HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT 18(ABC)

Karya RD. Kedum

Jam dinding berbunyi dua belas kali. Pertanda sudah tengah malam. Tapi aku belum bisa memicingkan mata sedikitpun. Di sampingku suara depu-depu dari mulut nenek Kam seirama dengan detak jantung. Seperti ketukan nada, sama dan datar. Sesekali kupandangi wajahnya yang berhadapan denganku. Siapa sangka jika melihat wajah polos nenek Kam, ternyata beliau memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya. Aku melihatnya perempuan ringkih dibalut kulit yang sudah menua. Ekspresinya sangat polos. Jika melihat beliau tidur terkadang seperti bayi karena wajahnya memang mungil sekali.Terbayang masa mudanya, pasti beliau gadis mungil berkulit halus kuning langsat. Bermata sipit, berbibir tipis dan selalu tersenyum. Aku enggan membayangkan sosok lain selain sosok nenek Kam. Biarlah sosok-sosok aneh itu milik nenek Kam saja. Kali ini aku tidak ingin melihatnya.

Aku ingin melihat nenek Kam yang sebenarnya. Tapi… Lama-lama pikiranku menuju pada akhir hidup, kematian. Ada kekhawatiran menyisip di dadaku. Aku kembali takut kehilangan nenek Kam. Entahlah, perasaan itu kerap kali menggaggu tiap kali jelang tidur. Meski kata Mualim guru mengajiku bahwa semua makhluk hidup akan mati dan ajal tidak ada yang tahu tapi rasanya aku belum bisa menerima kematian. Apalagi kematian nenek Kam. Aku masih sangat ingin lama-lama bersamanya. Jika nenek Kam sudah tiada, siapa yang akan mengajariku tentang banyak hal? Lalu akan banyak yang merasa kehilangan, bukan hanya aku dan keluarga. Tapi juga macan kumbang yang selalu setia mendampinginya. Lalu akan kemana macam kumbang kalau nenek Kam sudah tak ada? Apakah dia akan pulang ke gunung Dempu? Akhirnya aku membuang jauh-jauh perasaan itu.

Malam semakin larut, udara dingin semakin terasa. Aku menarik selimut tebal yang kupakai berdua nenek Kam. Kurapikan selimut nenek Kam, sebelum menutup tubuhku hingga kepala. Aku mencoba memejamkan mata, berusaha tidur. Ah, ternyata dalam selimut sangat gelap. Semakin gelap justru membawa pikiranku semakin liar kemana-mana. Akhirnya kutongolkan kembali kepalaku sebatas leher. Berusaha mengusir rasa dingin yang mendesing. Kali ini pikiranku terbentur pada kejadian aneh beberapa hari ini. Terasa berat dan melelahkan. Apalagi kejadian pagi tadi. Bukan masalah nenek Kam yang memiliki tenaga super tapi mengapa tanganku tiba-tiba seperti berbulu ketika mencakar tangan pencopet itu? Lalu Sembilan orang yang membawa daging dalam karung berisi nenek gunung di pasar itu, katanya dari Bengkulu? Seperti apa Bengkulu itu? Jauhkah dari sini? Apakah Bengkulu masih kaya dengan belantaranya sehingga di sana masih banyak nenek gunung bersemayam? Lalu pasukan berpakaian hitam berikat kepala seperti pendekar yang membawa kabur keturunan Cina itu, konon adalah datuk dari Gunung Talang Sumatera Barat.

Aku kembali bertanya-tanya dimana Sumatera Barat itu? Apakah juga jauh dari sini? Suatu saat aku harus ke Bengkulu dan Sumatera Barat. Aku ingin tahu apakah seperti kota kecilku Pagaralam, berangin sejuk, berkabut saban pagi, kecil dan kumuh? Atau seperti yang di gambar-gambar dalam buku pelajaranku. Kota yang indah dan bersih? Lalu dikelilingi belantara berbukit-bukit. Sebenarnya aku ingin bangkit mengambil peta lalu mencari nama-nama kota dan gunung. Aku ingin tahu di mana titik Bengkulu dan Sumatera Barat. Bagaimana bentuk gunung dan kotanya. Seberapa luas hutannya sehingga masih bersemayam nenek gunung di sana. Tapi karena suhu udara sudah mulai terasa dingin sekali, kuurungkan niat itu. Paling besok aku akan bertanya dengan pak Muslini guru IPS-ku. Aku membatin.

Tiba-tiba bibir nenek Kam tersenyum manis sekali. Kukira beliau sedang bermimpi indah. Aku ikut tersenyum lucu. Besok akan kuceritakan padanya kalau nenek Kam bermimpi sambil tersenyum. “Siapa mimpi, wong nenek lihat kamu jam segini belum tidur, pikiran kemana-mana” Tiba-tiba suara nenek Kam. Nenek Kam berbicara? Kulihat matanya masih terpejam. Perasaan mulutnya tidak bergerak. Kupegang wajahnya, nenek Kam masih lelap. Siapa yang berbicara tadi? “Nenek kalau tidur, ya tidur aja. Orang tidur kok tahu kalau aku masih jaga?” Jawabku. Aku berharap beliau menjawab. Tapi lama ditunggu beliau diam saja. Nafasnya saja behembus turun naik. Akhirnya aku menelentang, menyapu seisi kamar menerka-nerka apakah ada sosok lain yang iseng menirukan suara nenek Kam apa tidak. Nihil. Tidak kutemukan selain nenek Kam. Kuhadapkan lagi wajahku padanya. Nenek Kam masih lelap. Lalu siapa yang berbicara tadi. Apakah adik nenek Kam gadis tua yang ceriwis petang tadi. Aku tidak suka padanya. Mudah-mudahan meski di sampingku ini bukan nenek Kam tapi aku berharap, bukan gadis tua ceriwis itu. Masih terasa telingaku ketika dijewernya. Sakit dan panas. Aku segera memusatkan penciumanku. Berkali-kali kucoba, namun sepertinya nenek Kam sengaja memudarkan penciumanku. Aku sulit mencium aroma khusus makhluk selain manusia di sekitarku. Akhirnya aku memusatkan batinku mencari keberadaan macam kumbang. Apakah dia tidur di gudang kopi bapakku atau pulang ke gunung Dempu?

Pelan-pelan, aku merasa berdiri di pinggir jalan gunung Dempu. Hmm… batinkuku melihat nenek Kam di atas punggug Macan Kumbang berlalu dengan cepat. Mereka pergi ke gunung Dempu rupanya. Di jalan aku melihat banyak sekali orang yang berduyun-duyun hendak ke gunung Dempu juga. Muncul niatku untuk berjalan bersama mereka. Ketika aku hendak melangkah tiba-tiba aku merasa ada yang menarik bajuku dari belakang. Aku berusaha melepaskannya dan menoleh. Ah! Ternyata di belakangku kembali perempuan kecil yang pernah bertemu denganku kemarin. “Siapa kamu, namamu siapa? Mengapa menarik bajuku?” Tanyaku sembari membalikan badan. Kami berhadapan. Jarak kami sangat dekat. Aroma bunga lembut berhembus dari tubuhnya. Ingatanku langsung berjalan menuju pertemuan dengannya sebelumnya. Aku mencoba mencium aromanya. Aku hanya ingin memastikan wujud aslinya. Gagal. Aku tidak bisa melihat wujud lainnya. Selintas aku sedih. Berarti aku tidak akan bisa melihat macan kumbang dalam bentuk orang lagi? “Kita pernah bertemu, kita pernah berpapasan di gunung Dempu, kita juga pernah bertemu ketika kamu tidur di ujung kaki nenekku siang itu” Aku mecoba mengendalikan diri.

Aku mencoba menyelidik berbagai macam hal lewat cahaya matanya. Mata indah itu berkilat-kilat seperti mata kucing. Indah sekali. Alisnya yang halus, bermulu mata lentik kemerahan. Senyumnya sangat manis. Baru kusadari dia gadis kecil yang cantik luar biasa. Bibirnya halus berwarna merah muda. Cahaya lampu cukup membantuku untuk memandangknya sampai puas. Aku menyambut tangannya yang terulur. Kami bersalaman. Telapak tangannya terasa halus sekali. Kami bertatapan. “Aku Putri Selasih” Ujarnya lembut. Angin malam membuat rambutnya sebahu meriap-riap. Meski dia menggunakan busana sederhana, gaun katun tipis tanpa lengan, namun tidak mengurangi kecantikannya. Berbeda denganku. Meski aku perempuan tapi paling suka memakai celana pendek atau celana panjang. Kecuali sekolah. Karena wajib memakai rok, baru kupakai. Itupun sering kulepas ketika pulang sekolah. Aku ganti dengan celana pendek. “Putri Selasih? Jadi Putri Selasih itu kamu?” Aku sedikit bengong. Aku jadi ingat ketika nenek Kam menyebutku Selasih. Lalu saat kutanya perihal siapa Putri Selasih, beliau menjawab suatu saat kamu akan tahu, dan dia sangat dekat denganmu. Apakah yang dimaksud nenek Kam Putri Selasih itu gadis kecil di hadapanku ini? “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Maksudku sebelum kita berpapasan di gunung Dempu itu?” Tanyaku. Sebab hingga saat ini aku merasa sangat mengenalnya. Aku merasa dia sangat dekat denganku. Tapi aku sendiri tidak tahu dimana. Barangkali saja gadis cantik ini dapat membantuku. “Iya, bukankah kita sering bermain sejak kecil? Aku selalu menemanimu” Ujarnya. Pernyataannya membuatku semakin bingung. Kapan aku bermain dengannya. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat kembali masa kanakku. Terbayang setiap lorong, lekuk, sampai pelosok kota kecilku Pagaralam tempat biasa aku bermain. Kuingat-ingat kawan mainku, baik di lingkungan Talang Jaruk, Talang kecepit, Indra Giri, Kampung Melati, Tebat Baru, Dusun Pagaralam, Demperiokan, Bedeng Munir, Simpang Asam, Gunung Gendang hingga kampung-kampung kecil yang menyebar di kota Pagaralam. Apalagi lingkungan ruko sekarang? Kawan-kawanku selain suku Minang, Palembamg, Padang, Besemah, banyak juga yang keturunan Tionghoa.

“Kapan, dan dimana?” Tanyaku sembari masih berpikir. “Setiap waktu” Jawabnya. Aku mulai merasa dia bercanda. Dalam situasi seperti ini aku tidak tertarik bercanda. Aku merasa tidak pernah bermain dengannya. Apalagi sejak kecil. Aku punya puluhan sahabat, baik satu sekolah maupun tidak. Bagaimana mungkin dia mengatakan sangat dekat denganku bahkan setiap waktu. “Ah, kamu ngaco. Jangan bercanda. Kita tidak pernah bermain bersama meski dalam batin aku sangat kenal denganmu. Dan aku tidak punya teman namanya Putri Selasih. Meski pun Nenek Kam pernah juga menyebut nama itu ketika menegurku” Ujarku mulai tidak tertarik. Aku beranjak hendak pergi meninggalkannya. Tapi kembali tanganku diraihnya. “Tunggu. Mau kemana?” Tanyanya. “Yang jelas aku tidak hendak bermain denganmu. Aku mau menyusul nenekku”. Ujarku sedikit menoleh padanya. Aku malas memikirkan hal yang tidak jelas dengannya. Jawaban yang dia berikan sungguh tidak membuatku tertarik. Tidak ada yang masuk akal dan aku tengah malas untuk berpikir lama-lama. Aku hendak menyusul nenek Kam.“Jangan! Kita tidak diizinkan ikut ke sana. Kita masih kecil. Sekarang di sana sedang ramai. Banyak sekali tamu dari luar berkunjung ke gunung Dempo”. Ujarnya memegang tanganku. “Siapa yang melarang?” Ujarku agak kesal. “Nenek Kam. Kamu kesal denganku bukan? Aku tahu kamu tidak puas dengan jawabanku. Padahal apa yang aku katakan itulah yang sebenarnya. Aku tidak berbohong. Kita sudah bersama-sama sejak kecil.” Katanya.

Akhirnya mendengar nama nenek Kam melarang menyusulnya, aku diam saja. Meski dalam hati aku menggerutu. Apa alasanya melarang menyusulnya. Akhirnya aku membatin memanggil-manggil macan kumbang. Dalam jarak jauh macan kumbang menjawab panggilanku. Dia katakan apa yang disampaikan Putri Selasih benar adanya. Aku dan Putri Selasih tidak boleh menyusul ke gunung Dempu. Akhirnya aku berbalik, hendak pulang. “Tunggu! Mau minta penjelasan dariku tidak?” Ujar Putri Selasih. “Tidak!” Jawabku kesal. Aku serasa berlari lalu membuka mata. Di sampingku wajah pulas nenek Kam palsu masih lelap. Nafasnya masih berdepu-depu. Ternyata yang kuselimuti tadi bukan nenek Kam. Lalu siapa? Apakah Putri Selasih? Aku membatin. Ah, peduli amat! Akhirnya aku memunggungi nenek Kam palsu dengan perasaan dongkol. “Jangan marah, tidak baik marah-marah. Lebih baik tidurlah. Hari sudah larut malam. Sempatnya kamu jalan-jalan meninggalkan saya. ” Suara dari belakangku. Suaranya persis suara nenek Kam. Hmm ber-saya. Nenek Kam mana pernah menyatakan dirinya ‘saya’ padaku. Aku mencibir. “Nenek siapa? Bukan nenek Kam kan?” Ujarku tanpa menoleh. Aku mencoba memejamkan mata. Kututup telingaku. Aku tidak mau mendengar jawaban nenek Kam palsu. Aku pejamkan mata, mencoba tidur. Meski bayangan nenek Kam dan Putri Selasih silih berganti melintas dipikiranku, kuabaikan. Aku mau mencoba tidur! Kurasakan tangannya menyentuh punggungku. Ditepuk-tepuknya seakan sengaja ingin memberikan keyamanan agar aku tidur. Aku diam saja. Bahkan nafasku yang memburu kuatur sedemikian rupa agar terdengar halus.

Aku tidak bergerak sedikitpun. Dalam hati aku bertanya, kira-kira nenek di belakangku ini tahu tidak ya kalau aku belum tidur? Tiba-tiba telunjuknya mencolek pinggangku. Aku terkaget geli sambil sedikit berteriak. “Kamu kira bisa menipu saya? Tak seujung rambut pun tentang kamu yang tidak saya ketahui. Bahkan pikiranmu pun bisa saya baca dalam keadaan tidur sekali pun” Ujarnya sedikit tertawa. “Nenek jahat kalau begitu. Masak masuk ke dalam pikiran manusia. Aku ngg suka!” Jawabku. “Suka nggak suka kalau saya ditakdirkan bisa membacanya gimana?” Ujarnya kembali.

Tiba-tiba aku mendengar ayat suci dilantunkan pelan dari luar kamar. Kutajamkan pendengaran. Rupanya kakek Haji Majani sedang solat malam. Di lantai bawah, ada juga suara Bapak yang tengah melakukan hal yang sama. Mendengar suara Kakek Haji Majani, aku langsung bangkit, setengah berlari kubuka pintu kamar lalu menghampiri kakek Haji Majani yang tengah salat diruang tengah. Aku baring di sampingnya, maksud hati ingin menungui beliau sampai selesai salat. Rupanya aku terlelap setelah menunggu zikir beliau yang panjang. Aku terbangun ketika Kakek Haji Majani hendak wudhu subuh. Hatiku lega, malam ini rupanya aku tidur bersama kakekku. Mataku masih terasa berat. Kakek membenahi selimutku lalu menyelimutiku rapat-rapat. Sejenak aku mendengar kokok ayam tetangga. Selanjutnya aku kembali lelap. Aku terbangun jam sudah menunjukkan pukul 05.00 Wib. Suara berisik jam dinding membuatku melek meski rasa kantukku berat sekali. Pagi ini Kakek Haji Majani akan pulang kampung. Padahal aku berharap beliau bisa berlama-lama. Tapi karena malam nanti beliau akan mengisi pengajian di kampungnya, beliau tidak mau mengecewakan jamaahnya. Akhirnya aku mengalah. Beliau berjanji, libur sekolah sebentar lagi akan mengajakku pulang ke seberang Endikat. Pulang kampung leluhurnya katanya. Aku merasa sangat bahagia. Artinya sebentar lagi aku akan pulang ke Seberang Endikat, menyisir jalan kecil berbatu, menuruni tebing Sekip yang terjal, melintas bukit dan belantara yang kaya dengan satwanya. Menikmati alam perbukitan yang sejuk, mendengarkan suara gemuruh Sungai Endikat. Yang penting adalah aku bisa mengintip gerak-gerik nenek gunung ketika mereka mencari ikan di sungai Endikat yang deras.

HSHB (B)

Aku masih bermalas-malasan memeluk bantal. Belum sempat aku bangkit, kakek Haji Majani masuk. Beliau langsung menarik tanganku agar aku duduk. Sedikit malas aku berusaha duduk. Kubiarkan tubuhku lemas, sedikit oleng agar kembali jatuh ke kasur dengan mata sengaja aku pejam-pejamkan. Rupanya ditahan oleh kakek Haji Majani. Beliau langsung memasang punggungnya. Biasa siap menggendongku. “Anak gadis harus bangun pagi, salat subuh dan baca doa yang kakek ajarkan, ya sayang” Ujarnya menunggu aku menempel ke punggungnya. Melihat punggung kakekku yang lebar, aku segera memeluk lehernya. Dan Hup! Kakek Haji Majani berdiri. Aku dibawa beliau ke luar kamar. Kuletakkan kepalaku di punggungnya yang lebar. Nyaman. Aku terkejut ketika telapak kakiku ada yang menggelitik. Rasa kantukku hilang seketika. “Ayo, awas nanti jatuh!” Kata kakek ketika merasakan tubuhku melonjak. Aku menoleh seketika. Kulihat Putri Selasih tersenyum padaku. Dalam hati aku bertanya, mengapa gadis cantik ini masih berada di rumahku? Mengapa dia tidak kembali ke gunung Dempu? Tidak jauh di belakangnya ada macan kumbang. Hmm.. dua makhluk ini ada di sini. Berarti nenek Kam sudah pulang.

Aku masih memeluk leher kakekku yang mengantarku sampai ke pintu kamar mandi. “Eiit..pagi-pagi sudah minta gendong” Sapa nenek Kam. Rupanya beliau sudah di dapur dan menikmati secangkir kopi dan beberapa apam yang disediakan ibuku. Aku segera mencuci muka, gosok gigi seperlunya. Setelah keluar dari kamar mandi aku masih melihat kumbang dan Putri Selasih berdiri di tangga. Aku langsung menghampiri nenek Kam yang menyodoriku secangkir kecil kopi hitam. “Nenek tadi malam pulang kampung ke gunung ya? Kok nggak ngajak aku si Nek. Aku kan mau ikut” Ujarku pelan. Aku sengaja setengah berbisik. Khawatir ibu dan yang lainnya mendengar. Kalau mereka tahu terutama Ibuku, bahwa kerap kali ada nenek Kam palsu berada di rumahku, nanti beliau takut. Apalagi kalau kuberi tahu bahwa di rumah ini ada Putri Selasih juga selain Macan Kumbang. Wah, pasti perasaannya akan was-was terus. Padahal sebelumnya ibuku tidak begitu. Selama ini kutahu ibuku perempuan hebat. Tangguh! Sejak beliau sering sakit kepala lalu makan paramex sekali telan dua tablet, berefek pada tubuhnya sering gemetar, sesak nafas kalau kaget atau marah.

Kota kecil ini memang langka dokter. Yang ada mantri Mahmud, dan bidan Rodiah tempat masyarakat berduyun-duyun berobat. Ibu enggan ke sana karena setiap kali berobat selalu mereka gratiskan. Untung tidak berapa lama ada dokter keturunan India yang membuka praktik di kotaku. Disitulah diketahui kalau ibu ada gejala sakit jantung. Pantas kalau beliau marah meledak-ledak. Yang jelas beliau enggan berhadapan dengan yang mistis-mistis beliau pasti rada ngeri.

“Kalau Nenek bawa kamu, pasti repot. Kamu harus Nenek kawal terus-menerus. Sementara Nenek banyak urusan.” Jawab nenek Kam sambil tersenyum.“Urusan apa Nek, aku hendak menyusul ke sana, tapi di larang sama tuh” Aku memocongkan bibir menujuk ke Putri Selasih yang asyik duduk dekat Macan Kumbang. Kali ini aku bukan melihat sosok Putri Selasih dalam bentuk manusia seperti tadi malam.Tapi seekor harimau kecil berbulu putih halus, duduk manja dekat Macam Kumbang yang menjilat-jilati kakinya. “Lah iya, mengapa harus ikut ke sana. Bikin repot saja. Kecuali kalau kita lagi santai, suasana tidak gaduh, akan Nenek ajak kembali ke sana” Ujar nenek Kam serius. “Gaduh? Masalah apa Nek” Ujarku mau tahu. Belum sempat nenek manjawab aku mendengar suara gerendel besi gudang bapakku di pukul-pukul.

Tak lama terdengar suara memanggil, menyebut-nyebut nama Bapakku. Biasanya Mang Sam yang akan membuka gudang pagi-pagi. Tapi tidak sepagi ini juga. Waktu baru menunjukan pukul 05.30 Wib. Di luar masih gelap. Pukul 07.00 Wib kotaku baru akan nampak cahaya seperti subuh. Meski geliat kehidupan sudah mulai pukul enam pagi. “Assalamualikum Mang Hasan…Mang Hasan..” Berulang kali. Sebenarnya aku enggan untuk memberitahu karena masih terlalu pagi. Tapi demi mendengar teriakan-terikan memanggil Bapakku, tak urung akhirnya aku tidak tega juga. Dalam pikiranku, bagaimana jika yang memanggil itu orang yang butuh pertolongan? Lagi pula tidak mungkin dia akan menyebut-nyebut nama Bapakku jika tidak kenal. Tapi satu sisi, bagaimana jika yang berteriak itu orang jahat? Yang berniat merampok Bapak. Sebab bukan hal yang aneh jika mendengar perampokan sadis terjadi di Pagaralam. Tidak main-main, bahkan siang bolong tokoh emas dirampok. Hampir tiap hari terdengar rumah disantroni maling, copet, pembacokan, pembunuhan, dan lain-lain. Sedikit malas akhirnya aku bangkit dari duduk. Bagaimanapun batinku tidak tega pura-pura tidak mendengar, membiarkan orang-orang berteriak hingga terdengar sepanjang Lettu Hamid yang sepi.

Aku naik tangga melintas di samping Macan Kumbang dan Putri Selasih. Putri Selasih tersenyum padaku yang kusambut dengan wajah sedikit kecut. Rupanya dia mengekor di belakangku. “Mengapa ikut?” Tanyaku. “Aku memang akan selalu ikut bersamamu” jawabnya sambil tersenyum.

Aku menyalakan lampu menuju beranda lantai dua. Ini cara diajarkan Bapakku untuk mengetahui siapa saja yang datang bila ruko ditutup. Apalagi malam hari. Sama halnya pagi ini. Karena jalanan masih sepi. Hanya lampu jalan dan lampu-lampu depan ruko saja yang memberi penerangan. Kabut tipis seperti melayang ke hilir mengikuti arah angin. Aku naik ke atas kursi, memandang ke bawah. Kulihat ada puluhan orang mendongak ke atas. “Dedek, ada Mang Hasan? Tolong bangunkan Dek, ini Koko Asyin. Aku melihat Kokoh Asyin seperti diliput karena berbalut mantel hingga membungkus kepala. Beberapa orang tua kawan sekolahku, Cim Atak, Kong Akew ada juga di bawah. Dalam hati aku bertanya-tanya, ada apa mereka ramai-ramai datang ke rumahku sepagi ini? Tidak biasanya. Lalu kujawab tunggulah sebentar, aku akan beritahu Bapak. Aku masuk kembali dengan sedikit tergesa menuju kamar Bapak. Melihat aku sedikit terburu-buru burung-burung perkutut Bapak yang digantung terusik. Mereka berteriak bersahut-sahutan. Sehingga rumah seketika ramai dengan suara burung. Belum lagi kubuka kamar Bapak dan ibuku, Bapak sudah ke luar duluan.

“Ada apa pagi-pagi berisik sekali?” Ujar Bapak sembari membawa sebungkus rokok gudang garam kretek ke luar. “Di luar banyak orang Pak. Ada Kokoh Asyin bersama orang-orang keturunan lainnya. Dari tadi teriak-teriak memanggil Bapak ujarku. Di belakangku ada Putri Selasih. Sengaja kututup-tutupi takut Bapak melihatnya. “Bapak tidak bisa melihat aku, Dek” Kata Putri Selasih berbisik dari belakang. “Yang bisa melihat aku dan Kumbang di rumah ini, hanya kamu dan nenek Kam.” Sambungnya. Bapak segera mengganti kain sarungnya dengan celana panjang lalu meraih mantel tebal dan memakainya. Tak lupa meraih gerahang (golok) yang tersusun di dekat tanggga. Menurutku gerahang yang dipegang Bapak berukuran cukup besar. Tapi Bapak menyelipkannya di pinggang. Pemandangan seperti ini biasa bagi masyarakat Besemah pada umumnya. Senjata tajam diselipkan di pinggang sudah menjadi tradisi. Gerahang atau golok baik berukuran kecil, sedang atau pun besar merupakan senjata utama lelaki. Gunanya bukan saja untuk menunjukan ciri khas kesukuan, namun di situlah menunjukkan kejantanan lelaki suku ini sekaligus sebagai senjata utama untuk membela diri ketika ada serangan mendadak baik dari hewan liar, maupun serangan orang yang berniat jahat.

Ada petuah leluhur Besemah yang berkaitan dengan pisau di pinggang ini, “Kalu bukan li tetekut, jangan siwar (keris) keluagh sandi berangke (Kalau bukan karena terdesak jangan keluar senjata tajam dari sarungnya). Aku ikut-ikutan meraih kudok betelugh kecil lalu menentengnya, ikut di belakang Bapakku. “Jangan ikut, nanti bahaya” Bapakku mengingatkan. Bagaimana pun pasti beliau tidak ingin jika terjadi serangan mendadak aku juga jadi korban. Kubisikki Bapakku. “Tenang Pak, aku bawa senjata juga. Ini, kudok betelugh. Aku akan bersembunyi di belakang karung kopi. Tidak akan kelihatan oleh mereka” Ujarku ikut-ikutan waspada. Aku seperti ala-ala tokoh cerita petualang.

Kutingkatkan kewaspadaan, terutama menajamkan batin. Tapi sejauh ini aku tidak merasakan hal yang aneh. Tidak lama Bapak membuka gerendel pintu. Suaranya yang berisik memenuhi ruang gudang. Tiba-tiba aku kaget mendengar suara menguap. Aku mendongak, ternyata Macan Kumbang ada di atas puncak karung kopi. Dalam hati aku menggerutu, Macan Kumbang ini kerap kali mengagetkanku. Tiba-tiba dia sudah berada di sini. Lagi-lagi dia menguap lebar menampakkan taring-taringnya yang tajam, lalu kembali tidur sembari menjuntaikan kaki di pinggir karung. Putri Selasih mengedipkan mata padaku. Aku memberikan jempol padanya. Tiba-tiba Putri Selasih menghilang. Sosoknya lenyap dari padanganku. Belum sempat aku berpikir, aku melihat kekek Haji Majani menyusul masuk gudang. Rupanya rame-rame di luar terdengar juga oleh beliau. “Ada apa pagi buta dah ke sini Syin? Kok ramai-ramai? Ayo masuk-masuk semua” Ujar Bapak menyuruh semua tamu masuk ke dalam ruangan gudang. Suara mereka terdengar menggema karena pintu gudang ditutup rapat kembali. Mang Sam anak buah Bapakku terbangun. Beliau langsung membantu mengambilkan kursi untuk para tamu yang datang pagi ini. Aku keluar dari tempat persembunyian dan menyalami tamu-tamu keturunan ini satu persatu. Rata-rata kukenal semua sebab mereka pemilik toko manisan, tokoh alat bangunan, elektonik, tokoh roti dan kue basah. Di sela kesibukan mereka berdagang, sebenarnya mereka sering juga berkunjung menemui Bapak. Tapi pagi ini kesannya agak berbeda. Mereka berkunjung terlalu pagi. Seperti beberapa hari lalu, Kong Akew datang kemari menceritakan tokohnya disantroni maling. Beberapa benda berharga digondol maling. Entah bagaimana caranya, akhirnya Bapak menemukan pencurinya, termasuk juga memaksa mereka mengembalikan barang-barang yang sudah jatuh ke tangan keberapa orang. Sang pencuri sekarang mendekam di penjara. Berulang kali keluarga pencuri itu menemui Bapak untuk minta pertolongan agar bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaa, berdamai. Orang itu salah besar, bukan Hasan namanya jika memberi kemudahan pada orang jahat, membebaskannya tanpa menjalani hukuman. Bapak menyuruh mereka pulang, lalu memberikan nasehat agar jangan coba-coba membujuknya untuk membantu mengurus membebaskan orang yang bersalah. Bisa-bisa satu keluarga akan Bapak penjarakan. Akhirnya orang tersebut pulang dan tidak berani datang kembali.

Ketika semua tamu duduk, ibu membawakan secerek kopi lalu menghidangkannya di atas meja. Apam yang mesih berasap pun turut di hidangkan. Kurang lebih ada dua belas orang tamu yang datang. “Mang, kami minta maaf, sudah mengganggu Mang Hasan sekeluarga datang pagi buta seperti ini. Ini keluarga Ayung yang hilang itu, Mang” Ujar Koh Asyin membuka pembicaraan. “Benar Mang, kami minta maaf. Kami baru tiba dari Palembang. Sebenarnya ingin sekali cepat kemari. Tapi jalan menuju Pagaralam rusak parah. Mana penondongan di Simpang Terkul dan beberapa titik membuat semua yang melintas takut kalau tidak berjalan kompoi. Makanya kami sangat terlambat, Mang” Ujar perempuan bermata cipit itu berair mata. Matanya sembab dan merah. Aku menerka-nerka, perempuan ini pasti istrinya Koh Ayung yang hilang itu. Sebab terlihat masih muda dan cantik. “Ini Aching, istri Ayung yang hilang kemarin itu, Mang. Jadi maksud kedatagan kami kemari seperti yang kami sampaikan petang kemarin, mohon petunjuk Mang Hasan, apa yang harus kami lakukan. Bagaimana caranya supaya Ayung bisa kembali” Ujar koh Asyin hati-hati sekali. “Benar, Pak. Saya orang tuanya Ayung. Kami ke sini mohon pertolongan Bapak, bagaimana caranya agar Ayung bisa kembali. Apapun syaratnya, akan kami penuhi Pak’ Ujarnya.“Jika kata nenek gunung dari Gunung Talang yang diceritakan Asyin itu minta diganti denda dengan memotong kerbau, berapapun akan kami sanggupi asalkan anakku Ayung bisa kembali, Pak” Tambah orang tua Ayung kembali.

Bapak hanya manggut-manggut mendengarkan. Nampak ekspresi Bapak tidak suka mendengar ucapan orang tua Ayung yang bernada sombong ini. Seakan-akan ingin menunjukan kalau dia adalah orang kaya, beruang. “Saya bukan dukun, saya juga tidak punya kemampuan untuk berinteraksi dengan makhluk ghaib, Pak. Anak Bapak hilang karena kesalahannya. Mungkin Bapak sudah tahu. Sudah diceritakan Asyin” Ujar Bapak agak lembut. “Kami punya orang tua, silakan Bapak tanyakan dan serahkan pada beliau” Kata Bapak sambil menyuruh aku memanggil Nenek Kam.

Aku langsung berlari ke dalam. Aku memanggil-manggil nenek Kam. Bertanya dengan Ibu yang masih sibuk di dapur. Kata ibu ada di lantai atas. Aku langsung berlari menaiki anak tangga. Memanggil-manggil nenek Kam, ke kamar hingga ke teras depan. Yang ada hanya kakek Haji Majani yang mengemas baju-bajunya untuk di bawanya pulang dan membungkus oleh-oleh yang dibelikan Ibu. Ketika kutanya apakah kakek melihat nenek Kam, beliau jawab barusan terlihat melintas menuju kamarnya. Aku kembali balik mencari ke kamar. Kosong. “Nenek….Nek…Nek…” Suaraku tetahan. Kutajamkan pendengaran. Di luar aku mendengar suara gemuruh seperti puluhan kuda berlari. Aku langsung berlari menuruni anak tangga. Sambil tetap memanggil nenek Kam.

HSHB (C)

Baru kuketahui, ternyata suara langkah seperti berlari adalah derap kaki para nenek gunung yang lewat di depan rumah seperti terburu-buru. Aku kembali menyisir semua ruangan di lantai satu, ke belakang menemui Ibu. Ibu yang sedang mencuci tangan terbengong-bengong mendengar aku tidak menemukan nenek Kam di atas. Sejenak aku bingung kemana mencari nenek Kam. Akhirnya aku kembali lari ke gudang untuk memberitahu Bapak kalau nenek Kam tidak ada dan tidak tahu pergi ke mana. Dan alangkah terkejutnya aku ketika sampai di gudang aku melihat nenek Kam duduk di samping Bapakku asyik berbicara di hadapan para tamu. Kapan beliau turun dan kapan pula beliau berjalan kemari? Mengapa tidak berpapasan denganku? Padahal aku sudah berniat untuk mencari beliau melalui batin. Dalam hati aku sedikit menggerutu. Mengapa aku tak mampu mengikuti gerak-gerik nenek Kam? Apakah beliau sengaja mempermainkan aku atau sengaja tidak ingin aku tahu? Entahlah. Yang jelas nenekku aneh. Aku hanya menelan ludah. Kulihat mata Bapak melirik padaku, pertanda aku anak kecil tidak boleh ikut nimbrung di ruang ini. Aku memahaminya mesti dengan perasaan dongkol. Dalam hati menggerutu juga, mentang-mentang purnawirawan, sikap otoriternya terlihat banget. Masak sekadar duduk diam tidak boleh? Padahal siang tadi minta tolong padaku untuk menceritakan kronologi kejadian orang hilang itu. Tapi akhirnya dengan takzim aku kembali masuk ke dalam.

Sejenak aku berhenti di pintu antara gudang dan rumahku. Akhirnya aku memilih duduk di agak pojok agar tidak terlihat oleh siapapun yang lewat. Aku penasaran dengan obrolan di depan. Aku ingin tahu apa yang disampaikan oleh nenek Kam. Aku duduk bersila. Sejenak kupejamkan mata. Kukerahkan batinku untuk hadir di tengah-tengah obrolan. Sampai di sana aku tidak peduli dengan tatapan nenek Kam padaku. Aku pura-pura tidak tahu. Aku paham tatapan mata nenek Kam itu, maksudnya agar aku mematuhi perintah Bapakku untuk tidak ikut nimbrung di sini. Tapi akhirnya aku tersenyum dengan nenek Kam sambil memberi kode akan diam. Sebab aku tahu, Bapak tidak melihat keberadaanku di sini. Aku tertawa cekikikan. Uff! Aku keceplosan. Ternyata tawaku terdengar oleh beberapa orang tamu. Mereka langsung menarik kursi maju ke depan dan berteriak kaget. “Ada tawa anak kecil kencang sekali di sampingku” Ujar salah satu satu tamu dengan wajah pucat. Matanya terbelalak menatap ke setiap orang. Dia langsung memepetkan tubuhnya pada Bapanya Koh Ayung. Aku segera menutup mulut menyesali tindakan gegabahku. Di pojok, Macam Kumbang mengejekku sembari memelet-meletkan lidahnya seakan mengatakan syukurin.“Tidak ada apa-apa, tenang” Ujar Nenek Kam. Mendengar itu, para tamu kembali merapikan posisi duduknya. Aku duduk agak sudut memerhatikan obrolan yang menurutku sangat serius. “Lalu apa yang harus kami lakukan, Nek. Saya istrinya mengakui kesalahan kami. Bagaimana caranya kami menyampaikan maaf kami pada inyiak dari Gunung Talang itu?. Sungguh, kami tidak tahu kalau yang kami lakukan adalah kesalahan.” Ujar istri Koh Ayung sopan memulai pembicaraan. Nampak sekali perempuan ini mememiliki kepribadian yang baik, halus dan berbudi.

“Baiklah saya akan jelaskan. Namun sebelumnya saya mohon maaf jika yang saya sampaikan ini nanti kurang berkenan. Artinya kalian sudah harus siap dengan berbagai kemungkinan. Kita manusia hanya bisa berusaha. Sebenarnya, sebelum kalian datang kemari, saya sudah melakukan urun rembuk dengan saudara-saudara saya inyiak dari Gunung Talang. Harapan kita sama, mencari solusi bagaimana supaya Ayung itu bisa bebas, bisa muncul kembali ke alam nyata. Saya sudah memperkirakan kalian pasti akan datang kemari dan menemui saya. Sejak petang kemarin, kota kecil kita ini didatangi banyak inyiak dari Sumatera Barat. Mereka adalah para pandekar dari Gunung Talang dan sekitarnya. Hingga saat ini mereka masih mencari keberadaan beberapa orang yang melakukan kesalahan yang sama seperti Ayung. Artinya akan ada beberapa orang lagi yang akan mereka jadikan tawanan” Ujar nenek Kam. Semua menatap nenek Kam dengan mata tak berkedip. Masing-masing di benak menyimpan pertanyaan, seperti apa alam gaib yang bisa meraibkan bangsa manusia dari padangan manusia awam itu? Muncul kengerian bagaimana jika yang dicari itu termasuk mereka? “Kesalahan Ayung adalah, dia telah memperjualbelikan daging harimau lalu memakannya juga. Akibatnya, seluruh tubuh Ayung beraroma harimau. Makanya ketika ia berada di pasar, langsung penciuman cucu saya tertuju padanya. Ayung yaris dibunuh cucu saya jika tidak dinaikan oleh para tentara ke dalam mobil. Nah, di dalam mobil itulah Ayung ditawan oleh beberapa orang inyiak dari Gunung Talang itu. Hingga saat ini, Ayung masih mereka tahan. Sebagai tahanan kejahatan.” Ujar nenek Kam. Demi mendengar itu istri Koh Ayung kembali tersedan. “Maafkan saya, saya tidak berani lancang menemui Panglima penguasa Gunung Talang. Saya tidak mau gegabah, sebab lain lubuk lain ikan, lain padang lain pula ilalangnya. Demikian juga dengan inyiak di Gunung Talang. Mereka punya adat yang dijunjung tinggi dan siapapun tidak berani melanggarnya. Saya sangat menghargai itu.”

Sambung nenek Kam kembali. “Di alam pegunungan itu saat ini tengah heboh karena beberapa inyiak ada yang hilang. Inyiak dari bukit dan rimba Sumatera Barat itu ada yang mati karena diburu, ada juga yang sengaja diperangkap. Inyiak yang mereka tangkap diperlakukan dengan keji. Mereka dibunuh, kulitnya di sayat, dagingnya digulai, ada juga yang diambil minyaknya, tulang dan kulitnya dikeringkan pendeknya tidak ada secuilpun dari tubuh nenek gunung itu yang tidak menghasilkan uang. Padahal makhluk-makhluk itu sama seperti kita, punya keluarga juga, punya orang tua, punya saudara. Tidak semua harimau yang kalian pahami itu seratus persen hewan liar. Banyak di antara mereka harimau jadi-jadian yang mereka sebut inyiak yang kita sebut nenek gunung atau setue”. Ujar Nenek Kam lagi.

Semua tampak menarik nafas. Mata dan pendengaran mereka seperti dihipnotis tak bergerak sama sekali. Mereka baru tahu kehidupan nenek gunung tak jauh beda dengan kehidupan manusia. Meski tidak masuk akal dan mengada-ngada, mereka berusah memahaminya. “Kalian bayangkan, bagaimana jika anak kalian dijerat lalu dibantai ramai-ramai? Siapa yang tidak sedih ketika melihat saudaranya dibunuh lalu organ tunuhnya dipilah-pilah untuk diperjualbelikan? Dan yang lebih membuat mereka marah adalah, salah satu yang mereka tangkap hidup-hidup itu adalah anak panglima gunung Talang lalu dagingnya mereka cacah. Bangsa manusia sangat serakah! Semua organ tubuh inyiak itu diperjualbelikan dengan harga mahal. Untuk itulah mereka ke kota kita ini. Karena mereka mencium jejak itu ada di kota kita ini” Ujar nenek Kam panjang lebar.

Tanpa kusadari air mataku menetes. Terasa betapa sedihnya panglima inyiak Gunung Talang ketika mengetahui anaknya dibunuh oleh manusia. Dalam hati aku berharap koh Ayung tidak perlu diselamatkan. Biarkan dia ditahan para inyiak. Hukuman itu sangat pantas dia peroleh. Kejam! Ini juga akan jadi pelajaran banyak orang, membunuh harimau lalu menganggapnya suatu kebanggaan maka dia akan mendapatkan resikonya. Jangan pernah berharap dia akan bisa masuk rimba dengan bebas. Rimba diharamkan bagi pembunuh harimau dan nenek gunung. Kecuali mereka bernyalih maka akan berhadapan dengan nenek gunung, dan siap untuk bertarung baik di dunia nyata maupun di alam bunian.

Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Sampai kapan pun. Hingga ke anak cucu bangsa manusia itu akan tetap diintai. Jangan pernah berharap mereka akan hidup damai. Hal itu seperti sumpah alam. Aku mendengar istri Ayung masih terisak. Sepertinya dia paham sulit sekali untuk bisa bertemu dengan suaminya. Berbeda dengan Bapak Koh Ayung. Beliau agak memaksa nenek Kam agar bisa membujuk inyik Gunung Talang melepaskan anaknya. “Tolonglah Nek, Nenek kan orang sakti, orang hebat. Neneklah yang dapat membantu kami untuk menjemput anak kami dalam keadaan hidup. Saya berjanji, Nek. Jika Ayung kembali, saya akan berikan sepuluh ekor kerbau dan sepuluh hektar tanah pada nenek. Akan saya berikan langsung, Nek” Ujarnya sambal berlutut di hadapan menek Kam. “Nenek akan menjadi orang terkaya di kampung. Nenek tinggal menikmati semuanya” Sambung Bapak Koh Ayung kembali. Aku mendekatinya.Tanpa minta izin nenek Kam kucubit tangannya sekuat-kuatnya. Sebenarnya aku ingin menggigit telinganya sampai putus. Demi melihat kegeramanku, nenek Kam diam saja. Nampaknya beliau setuju aku mencubit lelaki setengah baya ini. Semua yang hadir terkaget melihat bapaknya Koh Ayung mengaduh. Kali ini aku mencubit perutnya. Kupelintir sekuat-kuatnya hinga beliau tertunduk-tunduk kesakitan. Semua bertambah heran. Kudorong tubuhnya sambil terus mencubit perutnya sampai mentok di tembok. Yang lain bingung tidak bisa berbuat apa-apa.

“Nek, maafkan kami kalau ada ucapan kami yang salah” Ujar koh Asyin segera tanggap dengan situasi. “Kenapa si rumah Bapak ini banyak hantunya ya? Mengapa tangan dan perut saya serasa dipelintir dan dicubit. Belum selesai dia berbicara seperti itu, aku melihat kaki besar menendang si Bapak hingga terjungkal dua kali. Aha! Rupanya Macan Kumbang turun tangan. Dia ikut menendang Bapak Ayung hingga terjerengkang. Ruangan menjadi sedikit gaduh. Satu sisi ingin menolong Bapaknya Ayung tapi di sisi lain bingung harus berbuat apa? Semua nampak ingin memegangi Bapak Ayung yang pucat, ketakutan.

“Papa…makanya jangan sombong dan menantang, Pa. Kita ke sini minta tolong. Pakailah etika, berbicaralah dengan sopan, rendah hati. Buang perasaan sombong papa. Papa selalu beranggapan semua bisa ditakhlukan dengan uang papa yang banyak itu” Kata lelaki satu lagi sembari memeluk Bapaknya. Baru aku tahu, ini mungkin adik atau kakaknya koh Ayung. Soalnya agak-agak mirip. “Nek, maafkan Papa kami. Semoga kejadian ini dapat membuat Papa kami sadar dan tidak memandang semuanya dengan materi. Ampunkan kami, Nek” Lelaki itu sujud berulang kali pada nenek Kam. Nenek Kam menyambutnya dengan senyum. “Berhati-hatilah, Nak. Kalian sedang berhadapan dengan makhluk tak kasat mata. Datanglah petang nanti kemari” Ujar nenek Kam. Nenek Kam bangkit dan meninggalkan ruang gudang.

Tak ada satu pun yang berani menghalanginya. Termasuk juga Bapakku tidak bisa harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjitak kepala Bapak Ayung sebenarnya. Tapi takut dosa. Rupanya Macan Kumbang paham keinginanku, dijitaknya kepala orang tua Koh Ayung beberapa kali sampai tubuhnya terlonjak kaget. Semua kembali panik hendak menolong tapi tidak tahu harus menolong apa ketika beliau memegangi kepalanya menahan rasa sakit. Macan Kumbang mengelus-ngelus perutnya. Nampaknya dia sedang masuk angin. Terlihat dari ekspresinya seperti orang yang sedang meringis menahan mules. Tidak lama kemudian macan kumbang mengeluarkan gas yang super kencang persis di depan hidung Bapak Koh Ayung. Spontan saja orang tua itu muntah. Aku tertawa terbahak-bahak sembari berlari ke dalam. Ketika aku membuka mata, nenek Kam berdiri di hadapanku. Aku kaget sekali. Beliau menarik tanganku, mengajakku melanjutkan minum kopi di dapur. Dalam hati aku tersenyum-senyum membayangkan Macan Kumbang yang kentut.Tak lama aku mendengar para tamu minta izin pulang. Hari sudah mulai terang. Terdengar mang Sam membuka pintu gudang berderit seperti sangat berat. Pertanda aktivitas hari ini sudah hendak dimulai. “Nek, ternyata ketut Macan Kumbang dasyat juga ya. Bisa membuat manusia muntah” Ujarku sembari mengunyah apam terakhir. Kami tertawa serentak membuat Ibu yang tengah asyik mengaduk-ngaduk isi wajan tersenyum tanpa tahu topik pembicaraan kami berdua. Macan kumbang mengedipkan mata seakan ingin menunjukan dirinya menang. Kusambut dengan kepalan tangan pertanda semangat.“Kalian ternyata sama. Suka iseng” Ujar nenek Kam.“Kenapa Nek. Siapa yang suka iseng.” Tanya Ibu masih asyik mengaduk-ngaduk isi wajan. Entah apa yang dimasaknya, aku tak dapat melihatnya. “Ini, Dedek dengan Macan Kumbang ngerjain tamu yang datang. Dedek mencubit perutnya, Macan Kumbang menjitak dan menendangnya. Terlonjaklahlah dia. Wong melawan angin” Ujar nenek Kam.“Apa? Dedek dengan Macan Kumbang? Iiih..apa ada Macan Kumbang di sini, Nek? Bukan nenek suruh menunggu di luar saja dia? Nggak di dalam rumah?” Ujar ibu.

Alasan ibu masuk akal juga sebenarnya. Beliau takut jika tiba-tiba terlihat Macan Kumbang saat beliau sedang sendiri. Kulihat lengan ibu merinding. Tampak sekali kalau beliau penakut. “Aku ada di sini” macan Kumbang berbisik dari jauh ke telinga Ibu. Ibu kaget. Sutil yang dipegangnya terpental ke tembok. Beliau matikan kompor lalu berlari mendekat ke nenek Kam.“Siapa yang berbisik di telingaku?” Suara ibu gemetar. Aku dan nenek Kam tidak bisa menjawab apa-apa. Kami bertatapan. Melihat kami diam, Ibu berlari ke luar sambil teriak-teriak memanggil Bapak.

Bersambung..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *