata terpejam. Mereka  ada yang menuntut ilmu santet, ilmu kebal, persugihan, kanuragan, pengobatan dan lain-lain.  Aroma kemenyan dan kembang menyeruak memenuhi ruang. 

Akhirnya keduanya sampai pada sebuah ruangan yang mirip separuh bola besar. Seperti langit yang melengkung. Di sudut terdapat sebuah singgasana beralas kain sutra biru. Di lantai bertaburan permata-permata indah berwarna biru pula. Nyi Ratih disilakan duduk. Akhirnya Nyi Ratih duduk di lantai lurus  menghadap  singgasana.
“Nyi Ratih, yang akan kau hadapi adalah para sepuh yang hidup mati mereka telah menyatu pada pencipta langit dan bumi. Mereka adalah pemeluk Islam yang teguh. Belum ada kekuatan di muka bumi ini yang mampu mengalahkan mereka. Makanya banyak supranatural menghindar jika akan berhadapan dengan kaum ini. Doa dan amalan mereka tak terkalahkan sepanjang peradaban hidup di muka bumi. Simpulannya, jika niatmu bertapa untuk mempertebal ilmu kebatinanmu, dengan tujuan untuk melawan kembali kaum itu, saya kira percuma. Karena meski tapamu engkau lakukan ratusan tahun pun tak akan mampu menghadapi doa, zikir, syalawat mereka.” Ujar Resi Bengol Biru serius.

Demi mendengar itu, Nyi Ratih jadi tercenung. Niatnya untuk dapat meningkatkan ilmu kebatinannya  menjadi kendur. Dalam benaknya merasa belum yakin jika kaum manusia harimau di Sumatra itu tak terkalahkan karena mereka mengucapkan zikir, syalawat, dan doa sebagai pengganti mantra.
“Jadi apa yang harus hamba lakukan Resi?” Ujar Nyi Ratih ragu.
“Jangan berniat untuk mengalahkan. Tapi bagaimana kalian bisa sinergi, Nyi Ratih. Jika sudah sinergi engkau tidak perlu menculik Kanjeng Ratumu dengan kekerasan. Tapi dia akan datang sendiri kelak.” Lanjut Resi Bengol Biru lagi. Lama Nyi Ratih tercenung. Artinya dia harus berguru dengan kaum Islam yang dimaksud Resi? Baru dia bisa memboyong Kanjeng Ratunya dan kerajaan Banyuwangi bisa didirikan kembali? Kemana dia harus menuntut ilmu seperti yang dimaksud Resi agar dia bisa sinergi dengan manusia harimau  Sumatera itu?
“Kemana hamba harus menuntut ilmu  kaum Islam itu Resi? Apakah ada yang mau menerima sementara aku adalah peri, Ahli sihir. Bertahun-tahun aku menuntut ilmu kanuragan dan ilmu sihir bukankah jadi percuma jika tidak bisa kumanfaatkan?” Lanjut Nyi Ratih. Muncul rasa ragu Nyi Rati. Akankah ilmu yang dimilikinya akan raib setelah belajar dengan orang muslim? Alangkah sia-sianya jika raib? Padahal dia sudah mempelajarinya sejak lama dan untuk memperolehnya tidaklah mudah. Banyak rintangan dan ujian.

“Aku banyak kenal para sufi ahli tasyauf jika engkau memang sungguh-sungguh.  Baik yang berdiam di tanah Jawa, maupun yang berdiam di tanah seberang. Engkau bisa pilih salah satu di antara mereka. Mau yang perempuan atau lelaki.” Lanjut Resi Bengol Biru lagi. Betapa lelaki di hadapannya ini ternyata sangat bijak. Sulit diterka beliau ini di pihak mana. Apakah ilmu yang dimilikinya mengarah pada hal yang negatif atau sebaliknya? Beraliran putih atau hitam?

Akhirnya, setelah melakukan komunikasi batin dengan Nini Ratu, Nyi Ratih memutuskan untuk mengikuti saran Resi Bengol Biru. Mendengar keinginan Nyi Ratih akhirnya Resi Bengol Biru menghubungkan Nyi Ratih dengan Eyang Saidah, seorang Sufi yang kesehariannya seperti manusia biasa tinggal di lereng Dieng. Sementara di dimensi lain, beliau seorang perempuan yang disegani dan dihormati banyak makhluk. Jangankan bangsa lelembut, hewan, tumbuhan, bahkan debu menaruh hormat padanya.
“Tingkat kedekatannya pada sang Maha tidak ada yang tahu. Kecuali mereka yang bisa menembus alam gaib. Alam kita,” ujar Resi lagi.

“Secara fisik beliau seperti tak memiliki kemampuan apa-apa. Perempuan tua yang kerap membuat hati manusia terenyuh menaruh kasihan melihat kerapuhannya. Padahal itu hanya untuk menutupi dirinya agar bangsa manusia melihatnya sebagai sosok manusia biasa.” Lanjut Resi Bengol Biru lagi. Akhirnya Nyi Ratih dipertemukan pada Eyang Sahida. Resi Bengol Biru sendiri yang mengantarkan.  Perempuan yang pada dasarnya nampak lebih muda dari usianya ini sangat lembut. Senyumnya, tatapannya, suaranya, semuanya lembut. Tubuhnya bebalut kain berwarna emas, dari kepala sampai ujung kaki. Di tangannya memegang seuntai tasbih berwarna coklat tua yang selalu bergulir di jarinya yang lentik.  Ketika melihat wajah Nyi Ratih matanya menatap tajam seperti  menghujam jantung.
“Benar engkau mau ikut denganku, Cah Ayu? Engkau peri cantik. Pikirkan terlebih dahulu sebelum menyesal.” Ujar Eyang Sahida. Melihat karismatiknya, Nyi Ratih langsung mengangguk. Tidak ada rasa keraguan dalam batinnya. Entah mengapa, baru saja bertatapan Nyi Ratih merasakan sangat dekat, dan meyakinkan diri jika beliau memang patut jadi gurunya.
“Akan banyak ujian yang akan kau lalui jika ikut denganku, Peri cantik. Eh siapa namamu?” Ulang Eyang Sahida lagi. Nyi Ratih mengenalkan diri termasuk asal dan tujuannya berguru. Eyang Sahida mengangguk-angguk kecil.
“Bergurulah pada alam dan keadaan, bukan padaku. Aku tidak memiliki kemampuan untuk mengajarkan sesuatu pada orang lain, kecuali ajakan untuk dekat pada Sang Maha pencipta langit dan bumi,” ujar Eyang Sahada dengan wajah datar.

Akhirnya Nyi Ratih, beliau mandikan terlebih dahulu, lalu dipakaikannya gaun yang menutupi semua tubuhnya. Selanjutnya disyahadatkannya. Pada akhirnya dibimbingnya untuk belajar  tirakat di sebuah mushala kecil di sisi bukit. Nyi Ratih merasakan sesuatu yang baru. Terjadi perubahan drastis pada dirinya. Tubuhnya menjadi bercahaya. Dia sadari itu. Padahal baru beberapa saat dirinya dinyatakan seorang muslim.

Sementara jauh di lereng Dempu, di kediaman Puyang Pekik Nyaring tengah berlangsung doa tolak bala sebagai rasa syukur telah menggagalkan pasukan Banyuwangi menculik Putri Selasi sehingga tanah Besemah kembali damai. Putri Selasih duduk di antara puyang Pekik Nyaring dan Kakek Andun. Sesekali Selasih bersandar manja pada Kekek Andun. Yang pemimpin doa bersama kakek Njajau.

Putri Selasih menyebar pandangan ke seluruh ruangan mencari-cari nenek Kam dan nenek Ceriwis. Namun kedua neneknya itu tidak terlihat batang hidungnya.
“Kemana nenek Kam, Kek?” Selasih memberanikan diri bertanya pada Kakek Andun.
“Ada di sana, di tempat kaum perempuan ” Ujar kakek Andun. Selanjutnya aku mendengarkan berbagai macam hal semacam diskusi yang dipimpin Puyang Pekik Nyaring. Hal utama yang mereka bicarakan adalah upaya penyelamatan nenek gunung di timur bukit Barisan karena ada perusahan-perusahan  yang hendak membangun PLTA micro hidro memanfaatkan air Endikat. Maka bisa dipastikan hutan hunian akan dibabas pimpas oleh alat berat bangsa manusia, selanjutnya para  nenek gunung bisa dipastikan akan panik. Jika panik maka kehidupan manusia akan terancam. Mereka akan kehilangan tempat hunian  sebab Endikat akan di bendung lalu dibuat saluran semacam gorong-gorong untuk membangkitkan tenaga mesin.

Entah berapa hektar tanah bakal dibebaskan dan berapa hektar rimba akan kehilangan hutannya. Sebelum itu terjadi, maka nenek gunung-nenek gunung di sana harus kita alihkan terlebih dahulu,” ujar Kekek Pekik Nyaring. Semua mengangguk setuju. Sementara aku sudah terbayang kayu-kayu di hutan akan ditebang. Lalu pelan-pelan  akan menjadi tandus. Wilayah itu adalah hutan kampungku. Salah satu yang memberikan izin tentu kakakku karena dia Kepala Desa. Aku agak kecewa.
“Nah, pada masa mengumpulkan dan penggiringan para nenek gunung itu selain Kakek Njajau siapa lagi kira-kira yang kita beri kepercayaan?” Puyang Pekik Nyaring melepaskan pandangan ke seluruh arah. Sebelum semua mengangkat tangan menyatakan sanggup, aku mengangkat tangan lebih dulu.
“Puyang, izinkan aku membantu kakek Njajau,” ujarku cepat. “Menurutku, para nenek gunung itu digiring ke bukit ulu saja, Kek. Atau ke balik rimba bukit Selepah, bukit Keraton, atau Bukit Mutung” Ujarku menambahkan. Kakek Pekik Nyaring tersenyum lebar. Aku suka sekali melihat senyumnya. Senyum karismatik yang ikhlas.
“Cerdas sekali! Apa yang kamu sampaikan sebenarnya sepemikiran dengan kami-kami di sini Cucungku. Ternyata kamu telah menangkap lebih dulu sebelum puyang minta kesediaanmu,” lanjut Puyang Pekik Nyaring lagi.
“Tapi Puyang, tidak mengapa bukan jika aku tidak bersama fisikku. Jasadku masih terbaring di Rumah Sakit. Kakiku yang patah belum sembuh”. Ujarku agak kecil hati. Selanjutnya menurut Puyang Pekik Nyaring justru tidak usah bersama jasad. Aku menarik nafas lega. Aku sangat bersyukur di tengah ketakmampuanku secara fisik ternyata masih ada yang bisa kulakukan. Aku sangat bahagia. ingin rasanya kupeluk Puyang Pekik Nyaring saking senangnya.
“Kapan kek pekerjaan ini harus kami lakukan?” Ujarku tidak sabar. Andaikan saat ini aku diizinkan berangkat, akan kulakukan.
“Malam besok Selasih. Macan Kumbang akan menjemputmu tepat pukul satu tengah malam.” Ujar Puyang lagi. Aku mengangguk paham. Sementara kakek Njajau senyum-senyum menatapku. Entah apa yang ada dalam pikiran beliau. Untuk pertama kalinya aku didampingi oleh kakekku yang jahil ini. Setelah kupikir, pantas saja beliau senyum-senyum. Bukankah wilayah Endikat adalah wilayah kekuasaannya. Aku jadi ikut tersenyum.

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Artinya sebentar lagi aku  akan berangkat. Kebetulan yang menjagaku di Rumah Sakit kakakku. Ibu dan Bapak sedang pulang ke Pagaralam beberapa hari. Sejak sore kakakku kuajak ngobrol hingga larut malam. Setelah mendekati pukul dua belas tengah malam baru kuajak berhenti berbicara. Kusuruh dia tidur. Tepat pukul satu, Macam Kumbang datang. Seperti biasa beliau membawakan pakaianku. Aku segera bangkit meninggalkan jasadku. Kukenakan baju yang dibawa Macan Kumbang. Kumantrai terlebih dahulu tempat tidurku. Jasadku seperti orang yang terlelap. Tak lama aku dan Macan Kumbang berangkat. Aku memeluk leher Macan Kembang agak kencang. Karena perjalanan dari Palembang ke seberang Endikat cukup jauh. Angin mendesing terasa sangat kencang ketika kami melalui sungai Musi yang luas. lalu melintasi rawa-rawa baik yang masih perawan maupun sudah digarap oleh penduduk. Beberapa kali aku melihat antu banyu. Makhluk asral yang sangat terkenal suka menenggelamkan manusia yang sedang mandi di sungai atau sedang melintas naik ketek atau perahu kecil. Makhluk asral yang cukup ditakuti di wilayah Sumatera Selatan ini berdiam di lubuk-lubuk dasar sungai yang dalam. Tubuhnya panjang berbentuk ular, namun wajah dan kepalanya mirip manusia. Rambutnya panjang, bermata bulat dan keriput.

Tak perlu memakan waktu lama, aku dan Macan Kumbang sudah di hulu Endikat.  Gemuruh air dan benturan bebatuan mengema mengisi malam yang berkabut. Sejenak kami berdiri persis di bibir sungai. Ada perasaan nyeri di dadaku. Sebentar lagi pohon-pohon ini akan tumbang. Lalu bukit lintasan biasa tempat nenek gunung  mengintai mangsa akan di bluduser sehingga terbelah dua. Cadas-cadas ini pasti akan dikeruk dan diratakan. Dan debit air sungai ini sudah bisa dipastikan akan semakin kecil karena banyak sekali disimpangkan dengan dalih dialirkan ke sawah-sawah penduduk. Padahal selama ini penduduk sudah cukup mendapat air jika hutan di hulu tetap dijaga, tidak ditebas menjadi pemukiman atau kebun pertanian. Oh! Sepuluh tahun yang akan datang aku khawatir daerah ini akan menjadi daerah yang tandus. Penduduk dusun pasti akan kekurangan air. Lahan pertanian makin sempit. Membangun  PLTA hanya modus. Ada proyek besar yang mereka intai. Di perut sepanjang bukit ini mengandung emas, dan gas alam konon terbesar si ASIA. Masyarakat kampung tidak tahu kalau alam dan lingkungan mereka terancaam. Ekosistem juga terancam. Ingin rasanya aku menangis. Akhirnya aku hanya terpaku menatap pedih air yang mengalir. Akan kucurahkan kekesalanku, kemarahanku, tapi pada siapa? Pada kakakku…iya pada kakakku. Akan kumaki-maki karena  kebodohannya tidak berpikir sepuluh dua puluh ke masa yang akan datang.

Saat aku berkecamuk dengan batinku, tiba-tiba ada yang mencolek bahuku. Kutoleh, tidak ada siapa-siapa. Lalu terasa betisku yang dicolek, kutoleh lagi tidak juga ada siapa-siapa. Aku menatap Macan Kumbang yang berdiri menghadap ke hulu. Dalam hati aku menggerutu. Siapa yang iseng. Mengapa aku tidak bisa melihatnya?  Di alam gaib ada lagi alam gaib?
Hap! Hap! Hap!!
Aku menangkupkan telapak tangan ke dada. Aku bermaksud mencari tahu siapa yang mencolek-colekku. Baru saja hendak memfokuskan pikiran, tiba-tiba hidungku dipecet sehingga aku tidak bisa menghirup udara dari hidung.  Meski kutangkis  tetap percuma. Aku  seperti menangkis angin. Kosong.
“Kumbang, ada yang iseng mencolek dan memencet hidungku ni. Tapi tidak kelihatan,” Aku memanggil Macan Kumbang. Macan Kumbang langsung mendekat. Dia juga bingung kok ada yang mencolek tapi tidak tahu siapa yang melakukannya. Tidak kelihatan? Masak seukuran Selasih tidak tahu? Wajah Kumbang bengong. Baru saja aku mau bicara, tiba-tiba pipiku ada yang menarik. Macan kumbang melihat sendiri pipiku sampai melebar seperti karet. Aku menjerit kesakitan. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku melompat ke belakang. Sambil melompat ke udara aku berusaha fokus mencari siapa yang iseng. Baru saja hendak mendarat ternyata kakek Njajau tertawa terkekek-kekek di atas batu yang menonjol di tengah sungai.
“Kakek!!” Jeritku. Pasti orang tua inilah yang iseng mencolek dan mencubitku.
BuuuRR!!! Aku menghantamkan satu pukulan ke air agar memercik mengenai kakek Njajau. Beliau akan kuajak bermain terlebih dahulu.
Hup!! Hup!! Kakek Njajau melompat dan salto ke darat. Belum sempat beliau mendarat, kusambut lagi dengan pukulan. Kembali beliau menghindar ke udara. Kali ini dia menjitak kepalaku. Sialan!! Ilmu apa si yang dipakai kakek?  Dari jauh bisa mencolek dan mencubit,  namun gerakannya tidak terlihat. Hebat sekali kakekku  ini. Aku kagum dan mengakui kehebatannya. Kali ini kuhimpun angin. Akan kucoba menggempur kakek dengan badai.
Hiaaaaat!!
Deru angin mulai terdengar mengisi lemba. Kakek Njajau masih tertawa terkekek-kekek. Dalam hitungan detik angin badaiku menggempur kakek Njajau yang salto kemana-mana seperti ulat cabe.
Hiiiiiaat!!! Kakek Njajau seperti menghalangi anginku. Akibatnya anginku seperti menabrak tembok beton dan berbalik. Aku tak mau kalah, kudorong kembali. Akibatnya angin  terhenti di antara aku dan kakek Njajau. Dua kekuatan sama-sama bertahan di tengah. Namun aku tidak berani menambahkan tenaga dalam. Kubiarkan berada di tengah. Kakek juga sepertinya paham, ikut membiarkan dua kekuatan bertengger di udara.
“Oke Putri Selasih Cucungku yang cantik, kita selesaikan permainan kita ya. Mari kita lempar kekuatan kita ke udara bersamaan.” Hup..Hup..Hup!! Kakek Njajau memberi kode. Lalu DuaaaRRR!!! Suara ledakan seperti bom di udara memercikan  kembang api. Langit menjadi terang. Kami bertabrakan pandang lalu tertawa terpingkal-pingkal. Kakek Njajau menghampiri aku, mengajak bersalaman dan langsung merangkulku.
“Cucungku hebat!” Ujarnya mengancungkan jempol. “Kakek yang hebat. Sampai tidak terlihat waktu  kakek mencolek mencubit, dan menjitak. Ilmu apa si Kek?” Tanyaku penasaran. Kakek tersenyum.
“Halaa…kamu juga punya. Dasar kamu saja tidak sadar kalau kamu punya kemampuan.” Kata kakek Njajau. Sekali lagi pipiku kena cubit.
“Dasar, cucu dan kakek sama gendengnya. Adu kepandaian, pamer! Kalau celaka gimana?” Macan Kumbang nampaknya emosi melihat tingkahku dan kakek. Kami jadi tertawa bersama.

Akhirnya aku dan Macan Kumbang ikut kakek berjalan ke hulu. Aku dan kakek mencoba mengumpulkan nenek gunung yang berada di sekitar sungai Endikat lalu pelan-pelan menggiringnya ke hulu. Selanjutnya memagari bagian hilir agar mereka tidak turun kembali. Malam ini, tugasku bersama kakek baru sebatas memagari bagian-bagian yang dianggap penting dan bahaya. Bahaya bagi nenek gunung maupun bagi manusia. Menjelang subuh, pekerjaan pertama sudah selesai. Kami sepakat akan lanjutkan kembali malam besok.

Akhirnya aku dan Macan Kumbang izin pulang. Aku mencium tangan kakek Njajau terlebih dahulu. Diperjalanan aku ingat nek Kam, dan kakek Haji Yasir. Sejenak aku singgah ke tempat kakek Haji Yasir. Beliau masih tidur pulas. Lampu cubok  berapi kecil nampak kedap-kedip di tengah pondok. Ingin sekali aku menciumnya. Namun Macan Kumbang melarang. Takut Kakek terbangun dan kaget ada yang mencium tapi tidak nampak siapa.

Selanjutnya singgah ke tempat nenek Kam. Rupanya beliau sudah tahu apa yang kami lakukan. Malah beliau menungguku dan Macan Kumbang. Tak lama kami juga pamit. Aku bersyukur meski sejenak dapat berjumpa dengan orang-orang yang kucintai. Kembali aku dan Macan Kumbang melintas di atas sungai, rawa-rawa, hutan dan bukit. Bumi Sriwijaya nampak kelap-kelip terlihat dari atas. Di toah masjid, pelan-pelan suara mengaji mengisi semesta pertanda waktu subuh telah tiba. Aku segera menyatu dengan jasadku. Macan Kumbang segera pulang. Di kamar mandi terdengar gema air memercik. Ah! Baru kusadari jika tubuhku telah berbulan-bulan tidak diguyur air. Aku hanya dilap dengan kain basah setiap hari. Aku jadi sangat rindu. Ingin berendam di air lama-lama. Rindu kolam, rindu sungai, rindu segalanya.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *