HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT VI (89A)

Karya RD. Kedum

Jalan ke luar menuju jalan lintas dari sekolah nampak ramai karena berbarengan dengan mahasiswa yang baru saja ke luar kampus. Aku berjalan beriringan dengan kawan-kawanku ketika seorang anak laki-laki kecil menghadang kami lalu memberikan secarik kertas.
“Kak, ada titipan dari Bang Wahyu” Ujarnya memberikan secarik kertas. Sejenak kupandang. Si anak tersenyum manis. Wajah dan tatapan anak kecil ini sangat teduh. Nampaknya anak ini rajin ibadah. Anak soleh.

Di tengah mahasiswa dan pelajar yang berdesakkan, aku mencium aroma lain selain manusia. Kutatap kembali anak yang masih berdiri di hadapanku. Rupanya aroma itu dari bocah di hadapanku. Dia bukan manusia, tapi makhluk astral berbentuk sempurna seperti manusia.
“Terimakasih adik ganteng. Kamu tinggal di mana?” Sapaku lembut. Sinar matanya saja seperti tersenyum.
“Di pondok, Kak” Ujarnya tanpa menyebutkan pondok apa. Kusambar secarik kertas yang disodorkannya. Ada getar tiba-tiba terasa berbeda.
“Semoga bukan dari Guntoro” Aku membatin teringat beberapa tahun lalu Guntoro menemuiku di luar sekolah, dan menitip pesan dengan teman sekelasku.
“Yeiiiii…dapat surat cinta yaa” Ujar Neti sahabatku. Aku senyum-senyum mendengar candaannya. Sahabatku satu ini ikut penasaran ingin membacanya. Tanpa sungkan kubuka di depannya;
“Dek, besok ditunggu di sekretariat Ratu Samban Hiking Club, bakda ashar. Penting! Terimakasih”

Baru saja aku mengangkat kepala hendak mengucapkan terimakasih pada anak lelaki kecil itu, tiba-tiba sudah tidak ada lagi di hadapan kami. Aku menyimpan kekagetanku. Neti pun nampaknya tidak terlalu menghiraukan kehadiran anak kecil tadi. Aku yakin yang menyuruhnya mengantarkan secarik kertas ini bukan Bang Wahyu seniorku di Pencipta Alam. Aku penasaran, siapa yang berada di belakang peristiwa petang ini.

“Nah, puitis ya Net, isi surat cintanya. Pasti ni senior-seniorku ngajak mendaki lagi. Mau ikut?” Aku dan Neti tertawa berderai. Neti yang semula penasaran jadi tersenyum malu. Padahal hatinya ingin sekali tahu perihal perasaanku, pengalaman asmaraku dan sebagainya. Sebagaimana Neti kerap bercerita tentang dirinya. Termasuk saat ini dia tengah jatuh cinta dengan salah satu mahasiswa, kampus tetangga sekolahku.
“Dek, ada salam kak Hasan” pernah suatu kali Neti berkata demikian. Kak Hasan adalah salah satu kakak kelasku. Apakah benar titip salam atau Neti sengaja memancing dan hendak menjadi mak coblang, aku tidak peduli. Aku hanya menjawab salamnya. Lebih dari itu tidak kuhiraukan. Berkali-kali Neti mengajakku ke kantin, atau sekadar lewat kelas Kak Hasan. Dan itu selalu kutolak. Akhirnya, Neti menyerah.

Aku dan Neti berpisah di simpang jalan masuk sekolah. Seperti biasa aku bergegas menuju Simpang Bali. Belum sampai di pemakaman Kampung Bali, tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Pohon tinggi di pemakaman seperti hendak tercabut saking kencangnya. Sebentar lagi hujan pasti turun. Aku bergegas mencari tempat berlindung. Beberapa atap seng rumah penduduk terlihat terangkat dan mengeluarkan suara berisik. Beberapa bak sampah yang terbuat dari plastik terbanting-banting hingga ke badan jalan.
“Ayo, Eyang antar pulang. Air laut akan naik, badai akan datang” Tiba-tiba Eyang Kuda berdiri di hadapanku. Curah hujan sudah mulai rapat. Aku menoleh kiri-kanan. Sejenak kukasatkan diri. Aku langsung berlari dan melompat ke punggung Eyang. Eyang Kuda meringkik sekali lalu melesat seperti angin. Dalam sekejap aku sudah ada di teras rumah.
“Alhamdulilah, untung sudah sampai. Ibu khawatir kamu terjebak di jalan. Kayaknya badai ini. Ibu ngeri, atap rumah kita seperti terangkat” Ibu menyambutku di depan pintu. Sementara Eyang Kuda sudah lenyap dari pandanganku.

Sebenarnya hari belum terlalu petang. Namun karena hujan angin, langit gelap, suasana jadi seperti sangat senja. Aku menuju kamar dan ganti pakaian. Suara angin menderu seakan akan menumbangkan pepohonanan dan mengangkat atap rumah kami yang panjang. Jika sebelumnya hanya ada hujan dan angin kencang, sekarang suara petir bertubi-tubi. Kilatan lidah api terlihat menyambar pucuk pohon kelapa tetangga. Ledakan mengeluarkan api membuat orang di sekitar kaget dan serentak ke luar. Entah apa maksudnya ibu nampak buru-buru ke dapur lalu menyisipkan pisau di sela-sela jedela dapur mengarah ke luar. Ketika kutanya, apa maksudnya, ibu menjelaskan jika yang dia lakukan adalah menangis petir. Maksudnya, jika dipasang lisau menghadap ke luar, kilatan api tidak akan menyambar rumah. Tapi akan ditolak oleh untung pisau. Aku senyum-senyum sendiri. Jika tidak dihubungkan ke bumi, bagaimana pisau itu akan menolak jilatan petir? Tapi tak apalah, toh banyak sekali ilmu alam yang dimiliki oleh nenek moyang zaman dulu relevan hingga kini. Mereka tidak mendalami dan mempelajari di bangku sekolah. Namun pengalaman dan membaca alam justru membuat mereka peka.

Kulihat Bapak justru wudu, lalu membuka Al quran’an. Aku hanya mendengar suara Bapak berdegung di antara deru angin hujan dan petir. Suasana rumah terasa adem dan damai. Beberapa makhluk astral kulihat mendekat dan menyimak di samping Bapak. Mereka adalah jin-jin muslim yang tinggal di atap-atap rumah. Aku pura-pura tidak peduli dengan aktivitas mereka. Andai Bapak bisa melihat dan mendengar, makhluk-makhluk astral tersebut ikut membaca dan bersuara. Mereka seperti duet jika di alam nyata.

Aku menghitung bulan. Tinggal beberapa hari lagi purnama akan tiba. Aku tengah mencari strategi bagaimana agar semuanya aman ketika kutinggalkan ke Timur Laut Banyuwangi menemui Nini Ratu sekaligus melihat keadaan istana. Semakin hari aku bersyukur karena Nyai Ratih selalu mengabarkan rakyatku ada yang bersyahadat. Semua tanpa paksaan. Bahkan kemarin, kurang lebih tiga puluhan orang diantar pandita untuk di Islamkan. Masya Allah, ketika mendengar kabar itu jiwaku bergetar. Aku menangis ketika sujud syukur. Sulit kulukiskan perasaan haruku.

Aku selalu ingat cerita Kakek Haji Yasir kalau berbicara tentang keyakinan ini. Zaman dahulu, menurut Kakek Haji Yasir, sebelum di Seberang Endikat kenal agama, moyang-moyangnya yang primitif, menyembah pohon, batu, matahari dan lain sebagainya. Sebagian lagi sisa-sisa warisan kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di negeri ini membuat masyarakat di sepanjang aliran sungai, sudah kenal agama lebih dulu, yaitu agama Buddha. Tidak sedikit pelajar dari sekolah Buddha yang berasal dari kerajaan menyebarkan ajaran Budhis ke masyarakat. Lalu muncul pula agama Hindu yang dibawa oleh para pedagang dari India. Mereka pun diterima dan menyebarkan agama Hindu. Hampir semua dataran Tanah Sriwijaya memeluk agama hindu. Para Pandita berjalan memasuki hutan-hutan belantara Sumatera, tidak saja bertapa, namun singgah-singgah pula ke perkampungan-perkampungan kecil mengenalkan ajaran Dharma.

Seiring itu pula para pedagang dari Arab, Tiongkok, India, beramai-ramai datang dan melakukan transaksi dengan masyarakat hingga ke pedalaman. Mereka berdagang sambil menyebarkan ajaran masing-masing, menyusuri sungai-sungai hingga ke hulu. Hingga akhirnya keyakinan masyarakat pun bervariasi. Ada yang masih bertahan dengan animismenya, ada yang memeluk Budha, ada yang Hindu, ada pula yang Islam.
“Nenek moyangmu, leluhur dari ibumu yang perempuan, itu berasal dari China, beliau seorang mualaf. Namanya Thian Jin. Menikah dengan moyang kakekmu yang berasal dari Malaysia. Beliau seorang ulama. Menyebarkan agama Islam sampai ke pedalaman Semende. Akhirnya, mereka menetap di sana. Merekalah cikal bakal leluhur dari ibumu. Keduanya dimakamkan di dataran tinggi Pajar Bulan semende.” Demikian tutur Kakek Haji Majani ketika itu.

Jadi jika berbicara tentang perpindahan keyakinan, bukan suatu yang aneh bagiku. Nenek moyangku mulai dari animisme, sebagian lagi memeluk Budha, Hindu, lalu terakhir memeluk Islam sudah berproses sejak dulu kala.

Aku merebah di atas dipan. Pagi tadi ketika aku pergi, tempat tidurku masih berantakan. Aku tidak sempat membereskan kamar karena buru-buru. Aku pergi, dan mengunci pintu. Kunci kamarku kuletakkan di tempat agak tersembunyi seperti biasanya. Tapi setelah pulang, kulihat kamarku bersih dan tertatah rapi. Hal seperti ini bukan sekali dua kali. Sering kali. Bahkan pernah suatu kali di belakang pintu kamarku penuh dengan tumpukan bajuku kotor. Baju-baju kotor itu, sengaja kusimpan agar tidak dicuci oleh ibu. Maksudku ketika aku ada waktu senggang, baru kucuci. Ternyata ketika aku pulang setelah pergi seharian, baju-bajuku bersih tertata rapi di atas dipan. Kutanya dengan ibu siapa yang mencuci dan menyetrika bajuku? Ibu tidak tahu. Katanya beliau tidak melakukannya. Setelah kutelusuri, ternyata Darna makhluk astral yang tinggal di bedeng tujuh milik Ibu. Perempuan sederhana itu, masa hidupnya bekerja di rumah Belanda. Diam-diam dialah yang kerap mencuci baju-bajuku lalu dilipatnya rapi seperti usai disetrika. Termasuk juga kamarku bersih seperti ini, pasti pekerjaan dia juga.

Pernah suatu kali, Darna membersihkan kamarku. Sementara aku sedang ‘muncak’. Di rumah hanya ada Ibu. Mendengar suara seperti ada orang yang menyeret kursi, memukul bantal dan kasur, mengepel di kamarku yang terkunci, Ibu ketakutan. Padahal siang hari. Ibu lari ke rumah tetangga dan penceritakan hal ganjil itu. Ketika mereka kembali, suara itu tidak ada. Tetangga membuka pintu kamarku. Mereka hanya melihat kamarku yang tertata rapi dan tidak ada sosok siapa-siapa. kalau bukan Darna yang bercerita padaku, aku tidak tahu jika ibu ketakutan ketika itu. Untuk selanjutnya kupesan dengan Darna agar kalau ke kamarku jagan sampai terdengar suara apa pun. Silakan mau bersih-bersih, tidur-tidur, yang penting jangan bersuara. Sejak saat itu Darna mematuhi pesanku. Padahal aku sudah lama tidak bersua dengannya. Tapi ternyata dia masih juga datang membantuku.

Aku menatap langit-langit kamar hingga tembus ke langit. Langit nampak gelap. Bulan miring, posisinya masih rendah di timur. Di luar suara jangkri mulai mengetik berpacu dengan irama kodok dari segala penjuru. Satwa-satwa malam itu selalu ceria tiap kali menyambut gelap. Sementara pikiranku, masih melanglang buana. Banyak sekali yang harus kepilah-pilah antara kehidupan nyata dan tak kasat mata.

Setelah berpikir agak panjang, akhirnya aku memutuskan, sebelum purnama bulat sempurna aku sudah ada di Timur Laut Banyuwangi. Aku ingin berjumpa Puyang Purwataka di gunung Slamet, lalu ke Dieng bersua Eyang Putih. Aku akan gunakan ajian memecah diri untuk menggantikan aktivitasku di sekolah dan di rumah. Termasuk juga program penghijauan bersama kawan Pecinta Alamku, bersamaan dengan purnama kelak.

Lama aku bolak- balik berpikir sendiri merencanakan segala sesuatu dengan rapi. Aku tidak ingin gegabah sehingga salah satu rencanaku menjadi kacau. Apalagi meninggalkan Ibu, salah sedikit, atau tercium sedikit mistis, bisa membuat jantungnya berhenti. Oleh sebab itu hingga kini ibu nyaris tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hanya bercerita pada Bapak dan Kakek Haji Yasir tentang beberapa hal penting saja. Termasuk kuceritakan jika aku punya kerajaan di pulau Jawa. Bapak dan kakek Haji Yasir bisa memahami. Jika ibu tahu, maka akan muncul ketakutannya. Ketakutan beliau bukan tanpa alasan. Beliau takut aku hilang seperti salah satu leluhurnya yang pulang ke alam gaib hingga kini tidak kembali. Aku memaklumi kekhawatirannya.

Ke luar dari sekolah, aku berencana langsung ke sekretariat Pecinta Alam untuk memenuhi undangan Bang Wahyu kemarin. Lagi-lagi di simpang masuk gang sekolah aku bertemu dengan anak kecil laki-laki yang menemuiku kemarin.
“Kakak, hari ini kakak di suruh Bang Wahyu datang menemuinya” Ujarnya mengingatkan. Aku segera memegang lengannya. Terasa lembut dan halus sekali.
“Kau mau ikut bersamaku ke sana” Ujarku. Si anak tersenyum sambil mengangguk senang. Akhirnya aku berjalan bersamanya berbarengan sambil ngobrol.
“Hei! Dari tadi kulihat kamu ngoceh sendiri? Belajar jadi wong sinting ya?” Aku dikagetkan Akhirudin yang menepuk pundakku dari belakang. Rupanya dari tadi sahabatku satu ini memperhatikan aku.
“Enak saja, kamu salah lihat kali” Ujarku mengelak.
“Tuu..tanganmu saja seperti menggenggam sesuatu” Kata Akhirudin lagi. Aku kembali kaget. Memang aku tengah menggenggam lengan adik kecil yang berjalan di sampingku. Kuangkat tangan kami berdua tinggi-tinggi.
“Ni lihat, tidak ada apa-apa kan?” Lanjutku lagi. Adik kecil tertawa melihat wajah Akhirudin agak cemberut. Akhirnya kami berjalan bertiga. Untung adik kecil ini bukan kategori iseng. Kalau model A Fung, bisa dijahilinya Akhirudin.

Berjalan kaki dari sekolah ke Anggut Dalam, lumayan jauh. Tapi karena ada Akhirudin terpaksa aku ikut berjalan pelan. Setelah sampai di simpang Jamil, kami berpisah. Aku ajak adik kecil untuk berjalan lebih cepat. Tidak lama kami sudah di depan pintu pagar sekretariat. Aku melihat pintu terbuka. Di halaman beberapa alat mendaki tergeletak. Nampaknya habis dicuci dan dijemur. Di dalam, terdengar suara orang sedang bercengkrama. Aku sedikit menahan diri ketika terasa ada energi yang menarik tubuhku dari dalam.
“Assalamualaikum…” Aku mengucapkan salam sambil melangkah masuk. Benar, rupanya ada beberapa teman PA-ku sedang asyik diskusi. Di antara mereka ada satu yang tidak kukenal. Melihat aku masuk, dia tersenyum ramah dan menyalamiku. Aku langsung duduk memilih tempat yang masih kosong di lantai.

“Bang Wahyu kemarin kirim surat, ada program kemana ni?” Tanyaku sambil membenahi posisi duduk. Kulihat Wahyu diam saja sambil menatapku. Sementara adik kecil cekikikan di sampingku.
“Bukan Bang Wahyu, Kak. Itu, Abang Alif” Ujarnya sambil menunjuk orang yang tak kukenal. Aku mencoba mengendalikan diri agar kawan-kawan yang lain tidak tahu jika aku tengah berbicara dengan makhluk astral. Tamu tak kukenal masih tersenyum. Apalagi ketika adik kecil menunjuk dirinya. Dalam hati aku bertanya siapa dia? Sejak awal memang aku sudah merasakan energinya, jika dia bukan manusia biasa.
“Jangan ge er Dek, siapa yang ngirim surat untukmu. Perasaan paling cantik saja. Kalau aku mau denganmu, tidak pakai surat cinta lagi Dek, langsung kulamar!” Ujar Bang Bayu tandas. Aku tertawa kencang mendengar candaan Bang Wahyu.
“Iya, deh, lamarlah aku segera” Aku balik mencandainya.
“Kita belum punya program dalam waktu dekat. Hanya ada kegiatan-kegiatan ‘Bengkulu Hijau’. Kita akan menanam ketapang dan cemara, sepanjang pantai, mulai dari Pasir Putih sampai ke pantai Nala saja dulu” Ujar Bang Bayu.
“Oh, begitu. Kukira kamu akan menanam harapan padaku” Aku masih menanggapinya main-main. Spontan saja kuas di sampingnya dilemparkannya padaku. Di sisi lain, aku agak malu juga karena tidak mendeteksi kebenaran pengirim surat itu lebih dulu.
“Akulah yang menitip pesan untukmu, Kanjeng Ratu Putri Selasih. Maaf, jika surat kecil itu mengganggu, dan pakai nama sahabatku Wahyu. Sebab kalau kusebut namaku, Kanjeng tidak kenal aku” Ujarnya teman Bang Wahyu berdialog batin padaku. Aku kaget mengapa dia menyebutku Kanjeng Ratu? Di mana dia tahu? Siapa pemuda ini? Beberapa pertanyaan saling kejar dalam benakku. Aku jadi penasaran.
“Mohon maaf juga kalau surat itu kutitip lewat adik gaibku” Orang yang bernama Alif ini kembali minta maaf.
“Kau kenal aku?” Aku bertanya.
“Iya, sangat kenal. Aku ikut guruku membangun istanamu. Di situlah kuketahui jika Kanjeng bukan makhluk astral, tapi bangsa manusia yang memiliki kemampuan dasyat, dan tidak semua manusia mampu seperti Kanjeng. Makanya aku bertekad untuk mencari sosok manusia Kanjeng. Ternyata tidak jauh, Kanjeng Ratu kutemui di bumi Raflesia ini.” Sang tamu masih menunduk dan memejamkan mata mengajakku berdialog lewat batin. Sejenak aku tertegun. Jadi di hadapanku ini salah satu sosok yang ikut membangun istana Timur Laut Banyuwangi?
“Maafkan ketidaktahuan saya. Terimakasih sudah berkenan membantu pembangunan istanaku beberapa waktu lalu. Siapakah saudara kalau aku boleh tahu” Aku balik bertanya.
“Namaku Alif, tinggal di salah satu pondok pesantren di kota ini. Guruku berasal dari Jawa Timur” Lanjutnya lagi.

Akhirnya aku dan Alif sepakat ngobrol di alam nyata saja. Agar teman-Teman yang lain tidak heran melihat kami sama menunduk dan diam.
“Oke, kapan kita bersih-bersih pantai” Ujarku berusaha mengabaikan tentang surat. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan lain.
“O iya, ini tamu kita anggota baru atau dari club PA lain?” Tanyaku.
“Nah, ini dia. Kenalkan Dek, ini sahabatku. Kami satu Tsanawiyah, Aliyah, satu kamar, satu daerah ketika sama-sama mondok. Dia calon Kyai ni. Sangat cocok untuk menakhlukan keliaranmu. Dia anak Kyai As’ad” Lanjut Bang Wahyu. Kyai As’ad salah satu tokoh agama yang cukup terkenal di Bengkulu. Beliau sering mengisi kajian di majlis taklim, masjid-masjid, dan organisasi Islam mahasiswa. Setahuku beliau salah satu tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi di kota Bengkulu ini. Beberapa kali aku pernah ikut pengajian beliau. Setelah kupikir-pikir, benar juga. Alif mirip wajah Kyai itu.

Sekilas aku menatap Alif kembali. Beliau tidak penampakan diri sebagai seorang anak ulama dengan atribut-atribut religius, misalnya memakai peci, sorban, gamis, atau apalah seperti anak kyai pada umumnya. Bedanya hanya terlihat pakaian yang dipakainya baju koko, wajahnya bersih, bahkan sangat bening untuk ukuran anak laki-laki. Ada sedikit jenggot mengantung di dagunya yang belah, kumis tipis tertata rapi.

Mendengar penjelasan Bang Bayu tentangnya, akhirnya aku mengenalkan diri di alam nyata. Kami berbicara layaknya manusia. Alif pun demikian, mengenalkan diri tanpa menyebutkan anak siapa. Selanjutnya obrolan-obrolan ringan seputar ketika mereka mondok, sampai bercerita tentang peraturan pondok yang mereka langgar. Aku ikut tertawa membayangkan pengalaman lucu mereka.

“Kamu siapanya Bang Alif? Namamu siapa?” Aku membatin bertanya pada adik kecil yang senyum-senyum saja sejak tadi.
“Namaku Azam, Kak. Aku selalu ikut kemana Bang Alif pergi” Jawabnya. Jin kecil ini rupanya sahabat Alif. Pantas keduanya seperti memiliki kesamaan sikap. Sama-sama alim dan beretika. Hanya saja Azam terlihat manja.

Azam bukan bangsa jin pendamping seperti A Fung adik gaibku. Tapi dia memang makhluk jin yang fisiknya seperti manusia. Kuketahui jika Azam dirawat orang tua Alif sejak kecil. Azam anak yatim piatu. Orang tuanya gugur ketika ikut berjuang membela kaum muslimin di Palestina. Orang tua turun ke medan perang bersama makhluk astral lainnya. Selanjutnya mereka saling dukung bersama bangsa manusia ikut berjuang mempertahankan masjidil Aqso dari serangan kaum kafir. Ternyata di sana, tidak hanya bangsa manusia saja yang perang, namun banyak bangsa jin yang angkat senjata ikut berjuang mempertahankan masjid itu. Konon lawan mereka selain manusia, ada iblis, setan, dan jin fasik. Bangsa-bangsa ini banyak membantu mengobarkan agar terjadi peperangan.

Bapak dan Ibu Azam adalah syuhada yang gugur di pihak makhluk astral yang turut berjuang membela Palestina. Aku merinding setelah mengetahui hal itu. Apalagi melihat ekspresi Azam tetap menampakan keceriaan meski tidak punya orang tua. Sebuah latar belakang yang jauh berbeda dengan A Fung. Jika A Fung, jin korim manusia yang mati sekeluarga karena di bunuh para perampok di Pagaralam. Bertemu denganku karena kebetulan. Lalu ia minta disyahadatkan karena tidak ingin jauh denganku.

Usai puas berbincang-bincang, akhirnya aku izin pulang. Alif juga ternyata ikut pamit pulang. Akhirnya kami ke luar berbarengan. Alif menawarkan diri hendak mengantar aku sampai ke rumah. Aku menolak. Pertama aku baru kenal. Ke dua di alam nyata dan alam tak kasat mata tentu berbeda. Aku lebih nyaman bersua di alam tak kasat mata saja pada orang-orang seperti ini.
Melihat aku menolak untuk diantar Azam turut membujukku.
“Ayo kak, biar Bang Alif antar ke rumah kakak, Azam ikut” Rengeknya. Aku menatap wajah polosnya.
“Jangan sekarang, adik ganteng. Suatu saat kita jumpa lagi. Kapan-kapan Bang Alif main ke rumah kakak, kamu ikut ya” Ujarku membujuknya. Alif sepertinya sepakat. Sekali lagi aku mengucapkan terimakasih pada Alif karena dia ikut membantu pembagunan istanaku beberapa waktu lalu.

Aku menatap punggung Alif yang mulai menjauh dengan vespa hijaunya. Hari sudah senja. Aku celingak-celinguk melihat jalanan sepi. Aku bermaksud hendak berjalan cepat sedikit mengeluarkan kemampuanku. Inilah bedanya siang dengan malam. Kalau siang aku tidak bisa sesukaku untuk menghilang. Khawatir ada manusia yang melihat, kalau mereka melihatku bisa jadi muncul rasa takut, dan akan bermunculanlah rumor hingga sampai pada fitnah.

Baru saja aku membaca Bismillah hendak melanjutkan doa dan mantra, tiba-tiba Eyang Kuda sudah berada di samping.
“Naik, biar Eyang antar pulang”. Ujarnya. Tanpa pikir panjang aku langsung melompat. Seperti terbang dalam waktu singkat aku sudah ada di dekat rumah. Aku sengaja turun di halaman dekat pohon-pohon yang agak tepi demi menghindari Ibu yang asyik ngobrol dengan tentangga di pintu pagar. Diam-diam, tanpa sepengetahuannya, aku buru-buru masuk.

Aku bersama Bapak duduk di teras. Bapak banyak bertanya tentang kelanjutan sekolah, dan kemana tujuanku. Banyak alternatif yang diberikan Bapak. Yang jelas, seperti orang tua pada umumnya, Bapak mengharapkan agar aku melanjutkan pendidikan ke jurusan yang kira-kira terbuka lebar peluang kerjanya.
“Aku ingin menginjak daerah lain, Pak. Boleh kan kalau aku ingin melanjutkan pendidikan di kota lain?” Tanyaku mantap.
“Boleh, asalkan masih di tanah Sumatera ini” Ujar Bapak lagi. Aku menarik nafas lega. Artinya aku boleh ke Lampung, Palembang, Jambi, Sumbar, Pekanbaru, Sumut, dan Aceh. Aku menimbang-nimbang pilihan. Sementara jika ikut Sepenmaru, aku hanya punya tiga pilihan perguruan tinggi.
“Sudah, tidak usah jauh-jauh. Susah pulangnya nanti” Suara Nenek Kam mempengaruhiku.
“Tapi aku ingin merantau, menimba ilmu di daerah orang, Nek. Aku ingin belajar mencari pengalaman di daerah lain” Ujarku membalasnya dengan batin.
“Jangan jauh-jauh, Cung. Tugasmu bukan hanya belajar. Tapi ikut menjaga keseimbangan dan menjadi perentara nenek gunung dan bangsa kita. Leluhurmu di gunung Dempu butuh kamu” Lanjut Nenek Kam lagi. Aku sangat paham kekhawatiran Nenek Kam. Aku senyum-senyum sendiri.
“Percayalah dengan Cucung Nenek Kam. In sya Allah semuanya bisa berjalan baik, Nenekku sayang” Batinku. Kudengar suara Nenek Kam sedikit mendesah.

Bulan masih terlihat lonjong. Tinggal beberapa malam lagi akan sempurna. Aku menatap bulan tanpa berkedip. Meski cahaya belum sempurna, tapi aroma mistisnya telah terasa. Apalagi dalam hitungan jawa, kata Eyang Kuda, ketika purnama nanti tepat malam jumat kliwon. Di mana malam itu seperti malam sakral para makhluk halus melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Aku tidak paham tentang hitungan hari tanggal jawa. Namun yang jelas, tepat bulan purnama aku harus menemui Nini Ratu.

Angin berhembus semilir. Beberapa kelelawar melintas di hadapan kami. Aku dan Bapak hanyut dengan pikiran masing-masing. Malam besok, aku sudah mulai dengan petualangan gaibku. Aku akan tinggalkan Bengkulu barang beberapa hari.

Ketika cuaca sudah mulai terasa dingin, aku dan Bapak masuk. Kulihat ibu masih asyik mengukur-ukur bahan katun lebar yang hendak dijahitnya menjadi bantal. Perempuan hebat ini, masih saja menyempatkan diri membuat segala macam kerajinan. Menjahit sprei, kebaya, menyulam, bahkan merenda pun beliau lakukan. Sementara aku, tidak satu pun keterampilan ibu aku warisi. Ibu memang hebat!

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *