HARIMAU SUMATERA HEWAN BERADAT V (74A)

Karya RD. Kedum

Bus Dempo Karya yang kutumpangi menuju kota Pagaralam, meraung-raung melintas di jalan aspal kasar yang berlubang. Debu mengepul saling kejar. Aku duduk di bangku belakang supir bersama ibu. Sementara Bapak duduk di samping supir.

Lagu-lagu dangdut yang diputar supir membuat gendang telingaku terasa sakit. Tidak bisa lagi mau ngobrol meski duduk bersebelahan. Di belakang, ada penumpang selalu minta kantong kresek karena muntah. Padahal penumpang tidak terlalu padat. Mungkin karena semakin banyak bus yang bolak-balik Pagaralam Bengkulu, membuat penumpang lebih banyak pilihan ingin naik bus apa meski bus yang operasi semuanya sudah tua. Nampaknya bus-bus ini mirip rongsokan dari kota-kota besar yang diubah jadi bus angkutan antar kota, dari Pagaralam ke Bengkulu, dan sebaliknya Bengkulu Pagaralam.

Ibu yang duduk dekat jendela nampak memijit-mijit tengkuknya.
“Ibu sakit kepala?” Tanyaku membantu memijat-mijat tengkuknya. Pelan-pelan kutransfer energi agar berkurang sakitnya. Diam-diam kumatikan tape mobil. Suara yang tidak karuan inilah yang membuat ibu pusing. Darah tingginya kambuh karena suasana dalam bus memang tidak nyaman. Sopir bus bingung tiba-tiba tape mobilnya mati.
“Sialan! Kenapa pula harus rusak!” Ujarnya setengah marah.
“Tape-nya capek kali Mang, sepanjang jalan teriak-teriak terus. Ingin istirahat sejenak kali.” Ujarku sedikit bercanda.
Tape itu hiburan buat kami sopir-sopir ini agar tidak ngantuk. Makin kencang musiknya, makin memacu adrenalin untuk melaju. Kalau tidak begitu tidak semangat, buat kami ngantuk” Jawabnya lagi.
“Kita ngobrol aja sambil bercanda biar tidak ngantuk. Saya temani.” Kata Bapak mencoba mencairkan suasana. Si sopir tersenyum.
Ternyata pancingan bapak dapat. Si sopir akhirnya ngobrol dengan Bapak. Mereka terlibat obrolan segala macam, mulai bercerita masalah pertanian sampai ke bisnis.

Di Kecamatan Pendopo, bus berhenti di rumah makan. Semua penumpang turun. Ibu memesan teh hangat. Si sopir sibuk memanggil Bapak agar makan bareng dengannya. Akhirnya Bapak makan bareng sopir. Katanya gratis. Sementara aku bersama Ibu makan di meja lain.
“Ibu, jangan lupa baca doa sebelum makan.” Ujarku. Ibu mengangguk sembari baca Bismillah. Dari jauh aku menyentil bangsa jin, sosok yang berdiri dekat Bapak ingin ikutan makan bersama sopir yang duduk sambil mengangkat sebelah kakinya di atas kursi.
“Baca doa… ” Aku berbisik pada Bapak dari jarak jauh. Bapak kaget, dan menoleh. Lalu melihat padaku. Kuberi abah-abah dengan menengadahkan tangan. Bapak mengangguk sambil tersenyum. Tingkah jin yang ikut makan bersama sopir sangat menjijikan. Membuat selera makanku hilang sama sekali. Belum lagi yang berdiri di luar. Ada beberapa sosok nampaknya mencari kesempatan untuk ikut makan bersama.
“Ayo makan, Dek. Nanti keburu busnya mau berangkat lagi. Perjalanan kita masih jauh loh. Paling magrib kita baru sampai ke dusun.” Ujar Ibu. Ibu tidak tahu jika seleraku hilang gegara melihat makhluk-makhluk yang ikut makan bersama orang-orang yang tidak berdoa. Beberapa mereka menantapku takut-takut sambil terus makan dengan lahapnya.

Satu jam setengah lagi, bus akan sampai kota Pagaralam. Dari Pagaralam, naik angdes lagi baru jalan kaki ke Seberang Endikat. Bus yang kami tumpangi terasa sangat lamban. Sesekali sang sopir tertawa kencang sambil bercerita dengan Bapak. Rupanya beliau merasa dapat teman yang cocok sehingga sepanjang jalan dari Simpang Perigi sampai ke Pagaralam bercerita tidak ada henti. Kulihat Ibu terkantuk-kantuk. Kepalanya bergoyang-goyang meski bersandar.
Oh! Darahku berdesir ketika sampai di kecamatan Jarai. Gunung Dempo terlihat jernih. Ingin rasanya langsung meluncur ke sana melepas rindu untuk bersua dengan nenek dan puyangku dan menginjakkan kaki di kampung buniannya. Aku mencoba menahan diri dengan perasaan bergetar.
“Nenek…aku rindu.” Aku membatin berbicara pada nenek Ceriwis. Dijawab nenek Ceriwis agar aku bersabar, sampaikan dulu dirimu ke Seberang Endikat, malam besok nenek akan datang menemui, katanya. Aku sedikit lega. Rasanya aku sudah berada di dusunku.
“A Fung, apa kabarmu dik?” Kali ini aku membatin pada A Fung. Hening tidak ada jawaban. Sekali lagi kupanggil, tetap sama tidak ada jawaban. Akhirnya aku memanggil paman Raksasa.
“Selamat datang di Besemah, Putri Selasih. Paman merindukanmu. Paman tunggu dirimu pulang ke gunung Dempu.” Ujarnya. Aku mengiyakan dengan perasaan senang. Lalu kutanyakan ke mana A Fung, mengapa dia tidak menjawab ketika kupanggil. Rupanya A Fung tengah melaksanakan ibadah bersama Puyang guru dan kawan-kawannya. Dia baru pulang dari Turky bersama puyang-puyang nenek gunung dan ikut salat di Masjidil Haram Makkah. Mendengar cerita paman Raksasa, aku jadi terharu. Tanpa kusadari mataku berair. A Fung benar-benar beruntung bisa melintas sampai ke negeri impian, Tanah Suci.
“Udah sampai di mana kita, Dek!” Ibu menyentuh tanganku. Aku kaget dan buru-buru buka mata. Kulihat kiri kanan memastikan sampai di dusun mana.
“Sampai di Perandonan, Bu.” Ujarku setelah melintas di jembatan yang membelah dusun yang tidak seberapa panjang.
“O iya, itu rumah Rasit, saudara sepupumu.” Ujar Ibu menunjuk rumah pas di pangkal jembatan sebelah kiri. Aku mengangguk saja, karena meski di dusun ini konon banyak saudara Bapak, aku tidak tahu. Yang jelas, tinggal beberapa menit lagi kami akan memasuki kota Pagaralam.

Aku baru ingat jika tape mobil yang kumatikan tadi. Akhirnya kukembalikan nyala kembali. Sang sopir kaget.
“Astaga! Hidup sendiri tapenya Mang. Mungkin ada hantu di mobil ini. Tiba-tiba mati, tiba-tiba nyala sendiri,” ujarnya dalam bahasa daerah yang kental. Bapak hanya tersenyum mendengar sang sopir ngoceh seakan-akan paling gagah, tidak takut hantu.

Gunung Dempu makin jelas ketika bus melintas di depan lapangan Merdeka. Hamparan sawah, kolam ikan milik warga, menghadirkan sebuah lukisan alam yang sempurna. Jadi ingat ketika SD, tiap kali disuruh menggambar bebas, maka aku akan melukis pemandangan lapangan merdeka, ada pohon yang tinggi di sisinya, di tengah lapangan ada tiang bendera dan yang paling penting adalah gunung Dempu, sawah dan pauk yang mirip danau yang penampakan banyangan langit dan gunung begitu indah. Aku jadi teringat, seringkali aku berlari-lari di lapangan ini bersama kawan-kawanku, sengaja datang kemari sekadar bermain meski jauh dari rumah. Saat teringat ketika menonton Guntoro lomba, kadang latihan bola kaki di sini, terbersit juga rasa sedih batinku. Aku berteriak-teriak bersama kawan-kawanku memberi semangat tiap kali Guntoro menggiring bola dari sudut lapangan. Sudut itu masih ada, di tandai pohon kecil berbunga kuning.

Saat melintas dekat masjid Agung, tubuhku kembali bergetar. Masihkah nenek gunung berduyun-duyun, berjalan kaki salat ke masjid ini? Masih seperti dulu, ruas jalan kota Pagaralam sempit dan ramai. Suara klankson dan deru kendaraan roda empat seperti berlomba paling kencang. Belum lagi kernet dan sopir berteriak-teriak mencari penumpang. Inilah uniknya kotaku, jalan umum, merangkap terminal. Kendaraan-kendaraan dari dusun-dusun sekitaran kota, baik yang jauh mau pun yang dekat, semuanya parkir di pinggir jalan di depan ruko-ruko. Mereka mengatur diri sendiri. Tidak ada tukang parkir. Apalagi Polantas.

Aku sengaja pura-pura tidak tahu ketika melintas persis di depan ruko Bapakku. Aku tahu, ada luka di dada Bapak dan Ibu tiap kali melihat gedung itu. Sama seperti di dadaku. Perih sekali rasanya. Kubuang bayangan masa kecilku di sini. Kuhapus tempat biasa aku bermain atau duduk di teras lantai dua memandang ke gunung Dempu sembari menunggu nenek Kam pulang. Atau melihat nenek gunung melintas dan bermain bersama Macan Kumbang ketika aku baru kenal beliau ketika itu. Sekarang ruko itu sudah jadi milik pengusaha keturunan Tionghoa. Bukan lagi seperti gudang kopi penuh dengan pekerja. Tapi menjadi tokoh manisan, lalu di sebelahnya menjual onderdil kendaraan.

Kami baru saja turun dari bus ketika beberapa sopir menghampiri menawarkan mobilnya. Bapak mencari-cari keponakannya yang akan membawa kami ke Seberang Endikat. Kata Bapak, sekarang sudah ada mobil yang sampai ke dusun meski baru satu dua dan itu pun sehari hanya sekali saja. Pagi membawa penumpang ke Pagaralam, lalu sore balik lagi ke Seberang Endikat. Ternyata mobilnya sudah berangkat duluan. Terpaksa kami harus jalan kaki.

Tiba-tiba hidungku mencium aroma nenek gunung. Kukembang-kembangkan daun hidungku untuk memastikan apakah memang ada nenek gunung di sekitarku. Aku memang merasakan lebih berbeda. Di kota kecil ini penciumanku pada makhluk itu lebih tajam.
Plak!!
“Aduh!” Aku terpekik kaget. Sampai-sampai Ibu melihat heran padaku. Aku tertawa menatap wajah Ibu yang heran. Beliau tidak tahu jika Macan Kumbang menepuk bahuku, sengaja mengagetkan aku.
“Bikin kaget saja!” Ujarku mengelus dada. Aku menghirup udara dalam-dalam. Sebenarnya di samping ada rasa sedih, aku juga ingin melompat-lompat saking senangnya menginjakkan kaki di kota ini dan bisa bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi. Ingin rasanya saat ini juga mengajak Macan Kumbang ke sana kemari. Tapi niatku kubatalkan. Pertama siang hari, ke dua di sini ramai. Tidak memungkinkan.
“Mau cepat sampai atau menikmati tebing Sekip, Endikat, Bukit dan Liku Semen?” Tanya Macan Kumbang. Aku menjawab memilih berjalan kaki saja. Tidak mungkin aku meninggalkan Bapak dan Ibu.
“Ada caranya, Selasih agar Bapak dan Ibu tidak capek” Ujar Macan Kumbang. Aku tertarik. Bagaimana caranya? Kutatap Macan Kumbang dalam-dalam.
“Biar kubawa Bapak Ibu sampai ke dusun Danau. Dari situ, baru kalian berjalan kaki ke hulu. Biarlah itu tugasku, akan kubuat perasaan Bapak dan Ibu berjalan dari Simpang Bandar ke Danau.” Ide Macan Kumbang. Aku tertawa lepas sampai ditepuk Ibu.
“Huss ketawa sendiri. Istighfar!” Ujar Ibu.
“Uff!!” Aku segera menutup mulut. Aku lupa kalau aku tengah berbicara dengan Macan Kumbang dan tidak ada yang melihat sosoknya kecuali aku.

Aku, Bapak dan Ibu sudah naik di atas angdes. Penumpang padat. Aku bersyukur yang turun di simpang Bandar tujuan ke Seberang Endikat hanya aku, Bapak dan Ibu. Angdes melaju cepat.
“Beberapa bulan lalu ada bus dari Bengkulu mau ke Jakarta masuk ke jurang Lematang, itu bekasnya,” ujar Bapak ketika melintas di jalan menurun dan berliku. Air terjun Lematang terlihat dari atas. Aku menoleh. Benar, rumput dan tanah bekas bus terperosok masih terlihat. Entah Bus yang keberapa kecelakaan di sini. Penumpang banyak yang mati, dan luka berat. Ada yang mati di tempat ada juga mati setelah dirawat. Aku masih mencium amis darah dan bau makhluk asral di sekitarnya. Mereka telah membuat kerajaan kembali setelah pernah kuobrak-abrik beberapa tahun lalu.

Aku diam saja duduk miring menghadapi bagian sisi angdes yang terbuka. Angin bertiup kencang. Beberapa emak-emak bercerita sambil berteriak-teriak demi mengalahkan suara angdes dan deru angin. Banyak sekali cerita mereka. Mulai dari harga sembako naik drastis, harga kopi dan beras tidak seimbang dengan harga sembako. Bapak bersandar sambil memejamkan mata. Beliau ngantuk sekali nampaknya.

“Kalau dulu, satu kilo kopi bisa menjadi sekilo minyak goreng, sabun mandi, dan gula. Tapi sekarang satu kilo kopi sama dengan satu kilo gula. Berhenti sajalah kita minum manis. Belum beli kebutuhan lainnya. Apalagi seperti kami yang tidak punya sawah ini, kami harus nyetok beras selama menjelang panen selanjutnya. “Seorang ibu mengeluh. Apa yang beliau sampaikan benar adanya. Harga sembako mahal, sementara biji kopi tidak seimbang dengan harga sembako memang membuat mereka tercekik. Tidak jarang mereka sampai “hutang musiman” dengan para tengkulak atau mereka yang punya mesin penggilingan. Kalau dengan yang punya mesin penggilingan, mereka akan bayar setelah panen dan akan menggiling ditempat berhutang tanpa bunga. Tapi kalau ke tengkulak, mereka meminjam satu kuintal beras, maka harus kembalikan saratus lima puluh kilo. Jika si peminjam belum bisa mengembalikan utuh seratus lima puluh kilo, maka setiap panen mereka wajib setor bunganya lima puluh kilo. Bayangkan, jika satu tahun tiga kali panen, maka mereka akan bayar bunganya saja seratus lima puluh kilo, sementara pinjaman awal masih tetap dihitung utuh sebelum peminjam mengembalikan utuh seratus lima puluh kilo. Seratus kilo induknya, lima puluh kilo anaknya. Demikian istilah yang dibuat para pengijon, rentenir, lintah darat.

Aku jadu ingat, pernah suatu kali nenek Kam bercerita tentang salah satu orang dusunnya yang miskin. Beliau bekerja menggarap sawah dengan hitungan bagi tiga. Artinya, dua bagian untuk pemilik lahan karena bibit, pupuk dari pemilik lahan. Satu bagian lagi untuk yang bekerja. Ketika panen, ternyata hasilnya tidak memuaskan. Tapi sesuai perjanjian hasilnya tetap harus bagi tiga. Jika sebelumnya sawah itu bisa menghasilkan sampai dua ton beras, saat itu hanya mampu menghasilkan enam ratus kilo saja. Artinya hanya dua ratus kilo untuk penggarap. Sementara penggarap ini sudah terlanjur meminjam beras pada tengkulak dengan perjanjian setelah panen akan dibayar lunas. Karena mendapat panen sedikit, sang penggarap ngemis-ngemis minta keringanan. Apa jawab tengkulak.
“Enak betul sudah dipinjamkan berbulan-bulan, setelah panen belum belum bisa bayar alasan dapat sedikit. Apa tidak mikir jika tidak dipinjami kalian mungkin sudah mati satu keluarga karena lapar. Sekarang jika belum bisa membayar induknya, bayar bunganya. Daripada numpuk setiap panen, apa sanggup kamu bayar sampai satu ton kelak? Saya yakin, sampai ke anak cucumu takkan sanggup membayarnya.” Ujar tengkulak dengan angkuhnya. Akhirnya, penggarap itu berjanji akan bayar bunganya saja dulu. Cerita ini sampai ke telinga Bapak. Bapak orangnya tidak tega. Diam-diam Bapak membayar lunas hutang penggarap itu tanpa diketahuinya. Nenek Kam tahu. Suatu malam, nenek Kam datangi tengkula itu diam-diam, dibuatnya tengkulak itu sakit perut. Sang tengkulak menjerit-jerit kesakitan menghebokan orang sekampung. Sementara di dusun hanya ada bidan. Sang bidan sudah memberikan obat penenang. Namun tidak ada pengaruhnya sama sekali. Akhirnya alternatif lain sebelum dibawa ke rumah sakit di ibu kota kabupaten mereka memanggil Nenek Kam. Nenek Kam tahu pasti mereka akan mencari beliau, sebelum orang datang menemuinya nenek Kam buru-buru pergi ke kebunnya. Pesannya pada tetangga akan menginap jauh di kebunnya di atas bukit. Tidak satu pun yang hendak menjemput dan menemui nek Kam di sana. Padahal kata nenek Kam beliau ada di kebunnya dekat dusun. Tidak ke Bukit. Beliau santai-santai saja melenyapkan diri dari pandangan kasat mata. Akhirnya setelah tiga hari sakit siang malam, tengkulak itu hendak di bawah ke ibukota kabupaten Lahat. Sebab di situ dianggap perawatannya lebih lengkap. Sebelum di bawa ke Lahat, nenek Kam muncul di dusun. Ramai-ramai penduduk bercerita jika si tengkulak sudah tiga hari sakit perut dan tidak sembuh-sembuh, hari ini mau dibawa ke rumah sakit. Mereka minta nek Kam melihat dan mengobatinya terlebih dahulu. Singkat cerita, nenek Kam menemuinya. Dilihat nenek Kam, si tengkulak sudah terlihat kurus dan pucat. Tidak bersisa tampang garangnya seperti sebelumnya. Beliau nampak tidak berdaya.
“Nek, tolong Nek, aku sakit perut sudah empat hari ini, rasa mau buang air tapi tidak bisa, segala obat sudah, Nek. Tapi tidak sembuh juga.” Ujarnya merengek-rengek. Terus kata nenek Kam, diambilnya air putih, pura-pura didoainnya. Lalu nenek Kam bicara pada Si tengkulak bahwa beliu punya kesalahan. Di suruhnya Si tengkulak mengakui kesalahanku. Jika tidak mengaku maka sakitnya tidak akan sembuh mesti dibawa ke mana pun. Sebab ini urusanmu ke Sang Pencipta. Tuhan marah. Kata nenek Kam. Sang tengkulak bingung, kesalahan apa yang dia lakukan? Menurutnya dia tidak ada salah.
“Apa yang kau makan, sampai sakit perut?” Kata nek Kam. Diam-diam dibuat nek Kam kembali perutnya membusung hingga tengkulak seperti hendak mati.
“Aduh…aduh..ampun aku tidak tahu apa kesalahanku, Nek… ” Ujarnya putus-putus.
“Berapa banyak kau makan harta orang miskin di kampung ini? Memakan riba. Memberikan pinjaman dengan bunga. Yang membuatmu sakit itu adalah riba, Barang haram yang telah menjadi dagingmu, kelak akan jadi bara diperutmu. Itu juga yang kau berikan dengan anak istrimu. Maaf aku tidak bisa mengobati. Karena penyakit ini dari Allah, mintalah ampun pada-Nya” Kata nenek Kam ketika itu.

Sang tengkulak menangis sejadi-jadinya. Lalu ia meratap mengakui kesalahannya, didengar oleh orang sekampung yang silih berganti menjenguknya. Selanjutnya dia berjanji tidak akan menagih bunga hutang orang pernah meminjam beras padanya. Bagi yang terlanjur membayar bunganya saja maka pinjaman pokoknya akan dianggapnya lunas. Selanjutnya dia minta maaf pada orang sekampung. Usai dia mengakui kesalahannya, diam-diam nenek Kam menyembuhkannya. Sang tengkulak sehat seperti semula. Sekampung nyaris tidak percaya. Dianggapnya peristiwa itu adalah peristiwa ajaib. “Allah bayar lunas semua perbuatan manusia. Ini baru di bumi.” Ujar beberapa penduduk dengan perasan kagumnya.

Ternyata meski cerita tentang tengkulak yang menerima azab itu menyebar sampai ke dusun-dusun lain, masih saja ada warga dusun yang dalam praktiknya masih makan riba. Buktinya cerita para emak-emak ini, ada juga mereka yang meminjam uang, atau beras, pada sang tengkulak. Alasannya terpaksa karena tidak ada tempat yang bisa membantu pinjaman dengan cepat.

Aku heran, ada satu perempuan di seberangku diam saja mendengar cerita emak-emak tentang tengkulak, tentang sulitnya ekonomi saat ini, kebutuhan serba mahal, hari-hari tidak sempat memikirkan hal lain, yang ada hanya memikirkan apa yang akan dimakan hari ini. Penampilan memang agak beda dengan perempuan lainnya, sudah pakai blues modern, tidak pakai kain sarung, tapi sudah pakai rok, kalungnya emasnya bertingkah-tingkat. Ada yang pendek ada juga yang panjang, gelangnya mirip rantai sepeda melingkar di lengannya yang besar dan tebal. Cincinnya juga emas, melingkar di jari manis kiri kanan. Itu pun berlapis-lapis pula. Untung hidungnya tidak pakai anting-anting.

Di tengah deru mobil dan angin yang bertiup kencang, Ibuku sesekali ikut menimpali. Ibu cerita, sebagian emak-emak di kampung kami bekerja harian, upahan besiang (membersihkan kebun orang), upahan ncalau (membersihkan rumput di sawah orang), upahan metik kopi, yang laki-laki upahan membawa hasil bumi dari kebun ke dusun, atau dari dusun ke simpang Bandar. Tapi perempuan di depanku ini diam saja agak cemberut. Ada aura marah pada dirinya. Aku coba fokus pura-pura ngantuk memejamkan mata sejenak menelusuri apa pekerjaan emak satu ini. Tak lama kuketahui emak satu ini punya usaha mesin penggilingan kopi dan padi, rumahnya luas, kaya, punya beberapa kolam ikan di samping mesin penggilingan, belakang rumahnya ada sawah. Lalu kucari tahu aktivitasnya, ternyata beliau rentenir. Tidak saja memberikan pinjaman beras dengan berbunga, tapi juga uang. Setelah tahu aku buru-buru membuka mata. Pantas perempuan ini dari tadi diam saja.
“Yang jelas, rentenir itu perbuatan dosa, haram hukumnya. Jangankan masuk surga, bau surga saja dia tindak akan dapatkan. Di dunia dia sudah menyalakan api neraka untuknya dan keluarga. Yang meminjamkan mau pun yang meminjam sama saja, berdosa semua. Makanya hindarkan makan riba ya ibung-ibung (bibi-bibi).” Ujarku menimpali sebelum emak itu turun. Rupanya beliau lebih dulu turun dibandingkan yang lain. Aku senyum-senyum sendiri melihat wajahnya makin tebal.

Setelah dia turun, kukasih tahu ibuku kalau yang baru turun itu tengkulak. Ibu protes, mengingatkan aku jangan sok tahu. Nanti fitnah.
“Betul Ibung, kata anak Ibungtu. Kerbai (perempuan) itu tadi memang suka membungakan pinjaman. Makanya dia diam saja tidak ikut bercerita pada kita. Dia memang tidak merasakan susah seperti kita. Aku sengaja pura-pura tidak tahu siapa dia.” Lanjut seorang emak. Emak-emak yang lain semua bergumam kaget baru tahu. Muncul rasa penasarannya, akhirnya berlanjut membicarakan perempuan rentenir itu dengan berbagai pandangan dan pendapat umum tentang tengkulak. Ah, emak-emak tidak bisa dipancing, cerita ringan pun kalau sudah di tangan emak-emak menjadi cerita spesial.

Tidak terasa kami sampai di simpang Bandar. Kami pun turun. Aku langsung memanggul tas ransel dan menenteng bawaanku. Begitu juga Ibu dan Bapak. Bawaan kami tidak ada yang ringan. Semuanya berat. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 Wib. Kami berjalan kira-kira seratus meter berhenti di pinggir pauk pinggir dusun melaksanakan salat sejenak di atas rerumputan pinggir jalan.

Usai solat Aku dan Macan Kumbang siap beraksi. Kami mulai saling beri kode. Cuaca agak terik. Angin sesekali terasa kencang dari sabana jauh di hadapi kami. Sebelum menjelang tebing Sekip, Macan Kumbang sudah mulai melakukan aksinya, dia duduk sejenak lalu berdiam diri. Tak lama tangannya menyapu ke arah Bapak dan Ibu. Bapak dan ibu langsung digendongnya tanpa beliau sadari. Perasaan Bapak dan Ibu masih berjalan. Keduanya diam saja. Tidak ada obrolan selama dibawa Macan Kumbang. Aku senyum-senyum berapa di belakang mereka. Tak perlu lama, kami sudah ada di pinggir dusun Danau. Kulihat Bapak dan Ibu sudah diturunkan Macan Kumbang. Bapak Ibu kembali berjalan. Perasaan keduanya masih berjalan kaki dari tadi dan saat ini sudah sampai di dusun Danau.
“Heran ya, aku kok tidak merasa lelah. Padahal bawaan kita banyak.” Ujar Ibu seperti baru menyadari sesuatu yang aneh.
“Alhamdulilah, masih terang begini kita sudah sampai di dusun Danau. Perkiraan Bapak, magrib atau lewat magrib baru kita sampai kebun kakek. Belum sampai ke dusun.” Ujar Bapak tetap berjalan. Aku mencubit Macan Kumbang. Kami senyum-senyum berdua.
“Jam berapa sekarang, Pak?” Tanya Ibu sambil melihat langit dan memperhatikan bayangannya. Bayangannya masih pendek. Ini pertanda matahari belum terlalu condong ke barat. Artinya belum masuk waktu salat asar. Dari dulu, matahari jadi pedoman masyarakat untuk menentukan waktu. Mereka paham tanda-tanda alam.

Bapak menatap jam tangannya, lalu digoyang-goyangkannya. Diperhatikannya jarum jam baru menunjukkan pukul 14.35 Wib. Tadi salat di pinggir pauk Bandar, pukul 14.00 wib. Melanjutkan perjalanan lebih kurang 14.20 Wib. Sekarang 14.35 Wib, artinya baru lima belas menit dari Bandar. Bapak menatapku sambil bergumam tidak jelas.
“Kok baru pukul 14.35 Wib. Masak kita berjalan dari sana hanya lima belas menit? Jalan dari simpang Bandar ke pauk saja memakan waktu lima belas menit? Apa jam tangan Bapak rusak ya?” Ujar Bapak. Matanya kembali menatap heran padaku dan ibu.
“Nampaknya kalau melihat matahari dan bayangan kita, waktu belum menunjukkan pukul tiga, Pak. Tapi kita sudah ada di sini? Kita kan berjalan Pak, tidak terbang” Ujar Ibu lagi.
“Mungkin Bapak tadi salah lihat waktu Pak, bukan pukul dua siang, tapi pukul dua belas.” Ujarku memancingnya.
“Ah tidak! Bapak yakin pukul dua. Orang kita di Pagaralam saja pukul dua belas tiga puluh, lalu naik mobil dari Pagaralam pukul satu lewat lima belas menit. Sebelum pukul dua kita sudah di simpang Bandar. Kok aneh sekali ya. Hebat sekali perjalanan kita hari ini” Ujar Bapak lagi.
“Sudah Alhamdulilah, yang penting kita tidak capek, dan sebentar lagi sampai di kebun kakek. Aku sudah tidak tahan ingin jumpa.” Ujarku berjalan sambil membimbing tangan ibu. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi.

Jalan menunju dusunku masih seperti dulu. Tanah kuning dan berbatu kasar penuh dengan rumput. Macan Kumbang berjalan di sampingku.
“Assalamualaikum Selasih, Macan Kumbang.” Ada yang menyapaku. Aku segera menoleh, Masya Allah nenek gunung penjaga dusun Danau menyambut kami di pangkal dusun.
“Waalaikum salam, Kek.” Aku dan Macan Kumbang menjawab bersamaan. Aku menyalami beliau. Ini kali ke dua aku bersua dengan kakek penjaga dusun ini. Beliau lelaki sepuh, yang setia hingga kini menjaga di pintu masuk desa. Dusun Danau adalah pintu gerbang masuk Desa Singapure. Aku menanyakan kabar beliau. Dari pertama bertemu, sampai sekarang beliau tidak berubah. Hanya saja beliau bilang sering kesal karena saat ini banyak sekali orang asing masuk dusun dan kurang beradat.
“Kalau dulu, laki-laki dan perempuan, malu berjalan bersamaan jika belum menikah. Tapi sekarang, etika itu sudah dilanggar. Anak bujang dan gadis sekarang nyaris tidak punya batas. Bahkan berbuat zina pun sudah tidak ada lagi nepung dusun. Orang tua dan anak muda zaman sekarang sudah menganggap semuanya biasa. Bumi sudah tua, Cung. Kemampuan kakek pun sudah terbatas, makanya kakek hanya diam di dusun ini saja, sudah jarang kakek berkeliling desa.” Ujar beliau. Aku merasa ibah mendengar penuturannya. Apa yang beliau katakan, memang benar adanya. Tidak sekali dua kali aku mendengar remaja putri hamil, baru beberapa bulan menikah sudah melahirkan, belum lagi orang tua yang selingkuh dengan janda, melakukan perbuatan tidak senonoh juga. Harga diri dan rasa malu nampaknya memang sudah luntur. Entah salah pola pendidikan dari orang tua zaman sekarang, atau memang anaknya yang tidak patuh nasehat orang tua. Sehingga kerap melanggar adat dengan dalih segala macam, dan mengatakan aturan leluhur itu ‘kuno’, sudah ketinggalan zaman. Yang lebih parah lagi, gaya anak kampung kadang melebihi gaya orang kota.
“Andai aku diizinkan seperti gunung, bukit dan laut, yang dapat mengubur manusia yang malas ibadah, tamak, gemar dosa, enggan sadakoh, dan durhaka pada orang tua. Ingin aku melemparkan mereka ke dalam danau itu. Sayang aku tidak diizinkan. Aku hanya bertugas menjaga di pintu dusun.” Nada kakek pejaga gerbang dusun dengan perasaan kecewa. Matanya menatap ke danau yang nampak setengah kering karena memang tidak terawat, penuh dengan tumbuhan air. Konon danau itu dibuat oleh para leluhur, para puyang. Makanya danau itu disebut Danau Puyang. Nama dusun ini pun diambil dari nama danau itu. Selanjutnya yang boleh mengelolah Danau itu harus melibatkan beberapa dusun, bukan perseorangan. Dari dulu, ada larangan mengotori danau itu karena danau itu merupakan salah satu sumber mata air, tapi sekarang semua sudah diabaikan. Banyak manusia tidak menghargainya lagi.

Aku dan Macan Kumbang hanya menjadi pendengar cerita kakek penjaga lawang dusun. Tidak berani berkomentar. Aku juga tidak tahu harus berkata apa. Aku sendiri tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membanntu kakek penjaga dusun ini. Menghadapi masalah manusia, bagiku lebih rumit dibandingkan menghadapi bangsa makhluk gaib. Menghadapi manusia banyak sekali rentetannya.

Akhirnya aku minta izin melanjutkan perjalanan menyusul Bapak dan Ibu yang lebih dulu berjalan. Jalanan sudah mulai menanjak. Cuaca masih terasa terik. Peluh sudah mulai mengucur.
“Aku capek Macan Kumbang.” Ujarku. Malam tadi aku tidak terlalu nyenyak tidur. Pulang kampung dan membayangkan perjalan yang cukup jauh malah membawa pikiranku ke mana-mana. Belum lagi malam sebelumnya membantu Raden Danang Pangkas. Perjalanan dari Bengkulu ke dusunku ini memang terasa sangat melelahkan meski sudah dibantu Macan Kumbang dari Tebing Sekip langsung ke dusun Danau. Ada dua bukit dilampaui. Untung tadi belum sempat bertemu dengam kakek penjaga Tebing Sekip. Kalau bertemu beliau, pasti akan berhenti lama lagi seperti tadi.
“Ya sudah, sini naik.” Ujar Macan Kumbang. Tapi kutolak, masak Bapak Ibu berjalan berpeluh-peluh lantas aku santai di punggung macan Kumbang. Kan tidak lucu. Akhirnya aku terus berjalan.

Jalan yang kulalui sudah mulai menanjak, kiri kanan terbentang sawah. Jauh di barat sebelah kanan jalan gunung Dempo terlihat begitu bersih dan indah. Di antara fatamorgana, aku membayangkan dusun Uluan menungguku. Aku sudah tidak sabar ingin berkunjung ke sana. Tidak berapa lama, aku sudah melihat ujung kebun kakek. Langkahku makin semangat. Aku langsung melompati parit kecil, lalu melompati pagar kawat berduri yang tidak terlalu rapat. Aku sengaja menuju pondok kakek lewat kebun kopi.
“Uuuuuh.” Aku nenguhu memberi kode pada kakek pertanda ada yang datang. Kutunggu sejenak, belum ada jawaban. Kuulangi beberapa kali. Tak lama baru ada jawaban. Kakek menguhu juga dari arah barat. Setengah berlari aku menunduk-nunduk di antara ranting kopi yang bercabang lebat. Kadang ranselku tersangkut di ranting yang kering.
“Macan Kumbang, tolong bawa ke pondok Kakek.” Ujarku menjatuhkan semua bawaanku. Aku ingin segera jumpa dengan kakek. Aku lebih mudah bergerak setelah tanpa beban. Tak lama aku melihat sepasang kaki berjalan menujuku. Daun-daun kopi tersibak. Dari jarak dua puluhan meter aku sudah mencium bau kakek.
“Kakek !” Aku menjerit ketika melihat wajah kakek menyembul dari dahan-dahan kopi. Wajah kakek tak kalah senangnya. Arit yang digenggamnya terlempar. Aku memeluk dam mencium kakek erat sekali. Demikian juga kakek.
“Masya Allah, lama kakek menunggumu, Cung. Kakek berdoa agar bisa bertemu padamu sebelum kakek pulang” Ujarnya dengan mata sedikit basah. Kupungut arit yang dilemparnya. Kakek kutuntun pulang ke pondok.

Tok tok tok tok tok!
Bunyi kentongan berulang-ulang. Kami saling pandang dan tersenyum.
“Itu pasti Bapak, yang memukul kentongan memanggil kakek.” Ujarku. Kakek mengiyakan sembari terbungkuk-bungkuk di tanah yang agak menanjak. Beliau berusaha berjalan cepat. Benar saja, Bapak dan Ibu sudah di pondok kakek. Mereka heran melihat barang-barangku sudah ada di beranda.
“Kapan kamu sampai kok barangmu sudah ada di sini? Tadi kamu kan jauh di belakang Bapak?” Bapak sedikit heran. Aku bingung mau menjawabnya. Macan Kumbang sudah memberi kode agar aku tidak berbohong.
“Barang-barangku kulempar saja tadi, Pak. Aku langsung mencari kakek” Ujarku riang agar Bapak tidak banyak tanya. Macan Kumbang tersenyum.

“Cerdas kamu ya. Tidak sia-sia Bapak menyekolahkan kamu” Lanjut Macan Kumbang menunjuk keningku. Tangannya segera kutangkap, lalu kupelintir.
Hup! Hup!
Aku memutar tangan Macan Kumbang hingga tubuhnya ikut berputar.

Bersambung…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *