HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT IV (62A)

Karya RD. Kedum

Tubuhku Basah kuyup. Pasalnya baru saja turun dari angkot tiba-tiba hujan lebat. Angin berhembus kencang. Beberapa pohon tumbang ke jalan. Padahal dari jalan raya menuju rumahku kurang lebih dua lima ratus meter. Terpaksa aku harus sangat hati-hati takut tiba-tiba ditimpa pohon yang patah ataupun yang roboh. Baru saja aku berpikir demikian, tiba-tiba tubuhku terasa ada yang menarik dari belakang. Aku tidak bisa menghindar, bahkan nyaris terjerengkang ke belakang.

KRaaaaaKKK!!! BuuKK!!
Mataku terbelalak. Dahan besar jambu pokat salah satu warga patah dan jatuh ke jalan. Persis di jalan yang hendak aku lalui. Aku baru saja hendak berdiri tegak belum sempat menoleh untuk memastikan siapa yang menarik tubuhku. Kalau tidak ada yang menarik tubuhku, pohon itu pasti menimpaku. Dalam keadaan basah kuyup, sambil mengusap air yang mengalir ke mata, aku mencoba menoleh. Tidak ada orang. Lalu siapa yang menarikku?

“Dek, berteduh kemari!!” Samar-samar aku mendengar suara Mahdi dari bedeng kost-annya. Suara angin dan hujan nyaris menenggelamkan suaranya meski sudah berteriak kencang. Tak lama kemudian kulihat adik perempuannya membawa payung hendak menjemputku. Aku hanya tersenyum menyambutnya.
“Percuma, dik, aku dah basah kuyub begini. Terimakasih sampaikan ke Mahdi ya. Tidak usah pakai payung, biar aku langsung pulang, tanggung aku dah basah” Ujarku menolak tawarannya. Aku kembali meniti gang menuju rumahku. Dahan pokat yang jatuh menutupi jalan, tak mampu kusingkirkan. Berat sekali. Akhirnya aku masuk-masuk mencari sela di dahan yang tumbang.

Usai mandi, dan ganti pakaian kembali aku bertanya-tanya siapa yang menarikku tadi. Sambil berjalan menuju kamar, kulihat Ibu menggoreng ubi kayu dan menyuguhkan teh manis. Aku yang kedinginan dengan cepat menyerbu makanan favorit itu. Bapak baru makan satu potong, aku nyaris ke tiga. Mata bapak melirik-lirik padaku, tapi aku pura-pura tidak tahu. Sebab Bapak juga penggemar ubi kayu. Aku tahu, beliau takut makanan favoritnya keburu kuhabiskan.
“Makanya makan ya makan Pak, jangan sambil mikir. Ubi gorengnya Dedek habisin ni,” ujarku pura-pura mau mengambil sepotong lagi. Tangan Bapak dengan cepat menarik piring berisi ubi goreng lalu diletakkannya di pangkuannya. Aku tertawa melihat tingkah Bapak. Bapak persis anak kecil takut lapar. Tiba-tiba ibu datang dari dapur membawa sepiring ubi goreng lagi. Bapak langsung menyambar piring dari ibu, lalu memberikan piring yang berisi sepotong ubi goreng padaku Ibu terbengong-bengong melihat Bapak.
“Apa-apan ini kayak anak kecil, takut lapar” Ujar Ibu menatap Bapak. Bapak pura-pura tidak mendengar. Bahkan piring ubi goreng yang disambarnya, beliau tutupi dengan tangan. Tawaku kembali meledak melihat kedua orang tuaku. Mereka tampak lucu petang ini. Satu cemberut melihat tingkah Bapak, yang Bapak kelihatan sayang dengan mekanannya. Kutinggalkan keduanya sambil tetap tertawa.

Aku masuk kamar dan mengucinya. Aku ingin tahu siapa yang menarikku tadi, dan berniat menyusurinya. Baru saja aku hendak konsentarasi, tiba-tiba bau harum menyeruak memenuhi kamarku.
“Eyang Kuda!” jeritku tertahan. Benar saja pelan-pelan sosok beliau berdiri dihadapanku. Aku langsung sujud padanya. Lelaki berpakaian adat jawa lengkap dengan blangkonnya ini tersenyum manis padaku. Duh! Mata itu alangkah teduhnya. Sinar mata yang lembut dan meneduhkan itu sangatmemukau. Dalam hati aku membatin, jangan-jangan yang menarikku tadi beliau. Tapi mengapa aku tidak melihat sosoknya?
“Eyang yang menarikmu tadi. Sebab, Eyang lihat kamu menggigil kedinginan, sedangkan pohon itu patah dan akan menimpamu. Ada makhluk asral yang sengaja ingin mencelakakan kamu memanfaatkan hujan dan angin. Angin tadi tidak biasa bukan? Kamu merasakannya tidak? Kalau badai tidak seperti itu. Kamu harus belajar untuk peka terhadap arah angin.” Ujar Eyang Kuda panjang lebar. Aku menatap beliau. Kembali aku menundukkan kepala sebagai tanda hormatku padanya. Sungguh aku sangat berterimakasih. Dalam keadaan genting beliau selalu datang. Aku merasa menjadi makhluk yang sangat beruntung kenal beliau.

Azan magrib baru saja berkumandang. Eyang Kuda segera mohon diri, Padahal beliau belum menyampaikan maksud kunjungannya. Usai magrib beliau berjanji akan datang lagi katanya. Kutawarkan mengapa tidak salat di rumahku saja. Rupanya beliau memilih salat berjamaah di masjid Jamik. Masjid tua yang terletak di jantung kota Bengkulu. Konon masjid Jamik itu arsiteknya Bung Karno. Sebelumnya masjid ini berdiri di sekitar makam pahlawan nasional Sentot Alibasyah Prawiradirja panglima perang Pangeran Diponegoro. Kemudian, dipindahkan ke lokasi sekarang, di Jalan Soeprapto. Kata Eyang Kuda. Sekarang masjid Jamik telah mengalami pemugaran. Dulu masjid ini berdiri di bawah pohon mahoni yang berderet sepanjang jalan. Masjid kecil itu nampak asri berada di bawah rindang pohon yang sudah berusia ratusan tahun lamanya. Sekarang masjid Jamik posisinya dikelilingi jalan raya. Rupanya Eyang Kuda selalu salat di sana. Setiap waktu.

Aku ke luar kamar bermaksud ingin berjamaah dengan Bapak. Rupanya beliau sudah berangkat ke masjid. Akhirnya aku bergegas menunaikan salat magrib sendiri. Hujan dan angin sudah berhenti. Bumi Raflessia nampak kembali hening. Seperti janji Eyang Kuda katanya mau dantang kemari. Aku kembali menunggu beliau. Lama hingga waktu salat isya, beliau belum datang. Ketika aku hendak merebahkan diri, tiba-tba angin berdesir lembut. Aku langsung bangkit dan menduga Eyang Kuda yang datang. Benar saja, beliau sudah berdiri di hadapanku. Tanpa berkata-kata lagi, beliau langsung menarik tanganku.
“Mau kemana Eyang?” Tanyaku heran. Tampaknya Eyang sangat terburu-buru. Aku langsung baring dan memecah diri. Kusuruh bayanganku menjaga kamar. Selanjutnya aku ikut Eyang Kuda tanpa mendengar jawabannya.

Dalam sekejab, kami sudah berdiri di bibir sungai. Aku mengawasi kiri kanan sungai. Ini sungai Serut. Salah satu sungai yang membelah kota Bengkulu. Airnya nampak keruh dan kotor. Konon di hulu berdiri pabrik playwood. Ditambah galian batu bara, limbahnya mengalir di sungai ini. Makanya airnya selalu butek. Aku mengira-ngira maksud Eyang Kuda mengajakku kemari. Setahuku tidak jauh dengan jembatan itu ada kerajaan buaya putih yang suka menarik orang yang sedang memancing, sedang mandi, atau melintas dengan perahu. Eyang Kuda mengusap wajahku. Aku kaget! Ternyata tidak jauh di hadapanku berdiri sebuah bangunan tua yang artisitik. Bangunan tua itu tidak seperti bangunan rumah bubungan lima layaknya rumah adat masyarakat Bengkulu. Tapi mirip bangunan peninggalan Belanda degan tembok berdiri kokoh. Di dalam bangunan itu tengah ada pesta meriah. Kembali aku mengira-ngira, aku berada di hulu jembatan atau hilir? Lalu mengapa Eyang mengajak kemari? Apakah hendak mengajakku menghadiri pesta itu? Beberapa orang kulihat seperti sangat sibuk di luar gedung.
“Kita berada di tengah-tengah dua jembatan, Selasih. Itu pantai Kualo. Tidak jauh dari sini.” Ujar Eyang Kuda menjelaskan. Di belakangku sawah tadah hujan terbentang luas. Padinya masih terlihat hijau. Baru tumbuh.
“Itu bangunan milik siapa Eyang? Ada pesta di dalamnya” Ujarku merapatkan diri padanya. Sebab aku melihat banyak sekali makhluk-makhluk dari muara berkeliaran seperti di pasar dengan bentuk rupa-rupa di belakangku. Bahkan ada di antara mereka hendak menarik kakiku, bentuknya seperti manusia, tapi tubuhnya menjalar-jalar seperti ular. Aku memfokuskan diri melihat ke dalam gedung. Masya Allah! Aku melihat ada sosok manusia, lelaki kira-kira berusia dua puluh lima tahun dalam keadaan tak berdaya. Tubuhnya telanjang, tanpa busana, berdiri linglung di tengah-tengah seperti altar. Sementara di kelilingnya, berbagai macam bentuk makhluk makan minum layaknya sebuah pesta. Entah apa yang mereka makan, aku tidak peduli. Mataku tertuju sosok manusia yang mereka tawan.
“Eyang, selama ini aku tidak pernah melihat bangunan ini. Milik siapa, Eyang?. Mengapa selama ini aku hanya melihat bangunan istana dekat jembatan itu saja? Istana yang dipimpin oleh ratu Buaya Putih?” Ujarku heran.
“Ini bangunan tempat persembahan mereka. Anak lelaki itu akan mereka persembahkan dengan ratu Buaya Putih. Malam ini tepat bulan purnama bukan? Maka sudah waktunya ratu Buaya Putih itu membutuhkan tumbal untuk menguatkan kemampuannya.” Jelas Eyang Kuda. Aku merinding mendengarnya. Mengapa makhluk-makhluk ini selalu mencari manusia untuk tumbal mereka? Kehidupan mereka tak luput dari tumbal ke tumbal. Selanjutnya aku bertanya dengan Eyang Kuda, Apa yang harus aku lakukan demi menolong anak lelaki itu? Eyang Kuda menjelaskan jika anak lelaki itu sudah mereka tawan sejak petang ketika hujan dan angin berkesiur petang tadi. Secara fisik anak itu sudah meninggal. Saat ini orang-orang tengah mencari jasadnya. Eyang menunjuk ke hulu. Kambali aku terperanga. Ternyata jauh di ujung sana banyak orang berkerumun di pinggir sungai. Ada yang membentang tali dan menyelam dengan tali mengikat pinggang. Ada perahu-perahu karet hilir mudik menyisir sungai. Lalu jauh di muara, nelayan memasang jaring berharap tubuh pemuda itu bisa sangkut di jaring mereka. Lampu petromak menerangi sisi sungai. Aku masih terus berpikir. Apa yang bisa aku lakukan untuk menolong anak itu jika dia sudah tidak bisa diselamatkan lagi? Sukmanya telah ditawan oleh makhluk asral di sini? Oh! Jahat sekali mereka. Dari Eyang Kuda juga kuketahui jika anak tersebut memang sudah menjadi incaran Ratu Buaya Putih sejak lama. Pertama dia masih lajang, belum pernah menikah, lalu sebagai makhluk dia tidak terlalu taat menjalankan kewajibannya layaknya orang yang beragama, sehingga mudah sekali Ratu Buaya Putih dan pasukannya mengambilnya. Dia tidak memiliki pagar sama sekali. Terlalu polos.
“Apa yang bisa aku lakukan Eyang?” Ujarku agak bergetar. Eyang Kuda juga seperti sedang berpikir. Mungkin beliau membaca berbagai macam resiko. Jumlah mereka banyak sekali. Dan rata-rata mereka berilmu tinggi. Mereka makhluk-makhluk yang kasar dan ganas. Ini terlihat dari aura mereka semua mengeluarkan hawa panas. Bisa jadi Eyang Kuda tidak tega melihat aku melawan mereka. Dalam keadaan sama-sama berpikir, tiba-tiba ada suara halus sekali.
“Hancurkan bangunan ritual mereka, Selasih. Pemuda itu tidak bisa diselamatkan lagi. Otak dan sum-sum tulang belakangnya telah mereka makan. Kau hanya bisa membantu memunculkan jasadnya ke permukaan air. Sementara sukma anak itu ada di dalam genggaman mereka, sudah selesai mereka ritualkan.” Suara Kakek Andun dari jauh. Aku berpandangan dengan Eyang Kuda. Beliau tersenyum sembari mengangguk menyetujui.
“Laksanakanlah Selasih, kamu memiliki alasan untuk menghancurkan sarang mereka. Karena mereka telah menawan bangsamu. Eyang akan bantu kamu dari sini. Hati-hati.” Ujar Eyang Kuda memberi semangat padaku.

Aku melesat langsung masuk ke dalam bangunan ritual tempat pemuda itu di tawan. Ternyata banyak sekali manusia yang menjadi tawanan makhluk jahat ini. Aku tidak tahu apakah mereka semua seperti lelaki ini, ditarik saat dia sedang memancing di sisi sungai, atau ada cara lain? Aku tidak sempat berpikir tentang itu. Tapi aku berpikir bagaimana caranya aku menghancurkan tempat ritual ini. Aku melihat seperti ada ruangan gelap menuju perut bumi. Entah apa fungsinya, atau tempat itu sarang mereka, tempat bersembuyi para makhluk ini? Atau ruang gelap ini merupakan jalan rahasia mereka entah menuju ke mana. Dari aroma yang ke luar dari tempat gelap itu tidak hanya lembab, namun juga bau busuk.

Melihat kehadiranku, beberapa pasang mata langsung tertuju padaku. Aku pura-pura tidak melihat. Namun aku waspada. Mereka bisa saja menyerang tiba-tiba.
“Mau apa kau datang kemari cucu Adam? Engkau mencari mati?!” Sesosok makhluk besar bertampang sangar menatapku tajam. Kalau sudah menyapaku sebagai cucu Adam, makhluk ini pasti hidupnya sudah ribuan tahun. Aku langsung berhadapan padanya. Energinya sungguh terasa berat sekali. Yang lain pun langsung menatapku seperti hendak memangsa.
“Aku hanya ingin tahu, mengapa kalian menawan bangsa kami, bangsa manusia?” Tanyaku. Disambutnya dengan tawa menggelegar seperti suara petir. Melihat tampangnya dia bukan raja. Tapi pengawal. Pengawal saja sudah sedasyat ini? Apalagi raja atau ratunya. Aku membatin.
“Kalian memang sangat pantas untuk disesatkan, disantap, dijadikan mainan, dijadikan persembahan, dijadikan tumbal. Karena semua yang ada di tubuh kalian itu harum dan manis. Dapat menambah energi bagi bangsa kami. Menjadi pagar, menjadi pondasi lantai, galar jembatan, termasuk menjadi budak-budak kami.” Ujarnya sembari tertawa lepas. Sekarang ratusan makhluk yang berada di ruang itu matanya tertuju padaku. Semuanya menatap menyeramkan. Aku mencari-cari ratu atau raja mereka.
“Baik, kalau begitu akan kuhancurkan tempat ini!” Ujarku. Tanpa berpikir panjang kuhantamkan pukulan matahariku ke altar ritual mereka. Dalam sekejab tempat itu hancur. Bahkan serpihan-serpihan bangunan memencar kemana-mana. Sang pengawal ganas itu tidak sempat menghalangiku. Dia kalah cepat. Selanjutnya aku hantam ratusan makhluk yang semula menatapkau dengan tajam seakan hendak menerkam itu. Seketika mereka menjerit kesakitan, ada juga yang tubuhnya langsung lebur, ada yang terkapar, ada juga masih tetap beridiri tegak. Mereka yang masih kuat serentak bergerak menyerangku.

Aku segera menarik sabuk pemberian putri ular lalu kuubah menjadi ular raksasa yang bergerak menyerang mereka. Selendang pemberian kakek Andun kutarik lalu kujadikan senjata untuk menyerang makhluk asral itu. Hantaman demi hantaman kuayunkan. Aku berusaha melumpuhkannya. Serangan balik darinya sungguh dasyat. Baru anginnya saja aku sudah seperti terdorong menahan berton-ton batu.

Hiiiiat!!! Haup!! Aku hadang pukulannya dengan pukulan gunungku. Tenaga kami beradu. Aku mendengar ada bunyi berderak-derak seakan ada sesuatu yang akan roboh. Aku tetap fokus dengan pukulan gunungku. Bahkan kutingkatkan untuk menghalangi tenaga makhluk asral yang luar biasa ini. Tak lama aku merasakan bumi seakan bergerak. Seperti gempa. Apakah ada hubungannya dengan pukulan petirku yang menghantam altar persembahan mereka? Tiba-tiba aku melihat ada kilatan menyerangku. Akhirnya sembari terus mendorong makhluk asral kulepaskan selendengku untuk menghantam cahaya yang menukik. Benturan terjadi. Langit terang benderang seperti lautan kembang api. Kadang warna ungu, kunimg, merah, biru, putih beradu.

Tiba-tiba ruang gelap yang mengerucut ke perut bumi itu semakin lama terbuka lebar. Angin kencang berhembus dari dalamnya. Sambil memerhatikannya aku terus bertahan dengan pukulan gunungku sembari berpikir bagaimana caranya mengalahkan kekuatan makhluk ini. Angin dari lubang hitam itu semakin lama semakin kencang. Lorong itu seperti terompet raksasa yang ditiup ribuan orang. Angin yang ke luar bergulung-gulung seperti awan pekat berwarna hitam. Aku bingung melihatnya. Mengapa lubang itu berubah seperti cerobong asap. Semuanya terlihat aneh? Tiba-tiba keluar naga berwarna hitam kebiru-biruan berkilau, besar sekali, memiliki empat kaki, bersayap, dan kumisnya entah berapa meter panjangnya. Kumis itu bukan berfungsi sebagai antena seperti kumis kecoa atau lele. Tapi dia adalah senjata untuk menyebat lawan. Secepat kilat aku selesaikan pukulan gunungku sembari mengehentakan kaki ke bumi. Sejenak bumi seperti berguncang kembali. Makhluk asral itu terhuyung. Aku segera mengerahkan angin untuk membantuku bergerak agar tak terbanting.
Huuuuaaakkhggg!! Makhluk Asral itu terhuyung. Aku tahu dia terluka. Namun belum membuat dia lemah. Aku akui kekuatannya. Lenganku terasa sakit dan kesemutan. Demikian juga kakiku sampai bergetar. Dasyat sekali tenaga mahkluk ini, pikirku dalam hati. Kali ini aku benar-benar mendapat lawan yang luar biasa. Sementara selendangku masih bergerak ke sana kemari menghancurkan makhluk-makhluk asral yang berusaha mencelakai aku.

Ular naga raksasa nampak terbang mengelilingi area bangunan ritual. Kepakan sayapnya seperti hendak melayangkan semua yang ada. Aku mencoba menghalangi dasyat anginnya yang menyapu-nyapu. Seperti biasa dalam situasi seperti ini aku akan mendengar lafaz zikir semakin lama semakin kencang. Lalu aku akan merasakan energi yang disalurkan lewat zikir itu. Aku memasang telinga tajam-tajam. Suara zikir tidak hanya dari jauh. Biasanya aku akan mendengar puyang dan kakekku dari jauh mengirimkan energinya lewat zikir. Tapi ini terdengar sangat dekat. Aku menoleh ke arah Eyang kuda berdiri. Masya Allah, aku terkejut, rupanya di sana tidak hanya Eyang Kuda, tapi aku melihat beberapa sosok duduk bersila menghadap kiblat di belakang Eyang Kuda. Dan yang paling belakang duduk berdekatan Putri Bulan dan Macan Kumbang.
“GhhhaaaaaagggrrRRR!!!” Suara naga sangat berat. Kali ini dia mengitari Eyang Kuda dan yang lainnya. Berkali-kali kulihat sayapnya menyerang mengeluarkan angin panas ke arah Eyang yang sedang duduk bersila. Namun pukulan itu tidak pernah sampai. Bahkan mental balik menyerangnya. Melihat Eyang Kuda bersama Putri Bulan dan Macan Kumbang aku kembali lega dan kembali fokus menghadapi makhluk asral pengawal Ratu Buaya Putih.

Hiiiiiiaaaaat! Braaak!!!! Sekarang giliran bangunan ritual yang kuhancurkan. Semua makhluk di dalamnya berhamburan ke luar. Pemuda yang ditawan kusambar lalu kulemparkan di hadapan Macan Kumbang dan Putri Bulan. Sekarang aku melihat banguan ritual itu seperti tumpukan bangunan tua rata dengan tanah. Debu seperti asap membumbung tinggi. Beberapa mahkluk yang terlambat ke luar dari bangunan itu seperti ular merangkak muncul dari bangunan yang roboh. Selendang kusapukan dengan cepat. Dalam sekejab makhluk-makhluk itu terpental jauh. Sementara selendang dari Putri ular masih menari-nari memukul dan menelan makhluk asral yang jumlahnya ratusan itu.

Tiba-tiba aku seperti mendengar suara suling seakan hendak menenggelamkan suara zikir Macan Kumbang, Putri Bulan, Eyang Kuda dan kawannya. Tak lama kemudian angin kencang berkesiur kembali. Aku terkesima ketika melihat ribuan makhluk asral seperti gelombang semakin lama semakin mendekat menyerang. Alangkah banyaknya makhluk ini. Aku membatin. Mereka seakan sengaja didatangkan dari laut untuk menyerangku. Sebelum mereka sampai, aku segera membaca mantera dan mengubah diriku jadi lima sosok. Maka kelima bayangkau segera bergerak menghalau gelombang makhluk asral dair laut itu. Kukerahkan mereka serentak menggunakan kekuatan badai melawan gelombang. Ribuan makhluk asral itu urusan mereka. Aku kembali fokus dangan pengawal Ratu Buaya Putih ini.

“Hmmm pantas kau berani ke mari anak Adam. Rupanya kamu mempunyai kemampuan yang tidak bisa diremehkan. Terimalah kematianmu. Kau akan kamu jadikan budak sama seperti bangsa manusia yang lebih dulu berada dalam genggaman kami.” Ujarnya sambil tertawa.
“Tertawalah iblis!! Karena ini adalah tertawa terakhirmu. Lihatlah, tempat ritual kalian sudah kuhancurkan. Pasukanmu sudah banyak yang ditelan ularku, mati kena selendangku. Sekarang giliranmu!” Ancamku sambil mengibaskan ujung selendangku ke arah dadanya,
“Dussst!!! Dussssttt!!” Dua hantaman ujung selendangnku menghantam telak ke dadanya. Makhluk asral itu kembali memegang dadanya dan mengerang tinggi. Aku langsung memutar badan, dalam waktu sekejab tubuhku berputar seperti pusaran angin mengejar makhluk asral yang sudah terluka tersebut. Kulihat dia masih melakukan penyerangan, namun pukulannya langsung ketangkap sambil terus berputar. Kugulung tubuhnya hingga dia tidak mampu lagi menggerakkan tangan untuk mengeluarkan beragai macan ajian. Aku tempelkan tanganku ke kepalanyasambil terus bergulung. Jeritan demi jeritan kembali terdengar memekakkan telinga. Makhluk asral itu menjerit sekencang-kencangnya. Kusalirkan tenaga matahariku. Dalam sekejab tubuhnya lebur menjadi debu. Lalu kulempar ke udara. Ajaib, debu-debu iru berubah menjadi percikan api yang mengeluarkan suara persis seperti mercon. Tak lama langit jadi gelap dan berpetir. Aku melihat debu arid tubuh makhluk asral itu meluncur ke langit, lalu hilang. Bumi hening kembali. Hanya suara kepak sayap naga terbang yang meledak-ledak membentur energi Macan Kumbang, Putri Bulan, Eyang Kuda dan empat sahabatnya. Kali ini tidak hanya kepakkan sayapnya. Tapi naga itu juga mengeluarkan api dari mulutnya. Api itu menyembur kemana-mana.

Aku ikut duduk bersila, berusaha besenergi dengan zikir yang dilafazkan Eyang Kuda dan kawan-kawan. Selanjutnya tubuhku meluncur menghadapi Ular Naga yang menyemburkan api dari mulutnya. Ular naga balik menyerangku. Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi. Kukeluarkan bola api untuk melawan naga raksasa yang ganas ini. Dengan segenap kekuatan, kuhantamkan dengan cepat ketika mulut sang naga mengagah menyemburkan api ke arahku. Bola apiku bergumul dengan semburan dari mulut sang naga. Kutambahkan hantaman petir. Tubuh naga sedikit goyang. Naga mengeliat sejenak. Lalu kembali sayapnya mengepak sambil mengeluarkan suara seperti menggerang, kadang menggeram, kadang juga berdesis seperti suara ular. Aku kembali mengeluarkan bola api ke dua. Kali ini kutambahkan ajian menghantam gunung dan hentakan badai secara serentak. Bola apiku berkobar lebih besar dari tadi. Kumainkan sejenak menunggu mulut naga terbuka.

Langit berubah menjadi merah. Entahlah fenomena apalagi yang akan muncul. Yang jelas aku harus mampu mengalahkan naga yang ganas sebelum ratu Buaya Putih ke luar dari saranganya. Suara zikir Eyang Kuda dan kawan-kawan seperti ujung pisau seakan membelah langit lalu menyingkirkan cahaya merah yang menaungi bumi. Aku melihat lafas zikir seperti tangan menggulung cahaya merah satu ke kiri satu lagi ke kanan. Langit terang kembali meski bukan seterang siang hari.

Melihat bola apiku berputar-putar, naga raksasa nampak seperti berpikir untuk menyerang. Kepakan sayapnya sudah terlihat lemah. Kukerahkan angin agar membawaku meluncur mengitari ular naga yang mulai berkepak lemah. Semburan apinya tidak secepat sebelumnya. Ekornya mengibas ke sana ke mari. Namun angin yang dikeluarkannya tidak sekencang tadi. Rupanya benturan bola apiku yang pertama degan semburan api dari mulutnya telah membuatnya terluka. Aku berputar di antara tubuhnya yang berputar lemah. Satu kesempatan, bola apiku kuhantamkan di punggungnya. Tubuh Ular naga seketika berubah menjadi bara. Aku melihat tubuhnya seperti lampu terang benderang. Tak lama tubuh itu meliuk-liuk meluncur ke angkasa. Kembali suara gemuruh seperti hendak kiamat. Petir menyambar-nyambar. Angin seperti mengaduk-aduk bumi. Selendang dan lima bayanganku telah selesai melaksanakan tugasnya. Makhluk-makhluk asral yang datang seperti gelombang berhasil ditakhlukan tanpa ada yang tersisa.
Aku salut dengan kesetiaan para makhluk asral ini. Mereka rela mati demi menjaga dan menunjukkan kesetiaan mereka pada pimpinannya. Atau pada dasarnya mereka takut akan mendapat hukuman yang maha berat dari pimpinnannya kalau kalah? Wallahu Alam. Aku kembali menarik ular dan mengubahnya kembali menjadi sabuk. Satu-satu bayanganku menyatu kembali ke tubuhku.

Baru saja aku aku hendak menarik nafas lega bersenergi kembali dengan pecahan tubuhku, tiba-tiba tubuhku di hantam dari atas. Aku tak sempat lagi menghindar. Seluruh tubuhku teras remuk. Lalu berulang-ulang hantaman keras mengenai perut dan dadaku. Aku merasakan isi perutku terasa diaduk-aduk. Leherku teras dicekik. Dalam keadaan demikian aku hanya mampu mengendalikan hatiku untuk terus bertahan dengan zikir yang terus membimbingku. Biarlah tubuhku remuk, asal hati ini tetap bergerak untuk berzikir menggerakkan denyut jantungku satu-satu. Padanganku gelap. Aku tak mampu melakukan apa-apa kecuali melayang di alam yang gelap dan sesekali melihat kunang-kunang terbang ke sana ke mari.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *